Take Home

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Take Home as PDF for free.

More details

  • Words: 4,173
  • Pages: 16
GEOGRAFI INDUSTRI TAKE HOME SAHESTY ADRIANI 106351400647 Soal 1. Bagaimana kebijakan dan strategi pembangunan industri di Indonesia? 2. Bagaimana dampak industri terhadap kehidupan sosial budaya di suatu wilayah? 3. Mengapa dilakukan klasterin atau pemusatan kegiatan industri? 4. Bagaimana kaitan antara pembangunan/pengembangan industri dengan kemiskinan? 5. Susun satu strategi penempatan lokasi industri yang mengoptimalkan keuntungan!

Jawab 1. Persaingan di era globalisasi mengarah pada semakin ketatnya persaingan di sektor

industri. Daya saing tidak lagi dikatakan oleh keberadaan kekayaan alam, modal/asset berwujud melainkan juga berdasrkan kemampuan untuk melaksanakan perencanaan yang matang, penguasaan pengetahuan dan teknologi dan pola, metode serta proses kerja yang berdaya dan berhasil guna. Karenanya pengembangan pembangunan industri nasional perlu memperhatikan dimensi pembangunan inovasi manajemen dan teknologi, pembangunan infrastruktur ekonomi dan peningkatan kualitas SDM secara terpadu dengan komitmen seluruh pemangku kepentingan di sektor industri. Dengan demikian industri nasional kita mapu menawarkan produk yang berdaya saing tinggi, baik dari segi harga, kualitas, teknologi dan inovasi. Pembangunan industri kita menerapkan pendekatan resources based yang megedepankan pengmbangan kompetensi inti (core competency), arah kebijakan sektor industri Indonesia adalah untuk mengembangkan dan memperkuat klaster industri yang menitikberatkan pada pengembangan industri kecil dan menengah, melalui pengembanganb kompetensi inti yang ada di daerah. Pembangunan perananan industri kecil dan menengah IKM di sektor industri meupun dalam perekonomian nasional perlu dilakukan dengan memperkenalkan kondisi actual serta

mengantisipasi perkembangan ke depan. Ada beberapa langkah strategi pengembangan Industri: a. Perkuatan program yang meliputi perkuatan program pengembangan 6 klaster IKM,

program pengembangan IKM pendukung 10 klaster industri prioritas dan industri andalan masa depan, program pengembangan IKM berbasis komoditi unggulan daerah, program pengembangan IKM di daerah tertinggal, perbatasan, pasca konflik dan bencana, program pendukung dan program pemecahan masalah actual. b. Perkuat SDM yang dilaksanaan bagi aparat Pembina/tenaga penyuluh perindustrian maupun para pengusaha IKM melalui pemberian pelatihan manajemen dan teknik, magang, pendampingan bagiperusahaan IKM oleh konsultan, penciptaan konsultan diagnosis IKM, seminar, workshop dan studi banding. c. Perkuatan kelembaagaan yang dilaksanakan melalui pembentukan unit pendampingan

langsung UPL IKM di setiap provinsi, kabupaten/kota, di Indonesia. d. Perlakuan operasional pendampingan perusahaan dan sentra IKM melalui penyediaan

sarana dan dana operasional UPL IKM untuk pendampingan langsung perusahaan dan sentra IKM oleh enagaPenyuluh Perindustrian, penggunaan pihak ketiga dalam pendampingan perusahaan dan sentra IKM. e. Perluasaan jejaring kerja melalui: (1) pembentukan forumklaster pada tingkat pusat,

provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan sentra IKM di desa-desa; (2) produktivitas, teknologi pemanfaatan tenaga ahli baik dalam maupun luar negeri di bidang desain dan mutu; (3) kerjasama dengan lembaga, perguruan tinggi, lembaga konsultasi, LSM dan lain-lain; (4) fasilitasi aliasi strategis antar pengusaha/asosiasi IKM dengan mitranya di dalam dan di luar negeri serta lembaga lainnya di luar dalam peningkatan bisnis dan daya saing. f. Perkuatan anggaran untuk pembinaan IKM melalui pemanfaatan dana dari dalam meupun luar negeri dalam hal ini termasuk menggali dan memfasilitasi sumber-sumber pembiayaan (investasi dan modal kerja) bagi perusahaan-perusahaan IKM serta kemudahan akses kepada sumber-sumber pembiayaan tersebut (perbankan dan Non Bank)

2. Di bidang sosial, industri dapat membawa perubahan dalam stratifikasi sosial dan

interaksi sosial hal ini juga akan berpengaruh terhadap budayanya. Dampak industri terhadap kehidupan sosial budaya yang disebut sebagai dampak psikososioekonomi, dampak tersebut antara lain: a. Urbanisasi • Karena daya tarik industri: masyarakat desa yang semula bekerja di bidang pertanian berpindah bekerja di daerah industri. • Karena tidak berbekal keahlian yang memadai, maka hanya bisa menjadi tenaga kerja atau buruh kasar • Sebagai tenaga kasar, gajinya pas-pasan, dan hanya cukup untuk menyambung hidup. • Tempat tinggal juga seadanya, sehingga penataan tempat tinggal dan lingkungan juga seadanya, mengakibatkan lingkungan kumuh, kotor, tidak sedap dipandang, sehingga kualitas lingkungan hidup dan kenyamanan menurun. • Perpindahan masyarakat dari desa ke industri, mengakibatkan jumlah petani

menjadi berkurang, sehingga hasil panen juga berkurang, dan akhirnya masyarakat kekurangan stok bahan pangan. Di sisi lain kegiatan import beras merugikan kaum petani yang ada. Tetapi yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan yang diperlukan. b. Perilaku • Saat masih tinggal di desa: hidup saling tolong menolong, gotong royong, hubungan satu dengan yang lain terjalin dengan baik. Suasana tenang dan damai di daerah pinggiran menjadikan manusia hidup tenteram, dan tidak diburu-buru waktu. • Setelah pindah ke kota: suasana kota yang selalu dikejar waktu, hiruk pikuk,

bising, serta pemandangan alam yang tidak hijau lagi, menyebabkan manusia menjadi stres dan tegang. Sehingga perilaku manusia yang semula ramah bersahabat menjadi kasar, acuh tak acuh dan sangat individualisme. c. Kriminalitas • Kegiatan industri dan teknologi di pabrik memerlukan tenaga keahlian secara

khusus. Sehingga tenaga kerja yang tidak punya ijasah atau keahlian khusus sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan dengan layak.

• Di sisi lain, masyarakat kota yang sangat konsumtif, memberikan gambaran bahwa hidup itu serba enak dan mudah. • Sementara pencari kerja tidak tahan banting/survive dan tiak mau bekerja keras. Yang diinginkan hanyalah kerja ringan tetapi bisa hidup mewah dan bersenangsenang. • Sehingga mereka sering mengambil jalan pintas, untuk menda-patkan uang (tanpa

harus bekerja keras) dengan jalan tindak kriminal seperti pencurian, perampokan, penodongan dan pemer-kosaan yang mewarnai kehidupan masyarakat industri. Akhirnya angka kriminalitas menjadi naik. d. Sosial Budaya Orang yang bekerja dalam bidang industri umumnya dibatasi waktu yang sangat ketat untuk mengejar jumlah omzet. • Untuk mempercepat hasil produksi, para pekerja industri kadang diwajibkan

lembur atau kerja giliran. Sehingga pekerja menjadi cepat stres dan jenuh. Ketegangan jiwa (stres) ini, dapat berlanjut menjadi hipertensi, sakit jantung atau penyakit lain, yang sering disebut sebagai environmental desease. • Untuk menurunkan stres, sebagian orang sering menghibur diri di diskotik, kafe, atau hanya melihat dangdut, pertunjukan ronggeng atau membeli nomor undian Togel dan lainnya. • Sering pula untuk mengurangi ketegangan, dengan cara minum minuman keras, yang berlanjut pada kekerasan. • Pertunjukan di Televisi, live show juga seringkali tidak sesuai dengan budaya dan

menjurus ke arah pornografi, yang akhirnya sampai ke arah prostitusi. Sehingga mau tidak mau dengan berkembangnya tempat-tempat hiburan tersebut, akan berdampak pada sosial budaya masyarakat sekitarnya Sedangkan di bidang ekonomi, industri menyediakan lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian yang notabennya adalah lapangan pekerjaan yang tersedia di Indonesia yang sebagai negara agraris sehingga mampu menaikkan taraf hidup masyarakat.

3. Klaster industri adalah pengelompokkan industri inti yang saling berhubungan baik

dengan industri terkait (related industries), industri pendukung (supporting industries) maupun jasa penunjang, infrastruktur ekonomi dan lembaga terkait dalam rangka meningkatkan efisiensi, menciptakan asset secara kolektif dan mendorong inovasi. Ada 5 kelompok klaster industri yaitu kelompok industri agro, kelompok industri alat angkut, kelompok industri telematika, kelompok basis industri manufaktur dan kelompok industri kecil dan menengahtertentu. Pola pengembangan industri prioritas ditekankan pada pendalaman (deepening) dan perluasan (widening). Menurut Perroux pemusatan ndustri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan perekonomian, karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di daerah tersebut akan mempengaruhi perkembangan daerah lainnya. Pada hakekatnya perroux mengatakan bahwa, ditinjau dari aspek lokasinya, pembangunan ekonomi daerah adalah tidak merata dan cenderung terjadi proses aglomerasi (pemusatan) pada pusat-pusat pertumbuhan. terjadinya aglomerasi (pemusatan) industri tersebut mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu yaitu keuntungan skala ekonomis (usaha dalam jumlah besar) dan keuntungan penghematan biaya. keuntungan skala ekonomis ini dapat dibagi menjadi: • Keuntungan internal perusahaan, Keuntungan ini timbul karena ada faktor-faktor produksi yang tidak dapat dibagi yang hanya dapat diperoleh dalam jumlah tertentu. Kalau dipakai dalam jumlah yang leih banyak, biaya produksi per unit akan lebih rendah dibandingkan jika dipakai dalam jumlah yang lebih sedikit. • Keuntungan lokalisasi Keuntungan ini berhubungan dengan sumber bahan baku atau fasilitas sumber. Artinya dengan menumpuknya industri, maka setiap industri merupakan sumber atau pasar bagi industri lain. • Keuntungan eksteren Artinya aglomerasi beberapa industri dalam suatu daerah akan mengakibatkan banyak tenaga yang tersedia tanpa membutuhkan latihan khusus untuk suatu pekerjaan tertentu dan semakin mudah memperoleh tenaga-tenaga yang berbakat jadi manajer. Di samping

itu aglomerasi tersebut juga akan mendorong didirikannya perusahaan jasa pelayanan masyarakat yang sangat diperlukan oleh industri, misalnya listrik, air minum, perbankan dalam skala yang lebih besar. Oleh karena dibangun dalam skala yang besar, maka biaya dapat ditekan lebih rendah. Di antara beberapa hal yang sebenarnya sangat mendasar dalam konsep klaster industri dan membedakan satu konsep dengan konsep lainnya adalah dimensi/aspek rantai nilai (value chain). Dengan pertimbangan dimensi rantai nilai, secara umum terdapat dua pendekatan klaster industri dalam literatur, yaitu: a. Beberapa literatur, terutama yang berkembang terlebih dahulu dan lebih menyoroti aspek aglomerasi, merupakan pendekatan berdasarkan pada (menekankan pada) aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam hal ini misalnya, sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya yang mempunyai “keserupaan” aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster industri; b. Beberapa literatur yang berkembang dewasa ini, termasuk yang ditekankan oleh Porter, merupakan pendekatan yang lebih menyoroti “keterkaitan” (interdependency) atau rantai nilai sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam pandangan ini, sentra industri/ bisnis dan/atau industrial district pada dasarnya merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu klaster industri. Pendekatan rantai nilai dinilai “lebih sesuai” terutama dalam konteks peningkatan daya saing, pengembangan sistem inovasi (nasional/daerah), prakarsa pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan/teknologi atau tema sejenisnya, dan bukan “sekedar” upaya memperoleh “ekonomi aglomerasi” karena terkonsentrasinya aktivitas bisnis yang serupa. Ada 6 teori yang melatar belakangi terjadinya kalster industry. Bergman dan Feser (1999) mengungkapkan bahwa setidaknya ada 5 (lima) konsep teoritis utama yang mendukung literatur tentang klaster industri daerah, yaitu: external economies, lingkungan inovasi, persaingan atau kompetisi kooperatif (cooperative competition), persaingan antar industri (interfirm rivalry), dan path dependence. Selain itu, pendekatan yang keenam adalah yang dikenal dengan efisiensi kolektif (collective efficiency).

a. Eksternalitas Ekonomi Secara umum ada dua pendekatan konseptual dalam literatur untuk memahami manfaat terkonsentrasinya perusahaan dalam ruang geografis tertentu, yaitu: • Teori lokasi industri (yang bertumpu pada karya Weber dan Hoover di tahun 1930-an), di mana manfaat yang diperoleh sering disebut ekonomi aglomerasi, dan • Teori Marshal yang diawali analisis eksternalitas ekonomi dan kehadirannya dalam “kawasan industri (industrial district)” Keduanya lebih menekankan pada eksternalitas statik atau dinamik (dari sumber eksternalitas tersebut), dan tidak memberikan perhatian khusus pada perbedaan antara eksternalitas keuangan atau teknologis. Teori lokasi industri Weber mengidentifikasi ekonomi aglomerasi, yaitu penghematan biaya yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan akibat dari meningkatnya konsentrasi secara spasial, sebagai salah satu dari tiga sebab utama pengelompokan spasial atau aglomerasi. Sebab-sebab tersebut merupakan eksternalitas ekonomi yang bersifat internal. Hoover selanjutnya memperkenalkan ekonomi lokalisasi dan urbanisasi. Belakangan penekanan atas keuntungan dari jarak kedekatan (proximity) antar perusahaan, ketersediaan dan penggunaan fasilitas perbaikan yang terspesialisasi, infrastruktur bersama, berkurangnya risiko dan ketidakpastian bagi para wirausahawan, dan informasi yang lebih baik, diidentifikasi sebagai faktor penting dari aglomerasi. Sementara itu, teori Marshall mendefinisikan eksternalitas ekonomi sebagai penghematan biaya bagi perusahaan karena ukuran atau pertumbuhan output dalam industri secara umum. Eksternalitas ekonomi yang bersifat eksternal ini merupakan eksternalitas spasial, yaitu dampak samping ekonomi dari kedekatan jarak antara para pelaku ekonomi.

Bentuknya bisa bersifat positif atau negatif, statik ataupun dinamik, keuangan ataupun teknologis. Faktor statik bersifat dua arah (peningkatan atau pengurangan), sementara yang dinamik adalah yang berkaitan dengan kemajuan teknologi, meningkatnya spesialisasi, dan pembagian kerja yang menyertai atau mendorong pertumbuhan dan pembangunan. Krugman (1991) menelaah lokalisasi produksi industri dan mengidentifikasi tiga alasan lokalisasi tersebut, yaitu: •

Penghimpunan pasar tenaga kerja (labour market pooling) : konsentrasi sektoral and geografis menciptakan sehimpunan keterampilan yang terspesialisasi yang menguntungkan baik bagi tenaga kerja maupun perusahaan.



Input antara (intermediate inputs) : klaster perusahaan memungkinkan adanya dukungan dari pemasok input dan jasa-jasa yang lebih terspesialisasi.



Spillover teknologi (technological spillovers) : “klasterisasi/pengklasteran” memfasilitasi difusi know how dan gagasan secara cepat.

Dalam konteks eksternalitas ekonomi statik, perusahaan umumnya cenderung mengelompok dengan perusahaan lain yang erat dengan kepentingannya. Seperti disampaikan oleh Bergman dan Feser (1999), studi klaster industri sangat berkepentingan dengan eksternalitas ekonomi dinamik, terutama yang berkaitan dengan pembelajaran (learning), inovasi, dan meningkatnya spesialisasi. Dalam konteks ini Marshall merujuk keuntungan dari suatu “kawasan” (district) yang dapat dinikmati perusahaan akibat dari ketersediaan tenaga kerja terampil, kesempatan yang lebih baik untuk berspesialisasi intensif, dan difusi informasi dan pengetahuan yang bersifat spesifik industri (knowledge spillover). Di balik dinamika tersebut bukanlah semata ukuran “kawasan,” tetapi juga faktor sosial, kultural dan politis, termasuk rasa saling-percaya (trust), kebiasaan bisnis, ikatan sosial, dan pertimbangan kelembagaan lainnya. Analisis Marshall ini memberikan pemahaman awal tentang bagaimana hubungan bisnis pada tingkat mikro dapat mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan daerah, dan berkaitan dengan pemikiran Porter tentang faktor struktur, strategi dan persaingan perusahaan dalam analisisnya. b. Lingkungan Inovasi Sebagaimana disampaikan oleh Roelandt dan den Hertog (1999, h.1), dalam perkembangan teori inovasi, perilaku dan aliansi strategis antar perusahaan, dan interaksi

serta pertukaran pengetahuan antara perusahaan, lembaga-lembaga riset, perguruan tinggi dan lembaga lainnya telah menjadi “pusat” dari analisis proses inovasi. Inovasi dan peningkatan (upgrading) kapasitas produktif dipandang sebagai suatu proses sosial yang dinamis yang acapkali berhasil berkembang dalam suatu jaringan di mana interaksi intensif terjadi antara pelaku yang “menghasilkan/menyediakan” pengetahuan dan pelaku yang “membeli dan menggunakan” pengetahuan. Sehubungan dengan itu, klaster industri sering dinilai sebagai alat kebijakan yang penting yang terkait dengan sistem inovasi nasional.[1] Pandangan Lundvall (1992) tentang sistem inovasi nasional menekankan pentingnya kapabilitas pembelajaran (learning capability) dari perusahaan, lembaga-lembaga dan masyarakat pengetahuan. Klaster dan jaringan industri akan berperan sebagai mekanisme bagi pertukaran pengetahuan dan informasi, terutama bagi elemen terpentingnya yang justru (dipandang) sebagai bagian yang tak “terkodifikasi (codified)” atau bersifat tacit (lekat dengan orang dan/ atau kelembagaan). Pengetahuan yang tacit semakin penting seiring dengan cepatnya perubahan lingkungan ekonomi global. Pertukaran pengetahuan demikian terjadi antar multipihak, termasuk lembaga non bisnis. Karakteristik lingkungan setempat (daerah) yang mendukung terjadi interaksi multipihak untuk pertukaran pengetahuan dan informasi demikin akan memiliki keunggulan bagi perkembangan inovasi dibanding dengan daerah lainnya yang tidak. Seperti misalnya diungkapkan Saxenian (1994), bahwa perbedaan yang terjadi antara Silicon Valley dan Route 128 adalah akibat faktor modal sosial. Pandangan lain tentang ini adalah “teori” tentang “lingkungan inovatif (innovative milieu)” Maillat (lihat misalnya Fromhold-Eisebith, 2002). Lingkungan (milieu) lebih merupakan tatanan yang mampu memprakarsai suatu proses sinergis. Pendekatan innovative/creative milieu mengasumsikan suatu endowment (anugerah) kelembagaan daerah yang baik dalam bentuk perguruan tinggi, laboratorium riset, lembaga-lembaga pendukung publik, beberapa perusahaan dan faktor lainnya sebagai prasyarat perlu, berfokus pada kekuatan-kekuatan utama yang mendorong lembaga-lembaga tersebut benar-benar berinteraksi dan terkoordinasi sedemikian sehingga membawa kepada hasil yang positif di daerah, utamanya perusahaan-perusahaan yang inovatif.

Seperti dikutip oleh Fromhold-Eisebith (2002) dari Camagni (1991), GREMI (the Groupe de Recherche Europeen sur les Milieux Innovateurs) mendefinisikan innovative milieu sebagai “sehimpunan atau jaringan komplek terutama dari hubungan-hubungan sosial informal pada suatu area geografis terbatas, yang seringkali menentukan “citra” khusus tertentu di luar (eksternal) dan suatu “perwakilan/representasi” khusus serta rasa kepemilikan (sense of belonging) di dalam (internal), yang meningkatkan kapabilitas inovatif setempat (lokal) melalui proses pembelajaran kolektif dan sinergis. Dalam konsep ini ada tiga elemen utama yang menandai innovative milieu, yaitu: hubungan pelaku yang efektif dalam suatu kerangka daerah; kontak sosial yang meningkatkan proses pembelajaran; dan citra dan rasa memiliki. c. Kompetisi Kooperatif Dalam pandangan ini, perusahaan yang bersaing satu dengan lainnya akan berusaha mencarai cara untuk dapat bekerjasama dalam pengembangan produk ataupun merebut pasar. Pola kerjasama biasanya didasarkan atas kepercayaan, ikatan keluarga, dan tradisi, seperti dijumpai dalam industrial district di Third Italy. Belakangan, keterikatan sosial (social embeddedness) nampaknya banyak melandasi perkembangan konsep tersebut. Fenomena ini nampaknya jarang dijumpai di luar literatur industrial district (Bergman dan Feser, 1999). Di Indonesia pun, fenomena demikian nampaknya lebih mungkin dijumpai di sentra-sentra industri kecil, yang secara historis telah berkembang lama (turun-temurun dari suatu generasi ke generasi berikut) dan “keterikatan” sosial dan kultural antar pelaku telah menjadi bagian sangat penting dari komunitas sentra. d. Persaingan/Rivalitas (Rivalry) Serupa dengan tema dalam industrial district, konsep ini memandang bahwa persaingan (karena struktur industri dan/ataupun semangat berkompetisi dari perusahaan dalam industri) akan sangat mempengaruhi pembelajaran, inovasi dan kewirausahaan, yang akan membentuk pola perkembangan ekonomi daerah. e. Kompetisi Kooperatif Dalam pandangan ini, perusahaan yang bersaing satu dengan lainnya akan berusaha mencarai cara untuk dapat bekerjasama dalam pengembangan produk ataupun merebut pasar. Pola kerjasama biasanya didasarkan atas kepercayaan, ikatan keluarga, dan tradisi, seperti dijumpai dalam industrial district di Third Italy. Belakangan, keterikatan sosial

(social embeddedness) nampaknya banyak melandasi perkembangan konsep tersebut. Fenomena ini nampaknya jarang dijumpai di luar literatur industrial district (Bergman dan Feser, 1999). Di Indonesia pun, fenomena demikian nampaknya lebih mungkin dijumpai di sentra-sentra industri kecil, yang secara historis telah berkembang lama (turun-temurun dari suatu generasi ke generasi berikut) dan “keterikatan” sosial dan kultural antar pelaku telah menjadi bagian sangat penting dari komunitas sentra. f. Persaingan/Rivalitas (Rivalry) Serupa dengan tema dalam industrial district, konsep ini memandang bahwa persaingan (karena struktur industri dan/ataupun semangat berkompetisi dari perusahaan dalam industri) akan sangat mempengaruhi pembelajaran, inovasi dan kewirausahaan, yang akan membentuk pola perkembangan ekonomi daerah. Jadi pendekatan klaster dalam pengembangan industri bertujuan untuk membangun daya saing industri yang berkelanjutan. dengan memperhatikan keuntungan-keuntungan lain yang diperoleh dari pemusatan kegiatan industri ini. 4. Dari waktu ke waktu industri ini mengalami perkembangan yang semakin maju.

Perkembangan industri ini dipengaruhi oleh faktor pendorong dan faktor penghambat. Faktor pendorongnya meliputi etos kerja masyarakat dan adanya peranan pemerintah. Sedangkan faktor penghambatnya meliputi masalah modal dan masalah dalam pemasaran produksi. Tantangan utama yang dihadapi oleh industri nasional saat ini adalah kecenderungan penurunan daya saing industri di pasar internasional. Penyebabnya antara lain adalah meningkatnya biaya energi, ekonomi biaya tinggi, penyelundupan serta belum memadainya layanan birokrasi. Tantangan berikutnya adalah kelemahan struktural sektor industri itu sendiri, seperti masih lemahnya keterkaitan antar industri, baik antara industri hulu dan hilir maupun antara industri besar dengan industri kecil menengah, belum terbangunnya struktur klaster (industrial cluster) yang saling mendukung, adanya keterbatasan berproduksi barang setengah jadi dan komponen di dalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi, kesenjangan kemampuan ekonomi antar daerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa komoditi tertentu. Tujuan pembangunan industri nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan kelemahan baik di sektor industri maupun untuk mengatasi permasalahan secara nasional, yaitu (1) Meningkatkan penyerapan tenaga

kerja industri; (2) Meningkatkan ekspor Indonesia dan pember-dayaan pasar dalam negeri; (3) Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian; (4) Mendukung perkembangan sektor infrastruktur; (5) Meningkatkan kemampuan teknologi; (6) Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk; dan (7) Meningkatkan penyebaran industri. Berdasarkan pemaparan tentang kemiskinan diatas maka pengembangan industri di suatu wilayah dapat menimbulkan masalah baru salah satunya adalah kemiskinan. Hubungan antara pengembangan industri dengan kemiskinan dapat dijelaskan sebagai berikut. Keberadaan industri mengakibatkan jumlah penduduk migran bertambah, itu menjadi daya tarik tersendiri bagi pendatang. Kondisi itu akan berpotensi meningkatnya jumlah kemiskinan. Pengembangan industri di suatu wilayah tentunya membutuhkan sumberdaya manusia yang berkompeten di bidangnya dan sesuai dengan industri yang akan dikembangkan. Sumberdaya yang kompeten ini berdatangan dari wilayah lain yang tertarik terhadap lapangan pekerjaan pekerjaan tersebut, sehingga menimbulkan arus urban ke wilayah pengembangan industri menjadi meningkat. Peningkatan urban tentunya merupakan maslah utama masyarakat yang berada di sekitar kawasan pengembangan industri yang kurang memiliki kompetensi. karena masyarakat tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja dan terlibat langsung dalam kegiatan industri tersebut. Hal ini akan berdampak terhadap pendapatan yang diterima oleh masyarakat. yang dapat menimbulkan kemiskinan relatif. 5. Industri untuk mengoptimalkan keuntungan memiliki peran penting untuk keberlanjutan

industri yang dikembangkan. pada prinsipnya tidak ada sebuah teori tunggal yang bisa menetapkan di mana lokasi suatu kegiatan produksi (industri) itu sebaiknya dipilih. Untuk menetapkan lokasi suatu industri (skala besar) secara komprehensif diperlukan gabungan dari berbagai pengetahuan dan disiplin. Berbagai faktor yang ikut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi, antara lain ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal, dan aksesibilitas dari tempat produksi ke wilayah pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran ke luar negeri), stabilitas politik suatu negara dan, kebijakan daerah (peraturan daerah). Tujuan utama teori lokasi adalah untuk mendapatkan lokasi industri optimum. Melihat kenyataan tersebut, maka tulisan ini akan mencoba menyusun suatu strategi penetapan lokasi

industri untuk mengoptimalkan keuntungan. Tetapi pada strategi ini dikhusukan untuk industri kecil yang berbahan baku pertanian. Dengan pertimbangan bahwa .pentingnya pengembangan industri kecil adalah potensi alamiahnya yang besar dalam memberi andil bagi penyelesaian masalah kesempatan kerja. selain itu industri kecil memberi akses untuk bergerak pada dimensi pengembangan usaha yang ditopang sumber-sumber bahan pertanian dan bahan lokal lainnya, dengan target pemasaran yang umumnya berada dalam lingkup domestik yang terbatas. Atas dasar ini modal yang digunakan relatif tidak seberapa, sehingga akan memberi peluang kepada para pengusaha kecil untuk mendirikan unit-unit usaha dengan kadar kecanggihan teknik produksi yang mudah terjangkau. Dalam jangka panjang peranan industri kecil diharapkan sebagai basis bagi suatu kemandirian pembangunan ekonomi, karena diusahakan oleh pengusaha dalam negeri serta proses produksinya dengan kandungan impor yang rendah. Pendekatan teoritis yang sering digunakan dalam penentuan lokasi industri optimum adalah Pendekatan Neoklasik, seperti pendekatan Least Cost Location yang ditawarkan oleh Weber dan pendekatan Maximum Revenue Location oleh Lusch. Kesemuanya menunjukkan bahwa pendekatan yang menggunkan model biaya variabel dapat dioperasionalkan dalam bentuk biaya komparatif pada beberapa jenis industri yang memiliki struktur input sangat sederhana. Tentunya penetapan lokasi ini juga memperhatikan kebijakan dan startegi pembangunan industri di Indonesia. Dimana seperti yang sudah dijelaskan bahwa strategi pembangunan industri Indonesia adalah melalui pendekatan Klaster (pemusatan) kegiatan industri. Pemusatan kegiatan industri ini memiliki keuntungan seperti yang telah dijabarkan pada soal no.3 yaitu dari keuntungan ekonomis dan kemudahan transportasi. Menurut teori lokasi sentral dari christaller. bahwa penerapan lokasi sentral mempertimbangkan nilai ekonomis dan geometrik. Menurut Marhadi, 1999. penentuan persebaran sekolah merupakan suatu contoh untuk memahami teori sentral sebagai suatu sistem organisasi lokasi sentral. sekolah dasar terdapat di pusat lokasi sentral di tingkat paling rendah yang melayani kebutuhan hanya sebagian kecil di wilayah perkotaan dan komunitas pedesaan. jumlah untuk SD banyak tetapi wilayah komplementernya terbatas. tingkat di atas pusat lokasi terendah ini terdapat pusat pelyanan pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMP, SMA dan Perguruan tinggi.semakin naik ke jenjang

lebih tinggi, jumlah pusat pelayanan pendidikan ini semakin menjadi kecil, tetapi wilayah komplementernya semakin meluas. Untuk penetapan lokasi industri kecil ini juga memperhatikan teori Weber bahwa prinsipnya penentuan lokasi ditempatkan di tempat-tempat yang resiko biaya atau ongkosnya paling murah atau minimal (least cost location). jadi ada tiga kemungkinan lokasi industri diletakan yang dekat dengan bahan baku, lokasi diletakkan di dekat pasar atau lokasi industri diletakkan di tengah-tengah antara lokasi pasar dan bahan baku. Pendekatan biaya komparatif merupakan kerangka yang sesuai untuk mneilai mobilitas industri. mobilitas industri merupakan persoalan kritis dalam perencanaan penyebaran industri dan dalam pelaksanaan stimulasi buatan bagi pertumbuhan ekonomi. selain pendekatan neoklasik seperti yang telah disajikan diatas, dalam perkembangan selanjutnya muncul pendekatan untuk pengambilan keputusan tentang lokasi industri yang disebut sebagai pendekatan perilaku (behavioral approach). pendekatan ini ditawarkan oleh geograf Allen pred (daldjoeni,1998, p.180). Pred menyusun matriks periolaku yang berguna untuk menganalisis pengambilan keputusan atas berbagai alternatif lokasi. dalam hal ini pengambilan keputusan tentang lokasi dianggap merupakan fungsi dari dua hal, yaitu(1) kualitas dan kuantitas informasi yang dapat diamati oleh seseorang dan (2) kecakapan seseorang dalam memanfaatkan informasi tersebut. seorang pengusaha yang berbekal kecakapan tinggi namun emmiliki informasi yang terbatas akan memilih lokasi industri yang berbeda jika dibandingkan dengan orang lain yang memiliki banyak informasi tetapi kecakapannya terbatas. dalam jangka panjang, para pengambil keputusan lokasi industri diperkirakan akan semakin cakap menggunakan informasi. Menurut Yusak Maryunianta, 2005 menjelaskan bahwa startegi yang cocok untuk penetapan lokasi industri optimal adalah Kompleks Produksi Teritorial (KPT). Bandman dalam Smith dalam Yusak (2005:12) KPT diartikan sebagai: suatu kesatuan yang diciptakan sesuai dengan kerangka perencanaan pembangunan sektor-sektor ekonomi nasional (seperti industri, pertanian, konstruksi, tarnsportasi dan sektor non produktif)yang berkelanjutan dan berkesinambungan yang dibangun untuk memecahkan salah satu atau beberapa persoalan utama ekonomi nasional, yang dikonsentrasikan dalam wilayah relatif terbatasdan kompak, yang memiliki jenis dan cadangan sumberdaya yang memungkinkan KPT dapat berperan memecahkan permasalahan nasional berskala besar. sehingga

pemanfaatan sumberdaya lokal dan sumberdaya impor dapat lebih mudah dan aktifitas didalamnya dilayani oleh infrastruktur secara bersamaan. berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa KPT bukan sesuatu yang muncul secara spontan, tetapi merupakan pengembangan sumberdaya pada suatu wilayah tertentu. Efisiensi produksi material dan alokasi angkatan kerja pada KPT dipengaruhi oleh pengembangan infrastruktur. Infrastruktur yang dimaksud meliputi infrastruktur produktif seperti jalan kereta api dan jaringan transmisi listrik; infrastruktur sosial seperti transportasi publik, sekolah, rumah sakit dan perumahan; unsur institusional seperti organisasi, lembaga penelitian dan lembaga otorita. Penduduk merupakan kekuatan produktif yang paling penting dalam KPT, Oleh karena itu perhatian khusus diberikan kepada indeks kualitas hidup dalam rangka pemanfaatan tenaga kerja lokal secara maksimum dan mengurangi pengeluaran akibat pemakaian tenaga kerja dari luar wilayah. perencanaan KPT untuk aspek ini berkaitan erat dengan pengembangan pemukiman. Sumberdaya lokal sangat menentukan proses penciptaan produk spesifik dan struktur spasial KPT. Perhatian besar pada pelestarian lingkungan didasari oleh prinsip bahwa lingkungan bukan hanya faktor eksternal bagi produksi dan penduduk, tetapi juga merupakan unsur penting kompleks produksi yang berpengaruh terhadap pembangunan dan lokasi produksi atau sebaliknya dipengaruhi oleh kegiatan produksi dan kegiatan manusia lainnya. Kompleksitas berbagai komponen dan saling keterkaitan yang ada pada KPT merupakan permasalahan optimasi yang dibagi kedalam beberapa tahapan, setiap tahapan diformulasikan kedalam rangkaian model matematis. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa KPT merupakan salah satu bentuk pemusatan industri yang dilihat dari sisi input berorientasi pada keuntungan komparatif wilayah yang bersangkutan, sedangkan dari sisi output berorientasi pada permintaan nasional. KPT tidak hanya menyangkut kegiatan industri dan pertanian tetapi hampir segala segi penghidupan seperti pemukiman, kesejahteraan sosial dan kelembagaan. Dalam batas tertentu KPT juga merupakan kompleks produksi yang mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 2007. Industri Indonesia Catatan 2006. Jakarta: Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Marhadi, SK. 1999. Teori Lokasi Sentral dan Penerapannya. jurnal IPS Vol 1-2 hal. 170181. Maryunianta, Yusak. 2005. Strategi Spasial Dalam Pengembangan Industri. Universitas Sumatera Utara: Fakultas Pertanian. Taupik, Tatang. 2008. Pemikiran di Balik Klaster Industri. Online diakses di http://klaster-industri.blogspot.com/2008/12/pemikiran-di-balik-klaster-industri.html pada tanggal 25 Nopember 2009. Wahyuni, Rini. _____. Pengaruh industri kecil konveksi terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Tangkisan Kecamatan Tawangsari Kabupaten Sukoharjo tahun 1985 – 2000. Online di akses http://pengaruh-industri-kecil-konveksi-sosialekonomi.html pada tanggal 25 Nopember 2009.

Related Documents

Take Home
November 2019 30
Take Home
June 2020 19
Take Home Profesi.docx
December 2019 16
Take Home Exam Cover.docx
December 2019 40
Physics Take Home Test
April 2020 21