PROPOSAL TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULUS PERSEPSI
Disusun Oleh : 1. Itsna Khoirunnisa 2. Faiqotul Maula 3. Selly Martha P
( 070118A027) ( 070118A016) ( 070118A064 )
PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO 2018
BAB I
A. Latar Belakang Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart, 2009). Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan,dan menarik (Yusuf, 2015). Semua kondisi ini akan memengaruhi dinamika kelompok, ketika anggota kelompok member dan menerima umpan balik yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok (Yosep, 2013). Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada kelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi dan kelompok digunakan sebagai target asuhan. Di dalam kelompok terjadi dinamika interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan, dan menjadi laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku lama yang maladaptif (Yusuf, 2015). Tindakan keperawatan yang ditujukan pada sistem klien, baik secara individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat merupakan upaya menyeluruh dalam menyelesaikan masalah klien. Terapi aktivitas kelompok merupakan terapi modalitas keperawatan untuk ditujukan pada kelompok klien dengan masalah yang sama. Terapi aktivitas kelompok yang dikembangkan adalah sosialisasi, stimulasi persepsi, stimulasi sensori, dan orientasi realita (Yosep, 2013). Pada pasien gangguan jiwa dengan kasus Schizoprenia selalu diikuti dengan gangguan persepsi sensori; halusinasi. Terjadinya halusinasi dapat menyebabkan klien menjadi menarik diri terhadap lingkungan sosialnya, hanyut dengan kesendirian dan halusinasinya sehingga semakin jauh dari sosialisasi dengan lingkungan disekitarnya. Atas dasar tersebut, maka kami menganggap dengan Therapy Aktivitas Kelompok (TAK) klien dengan gangguan persepsi sensori dapat tertolong dalam hal sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, tentu saja klien yang mengikuti therapy ini adalah klien yang sudah mampu mengontrol dirinya dari halusinasi sehingga pada saat TAK klien dapat bekerjasama dan tidak mengganggu anggota kelompok yang lain (Stuart, 2009). B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Definisi Halusinasi? 2. Bagaimana Tanda dan Gejala Halusinasi? 3. Bagaimana Jenis-Jenis Halusinasi? 4. Bagaimana Penyebab Halusinasi?
5. Bagaimana Psikopatologi Halusinasi? 6. Bagaimana Pohon Masalah Halusinasi? 7. Bagaimana Rentang Respon Halusinasi? 8. Bagaimana Definisi Terapi Aktivitas Kelompok? 9. Bagaimana Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok? 10. Bagaimana TujuanTerapi Aktivitas Kelompok? 11. Bagaimana Dampak Terapi Aktivitas Kelompok? 12. Bagaimana Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Aktivitas Kelompok? 13. Bagaimana Komponen dari Terapi Aktivitas Kelompok? 14. Bagaimana Proses Terapi Aktivitas Kelompok? 15. Bagaimana Tahapan Terapi Aktivitas Kelompok? 16. Bagaimana Macam-MacamTerapi Aktivitas Kelompok? C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui Tentang Definisi Halusinasi? 2. Mengetahui Tentang Tanda dan Gejala Halusinasi? 3. Mengetahui Tentang Jenis-Jenis Halusinasi? 4. Mengetahui Tentang Penyebab Halusinasi? 5. Mengetahui Tentang Psikopatologi Halusinasi? 6. Mengetahui Tentang Pohon Masalah Halusinasi? 7. Mengetahui Tentang Rentang Respon Halusinasi? 8. Mengetahui Tentang Definisi Terapi Aktivitas Kelompok? 9. Mengetahui Tentang Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok? 10. Mengetahui Tentang TujuanTerapi Aktivitas Kelompok? 11. Mengetahui Tentang Dampak Terapi Aktivitas Kelompok? 12. Mengetahui Tentang Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Aktivitas Kelompok? 13. Mengetahui Tentang Komponen dari Terapi Aktivitas Kelompok? 14. Mengetahui Tentang Proses Terapi Aktivitas Kelompok? 15. Mengetahui Tentang Tahapan Terapi Aktivitas Kelompok? 16. Mengetahui Tentang Macam-MacamTerapi Aktivitas Kelompok? BAB II A. Pengertian 1. Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi: proses penerimaan rangsang (Stuart, 2009). 2. Halusinasi adalah penyerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indra sesorang pasien yang terjadi dalam keadaan sadar atau bangun, dasarnya mungkin organik, psikotik ataupun histerik. Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Setyoadi, 2011). 3. Perubahan persepsi sensori ditandai oleh adanya halusinasi. Beberapa pengertian mengenai halusinasi di bawah ini dikemukakan oleh beberapa ahli:
4. Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Yosep, 2013). 5. Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera tersebut (Yusuf, 2015). 6. Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien gangguan jiwa mengalami perubahan dalam hal orientasi realitas. Salah satu manifestasi yang muncul adalah halusinasi yang membuat pasien tidak dapat menjalankan pemenuhan dalam kehidupan sehari-hari. B. Tanda dan Gejala Gejala dan tanda seseorang yang mengalami halusinasi, menurut (Yusuf, 2015) : 1. Tahap 1 (comforting) a. Tertawa tidak sesuai dengan situasi. b. Menggerakkan bibir tanpa bicara. c. Bicara lambat. d. Diam dan pikiranya dipenuhi pikiran yang menyenangkan. 2. Tahap 2 (condemning) a. Cemas. b. Konsentrasi menurun. c. Ketidakmampuan membedakan realita. 3. Tahap 3 a. Pasien cenderung mengikuti halusinasi. b. Kesulitan berhubungan dengan orang lain. c. Perhatian dan konsentrasi menurun. d. Afek labil. e. Kecemasan berat ( berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk) 4. Tahap 4 (controlling) a. Pasien mengikuti halusinasi b. Pasien tidak mampu mengendalikan diri c. Tidak mampu mengikuti perintah nyata d. Beresiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. C. Jenis-jenis Halusinasi (Yusuf, 2015). Jenis Halusinasi D a t a O b j e k t i f Data Subjektif H a l u s i n a s i D e n g a r - Bicara atau tertawa - Mendengar suara-suara atau (klien mendengar suara -
sendiri. Marah-marah tanpa sebab. -
kegaduhan. Mendengar suara yang
atau bunyi yang tidak ada -
Mendekatkan
hubungannya
arah tertentu. Menutup telinga
dengan
stimulus yang nyata atau
-
telinga
ke
mengajak -
bercakap-
cakap. Mendengar
menyuruh melakukan
lingkungan)
sesuatu Halusinasi penglihatan -
Menunjuk-nunjuk
(klien melihat gambaran
tertentu. Ketakutan
yang jelas atau samar
-
nyata
pada
ke
arah-
yang
berbahaya Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, kartun, melihat hantu, atau monster.
sesuatu
yang tidak jelas
terhadap adanya stimulus yang
suara
dari
lingkungan dan orang lain tidak melihatnya). Halusinasi penciuma n -
Mengendus-endus seperti sedang membaui bau-bauan-
(klien mencium suatu bau yang muncul dari sumber
tertentu. Menutup hidung
-
Membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, dan terkadang bau-bau tersebut menyenangkan bagi klien.
tertentu tanpa stimulus yang nyata) Halusinasi pengecapan
-
Sering
-
meludah. Muntah
(klien merasakan sesuatu yang
tidak
nyata,
-
Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses.
-
Mengatakan ada serangga di permukaan
-
kulit . Merasa
biasanya merasakan rasa makanan
yang
tidak
enak) H a l u s i n a s i p e r a b a a n Menggaruk-garuk permukaan kulit. (klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa ada stimulus yang nyata) Halusinasi Kinesteti k Memegang kakinya yang dianggapnya bergerak sendiri.
tersengat listrik. -
(klien merasa badannya bergerak
dalam
ruangan
atau
seperti
Mengatakan badannya melayang di udara.
suatu anggota
badannya bergerak). H a l u s i n a s i V i s e r a l Memegang badannya yang dianggapnya berubah bentuk dan tidak normal seperti biasanya. -
Mengatakan perutnya menjadi mengecil setelah minum soft
(perasaan
tertentu
drink.
timbul). D. Penyebab 1. Faktor Predisposisi Menurut Stuart (2009), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah: a. Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut: 1) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik. 2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia. 3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem). b. Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien.Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien. c. Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2. Faktor Presipitasi. Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus
asa dan tidak berdaya.Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Yosep, 2013). Menurut Yusuf (2015), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah: a. Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan. b. Stress lingkungan Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku. c. Sumber koping Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor. 3. Perilaku Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu sebagai berikut. a) Dimensi Fisik Manusia dibangun oleh system indra untuk menanggapi rangsangan eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alcohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. b) Dimensi Emosional Perasaan cemas yang berlebihan karena problem atau masalah yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap ketakutannya. c) Dimensi Intelektual Dimensi intelektual menerangkan bahwa individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien. d) Dimensi Sosial
Dimensi social pada individu yang mengalami halusinasi menunjukkan kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolaholah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi social, control diri, dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan system control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, ,maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau orang lain. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan pada klien yang mengalami halusinasi adalah dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak menyendiri. Jika klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya diharapkan halusinasi tidak terjadi. e) Dimensi Spiritual Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahkluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri hingga proses di atas tidak terjadi. Individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi system control dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya, individu kehilangan control terhadap kehidupan nyata. 4. Sumber Koping Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggunakan sumber koping yang ada di lingkungannya. Sumber koping tersebut dijadikan sebagai modal untuk menyelesaikan masalah. Dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang efektif (Yusuf, 2015). 5. Mekanisme Koping. Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada pengendalian stress, termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan untuk melindungi diri. E. Psikopatologi Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguanpersepsi.Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising ataumendengung, tapi yang paling sering
berupa
kata-kata
yang
tersusun
dalambentuk
kalimat
yang
agak
sempurna.Biasanya kalimat tadi membicarakanmengenai keadaan pasien sendiri atau
yang dialamatkan pada pasien itu,akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu.Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap mendengar atau bicarabicarasendiri atau bibirnya bergerak-gerak. Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teoriyang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik,fisiologik dan lain-lain.Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjagayang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang daridalam tubuh ataupun dari luar tubuh.Input ini akan menginhibisi persepsiyang lebih dari munculnya ke alam sadar. Bila input ini dilemahkan atautidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal ataupatologis,maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconsciousbisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanyakeinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknyakepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadidiproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksternal (Stuart, 2009).
F. Pohon Masalah Resiko perilaku kekerasan
Gangguan persepsi sensori : halusinasi
Isolasi sosial Sumber: Yusuf, 2015 G. Rentang Respon Respon Maladaptif
Respon Adaptif 1. 2. 3. 4.
Pikiran logis Persepsi akurat Emosi konsisten Perilaku sesuai
1. Distorsi pikiran 2. Ilusi 3. Reaksi emosi berlebih atau kurang 4. Perilaku aneh dan
1. Gangguan pikir/delusi 2. Halusinasi 3. Kerusakan proses emosi 4. Perilaku
5. Hubungan sosial Sumber : Yusuf, 2015
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK 1. Definisi. Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart, 2009). Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Yosep, 2013). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal (Setyoadi, 2011).
2. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok (Setyoadi, 2011). Terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat yaitu : A. Umum 1. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan (reality testing) melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain. 2. Membentuk sosialisasi. 3. Meningkatkan fungsi psikologis, yaitu meningkatkan kesadaran tentang hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensive (bertahan terhadap stress) dan adaptasi. 4. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif dan afektif. B. Khusus 1. Meningkatkan identitas diri. 2. Menyalurkan emosi secara konstruktif. 3. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-hari. 4. Bersifat rehabilitatif: meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati, dan meningkatkan kemampuan tentang masalah-masalah kehidupan dan pemecahannya.
3. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok (Yusuf, 2015). Tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci sebagai berikut: A. Tujuan Umum 1. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh pemahaman dan cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan. 2. Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul, berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain. 3. Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak karena merasa diri tidak berharga atau ditolak. 4. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti fungsi kognitif dan afektif. B. Tujuan Khusus 1. Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi diri tentang mengenal dirinya di dalam lingkungannya. 2. Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada
waktu bagi anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan dimengerti oleh anggota kelompok lainnya. 3. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari, terdapat kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling berkomunikasi yang memungkinkan peningkatan hubungan sosial dalam kesehariannya. 4. Dampak Teraupetik Dari Kelompok. Terjadinya interaksi yang diharapkan dalam aktivitas kelompok dapat memberikan dampak yang bermanfaat bagi komponen yang terlibat. Yalom (1985) dalam tulisannya mengenai terapi kelompok telah melaporkan 11 kasus yang terlibat dalam efek terapeutik dari kelompok. Faktor-faktor tersebut adalah : a. Universalitas, klien mulai menyadari bahwa bukan ia sendiri yang mempunyai masalah dan bahwa perjuangannya adalah dengan membagi atau setidaknya dapat dimengerti oleh orang lain. b. Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan menemukan yang lain yang telah dapat maju dengan masalahnya, dan dengan dukungan emosional yang diberikan oleh kelompok lainnya. c. Menanamkan harapan, dapat dialami karena anggota memberikan dukungan satu sama lain dan menyumbangkan ide mereka, bukan hanya menerima ide dari yang lainnya. d. Mungkin terdapat rekapitulasi korektif dari keluarga primer yang untuk kebanyakan klien merupakan suatu masalah atau persoalan. Baik terapis maupun anggota lainnya dapat jadi resepien reaksi tranferensi yang kemudian dapat dilakukan. e. Pengembangan keterampilan sosial lebih jauh dan kemampuan untuk menghubungkan dengan yang lainnya merupakan kemungkinan. Klien dapat memperoleh umpan balik dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan melatih cara baru berinteraksi. f. Pemasukan informasi, dapat dapat berkisar dari memberikan informasi tentang ganguan seseorang terhadap umpan balik langsung tentang perilaku orang dan pengaruhnya terhadap anggota kelompok lainnya. g. Identifikasi, prilaku tiruan (imitative) dan modeling dapat dihasilkan dari terapis atau anggota lainnya memberikan model peran yang baik. h. Kekohesifan kelompok dan pemilikan dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan seseorang. Bila terapi kelompok menimbulkan berkembangnya rasa kesatuan dan persatuan memberi pengaruh kuat dan memberi perasaan memiliki dan menerima yang dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan seseorang.
i. Pengalaman antar pribadi mencakup pentingnya belajar berhubungan antar pribadi, bagaimana memperoleh hubungan yang lebih baik, dan mempunyai pengalaman memperbaiki hubungan menjadi lebih baik. j. Atarsis dan pembagian emosi yang kuat tidak hanya membantu mengurangi ketegangan emosi tetapi juga menguatkan perasaan kedekatan dalam kelompok. k. Pembagian eksisitensial memberikan masukan untuk mengakui keterbatasan seseorang, keterbatasan lainnya, tanggung jawab terhadap diri seseorang (Setyoadi, 2011). 5. Indikasi Dan Kontraindikasi TAK Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Yusuf, 2015) adalah : a. Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic, delusi tak terkontrol, mudah bosan. b. Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas kelompok antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah tidak terlalu gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga bisa kooperatif dan tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok. c. Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi, diagnosis klien dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman relatif setara, sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan masalah yang sama. 6. Komponen Kelompok. Kelompok terdiri dari (Yosep, 2013): a. Struktur kelompok. Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama. b. Besar kelompok. Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi. c. Lamanya sesi.
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan. 7. Proses Terapi Aktivitas Kelompok. Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada terapi individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman dalam psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya dan menyerahkan kepada kelompok (Yusuf, 2015). Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari suatu terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka dihadapkan dengan orang lain (Yusuf, 2015). Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu dan kemudian mempersilakan anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang tidak mampu maka terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud dan tujuan serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan dibicarakan dalam kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis. Terapis sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan sebagai perintah (Yusuf, 2015). Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara. Bloking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang meningkat oleh karenanya terapis perlu mencarikan jalan keluar. Dari keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa klien masih perlu mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara (Yusuf, 2015). Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya kekacauan dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus dengan memberikan penjelasan kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar atau permintaan yang datang dari anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di tanggapi dengan sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula wasit. Terapis
lebih banyak pasif. Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam
suatu
kelompok
tetapi
menghadapi
kelompok
yang
terdiri
dari
individu – individu (Yusuf, 2015). Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk pertemuan berikutnya. (Yusuf, 2015). 8. Tahapan dalam Terapi Aktivitas Kelompok. Kelompok sama dengan individu, mempunyai
kapasitas
untuk
tumbuh
dan berkembang. Kelompok akan berkembang melalui empat fase, yaitu: Fase prakelompok; fase awal kelompok; fase kerja kelompok; fase terminasi kelompok (Stuart, 2009). a. Fase Prakelompok. Dimulai dengan membuat tujuan, menentukanpemimpin (leader), jumlah anggota, kriteria anggota, tempat dan waktu kegiatan, media yang digunakan. Menurut Yosep (2013),jumlah anggota kelompok yang ideal dengan cara verbalisasi biasanya 7-8 orang. Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah: sudah punya diagnosa yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep, 2013). b. Fase Awal Kelompok Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru, dan peran baru. Yosep (2013) membagi fase ini menjadi tiga fase, yaitu orientasi, konflik, dan kohesif. 1) Tahap Orientasi. Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masingmasing, pemimpin menunjukkan rencana terapi dan menyepakati kontrak dengan anggota. 2) Tahap Konflik. Merupakan masa sulit dalam proses kelompok. Pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif dan membantu kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku perilaku yang tidak produktif. 3) Tahap Kohesif. Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim satu sama lain. c. Fase Kerja Kelompok.
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi stabil dan realistis. Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan kemandirian. d. Fase Terminasi Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok
akan
digunakan
secara
individual
pada
kehidupan
sehari-
hari.Terminasi dapat bersifat sementara atau akhir. 9. Macam Terapi Aktivitas Kelompok. Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat yaitu : A. Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi
persepsi
adalah
terapi
yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Fokus terapi aktivitas kelompok
stimulasi
persepsi
adalah
membantu
pasien yang
mengalami
kemunduran orientasi dengan karakteristik: pasien dengangangguan persepsi; halusinasi, menarik diri dengan realitas, kurang inisiatif atau ide, kooperatif, sehat fisik, dan dapat berkomunikasi verbal (Yosep, 2013). Adapun tujuan dari TAK stimulasi persepsi adalah pasien mempunyai kemampuan
untuk
menyelesaikan
masalah
paparan stimulus kepadanya. Sementara, mempersepsikan stimulus
yang
yang
diakibatkan
oleh
tujuan khususnya: pasien dapat
dipaparkan
kepadanya
dengan
tepat
dan
menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami (Yusuf, 2015). Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang dialami dalam kehidupan, khususnya untuk pasien halusinasi. Aktivitas dibagi dalam empat sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : 1. Sesi pertama : mengenal halusinasi. 2. Sesi kedua : mengontrol halusinasi dan menghardik halusinasi. 3. Sesi ketiga : menyusun jadwal kegiatan. 4. Sesi keempat : cara minum obat yang benar.
B. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori. TAK stimulasi sensori adalah TAK yang diadakan dengan memberikan stimulus tertentu kepada klien sehingga terjadi perubahan perilaku menurut Yosep (2013) : 1. Bentuk stimulus : a) Stimulus suara: music b) Stimulus visual: gambar c) Stimulus gabungan visual dan suara: melihat televisi, video
2. Tujuan dari TAK stimulasi sensori bertujuan agar klien mengalami : a. Peningkatan kepekaan terhadap stimulus. b. Peningkatan kemampuan merasakan keindahan c. Peningkatan apresiasi terhadap lingkungan 3. Jenis TAK yaitu : a. TAK Stimulasi Suara b. TAK Stimulasi Gambar c. TAK Stimulasi Suara dan Gambar C. Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realita. Terapi Aktivitas Kelompok Oientasi Realita (TAK): orientasi realita adalah upaya untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan/ tempat, dan waktu (Yusuf, 2015). Klien dengan gangguan jiwa psikotik, mengalami penurunan daya nilai realitas (reality testing ability). Klien tidak lagi mengenali tempat, waktu, dan orang-orang di sekitarnya. Hal ini dapat mengakibatkan klien merasa asing dan menjadi pencetus terjadinya ansietas pada klien. Untuk menanggulangi kendala ini, maka perlu ada aktivitas yang memberi stimulus secara konsisten kepada klien tentang realitas di sekitarnya. Stimulus tersebut meliputi stimulus tentang realitas lingkungan, yaitu diri sendiri, orang lain, waktu, dan tempat (Yosep, 2013). Tujuan umum yaitu klien mampu mengenali orang, tempat, dan waktu sesuai dengan kenyataan, sedangkan tujuan khususnya adalah: 1. Klien mampu mengenal tempat ia berada dan pernah berada. 2. Klien mengenal waktu dengan tepat. 3. Klien dapat mengenal diri sendiri dan orangorang di sekitarnya dengan tepat Aktivitas yang dilakukan tiga sesi berupa aktivitas pengenalan orang, tempat, dan waktu. Klien yang mempunyai indikasi disorientasi realitas adalah klien halusinasi, dimensia, kebingungan, tidak kenal dirinya, salah mngenal orang lain, tempat, dan waktu. Tahapan kegiatan : a. Sesi I : Orientasi Orang. b. Sesi II : Orientasi Tempat. c. Sesi III : Orientasi Waktu. D. Terapi aktifitas kelompok sosialisasi. Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar klien. Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan klien
dalam melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam lingkungan social (Yusuf, 2015). Sosialisasi dimaksudkan memfasilitasi psikoterapis untuk : 1. Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal. 2. Memberi tanggapan terhadap orang lain. 3. Mengekspresikan ide dan tukar persepsi. 4. Menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan Tujuan umum : Mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi tanggapan terhadap orang lain, mengekpresikan ide serta menerima stimulus eksternal. Tujuan khusus : 1. 2. 3. 4. 5.
Penderita mampu menyebutkan identitasnya. Menyebutkan identitas penderita lain. Berespon terhadap penderita lain. Mengikuti aturan main. Mengemukakan pendapat dan perasaannya.
Karakteristik : 1. Penderita kurang berminat atau tidak ada inisiatif untuk mengikuti kegiatan ruangan. 2. Penderita sering berada ditempat tidur, menarik diri, kontak sosial kurang. 3. Penderita dengan harga diri rendah, gelisah, curiga, takut dan cemas. 4. Tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab seperlunya, jawaban sesuai pertanyaan.
BAB III TAK STIMULASI PERSEPSI MENGONTROL HALUSINASI SESI I: MENGENAL HALUSINASI A. Tujuan 1. Klien mengenal isi halusinasi 2. Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi 3. Klien mengenal frekuensi halusinasi 4. Klien mengenal perasaan bila mengalami halusinasi B. Setting 1. Kelompok berada ddi tempat yang tenang 2. Klien duduk melingkar C. Alat 1. Bolpen 2. Buku 3. Balon D. Metode
1. Diskusi 2. Tanya jawab E. Langkah-langkah kegiatan 1. Persiapan a. Memilih klien sesuai dengan indikasi yaitu klien dengan perubahan sensori persepsi: Halusinasi b. Membuat kontrak dengan klien c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan 2. Orientasi a. Salam terapeutik: terapis mengucapkan salam b. Evaluasi validasi: terapis menanyakan perasaan peserta hari ini. c. Kontrak 1) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan 2) Terapis menjelaskan aturan main a) Masing-masing klien memperkenalkan diri: nama, nama panggilan. b) Jika ada klien yang mau meninggalkan kelompok harus meminta izin pada terapis c) Lama kegiatan 15 menit d) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir 3. Kerja a. Terapi memperkenalkan diri (nama, dan nama paggilan) terapi meminta klien memperkenalkan nama dan nama panggilan. b. Terapis menjelaskan yang akan dilaksanakan, yaitu masing-masing klien membagi pengalaman tentang halusinasi yang mereka alami dengan menceritakan : 1) Isi halusinasi 2) Waktu terjadinya 3) Frekuensi halusinasi 4) Perasaan yang timbul saat mengalami halusinasi. c. Meminta klien menceritakan halusinasi yang dialami dengan menggunakan permainan balon d. Saat seorang klien menceritakan halusinasi, setelah cerita selesai terapis mempersilahkan klien lain untuk bertanya sebanyak-banyaknya 3 pertanyaan. e. Lakukan kegiatan (b) sampai semua klien selesai mendapat giliran. f. Setiap kali klien bias menceritakan halusinasinya, terapis memberikan pujian. 4. Terminasi a. Evaluasi 1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK 2) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan anggota kelompok. b. Rencana tindakan lanjut 1) Terapi menganjurkan kepada peserta jika mengalami halusinasi segera menghubungi perawat atau teman lain .
F. Evaluasi dan dokumentasi
No 1 2 3 4
Aspek yang dinilai Nama peserta TAK Menyebutkan isi halusinasi Menyebutkan waktu halusinasi Menyebutkan frekuensi halusinasi Menyebutkan perasaan bila halusinasi timbul
Petunjuk: dilakukan = 1
tidak dilakukan = 0
TAK STIMULASI PERSEPSI MENGONTROL HALUSINASI SESI II: MENGONTROL HALUSINASI: MENGHARDIK A. Tujuan 1. Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi
B. C.
D. E.
halusnasi. 2. Klien dapat memahami dinamika halusinasi 3. Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi. 4. Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi Setting 1. Klien duduk melingkar 2. Kelompok ditempat yang tenang Alat 1. Kardus 2. Ballpen 3. Kertas/papan Metode 1. Diskusi 2. Tanya jawab Langkah-langkah kegiatan 1. Persiapan a. Mempersiapkan alat b. Mempersiapkan tempat pertemuan 2. Orientasi a. Salam terapeutik: terapi mengucapkan salam b. Evaluasi/validasi 1) Terapis menanyakan perasaan klien hari ini 2) Terapis menanyakan pengalaman halusinasi yang telah terjadi. c. Kontrak 1) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan 2) Terapis menjelaskan aturan main a) Lama kegiatan 15 menit b) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal dan akhir c) Jika akan meninggalkan kelompok, klien harus meminta izin. 3. Kerja a. Terapi meminta masing-masing klien menceritakan apa yang dilakukan jika mengalami halusinasi dan apakah itu bisa mengatasi halusinasinya. b. Setiap selesai klien menceritakan pengalamannya, terapis memberikan pujian dan mengajak peserta lain memberikan tepuk tangan. c. Terapi menjelaskan cara mengatasi halusinasi dengan menghardik halusinasi saat halusinasi muncul. d. Terapi memperagakan cara menghardik halusinasi e. Terapi meminta masing-masing klien memperagakan menghardik halusinasi dengan permainan menggunakan kardus.
f. Terapi memberikan pujian dan mengajak semua klien bertepuk tangan saat setiap klien bertepuk tangan saat setiap klien selesai memperagakan menghardik halusinasi. 4. Terminasi a. Evaluasi 1) Terapi menyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK 2) Terapi memberikan pujian atas keberhasilan kelompok b. Rencana tindak lanjut 1) Terapi menganjurkan klien untuk menerapkan cara yang sudah dipelajari jika halusinasi muncul F. Evaluasi dan dokumentasi
No
Aspek yang dinilai
1
Menyebutkan
2 3
digunakan mengatasi halusinasi Menyebutkan efektifitas cara Menyebutkan cara mengatasi
4
dengan menghardik Memperagakan menghardik halusinasi
Petunjuk: dilakukan = 1
cara
yang
Nama Peserta TAK selama
ini
halusinasi
tidak dilakukan = 0
TAK STIMULASI PERSEPSI MENGONTROL HALUSINASI SESI III: MINUM OBAT
A. Tujuan 1. Klien dapat memahami pentingnya untuk minum obat 2. Klien dapat memahami mengenai 5 benar minum obat, mengetahui fungsi dan macam obatnya 3. klien memahami pentingnya patuh minum obat, klien memahami akibat tidak patuh minum obat B. Setting
1. Klien duduk melingkar 2. Lingkungan tenang dan nyaman C. Alat 1. Kertas / papan 2. Ballpen D. Metode 1. Diskusi 2. Tanya Jawab E. Langkah-langkah kegiatan 1. Pesriapan a. Terapi mempersiapkan alat dengan tempat TAK b. Terapi membuat kontrak dengan klien 2. Orientasi a. Salam terapeutik: terapis mengucapkan salam b. Evaluasi/validasi 1) Terapi menanyakan keadaan klien hari ini 2) Terapi menyakan pengalaman klien menerapkan cara meghardik halusinasi c. Kontrak 1) Terapi menjelaskan tujuan kegiatan. 2) Terapi menjelaskan aturan permainan. a) Klien mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir b) Jika klien ingin meninggalkan kelompok harus meminta izin kepada terapis
c) Waktu TAK adalah 15 menit 3. Kerja a. Terapi menjelaskan langkah-langkah kegiatan b. Terapi menjelaskan pentingnya minum obat teratur dalam mencegah terjadinya halusinasi c. Terapi meminta masing-masing klien untuk menyebutkan 5 benar obat, mengetahui macam obatnya dan manfaatnya. d. Terapi memberika pujian kepada masing-masing klien setelah berhasil menyebutkan mengenai 5 benar obat, manfaat obatnya dan macam obatnya. 4. Terminasi a. Evaluasi 1) Terapi menanyakan perasaan klien setelah mengetahui 6 benar oabta, mengetahui macam obatnya dan fungsi obat. 2) Terapi memberikan pujian atas keberhasilan kelompok b. Tindak lanjut: terapi menganjurkan klien untuk minum obat teratur, jangan putus obat, meminta klien untuk mengetahui mengenai macam-macam obatnya serta apa manfaatnya. F. Evaluasi dan dokumentasi No
Aspek yang dinilai
Nama pasien TAK
1
Menyebutkan mengenai 5 benar obat
2
Menyebutkan manfaat minum obat secara teratur
Petunjuk: dilakukan = 1
tidak dilakukan = 0
DAFTAR PUSTAKA Setyoadi, dkk. 2011. Terapi Modalitas Psikogeriatrik. Jakarta: Salemba Medika.
Keperawatan
pada
Klien
Stuart, G.W. 2009. Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis: Mosby. Yosep, Iyus. 2013. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika