Tabloid Sipil Edisi 18

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tabloid Sipil Edisi 18 as PDF for free.

More details

  • Words: 23,863
  • Pages: 32
CMYK

Edisi 18 Tahun I • 12-20 Februari 2009

CMYK

SURAT PEMBACA

12 - 20 Februari 2009

I

2

Pemekaran

NDONESIA dikejutkan dengan sebuah peristiwa demonstrasi di Sumut yang berakhir tragis dengan tewasnya Ketua DPRD Sumut, Abdul Aziz Angkat. Peristiwa itu berupa penyerbuan ribuan massa pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) yang memasuki ruang sidang utama DPRD Sumut sambil membawa sebuah peti jenazah untuk menemui wakil rakyat yang sedang menggelar rapat paripurna di tempat itu pada 3 Pebruari 2009. Ketua DPRD Sumut, Abdul Aziz Angkat yang awalnya berhasil menyelamatkan diri ke ruangan Fraksi Partai Golkar, dibawa keluar sambil dicaci-maki, ditarik-tarik, dan bahkan harus menerima pukulan dari sejumlah pengunjuk rasa. Diduga tidak kuat menahan serangan, Aziz Angkat, yang juga Sekretaris Partai Golkar Sumut, terkapar dan meninggal dunia meski sempat dilarikan ke rumah sakit Gleni Internasional Medan. Apakah begitu mahalnya dan begitu pentingkah Provinsi Tapanuli, sehingga harus mengambil “tumbal” dengan nyawa seorang Ketua DPRD? Anarkisme yang ditunjukkan massa pendukung Protap mendapat kecamanan dari berbagai elemen masyarakat. Laskar Pembela Islam (LPI) dan Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Sumut mendesak pembubaran panitia pembentukan Protap. Ketika berunjukrasa di gedung DPRD Sumut, pertengahan Februari lalu, koordinator aksi menuntut ketegasan pemerintah untuk tidak lagi “memberi hati” kepada panitia pembentukan Protap. Tindakan anarkis yang dilakukan para pendukung yang didampingi tokoh pembentukan Protap tidak bisa ditolerir sama sekali. Mereka harus ditindak tegas. “Mau jadi apa republik ini kalau semua keinginan harus main paksa begitu,” ungkap peserta aksi. Pemekaran yang berujung kematian ketua DPRD Sumut itu juga berimbas ke berbagai wilayah. Maklum, isu pemekaran bukan hanya ada di Sumatera Utara, tapi juga di daerah lain, termasuk Aceh. Sejak empat tahun terakhir, ada sekelompok warga di Aceh bagian tengah yang masih menggaungkan tuntutan pemekaran wilayah. Mereka menuntut pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA). Motornya, termasuk tokoh masyarakat dan pejabat yang sekarang berkuasa. Benarkah pemekaran itu untuk kesejahteraan rakyat? Idealnya ya, seperti itu. Namun yang sesungguhnya terjadi, pemekaran adalah buah dari keliaran libido politik para tokoh dan pejabat di daerah tersebut. Mereka terobsesi bisa menjadi penguasa jika pemekaran bisa terlaksana. Sesungguhnya ada tiga aktor yang selalu mengambil peran dalam setiap rencana pemekaran wilayah baru, yakni kalangan eksekutif, politisi dan pengusaha. Mereka inilah, dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat, menghasut dan membayar peserta aksi untuk mau melakukan apa saja asal hasrat membentuk wilayah baru tercapai. Padahal jika berkaca dari kasus pemakaran sebelumnya, dari lebih 200 wilayah pemekaran baru di Indonesia, hanya 20 persen yang bsia dikatrakan sukses. Selebihnya hanya bagi-bagi kekuasaan kalangan elit saja.

Konflik BPKS dan Pemko Sabang MASYARAKAT Sabang, Pulau Weh, masih di bawah bayang-bayang keraguan. Pemerintah sebelumnya berkali-kali berjanji akan menjadikan perekonomian di wilayah itu berkembang. Pemerintah menetapkan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Sabang yang meliputi gugasan Pulau Weh dan Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar melalui UU Nomor 36 dan 37/2000 untuk jangka waktu 70 tahun. Janjinya, kawasan Sabang akan difungsikan sebagai sentral pengembangan industri padat teknologi memberi manfaat untuk mengembangkan industri, pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dari dan ke seluruh nusantara serta luar negeri. Kawasan Sabang memiliki luas 39.375 Ha (Singapura 67.400 Ha, sementara Pulau Batam 41.500 Ha). Kawasan Sabang berbatasan dengan Teluk Benggala (utara), Samudera Indonesia (selatan), Selat Malaka (timur), dan Samudera Hindia (barat). Letak kawasan Sabang berada pada jalur lalu lintas pelayaran internasional (International Shipping Line) dan penerbangan internasional. Secara regional geografis posisi Sabang sangat strategis di jalur pelayaran dari Asia Selatan menuju Asia Timur dan Australia. Banyak keuntungan tercapai jika pembangunan pelabuhan Teluk Sabang terwujud, diantaranya akan mampu

menampung tenaga kerja yang cukup banyak dan penambahan pendapatan daerah dengan perhitungan sekitar Rp5 triliun per-tahun dari operasional pelabuhan. Untuk itu, kita berharap program BPKS mampu menggapai harapan itu. Pertanyaannya, bisakah BPKS menjalankan semua misi tersebut? Ini yang masih menjadi tanda tanya di kalangan warga Sabang. Hari hari kami masih menunggu gebrakan apa saja yang dilakukan BPKS untuk Sabang. Tapi setiap hari kami sebagai warga Sabang terus gundah, pasalnya yang mencuat ke permukaan adalah konflik antara BPKS dan Pemerintah Kotamadya Sabang. Keduanya saling adu kekuatan. Pemerintah mengaku berkuasa di bidang admintasi sedangkan BPKS merasa berkuasa bidang otorita pembangunan Sabang. Ujung-ujungnya, banyak program yang tertunda. Korbannya adalah rakyat. Kami pun bertanya, sampai kapan konflik antara kedua lembaga itu terus berlangsung ? Dan di mana peran Gubernur Aceh dalam meredakan perseteruan tersebut. Kalau itu masih saja terjadi, pembangunan pelabuhan Sabang hanyalah mimpi. Khairul Azwar Warga Kotamadya Sabang

Pasar Lambaro Semrawut PASAR tradisional Lambaro, di Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar, yang merupakan salah satu pusat per-

dagangan terbesar “darurat” pasca tsunami 26 Desember 2004, kini sangatlah semrawut. Kami sangat prihatin atas semrawutnya pasar ini, padahal Lambaro merupakan satu-satunya pusat perdagangan yang hidup pasca tsunami di Aceh. Lambaro merupakan salah satu pasar alternatif bagi masyarakat Kota Banda Aceh dan Aceh Besar untuk membeli berbagai kebutuhan pokok pasca bencana tsunami. Keprihatinan mendalam atas kesemrawutan pasar tradisional tersebut dalam beberapa bulan terakhir. Kami tidak bisa membayangkan bagaimana kalau sebuah pasar yang terlihat semrawut seperti ini, terutama sejak dibangunnya akses jalan menuju pusat pasar tersebut. Badan jalan yang telah diaspal hotmix bukan menambahkan keindahan, tapi sebaliknya membuat kemacetan karena kendaraan terpaksa diparkir di badan jalan. Mobil banyak yang parkir di badan jalan karena tidak tersedianya lahan parkir. Sebelumnya, kendaraan diparkir di depan toko, namun kini tidak bisa lagi setelah ada bangunan pembatas antara ruas jalan dengan halaman toko. Akibat tidak adanya lahan parkir maka masyarakat pembeli engan berbelanja di pasar tradisional Lambaro. Kalau itu dibiarkan berlangsung maka sangat dikhawatirkan tidak ada lagi orang datang ke pasar Lambaro. Untuk itu, saya berharap Pemkab Aceh Besar meninjau kembali pembangunan beton pembatas di ruas jalan masuk pasar Lambaro. Usman Hasan Warga Lambaro, Aceh Besar

Penerbit: Perkumpulan Impact Aceh, Alamat Redaksi: Gedung Impact, Jalan T Iskandar No: 50, Lambhuk, Ulee Kareng, Banda Aceh 23118. Telp. 0651-28541, Fax. 0651 – 28542 Rekening Bank: 105-00-0531602-5, Bank Mandiri a/n Perkumpulan Impact. Pemimpin Umum: Ramadhana lubis, Wakil Pemimpin Umum: Teuku Ardiansyah, Pemimpin Redaksi: Ahmady, Redaktur Pelaksana: Adi Warsidi, Redaktur: Qahar Muzakar, Rahmad Sanjaya, Reporter: Tahara, Junaidi Mulieng, Mellyan, Irman, Ifdhal Redaktur Artistik: Maha, Sekretaris Redaksi: Rahmawati, Information Technology: Kamaruddin, Pemimpin Usaha: Jauhari Samalanga, Manager Sirkulasi: M. Yusuf, zahabi, Manager Iklan: Darmansyah Siregar, Manager Produksi: Muhammad Aulia, Manager Keuangan: Muslim Hasan Birga

DAFTAR ISI

12 - 20 Februari 2009

3

RAHMAD SANJAYA

Seni Grafiti – Sekelompok pelajar sekolah menengah atas Banda Aceh asyik mengecat dinding tembok lapangan basket Blang Padang. Mereka bukanlah pelajar sembarangan, tapi anak-anak muda yang memiliki jiwa seni. Kemampuan mereka meracik gambar ditumpahkan dalam aksi grafiti, mengecat dinding tembok itu. Hasilnya, terciptlah lukisan yang mengagumkan. Bukan hanya indah, tapi juga bermakna pesan moral. Inilah anak kreatif yang tahu di mana tempatnya untuk berkarya.

LAPORAN UTAMA

Sudah puluhan ribu warga Rohingya pindah ke Jepang dan Eropa.

6

NANGGROE

Tak Mekar Lalu Membunuh Misi pembentukan Provinsi Tapanuli terkait Kristenisasi.

tukang obat, penyanyi, promotor show, pembaca acara, tapi semua itu tidak lepas dari dunia seni.

14

18

LINGKUNGAN

22

FIGUR

Potensi konflik di Aceh masih tinggi. Selain penanganan korban tsunami yang kacau balau, intimidasi terhadap partai politik terus terjadi. Selain partai lokal, partai nasional pun jadi korban. Kegagalan BRA pun masih terus dibahas.

Saatnya Perempuan Bicara

4

KPU akan membuat kebijakan afirmatif untuk keterwakilan caleg perempuan. Setiap tiga kursi yang dimiliki satu partai, minimal satu kursi harus diberikan pada satu caleg perempuan. Nantinya DPRA akan berpeluang diisi oleh 23 caleg perempuan.

UKM

Nabella Volary

Banjir Rohingya di Perairan Aceh

Antara Fashion dan Film

Program Lamteuba Tinggal Nama

16

SOSOK

10

Di negeri asalnya, etnis Rohingya kerap jadi sasaran penyiksaan penguasa junta militer. Banyak masjid mereka yang dirubuhkan.

Janji Pemerintah Aceh mengembangkan kawasan pertanian di Desa Lamteuba, ternyata isapan jempol belaka.

Batu Bata tak Lagi Jaya

26

20 BUDAYA

EKONOMI

Kopi Gayo Masih Ditunggu

NASIONAL Tercampak dari Negeri Sendiri

Permintaan luar negeri terhadap kopi Arabika dari Tanah Gayo masih tetap tinggi. Krisis global tidak membuat penggemar kopi menghentikan hobi mereka menyeruput minuman ini setiap pagi. Kopi Arabika bahkan penyumbang terbesar devisa negara

Teater untuk Gampong

Sang Maestro Penebar Pesona Sebut saja nama Udin Pelor! Semua orang Aceh pasti mengenalnya. Hidupnya tidak pernah lepas dari seni. Ia pernah melakoni hidup sebagai

Untuk menggugah kepedulian warga Aceh terhadap orang cacat, kalangan seniman Aceh menggelar acara keliling kampung.

30

CMYK

LAPORAN UTAMA

12 - 20 Februari 2009

4

Banjir Rohingya di Perairan Aceh Sekitar 400 warga muslim Myanmar terdampar di Aceh. Mereka mengaku korban konflik yang terjerat dalam kemiskinan dan penderitaan. Berharap ada negara ketiga yang menerima mereka, tapi Indonesia justru mau mengembalikan ke negara asalnya.

S

UDAH sepekan terakhir ini Rasyid, Rahmad, Iqbal, Shanderan, dan rekan-rekannya tidak bisa makan enak dalam kamp penampungan yang disediakan untuk mereka di kawasan TNI Angkatan Laut Sabang. Hati mereka gundah. Raut wajah mereka yang sebelumnya ceria, kembali muram durja. Seakan sudah membayangkan bakal ada penderitaan berat menghadang di depan. “Matilah kami. Pasti nanti akan dianiaya lagi oleh pasukan junta militer,” kata Rasyid, 43 tahun, dalam bahasa melayu yang terbata-bata. Ia dan rekan-rekannya baru saja usai diwawancai pejabat Departemen Luar Negeri Indonesia. Setelah wawancara itulah, Rasyid dan rekanrekannya mulai gelisah, sebab ada indikasi Pemerintah Indonesia akan mengembalikan mereka ke negara asalnya, Myanmar. Rasyid adalah bagian dari 193 orang warga etnis Rohingya dari Myanmar yang terdampar di perairan Sabang 7 Januari lalu. Mereka mengaku terpaksa meninggalkan negaranya untuk mencari penghidupan baru di negeri lain. Awal Desember lalu mereka berlayar dari Pelabuhan Teknaf dengan menggunakan kapal nelayan kecil. Tujuannya Malaysia atau Jepang. Mereka sebenarnya tidak tahu pasti di mana arah kedua negara tersebut. Tapi karena hasrat meninggalkan negeri sendiri sudah tidak tertahankan, mereka nekad menyeberangi lautan kendati hanya menggunakan perahu nelayan rongsokan, panjangnya 13 meter dengan lebar sekitar 4 meter. Sejatinya kapal

nelayan itu hanya mampu mengangkut 40 orang, tapi demi harapan perubahan, perahu tersebut dipaksa memuat hingga 200 penumpang. Mesin pun seadanya. Untuk mencapai negeri yang diimpikan, mereka memperkirakan bakal bisa ditempuh dalam waktu seminggu. Makanya, sebagai bekal dalam perjalanan, setiap orang menyiapkan makanan untuk kebutuhan selama 10 hari. Jika sampai di Malaysia, sudah ada agen yang akan membantu mereka mencarikan pekerjaan. Kalau bisa sampai di Jepang, lebih bagus lagi, sebab di sana ada komunitas perantau Rohingya yang siap menampung mereka. Merantau ke negeri luar adalah keputusan terbaik bagi pe-

muda Rohingya itu, karena di negeri mereka sendiri, etnis Rohingya kerap menjadi sasaran kekejaman pasukan junta militer Myanmar. Menurut cerita Rasyid, ada sekitar 20 kapal yang keluar dari Pelabuhan Teknaf secara bersamaan pada awal Desember tahun lalu. Masing-masing kapal mengangkut sekitar 200 penumpang. Mulanya mereka bertekad akan berlayar secara konvoi, jadi jika ada satu boat yang bermasalah, bisa ditolong oleh boat lainnya. Namun kuatnya sapuhan ombak membuat iring-iringan pengungsi itu tercerai berai. Perjalanan yang diperkirakan selesai sekitar seminggu, ternyata penuh liku. Seminggu telah berlalu, mereka belum juga menemukan daratan di negeri impian. Rasyid yang bergabung satu boat dengan beberapa pemuda sedesanya, tak lagi bisa melihat rekan mereka di perahu lainnya. Semuanya sibuk menyelamatkan diri. Persediaan bahan makanan sudah habis. Hingga memasuki minggu kedua, tak juga ada daratan yang terlihat. Mesin sudah kehabisan bahan bakar. Kondisi semua penumpang kian menyedihkan. Mulailah ada beberapa anggota rombongan itu yang sakit. Memasuki minggu ketiga, tiga orang meninggal dunia karena kelaparan dan cuaca yang buruk. Tidak ada pengobatan, sebab mereka tidak pernah terpikirkan risiko sakit di perjalanan. Ketika ada penumpang boat yang sakit, paling hanya dibiarkan saja. “Kita hanya bisa berdoa kepada Allah agar ia sembuh,” ungkap Rasyid. Umumnya warga etnis Rohingya itu beragama Islam.

Ada kalanya doa mereka terkabul. Tapi ada pula yang tidak sanggup bertahan hidup, hingga ajal pun menjemput. Jika ini terjadi, tidak ada pilihan, mayat itu terpaksa dimakamkan di laut lepas. Di biarkan mengapung tanpa arah dan tujuan yang jelas. Dalam rombongan Rasyid, ada 11 penumpang yang meninggal dalam perjalanan. Semuanya dibuang ke laut. Selama 22 hari lamanya mereka terombang-ambing tanpa arah. Mesin kapal sudah tidak berfungsi lagi. Rusak. Sampai akhirnya mereka tidak sadar, ombak telah merapatkan kapal mereka ke perairan Pulau Weh, Provinsi Aceh. Nurdin dan rekanrekannya, nelayan Sabang yang kebetulan sedang melaut dan melihat perahu tersebut, akhirnya menyeretnya menyentuh daratan. Peristiwa itupun segera dilaporkan ke TNI-AL yang berada di Sabang. Bukan sekali ini saja Sabang menerima kedatangan ‘tamu’ dari pengungsi Rohingya. Pada 2005, juga ada sebanyak 203 orang rombongan perahu asal Myanmar yang terdampar di Sabang. Kasusnya sama, ingin mencari penghidupan baru di negeri baru, tapi mereka justru terdampar di Sabang. Pada akhirnya Pejabat Departemen Luar Negeri Indonesia memutuskan memulangkan mereka ke negeri asalnya. Tampaknya untuk kasus terbaru inipun, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan langkah yang sama. Tapi masalahnya lebih rumit lagi, sebab peristiwa terdamparnya manusia perahu di Aceh bukan hanya terjadi di Sabang. Senin 2 Februari lalu, warga Kuala Idi, Aceh Timur

CMYK

CMYK

LAPORAN UTAMA

12 - 20 Februari 2009

juga dikejutkan dengan kasus yang sama. Sekitar 68 mil dari bibir pantai Idi, sebuah kapal nelayan setempat KM Sepakat, menemukan satu boat kecil yang penuh sesak yang muatan manusia. Dari kejauhan terlihat kalau penumpang perahu tersebut sangat mengharapkan bantuan. ‘’Tolong…tolong.. ! ‘’teriak mereka. Ada yang mengibarkan baju degan kayu sebagai simbol butuh bantuan. Anak buah kapal KM Sepakat akhirnya memutuskan mendekat. Saat itulah mereka memastikan kalau manusia yang ada di perahu itu dalam keadaan sekarat. Sebagian di antaranya bahkan tidak lagi mampu berdiri. KM Sepakat kemudian menarik boat tersebut ke pantai Idi, Aceh Timur. Selanjutnya dilaporkan kepada aparat keamanan. Setelah didata, ada 198 orang manusia yang ada dalam boat tersebut. Sebagian besar etnis Rohingya dari Myanmar. Ada 20 orang yang berkewarganegaraan Bangladesh. Untuk sementara penanganan mereka ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Manusia perahu itu diinapkan Kantor Camat Idie Rayeuk. Warga pun heboh. Hampir setiap hari lokasis penampungan pengungsi tersebut diramaikan para

pengunjung yang ingin manusia berwajah asing tersebut. “Orang Myanmar kok seperti orang India ya,” kata Aminah, 23 tahun, warga Idie Rayeuk. Selama ini Aminah hanya tahu kalau warga Myanmar mirip orang China, agama mereka pun kebanyakan budha. Tapi orang Myanmar yang terdampar ini hampir semuanya beragama Islam. Perasaan seagama inilah yang juga mendorong warga setempat turut memberikan bantuan. Sebanyak 50 pengungsi yang sakit terpaksa dilarikan ke puskesmas terdekat. Selama lebih sepekan di Idie Rayeuk, kondisi para pengungsi itu sudah membaik. Mereka sudah bisa tertawa dan bermain bersama. Tapi tetap dalam pengawasan aparat keamanan. Yang repot tentu saja Departemen Luar Negeri (Deplu) Indonesia. Baru saja mereka usai melakukan penelitian dan pendataan terhadap pengungsi Myanmar di Sabang, muncul lagi kasus serupa di Aceh Timur. “Aceh tampaknya sudah dibanjiri pengungsi Myanmar,” kata Ketua Tim Deplu, Kusuma Pradopo. Pemerintah Aceh pun tidak kalah galaunya. Gubernur Irwandi memerintahkan agar pemerintah mengalokasikan dana untuk membantu kebutuhan para pengungsi tersebut. “Soal nasib mereka kita serahkan

kepada Deplu. Tapi selama mereka di sini, kita tetap akan membantu,” katanya. Hasil verifikasi yang dilakuka di Aceh Timur, kasusnya ternyata berbeda dengan pengungsi yang ada di Sabang. Meski sama-sama etnis Rohingya dari Myanmar, namun kisah perjalanan mereka berbeda. Pengungsi yang ada di Aceh Timur adalah buangan dari Thailand. Sepekan sebelum tersesat di Kuala Idi, manusia perahu itu sebenarnya sudah menyentuh bibir pantai Ranong, sebuah kawasan pelabuhan di wilayah Thailand Selatan. Namun mereka langsung ditangkap karena dituduh ingin memasuki kawasan Thailand secara ilegal. Malah beberapa pengungsi itu ada yang mengaku korban penganiayaan polisi Thailand. “Kami dicampuk dan dipukuli,” kata Rahmad, salah seorang dari pengungsi tersebut. Setelah ditahan selama tiga hari di Thailand, mereka dipaksa keluar. Semua pengungsi itu disuruh naik ke boat yang mereka tumpangi semula. Boat tersebut ditarik oleh kapal militer Thailand ke tengah, setelah itu dibiarkan terombangambing di laut lepas. Tidak semuanya penumpang dibuang ke laut. ‘’Ada 66 rekan kami yang ditahan polisi Thailand. Mereka dituduh

5

sebagai pimpinan yang membawa kami masuk secara ilegal ke negara itu,” kata Rahmad. Ia sendiri tidak tahu bagaimana nasib rekannya tersebut. Tindakan kepolisian Thailand itu langsung mendapat sorotan dunia internasional. Komunitas Rohingya di Jepang melakukan aksi didepan kantor Kedutaan Myanmar di Tokyo memprotes tindakan tidak manusiawi pemerintah gajah putih tersebut. Protes itu akhirnya mengundang lembaga PBB untuk urusan pengungsi UNHCR, terjun langsung ke Bangkok bertemu Menteri Luar Negeri Thailand. Dari hasil pembicaraan itu, pemerintah Thailand berjanji akan memulangkan 66 warga Rohingya yang masih ditahan di negara itu ke negara asalnya, Myanmar. Sementara untuk kasus di Aceh, UNHCR tidak terlibat menanganinya karena pemerintah Indonesia masih bisa menanganinya. “Pengungsi di Aceh akan kita tangani sendiri, tidak perlu melibatkan badan PBB,” kata Juru bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah di Jakarta. Tapi sama halnya dengan Pemerintah Thailand, Pemerintah Indonesia juga berencana untuk mengembalikan pengungsi itu ke negara asalnya. Q amd, amran

Dipulangkan? Matilah Kami..! B

ANJIR pengungsi Myanmar membuat sejumlah negara kelabakan. Indonesia, Thailand dan India adalah tiga negara yang kedatangan manusia perahu itu. Di India, yang terdampar hanya satu kapal. Jumlahnya sekitar 100 orang. Di Thailand, yag terdampat pernah mencapai 1.200 orang. Namun semuanya sudah dilepas secara paksa ke laut lepas. Pemerintah Aceh lebih repot lagi, karena ada 391 orang yang terdampar di provinsi ini. Jelas bahwa Aceh bukanlah tujuan manusia perahu tersebut. “Mereka hanya terdampar di Aceh,” kata Juru bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah. Para pengungsi itu sebenarnya mau menuju Malaysia dan Jepang. Tapi karena sudah memasuki wilayah Indonesia, mau tidak mau pemerintah harus turun tangan menanganinya. Karena menyangkut hubungan antarnegara, penanganannya menjadi tanggungjawab Departemen Luar Negeri. Pemerintah Aceh hanya membantu secara kemanusiaan. Deplu sendiri sudah mengirim tim guna memverifikasi para pengungsi tersebut. Keputusannya, Deplu akan memulangkan mereka ke Myanmar. Tapi masalahnya tidak semudah itu, sebab menyangkut kemanusiaan. Dari hasil penelusuran Tim Deplu, terungkap kalau pengungsi itu mengaku korban kekerasan di negerinya sendiri. “Kalau kami dipulangkan ke Myanmar, pastilah akan disiksa lagi. Tolongnya, carikan kami tempat yang bisa hidup. Apapun akan kami kerjakan asal tidak dipulangkan ke Myanmar,” kata Rahmad, salah seorang pengungsi Rohingya yang ada di Idi. Tidak semua pengungsi itu melarikan diri karena konflik. Banyak dari mereka

merantau karena terhimpit masalah ekonomi. Nurullah, 20 tahun, misalnya, sudah dua tahun tidak punya pekerjaan tetap. Ia pernah mengadu nasib ke Bangladesh, namun situasinya sama. Myanmar dan Bangladesh sama-sama terhimpit masalah kemiskinan. Kondisi ini yang memaksanya mencari negeri baru. Nurullah tahu bagaimana risiko sebagai pendatang ilegal, tapi ia tidak peduli. Bersama ratusan lelaki kampung halamannya memasuki kawasan Thailand secara ilegal. Namun, mereka ditangkap, lalu disiksa sebelum akhirnya dipaksa meninggalkan negeri itu dengan boat yang sama. Kalau saja dikembalikan ke Myanmar, Nurullah yakin situasi yang mereka akan alami

lebih buruk lagi. “Pastilah kami akan menjadi sasaran kebengisan junta militer,” katanya. Sebelumnya ia pernah mendengar cerita tentang warga Myanmar yang dikembalikan ke negeri asalnya. Kin nasibnya tidak diketahui setelah ditahan junta militer yang berkuasa. Pemerintah Indonesia bukan tidak memahami kegelisahan ini. Itu sebabnya langkah diplomatik dengan pemerintah Myanmar terus dilakukan. Harus ada jaminan, Pemerintah Myanmar nantinya akan memberlakukan mereka secara manusiawi. Masalahnya, Myanmar bukanlah negara yang mudah tunduk kepada negara lain. Lho, PBB saja berani mereka lawan, apalagi Indonesia! Q amd, amran

CMYK

LAPORAN UTAMA

12 - 20 Februari 2009

Tercampak dari Negeri Sendiri

Di negeri asalnya, etnis Rohingya kerap jadi sasaran penyiksaan penguasa junta militer. Banyak masjid mereka yang dirubuhkan. Sudah puluhan ribu warga Rohingya pindah ke Jepang dan Eropa. Desember lalu, lebih dari 1.500 orang keluar dari wilayah itu.

P

ELANGGARAN Hak Azasi yang kerap dilakukan junta militer Myanmar membuat sejumlah suka minoritas di negara itu selalu menjadi sasaran korban. Salah satunya dialami etnis Rohingya, yang banyak tinggal di perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh. Berbeda dengan etnis Myanmar lainnya yang beragama Budha, etnis Rohingnya adalah penganut muslim. Secara fisik, mereka sangat berbeda dengan warga Myanmar lainnya yang menyerupai China. Wajah warga Rohingya lebih mirip dengan orang India, Banglades atau Arab. Bahkan bahasanya pun tidak beda dengan bahasa Bangladesh. Etnis ini banyak berdiam di kawasan Northern Rakhine State, sebelah barat Myanmar atau sebelah selatan Bangladesh. Perhatian pemerintah Myanmar terhadap etnis ini memang sangat minim. Hanya sedikit warga Rohingya yang mendapat kesempatan

berperan dalam pemerintahan. Amnesti internasional menyebutkan, sejak junta militer berkuasa 1978, nasib warga etnis Rohingya tidak pernah mendapat perhatian. Mereka dibiarkan menderita, tanpa ada pembangunan di wilayah tersebut. Akibatnya, banyak etnis ini yang menyeberang ke Bangladesh untuk mencari kehidupan. Toh di Bangladesh mereka tidak bisa nyaman, sebab kehidupan di negara tersebut juga tidak jauh beda dengan kondisi di Myanmar. Sebagai warga negara Myanmar, hak-hak warga Rohingya nyaris tidak ada. Mereka terus dikenakan pajak yang tinggi. Tanah-tanah warga disita untuk negara. Pemerintah Myanmar juga membatasi perkawinan warga etnis ini. Pemuda Rohingya banyak yang dipaksa bekerja oleh militer Myanmar sebagai buruh paksa untuk pembangunan jalan-jalan dan kampkamp militer. Tidak ada gaji. Makan pun seadanya. Pengusaha junta militer banyak merusak masjid-masjid yang didirikan warga Rohingya di pedesaan. Kebebasan menjalankan ibadah shalat pun kerap dihalang-halangi. “DI Myanmar, kami dianggap bagaikan kotoran,” cerita Rahmad, salah seorang warga Ronghingya. Tidak heran, jika ada kesempatan keluar

dari negara itu, warga Rohingya pasti akan meninggalkan negaranya. Di negara Myanmar yang berpenduduk sekitar 50 juta jiwa, suku Rohingya merupakan minoritas dengan jumlah sekitar 800.000 juta jiwa. Mereka umumnya hidup di daerah-daerah terpencil. Hampir semuanya terjerat dalam kemiskinan. Sebagian besar bekerja sebagai nelayan dan petani. Jarang sekali ada etnis Rohingya yang bekerja di lembaga-lembaga milik pemerintah. Karena jumlahnya kecil, partai politik pun tak melirik mereka. Sejak 1978 ada sekitar 200 ribu warga Rohingya yang masuk ke wilayah Asia. Mereka keluar dari Myanmar karena takut dengan kebijakan perbudakan penguasa militer. Walau sangat beriko keluar dari negeri itu, tapi mereka tidak peduli. Mereka nekad mencari negara baru hanya mengandalkan perahu kayu kecil yang menggunakan mesin seadanya. Dengan perahu itulah mereka keluar dari negerinya, nekad menerobos tingginya ombak di lautan Samudera pasific. Sejatinya perahu itu berkapasitas 30 penumpang. Namun terkadang yang menaikinya mencapai 230 orang. Ketika hidup semakin terdesak, tampaknya warga Rohingya ini tidak lagi peduli dengan

6

apapun risiko yang mereka hadapi di laut lepas. Prinsipnya, yang penting bisa keluar dari Myanmar. ‘’Kami diperlakukan seperti binatang di Myanmar. Anak muda sering ditangkap untuk dipaksa bekerja di kamp militer. Mereka sangat tidak manusiawi, ‘’ kata Malik, 34 tahun, warga pedalaman Desa Fadanardale, 400 kilometer sebelah utara Yangon. Malik bercerita, sudah banyak sahabatnya yang nekad keluar dari negeri itu sejak 10 tahun silam. Sebagian besar menuju Malaysia, Thailand dan Jepang. Scara diam-diam etnis Rohingya ini cukup banyak yang tinggal di Indonesia secara ilegal. Negara yang menjadi tujuan favorit mereka adalah Jepang. Di negeri sakura itu sudah banyak warga Rohingya yang bekerja sebagai buruh kasar. Komunitas Rohingya pun sudah terbentuk di Tokyo. Mulanya mereka adalah pendatang ilegal. Berkat bantuan perusahaan yang ada di sana, mereka tetap mendapat jaminan tinggal di Jepang. Syaratnya, asal tidak terlibat kriminal. Warga Rohingya umumnya pekerja sebagai kuli bangunan, pekerja restoran, buruh pelabuhan, pekerja kebun atau apapun yang tidak membutuhkan pendidikan. “Kami tidak pernah memilih pekerjaan. Asal bisa keluar dari Myanmar, apapun siap kami kerjakan,” tambah Malik. Demi mendapatkan kehidupan yang layak, mereka terpaksa meninggalkan anak istri di kampung halaman. Jangan heran jika banyak sekali perempuan etnis Rohingya yang ditinggal suaminya. Namun bagi mereka itu bukanlah masalah besar, sebab suami yang bekerja di luar negeri biasanya mengirim uang ke kampung halaman untuk biaya hidup keluarga. Nur Kahtun, 26 tahun, yang juga warga Desa Fadanardale mengaku sudah dua tahun ditinggal suaminya yang merantau ke Jepang. Baginya itu adalah risiko hidup sebagai etnis Rohingya yang terus menerus ditindas di negaranya. Setiap bulan ia mengaku tetap mendapat kiriman dari suaminya. “Hidup seperti ini lebih baik ketimbang suami saya dijadikan budak di sini,” katanya kepada kantor berita Reuter. Semangat keluar dari Myanmar tampaknya masih dirasakan oleh etnis Rohingya lainnya. Pada Desember lalu, aksi pelarian massal dimulai. Pada dinihari, ada 20 kapal nelayan kecil yang ditumpangi lebih dari 3.000 lelaki etnis Rohingya keluar dari muara sungai Fadanardale. Satu kapal isinya ratarata 200 orang. Usia lelaki itu antara 25-60 tahun. Mereka membawa bekal seadanya, cukup untuk 10 hari dalam perjalanan. Kondisi kapal yang digunakan pun sangat tidak memadai. Ada yang sudah reyot. Iqbal, 35 tahun, salah satu yang ikut dalam rombongan di kapal reyot itu. Tadinya semua rombongan itu berharap bisa berlayar sampai di Malaysia. Di negeri melayu tersebut, kabarnya ada yang menjanjikan pekerjaan sebagai buruh perke-

LAPORAN UTAMA

12 - 20 Februari 2009

bunan. Lagi pula sudah ada beberapa orang etnis Rohingya yang bekerja di sana. Tapi gelombang besar yang melanda Selat Melaka membuat rombongan mereka berserak. Tidak jelas lagi arah mana yang dituju. Selama 22 hari mereka terombang ambing di laut lepas. Makanan tidak lagi mencukupi. Air minum hanya mengharapkan hujan. Mesin kapal rusak. Kapal terbuai ke sana kemari oleh angin dan ombak. Selama dalam perjalanan itulah, banyak dari mereka yang jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Jika nyawa sudah melayang, biasanya mayatnya dibuang ke laut lepas. Angind an ombak besar itulah yang membuat mereka terdampar di berbagai tempat. Ada yang terdampar ke wilayah Pulau Andaman, India, ada yang ke Sabang, ada pula yang ke Thailand. Tidak satupun yang berhasil merapat ke daratan Malaysia. Kantor berita Reuter menyebutkan, ada dua kapal yang terdampar di daratan India. Kapal yang tadinya berpenumpang hingga 200 orang, kini tinggal puluhan orang lagi. Mereka yang bertahan di dalam boat, semuanya dalam keadaan kritis karena kelaparan. Entah ke mana yang lainnya. Kemungkinan meninggal dan mayatnya dicampakkan ke laut lepas. Di wilayah selatan Thailand, tepatnya kawasan Ranong, angkatan laut setempat menemukan dua kapal pengungsi terdampar di ujung Selat Malaka. Kedua kapal itu kemudian digiring masuk ke wilayah daratan.

Selama seminggu pengungsi Rohingya itu sempat ditampung di kamp kawasan pantai Ranong. Namun perlakuan yang diberikan angkatan laut Thailand agaknya tidak bersahabat. Banyak dari pengungsi tersebut yang dianiaya. Puncaknya, mereka

dipaksa naik kembali ke kapal dan ditarik hingga ke laut lepas. Selanjutnya kapal boat tanpa mesin itu dibiarkan terombang ambing di laut Selat Malaka selama dua minggu. Kapal inilah yang kemudian terdampar di perairan Kuala Idi, Aceh Timur, 3 Februari lalu. Saat ditarik ke darat, terdapat 198 orang pemuda yang ada di dalam kapal tersebut. Kondisi mereka sangat memprihatinkan. Lemah, pesakitan dan ada yang dalam kondisi tidak sadarkan diri. Semuanya mengaku dalam kondisi lapar. Sebanyak 45 orang terpaksa

dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk perawatan lebih lanjut. Maklum, selama dua minggu terombang ambing di laut lepas, tidak ada makanan yang bisa mereka santap. Saat dibuang pasukan angkatan laut Thailand, ada 220 orang pengungsi di atas boat nelayan tersebut. Dalam perjalanan, 22 orang meninggal dunia karena kelaparan dan sakit. Mayat mereka terpaksa dibuang ke laut lepas. Saat mendarat di Kuala Idi, tinggal 198 yang ada di gladak boat tersebut. Tidak semuanya warga Myanmar. Ada 20 orang di antaranya warga Bangladesh. Mereka ini bukanlah rombongan pertama yang terdampar di Aceh. Sebelumnya pada 7 Januari 2009, nelayan Sabang menemukan satu kapal dalam ukuran yang sama terdampar terombang ambing tidak jauh dari bibir pantai Sabang arah Selat Malaka. Myanmar, yang dulu dikenal dengan sebutan Burma memang telah dicap PBB sebagai negara yang sarat dengan pelanggaran Hak Azasi Manusia. Negara yang luasnya mencapai 680 km² ini telah diperintah oleh pemerintahan militer sejak kudeta tahun 1988. Myanmar adalah negara berkembang dan memiliki populasi lebih dari 50 juta jiwa. Ibu kota negara ini sebelumnya terletak di Yangon sebelum dipindahkan oleh pemerintahan junta militer ke Naypyidaw pada tanggal 7 November 2005. Pada 1988, terjadi gelombang demonstrasi besar menentang pe-

7



Sejak 1978 ada sekitar 200 ribu warga Rohingya yang masuk ke wilayah Asia. Mereka keluar dari Myanmar karena takut dengan kebijakan perbudakan penguasa militer. Walau sangat beriko keluar dari negeri itu, tapi mereka tidak peduli. Mereka nekad mencari negara baru hanya mengandalkan perahu kayu kecil yang menggunakan mesin seadanya. merintahan junta militer. Gelombang demonstrasi ini berakhir dengan tindak kekerasan yang dilakukan tentara terhadap para demonstran. Lebih dari 3000 orang terbunuh. Pada pemilu 1990 partai pro-demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi memenangi 82 persen suara namun hasil pemilu ini tidak diakui rezim militer berkuasa. Bukan hanya itu, Aung San Suu Kyi yang menjadi pimpinan pergerakan rakyat demokratik di negeri itu, terpaksa hidup dalam penjara kota sampai sekarang. Q amd, amran

Thailand Menganiaya Aceh Menampung

Menlu Thailand Kasit Piromya dan pejabat UHNCR Hall Raymond

M

ENJADI bagian dari etnis Rohingya, berarti menjadi warga tanpa negara. Junta Myanmar tidak mengakui etnis Rohingya sebagai satu dari 130 etnis minoritas di negara itu. Padahal, etnis ini sudah ada di Myanmar sejak awal abad ke VII. Kondisi ini yang menyebabkan etnis Rohingya mengaku lebih dekat dengan komunitas warga Bangladesh. Namun hidup di Bangladesh tidak

beda dengan Myanmar. Jeratan kemiskinan selalu membelenggu mereka. Itu sebabnya pemuda Rohingya termasuk yang kerap menjadi sasaran cukong tenaga kerja. Mereka dibujuk untuk bekerja di Malaysia, Thailand dan Indonesia. Untuk bisa masuk ke negara baru itu, para agen memungut 30.000 taka (sekitar Rp 5 juta) atau lebih dari setiap orang. Banyak yang menjual harta mereka hanya untuk mendapatkan modal keluar dari negerinya. Sesampai di negeri tujuan, bukan kehidupan baru yang mereka rasakan. Justru mereka mendapat perlakuan tidak manusiawi. Seperti ketika terdampar di pelabuhan Ranong, Thailand, para pemuda Rohingya ini mengalami siksaan yang amat pedih dari militer Thailand. “Belakang kami dicambuk hingga berdarah-darah. Kami dituding hanya sampah yang ingin mengotori negeri mereka,” kata Rahmad, 36 tahun, satu-satunya anggota pengungsi itu yang bisa berbahasa Melayu. Rahmad pernah bekerja dua tahun di Malayasia sebagai buruh ilegal sebelum tertangkap dan dipulangkan kembali ke negaranya tahun lalu. Tahun ini ia berencana masuk lagi ke negeri itu secara ilegal. Saat ini ada 66 orang lagi pengungsi Rohingya yang berhatan di Thailand. Rahmad dan rekan-rekannya tidak tahu

bagaimana kondisi mereka sekarang. Ia juga tidak paham mengapa rekannya itu tidak ikut dilepaskan saat angkatan laut Thailand ‘membuang’ para pengungsi itu kembali ke tengah lautan. Ada kecurigaan 66 pemuda Rohingya itu akan dijadikan sebagai budak oleh pasukan Thailand mengingat banyak sekali proyek pembanguan kamp militer yang terdapat di wilayah Ranong. Wilayah itu merupakan salah satu kamp perbatasan Thailand dengan Malaysia, sekitar 400 km dari Genting Kra. Namun sebelum praktik perbudakan itu berlangsung, awal Februari lalu, UNHCR, lembaga PBB yang mengurus masalah pengungsi telah mengutus komisionir khusus, yaitu Hall Raymond untuk melakukan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya. Kasit mengaku kalau 66 pengungsi Rohingya itu ditahan karena dituduh memasuki wilayah Thailand tanpa izin. Kepada Hall Raymond, Thailand berjanji akan melepaskan para pengungsi itu untuk diurus oleh UNHCR. Itu bedanya dengan pengungsi yang ada di Aceh. Campur tangan PBB tidak ada di sini. Sehingga pemerintah Indonesia yang sepenuhnya membuat keputusan soal nasib warga pendatang tersebut. Q amd, amran

CMYK

NANGGROE

12 - 20 Februari 2009

8

AK JAELANI/ACEHIMAGE.COM

Teror Merenggut Nyawa Teror di Aceh terhadap unsur KPA maupun PA mulai berubah arah. Tak lagi fasilitas fisik yang dijadikan sasaran, tapi mulai ke person dan muncullah korban. Polisi masih belum mampu mengungkap pelaku.

S

EBUAH mobil Escudo bernomor polisi BK 1652 GC, bergerak ke arah kota Banda Aceh dari Krueng Raya. Mobil disupiri Zakaria (38 tahun), di sampingnya duduk Muhammad Nur (48 tahun). Keduanya anggota Komite Peralihan Aceh (KPA), wilayah

Aceh Besar. Siang itu 4 Februari lalu, tiada firasat apapun bagi Zakaria, bahkan tiada perhatiannya saat sebuah sepeda motor merek honda mengikuti dari belakang. Sekitar tapal batas Desa Cot Paya dan Lambada, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, motor yang ditumpangi dua orang itu memepet dari kiri. Dan petaka itu terjadi, dor... dor... beberapa kali tembakan terdengar. Peluru mengarah ke mobil mereka. Keduanya terkena tembakan jarak dekat dari pistol orang tak dikenal yang duduk di belakang sepeda moAK JAELANI/ACEHIMAGE.COM

tor. “Kejadiannya begitu cepat, saya tak menyangka, kami terkena,” ujar Zakaria. Usai beraksi, pelaku melarikan motornya ke arah jalan Desa Cot Paya. M Nur terkena di dada dan lengan kiri, Zakaria luka tembak di bagian perut, dada dan lengan kiri. Darah mengucur deras. Zakaria masih sanggup mengendalikan mobilnya, langsung menuju ke Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin yang berjarak sekitar 6 kilometer dari lokasi. Di sana diketahui rekannya telah tewas akibat tembakan tersebut. “Saya tidak mengenal pelaku penembakan itu,” ujarnya. Tak sampai satu jam, kepolisian yang mengetahui kabar itu bergerak cepat. Mereka ke lokasi untuk penyelidikan. Beberapa selongsong peluru ditemukan. Jalan-jalan dilakukan razia, guna mengejar pelaku. Saksi korban juga dimintai keterangan. Saat itu, Wakil Kepala Kepolisian Kota Besar Banda Aceh, AKBP Cahyo Budi mengatakan pihaknya belum mengetahui bagaimana persisnya kejadian tersebut. “Kami baru mendapat kesaksian dari korban, belum ada saksi mata masyarakat,” ujarnya. Pihaknya juga belum mengetahui motif di balik penembakan tersebut. “Kami akan terus menyelidiki dan mengungkap kasus tersebut.” Kabar duka juga datang dari Kabupaten Bireuen. Hitungan mun-

dur 12 jam, Selasa malam, Dedi Novandi (33 tahun) Sekretaris KPA Bireuen juga mati ditembak dari jarak dekat. Korban yang merupakan warga Kampung Baro, Kota Juang terkapar di dalam mobilnya, sedan BK 118 RW. Insiden tersebut persis terjadi di depan rumahnya. Malam itu, Dedi alias Abu karim menyetir sendiri mobilnya pulang ke rumah. Saat penembakan, warga sekitar tiada yang tahu, hanya mendengar suara tembakan. Usai pelaku mengeksekusi korban, warga keluar rumah mencari tahu. Abu Karim bersimbah darah dan dilarikan ke Rumah Sakit Umum dr Fauziah yang hanya berjarak 500 meter. Nyawanya tak tertolong, Abu Karim meninggalkan seorang istri dan dua orang anak, salah satunya anak angkatnya. Polisi terus memburu pelaku. Kapolres Bireuen, AKPB Teuku Saladin saat pemakaman keesokan harinya, mengimbau warga jangan terpancing. “Agar masyarakat jangan terpancing, tetap sabar dan berdoa agar kami mampu memgungkap pelaku tersebut,” ujarnya. Pemakaman tokoh GAM itu dihadiri ratusan tokoh, termasuk Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Dua kasus teror yang berakhir hilangnya nyawa itu membuat berang KPA. Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat, Ibrahim Syamsuddin angkat bicara. “KPA kembali berduka atas kehilangan kader terbaiknya, yang selama ini sangat berkomitmen untuk menjaga perdamaian di Aceh,” ujarnya. Dia menilai penembakan terhadap anggota KPA dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan Aceh damai dan aman. KPA belum bersedia menyebut pihak mana yang dimaksud. Menurutnya, rangkaian teror terhadap KPA tidak hanya dilakukan terhadap fasilitas fisik milik mereka, seperti penggranatan kantor dan pembakaran kenderaan. ”Tetapi sudah mulai mengarah kepada tokoh dan anggota KPA di berbagai tempat,” ujarnya. Ibrahim mengharapkan pihak kepolisian dapat menghentikan teror dan pembunuhan terhadap tokoh dan anggota KPA serta masyarakat. Juga mengungkap kasuskasus kriminal lainnya yang sekarang marak terjadi di Aceh. Pelaku perlu segera dipatahkan dan ditangkap, agar mereka tidak semakin merajalela. Kalau kepolisian tidak mampu menangani situasi di Aceh, maka semua pihak yang pro-perdamaian harus meminta dan mendesak pihak international agar segera melakukan langkah-langkah kongkrit di Aceh guna untuk menyelamatkan perdamaian. Selain itu juga perlu agar pemilu 2009 tidak terganggu nantinya. Sejauh ini, kata Ibrahim, pihaknya tetap komitmen untuk tidak lagi terserat dalam konflik baru. KPA sangat percaya pada mekanisme perdamaian dan demokrasi. ”Kami menyerukan kepada semua pihak untuk tidak mengorganisir kelom-

CMYK

CMYK

NANGGROE

12 - 20 Februari 2009

pok masyarakat untuk kepentingan sesaat dengan cara-cara membangkitkan dendam masa lalu dan isu separatisme di Aceh.” KPA pantas cemas dengan kondisi akhir-akhir ini. Mereka tercatat sebagai sasaran kekerasan akhirakhir ini, mulai dari penggranatan kantor dan rumah, teror dan ancaman telepon, pembakaran kenderaan sampai kepada penghilangan nyawa. Dari dari beberapa kasus tersebut, sampai berita ini diturunkan, belum satupun yang berhasil di-

bongkar pihak kepolisian. Terkait tewasnya dua anggota KPA, Kepala Humas Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, Komisaris Besar Farid Ahmad, mengatakan masih terus memburu pelaku. Menurut Farid, penyelidikan terhadap kedua kasus tersebut dilakukan oleh Kepolisian Kota Besar Banda Aceh dan Kepolisian Resort Bireuen. Pihaknya mengaku serius dalam membongkar kasus pembunuhan terhadap mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). ”Sejauh ini, belum ada perkem-

bangan yang berarti,” ujarnya pekan lalu. Bagaimana dengan kasus penggranatan kantor lainnya? Farid Ahmad mengaku sulit mengungkap kasus-kasus kekerasan di Aceh. “Salah satu kendalanya adalah belum turunnya laporan hasil penyelidikan dari tim laboratorium forensik Mabes Polri,” ujarnya. Belum adanya laporan tersebut membuat mereka kesulitan mengembangkan beberapa kasus penggranatan di Aceh. Di antaranya adalah kasus penggranatan terhadap kantor

Pemantau Kok tak Datang Juga? Dinamika politik yang turun naik di Aceh membuat perhatian dunia tak henti-hentinya tertuju ke daerah ini. Uni Eropa termasuk yang paling concern memberikan perhatian untuk Aceh. Menjelang pemilu April mendatang pun, Uni Eropa sudah menyiapkan tim yang akan diturunkan ke Aceh. “Tim yang diturunkan ke Aceh sudah disipkan oleh Uni Eropa,” kata Kepala Komisi Uni Eropa Kantor Aceh, John Penny. Begitu pemerintah Indonesia memberi lampu hijau kedatangan pemantau itu, mereka langsung datang ke Aceh. Tim itu terdiri dari perwakilan 14 negara Uni Eropa. Menurut UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, kehadiran pemantau asing sebenarnya diperbolehkan datang ke Indonesia. Masalahnya, pemantau itu tidak boleh datang secara langsung, tapi harus melalui beberapa tahapan. Yang lebih penting lagi, UU tersebut menuliskan, pemantau asing itu hanya bisa masuk ke negeri ini jika mendapat undangan resmi dari Pemerintah Indonesia. Selagi tidak ada undangan dari pemerintah, jangan harap bisa masuk.

Undangan ini yang sejak lama ditunggu-tunggu Uni Eropa. Konsep undangan sudah disusun. Beberapa pejabat Uni Eropa di Jakarta sudah melakukan lobi terhadap Departemen Luar Negeri agar undangan itu segera ditandatangani. Namun sampai sekarang belum setitikpun ada dibubui tandatangan resmi Menteri Luar Negeri Indonesia. Padahal, pelaksanaan Pemilu tidak sampai dua bulan lagi. Sebelumnya Uni Eropa berharap sudah bisa masuk ke Aceh sejak awal tahun ini. Karena terus ditunda-tunda itulah, pejabat Uni Eropa mulai pasrah. “Tampaknya Pemerintah Indonesia tidak mau mengundang pemantau asing untuk Pemilu mendatang,” kata John Penny, dalam konfrensi pers di Kantor Uni Eropa Banda Aceh beberapa waktu lalu. Keputusan pemerintah Indonesia itu memang belum final, namun dapat dipastikan pemerintah tidak akan mengundang pemantau asing. Kehadiran pemantau asing di Aceh bukan hanya kehendak dunia internasional. Pemerintah Aceh pun sejak awal telah melakukan Pemerintah pusat untuk mengundang

pemantau asing ke daerah ini. “Pemilu di Aceh masih rawan. Kehadiran pemantau internasional masih diperlukan di daerah ini,” kata Gubernur Irwandi Yusuf. Banyaknya kasus teror dan intimidasi yang terjadi belakangan ini termasuk yang mendorong pemerintah Aceh terhadap kedatangan pemantau asing itu. Lebih-lebih pengurus Komiter Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh. Sejak dulu mereka sudah mengampanyekan agar pemantau asing diberi keleluasaan masuk Aceh. “Jika pemantau asing tidak masuk ke Aceh, kami khawatir akan banyak teror dan korban yang jatuh lagi. Semakin dekat pemilu semakin banyak kekerasan yang terjadi,” kata Muzakir Manaf, ketua KPA sekaligus Ketua Umum Partai Aceh. Tapi harapan itu tampaknya masih jauh dari kenyataan. Sampai sekarang Departemen Luar Negeri tak mau sekalipun berkomentar soal kehadiran pemantau asing di Aceh. Kalaupun ada pemantau yang beroperasi di Aceh, paling hanya pemantau lokal. Ya, kuku mereka tentu saja tidak setajam pemantau asing. Q fazry

9

Komite Peralihan Aceh (KPA), rumah Ketua Partai Aceh yang terjadi tahun 2008 lalu dan Kantor Pusat Partai Aceh serta penggranatan mobi KPA di Hotel UKM, Peunayong, medio Januari lalu. “Ini susah, namanya juga OTK (orang tak dikenal). Perlu data dari forensik dulu untuk mengetahui model granat dan lain-lain,” kata Farid. Kendala lainnya, kata Farid adalah minimnya partisipasi masyarakat dalam membantu kepolisian menjaga keamanan lingkungannya. Masyarakat juga belum berani melapor kepada polisi jika ada orang-orang yang patut dicurigai. “Siskamling juga tidak ada lagi di Aceh, ini sangat menyulitkan kami,” ujarnya. Polda Aceh juga belum dapat memastikan apakah kasus-kasus penggranatan saling berkaitan satu sama lain. “Kita masih perlu selidiki lebih lanjut, tidak bisa pastikan kalau belum ada bukti kongkrit,” ujar Farid. Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Fadil mengatakan sejauh ini belum dapat memetakan pihak mana yang melakukan teror tersebut di Aceh. “Kami kesulitan melihat pihak mana. Ini juga ada yang aneh, seperti beberapa teror malah terjadi di pusat kota, dekat dengan kantor-kantor pihak keamanan,” ujarnya. Dia menilai, insiden tersebut juga disebabkan oleh lemahnya peran kepolisian dalam mengungkap kasus-kasus kekerasan yang selama ini terjadi di Aceh. Baik pelaku, pola maupun motif tindakan kekerasan ini. Dalam hal ini, kata Hendra, kepolisian terkesan melakukan pembiaran. KontraS mendesak polisi untuk bekerja lebih keras mengungkap pelaku kekerasan di Aceh. Pihaknya meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk segera meningkatkan performance personelnya di Aceh. “Kepolisian harusnya menjadi garda terdepan penegakan hukum,” kata Hendra. KontraS Aceh juga mengimbau Pemerintah Aceh, partai lokal dan nasional dan segenap masyarakat Aceh untuk bahu membahu menjaga keamanan dan perdamaian di Aceh. Tentunya perlu sebuah pembahasan bersama meminimalisir kemelut yang terjadi akhir-akhir ini. Gubernur Aceh harusnya segera melakukan respon cepat terhadap semakin buruknya kondisi keamanan di Aceh. KontraS merujuk pada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 204 (3) dan (4) disebutkan bahwa dalam keadaan damai, maka pemerintah daerah memegang kendali keamanan teritorinya. “Jadi ini perlu dipikirkan bersama,” ujar Hendra. Pihaknya khawatir, jika kondisi tersebut tak bisa ditangani, maka proses pemilu 2009 akan terganggu dengan persoalan keamanan, baik teror maupun tindakan kriminal lainnya. Q Adi W

CMYK

NANGGROE 10

12 - 20 Februari 2009

Saatnya Perempuan Bicara

RAHMAD SANJAYA

KPU akan membuat kebijakan afirmatif untuk keterwakilan caleg perempuan. Setiap tiga kursi yang dimiliki satu partai, minimal satu kursi harus diberikan pada satu caleg perempuan. Nantinya DPRA akan berpeluang diisi oleh 23 caleg perempuan.

‘S

AATNYA perempuan berjaya lagi di Aceh’. Pernyataan inilah yang tercetus dalam pelatihan dengan topik Media dan calon anggota legislatif perempuan yang berlangsung di Banda Aceh awal Februari lalu. Pelatihan yang didukung International Republican Institute (IRI) itu diikuti sekitar 70 caleg perempuan dari semua partai yang ada di Aceh. Mereka berdiskusi bagaimana mendekati media dalam kegiatan kampanye maupun aktivitas lainnya. “Perempuan tidak memiliki dana kampanye seperti halnya para caleg laki-laki. Tapi kami tidak mau ketinggalan dengan kaum laki-laki,” kata Ismi, salah seorang caleg dari partai lokal yang hadir dalam pelatihan itu. Dari pengakuan mereka, terungkap kalau kehadiran caleg perempuan di Aceh ada yang dianggap hanya sebagai aksesoris. Sekedar memenuhi kuota 30 persen yang ditetapkan KPU. Itu sebabnya, banyak dari caleg perempuan itu yang ditempatkan di nomor sepatu

alias nomor tidak jadi. Tapi semuanya berubah setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan mengejutkan. Pertengahan Januari lalu MK membatalkan pasal 214 UU 10 tahun 2008 mengenai penetapan caleg berdasarkan bilangan pembagi dan nomor urut. Selanjutnya MK memutuskan, penetapan caleg terpilih harus berdasarkan suara terbanyak. Boleh jadi putusan MK itu membuat perempuan tidak diuntungkan. Faktor popularitas caleg menjadi acuan. Popularitas dianggap sejalan dengan kemampuan dana kampanye atau promosi. Secara umum, caleg laki-laki yang lebih berpeluang sebab mereka punya dana lebih besar untuk berkampanye. Peluang caleg perempuan menjadi mengecil. Protes pun mencuat ke kantor Komisi Pemilihan Umum. Berdasarkan UU No 10 Tahun 2008 ada aturan yang mengharuskan 30 persen kursi di parlemen – mulai dari DPR RI, DPR provinsi maupun DPRK – diberikan kepada caleg perempuan. Namun keputusan MK soal suara

terbanyak bisa jadi akan memupus semua harapan itu. Suara terbanyak berpeluang membuat caleg perempuan tersingkir dari persaingan. KPU rupanya menyadari kegelisahan ini. Maka dibuatkan keputusan yang mengatur kursi perempuan di sebuah partai politik. Dalam waktu dekat KPU akan membuat kebijakan, di mana setiap tiga kursi yang diperoleh satu partai politik, satu kursi di antaranya harus diberikan kepada caleg perempuan. Kebijakan ini disebut afirmatif action. Sebagai gambaran, di DPRA akan ada 69 kursi yang diperebutkan 44 partai politik dalam Pemilu April mendatang. Saat ini hanya empat kursi yang dimiliki wakil dari perempuan. Dengan berlakunya putusan KPU ini, dari 69 kursi tersebut, perempuan berpeluang mengisi 23 kursi. ‘’Ini berarti peluang perempuan untuk merebut kursi di parlemen lebih terbuka,” kata Arbie Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia. KPU tampaknya tidak akan lagi bergeser dari kebijakan ini. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengaku sudah melakukan diskusi dengan Mahkamah Konstutusi. ‘’Semua kita sudah bahas bersama. Tidak ada masalah hukum yang dilanggar KPU. Putusan segera kita buat,” kata Hafiz. Kebijakan afirmatif action tidak mengalir dengan mulus. Dalam berbagai rapat di KPU, muncul perdebatan yang sangat ketat. ‘’Setiap rapat berlangsung alot. Banyak yang menentang kebijakan ini,” kata anggota KPU Andi Nurpati. Tapi KPU tampaknya sudah berbulat tekad. Afirmatif action akan dijalankan karena menyangkut keterwakilan perempuan di parlemen. Salah satu yang diatur dalam kebijakan ini adalah, apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat caleg yang memperoleh jumlah suara sama, caleg terpilih ditetapkan berdasarkan sebaran perolehan suara yang paling luas. Jika dalam

satu daerah pemilihan, parpol memperoleh kursi di parlemen namun tidak ada pemilih yang memilih caleg, maka penentuan caleg yang akan menduduki kursi di parlemen diserahkan pada partai. Para caleg perempuan di Aceh menyambut baik keputusan ini. Gairah mereka untuk bersaing dengan caleg laki-laki semakin menggebu-gebu. “Saatnya perempuan Aceh tampil ke depan,” kata Nova, caleg perempuan dari partai Persatuan pembangunan (PPP) untuk DPRK Banda Aceh. Perempuan yang tadinya terkesan sebagai aksesoris belaka, kini justru memiliki peluang yang sama dengan laki-laki. “Kita harus merebut kursi parlemen sebanyak-banyaknya untuk perempuan agar suara perempuan selalu didengar,” tambahnya. Untuk mencapai harapan tersebut, tentu saja persiapan kampanye dan promosi di media massa maupun promosi outdoor, harus direncanakan secara matang. Itu sebabnya mereka sangat antusias hadir dalam pelatihan soal pemanfaatan media sebagai alat promosi (personal branding). Beberapa caleg perempuan itu mengaku akan melakukan promosi dari door to door untuk menggugah masyarakat agar memilihnya. “Saya tidak punya biaya yang besar untuk iklan di media massa. Yang bisa saya lakukan cuma mendatangi penduduk dari rumah ke rumah,” kata Lela, salah satu kandidat dari partai lokal. Tadinya Lela tidak terlalu antusias menghadapi kampanye mendatang. Tapi karena MK memutuskan berdasarkan suara terbanyak, semangatnya jadi bangit. Putusan itu berarti tidak lagi mempertimbangkan nomor urut. Semua kandidat – di nomor urut berapapun dia berada – tetap punya peluang untuk duduk di parlemen. Salah satu strategi yang dilakukan para caleg perempuan Aceh adalah bagaimana untuk meng-

NANGGROE 11

12 - 20 Februari 2009

kampanyekan nama mereka, bukan lagi foto. Sebab dalam kertas suara yang akan dicoblos nanti, tidak ada terpampang foto kandidat. Yang ada hanya nama dan lambang partai. Hanya kertas suara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang punya foto kandidat. Persaingan ketat merebut kursi parlemen tidak lagi terjadi antar partai. Caleg sesama partai pun sudah saling jegal. Persaingan ini juga terlihat pada pemasangan spanduk di berbagai sudut kota. Nyaris tidak ada lagi caleg yang mempromosikan partai mereka. Yang mereka pikirkan justru mereka sendiri. Bahkan di Kota Banda Aceh, sangat sulit mencapai tempat yang bebas dari spanduk atau pamplet caleg. Banyak parpol dan caleg memasang spanduk, bendera, maupun umbul-umbul hanya memen-

tingkan keuntungan sepihak tanpa mempertimbangkan kaidah keindahan. Berdasarkan pengamatan SIPIL, berbagai trik dilakukan para simpatisan ataupun caleg untuk menyikut pesaingnya, mulai dari perusakan alat peraga calon, melarang calon memasang alat peraga, hingga melaporkan kesalahan calon lain. Ketua Panitia Pe ngawas Pemilu Provinsi Aceh Nyak Arief Fadillah mengakui, sudah ada beberapa laporan pelanggaran pemilu di Aceh terkait perusakan alat peraga. Biasanya perusakan dilakukan simpatisan caleg, baik dari satu partai maupun lain partai. Ia mengaku, Panwaslu Aceh sudah berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Ini merupakan tindak lanjut nota kese-

pahaman antara Badan Pengawas Pemilu, Kepolisian Negara RI, dan Kejaksaan Agung. Apabila pelanggaran masih termasuk pidana pemilu, Sentra Gakkumdu akan menangani dan segera melimpahkan kepada kepolisian. Jika pelanggaran sudah masuk ranah kriminal biasa, polisi berwenang menangani secara langsung. Menentang KPU Keputusan KPU memberi slot yang lebih besar kepada perempuan sebenarnya tidak berjalan mulus. Sejumlah politisi dan partai menentang kebijakan ini. Anggota pria umumnya menolak usulan itu. Sebaliknya, anggota perempuan mendukung rencana itu. Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar (F-PG), Ferry Mursyidan Baldan, termasu yang menolak keputusan KPU ini. Aturan itu dinilai tidak adil. ‘’Jika ingin menga-

komodasi perempuan dalam lembaga legislatif, seharusnya dilakukan dari awal dengan menentukan porsi perempuan dalam kursi lembaga legislatif,” katanya. Dari kalangan partai, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) termasuk yang keras menolak rencana tersebut. Mereka menuding kalau KPU tidak ber wenang mengatur masalah ini. “Itu bukan domain KPU. Itu kewenangan parpol. Toh parpol telah memberi ruang yang cukup bagi perempuan,” kata Khairul Aman, Ketua PKNU. Alasan lain, pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk memilih wakilnya secara langsung dan itu diakomodasi Mahkamah Konstitusi melalui putusannya soal mekanisme suara terbanyak untuk penetapan anggota DPR/DPRD. Q Amd,ifdhal

Menunggu Orang Gila Baru Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD membuat calon anggota legislatif (caleg) nomor urut jadi merasa kelabakan. Seorang Caleg untuk DPR Aceh mengaku kecewa dengan putusan tersebut, sebab selama ini ia lebih banyak berkiprah di partai. Sementara putusan MK tersebut memaksa setiap kandidat harus turun ke bawah untuk menghimpun dukungan dari masyarakat. Padahal sebelum ia sudah bersiap-siap untuk duduk di parlemen. Ia tidak pernah terpikir bagaimana rumitnya berkampanye dalam pemilu nanti, sebab banyak menduga partainya akan meraih kursi cukup besar. “Lagi pula saya ini kan sudah belasan tahun membesarkan partai. Wajar jika saya ditempatkan di nomor jadi,” katanya. Tapi kini MK telah membuyarkan semua impiannya itu. Keputusan suara terbanyak yang duduk di parlemen membuatnya harus merancang dari awal sistem kampanye yang menyentuh langsung para pemilih. MK memutuskan calon anggota legislatif (caleg) terpilih dalam Pemilu 2009 tidak boleh lagi menggunakan standar ganda memakai nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg seperti yang tertuang dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU Nomor 10/2008, tetapi didasarkan pada suara terbanyak. Pasal 214 menyebutkan, calon terpilih adalah calon yang mendapatkan suara di atas 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) atau menempati nomor urut kecil jika tidak memperoleh 30 persen BPP atau menempati nomor urut kecil jika

memperoleh BPP. Dengan kondisi ini, caleg yang akan menduduki parlemen nantinya akan sulit untuk ditebak. Besar kemungkinan caleg yang terpilih adalah wajah-wajah baru. Mereka merupakan politisi lokal, ulama lokal, ataupun pemimpin masyarakat lokal. Tokoh elite partai ataupun politisi DPR yang selama ini banyak berkiprah di partai, diperkirakan akan tersingkir. ”Kemungkinan tokoh-tokoh pengurus partai akan tergusur dari DPR karena mereka umumnya tidak mengakar,” kata Syamsuddin Haris pengamat politik dari LIPI. Yang lebih ironi lagi, diperkirakan bakal banyak orang yang frustasi dengan sistem baru ini. Menurut Arbie Sanit, pengamat politik UI, jangan heran jika nantinya akan banyak yang gila akibat terlalu menghamburkan dananya untuk kampaye, tapi tidak terpilih. “ Sistem suara terbanyak dalam Pemilu 2009 akan semakin membuat caleg yang gagal

menjadi gila dan nekat bunuh diri,” katanya. Menurut Arbi, data orang gila akibat gagal nyaleg pada Pemilu 2004 saja sudah sangat banyak. Apalagi dengan sistem

kompetisi penuh yang membutuhkan biaya dan energi yang tak sedikit, angka orang gila dan bunuh diri diperkirakan akan naik tajam.

IKLAN MURAH BAGICALEG Sampaikan Slogan Singkat Anda Nikahi Hati dan Pikiran Rakyat

IklankanDiri AndaMelalui:

Tabloid Suara Arus Bawah

HanyadenganBiaya

Rp.1Juta Ukuran:60mmx250mm

Hubungi: Joe:081389094970 Yusuf:085218343015 Rahmad:081382372345

Q Amd

EH EH C A C DI E-A IT R S B R A TE RED BE

CMYK

PRO KONTRA 12

Edisi 14 •Tahun I • 1 - 15 Desember 2008

Dari Rp9,7 triliun dana APBA 2009 yang disahkan DPRA baru-baru ini, ada terselip dana Rp45 miliar yang disalurkan ke berbagai lembaga dan yayasan swasta. Yang menjadi persoalan, lembaga yang mendapat dana itu terkait erat dengan kekuasaan. Ada yang dekat dengan partai, ada yang milik keluarga gubernur dan wakil gubernur. Untuk mengulas polemik ini, berikut dua pandangan berbeda mengenai kontroversi itu.

Itu Bukan Dana Ilegal Oleh : Irwansyah

P

ADA dasarnya, alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) tahuh 2009 yang dianggarkan untuk yayasan, Ormas-ormas dan Lembaga lainnya, bukan seperti yang dituding dalam pemberitaan media selama ini. Peruntukkan dana itu malah lebih besar yaitu sebanyak Rp280 miliar, bukan Rp45 miliar. Dan jumlah lembaga penerimanya melebihi 225 lembaga. Dana itu juga tersebar di Biro Keistimewaaan Aceh, Dinas Pemuda dan Olah Raga (Dispora), Dinas Pendidikan dan Kesbang Linmas. Karena itu, diperlukan adanya transparansi dalam mempublikasikan pemakaian dana itu. Jangan cuma dana Rp45 miliar itu, menjadi sorotan. Pemberitaan media selama ini sangat lah tidak fair. Media hanya mempermasalahkan dana Rp45 miliar, sementara sisanya yang hampir Rp300 miliar itu tak pernah ada pihak yang mempermasalahkannya. Padahal, banyak lembaga yang menikmati uang rakyat tersebut, namun kenapa hanya Rp45 miliar yang dipermasalahkan. Hal yang menjadi pertanyaan besar menurut kami adalah kenapa ini mesti diperdebatkan padahal uang itu jelas-jelas mereka peruntukkan untuk rakyat, melalui yayasan dan lembaga milik masyarakat. Pengalokasiannya juga sangat jelas, pemberiannya jelas dan disetujui oleh Gubernur Aceh, Irwandi yusuf. Dana yang mereka terima itu bukanlah uang ilegal dan resmi pemanfaatannya. Bukankah setiap sen uang APBA yang dikucurkan, maka pihak penerima akan dimintakan pertanggung jawaban nantinya? Bukan untuk dihabiskan oleh pengurusnya. Jadi kecil kemungkinan akan terjadi penggelapan uang tersebut, bahkan gajinya pengawasnya paling banyak Rp1 juta perbulan. Begitu juga dalam mengalokasikan dana, dewan tetap

menggunakan prosedur yang ada tanpa memilih dan memilah daerah-daerah penerima bantuan tersebut. Seluruh daerah mendapat hak yang sama dalam anggaran tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian anggaran untuk lembaga dan yayasan tiap tahunnya selalu mendapatkan porsi dalam APBA yang diuslkan oleh eksekutif, namun tak ada pihak yang mengobok-obok kepermukaaan akan alokasi uang rakyat tersebut. Tapi, ketika anggota dewan

pemotongan. Di mana bila penyaluran diberikan melaluli dinas, diyakini jumlah yang diterima tak sesuai dengan bantuan tersebut. Makanya lebih baik, kita salurkan langsung biar mereka kelola sendiri. Untuk itu perlu adanya transparansi dalam mengumumkan lembaga-lembaga penerima amparahan uang rakyat. Bukan saja Rp45 miliar sebagaimana yang dituding sebagai kaki tangan partai. Publik bisa menilai mana yang kaki

terhomat mengalokasikan dana untuk organisasi masyarakat yang memang layak dibantu, malah menjadi pro dan kontra akan pengalokasian dana tersebut. kanapa giliran kami yang usulkan tidak boleh. Kita seharusnya memiliki hak yang sama selaku wakil rakyat yang telah diamanahkan pada Pemilu 2004 lalu, untuk mensejahterakan rakyat. Namun kenapa hal ini berbalik arah. Seakan-akan alokasi tersebut menjadi ajang kampanye oleh anggota dewan. Kami tak ingin mencari popularitas disini, selama kami di sini maka apa yang bisa kami lakukan untuk rakyat, maka itu yang akan kami lakukan. Pemberian dana langsung kepada yayasan tersebut merupakan salah satu upaya untuk menghindari pemotongan-

tangan partai dan mana yang bukan. Apakah hal tersebut memang adanya, atau hanya sebagai trik untuk dipilih kembali pada Pemilu 2009 ini yang telah di depan mata. Itu semua tak menutup kemungkinan. Dan kami ingin menjelaskan, tudingan-tudingan yang mengatakan sebagain besar lembaga penerimaan dana APBA itu adalah lembaga bentukan PKS adalah salah besar. Memang ada anggotaanggota PKS yang aktif di lembaga-lembaga tersebut. Dan ada juga alumni-alumni dari sebagian lembaga itu, seperti KAMMI yang kemudian mereka menjadi pengurus partai. Lagi pula, bukan hanya lembaga-lembaga yang ada hubungannya dengan PKS saja yang menerima sejumlah dana dari pemerintah. Lembaga seperti

Yayasan Sambinoe yang dikelola oleh Istri Gubernur Aceh, kemudian ada Yayasan Koniry milik Wakil Gubernur Aceh, demikian juga dengan lembaga pendidikan lain, seperti Yapena, bahkan Komite Peralihan Aceh (KPA) juga mendapat dana. Organisasi kepemudaan dan keagamaan juga banyak yang mendapat dana bantuan dari APBA. Bagi saya usalan anggaran itu dapat membantu masyarakat di seluruh Aceh. Dana itu pun bukan untuk disalah gunakan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kampanye 2009 ini. Untuk mengantispasi akan adanya indikasi sebagai kaki tangan partai dan dimanfaatkan sebagi suasana kampanye, saya menganjurkan dana itu dicairkan setalah berlangsungnya Pemilu 9 April nanti. Tidak ada kaitan dana itu dengan pemilu, karena memang lembaga yang menerima dana itu hanya bekerja untuk masyarakat. Kalaupun ada yang memiliki hubungan dekat dengan partai, itu sifatnya personal kepengurusannya saja. Jadi, jangan ada anggapan dana itu mengucur karena ada lobi dari anggota DPR Aceh. Justru pertanyaan kami, apakah salah jika ada aktivis partai yang berbuat demi kemanusiaan melalui yayasan yang mereka bentuk? Apakah salah jika lembaga kemanusiaan kemudian mendapat dana dari pemerintah? Saya sendiri heran, seolaholah ada persepsi bahwa lembaga yang mendapat dana dari luar negeri lebih bergengsi ketimbang lembaga yang mendapat dana dari anggaran daerah. Padahal kan masyarakat bisa melihat dengan jelas, siapa saja yang berbuat nyata di lapangan. Toh nantinya penyaluran dana Rp45 miliar itu tidaklah sembarangan. Rakyat pun bisa memantaunya. Q Ketua Fraksi PKS di DPR Aceh

CMYK

CMYK

PRO KONTRA 13

Edisi 14 •Tahun I • 1 - 15 Desember 2008

Ini Bentuk Money Laundering Oleh: Hendra Budian

D

IAWAL tahun 2009, rakyat Aceh disuguhi berita tidak mengenakkan. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengalokasikan dana sekitar Rp45 Miliyar untuk lembaga, yayasan, organisasi yang belum semua jelas sepak terjangnya. Menurut temuan GeRAK Aceh (salah satu lembaga anti korupsi di Aceh), dana tersebut di-plot melalui dana Aspirasi Dewan yang diperuntukkan bagi 225 lembaga, yayasan, organisasi di Aceh. Sebagaimana kita ketahui, DPRA merupakan lembaga perpanjangan tangan rakyat Aceh untuk mengawasi kinerja eksekutif yang juga dipilh langsung oleh rakyat Aceh. Dalam tugas dan wewenangnya, DPRA sebagai legislative tidak hanya berperan mengawasi eksekutif, tapi juga diberi ruang mengatur budget (anggaran) . Anggota dewan melalui Kelompok Kerja Panitia Anggaran (Pokja Panggar) berwenang mengutak-atik dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Sementara yang duduk di kursi DPRA merupakan perwakilan dari partai politik, dan tentunya juga langkah yang diambil dalam mengeluarkan sebuah kebijakan, sarat dengan nuansa politis; berimplikasi terhadap partai pengusung. Di sinilah setiap anggota dewan harus bisa bersikap professional. Ketika sudah duduk sebagai anggota DPRA, tugas dan wewenangnya haruslah mendahulukan kepentingan rakyat, bukan untuk partai. DPRA seharusnya lebih mementingkan kebutuhan yang benar-benar mendesak. Kebutuhan itu misalnya, tracking terhadap mutu pelayanan kesehatan di Aceh. Ini sangat beralasan, seperti yang kita baca di berbagai media massa, di mana masih banyaknya kasus masyarakat pengguna layanan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) harus kehilangan nyawanya karena

tidak mendapat pertolongan medis. Atau kesulitan pasien pengguna Jamkesmas dalam melakukan pengurusan di rumah Sakit. DPRA juga tidak boleh menutup mata terhadap mutu pendidikan di Aceh. Berapa unit rumah sekolah yang belum lengkap fasilitas belajar mengajar? Semisal guru, Laboratorium, Pustaka, fasilitas dan tenaga pendukung lain. Harus diingat, pendidikan Aceh berada di peringkat paling bawah? Se-

kepentingan partai politik. Menguat indikasi tersebut disebabkan ada beberapa lembaga yang mendapat bantuan mempunyai hubungan dekat dengan satu, dua partai politik. Bukan hanya itu, pembagian bantuan tersebut juga berdekatan dengan waktu pemilu. Kalau memang ini tidak dimaksudkan untuk pemilu, kenapa baru sekarang ini muncul? Beberapa lembaga yang direkomendasikan oleh dewan hampir seluruhnya memiliki

harunsya hal-hal seperti itulah yang patut menjadi perhatian utama. Baru-baru ini, ratusan korban konflik tsunami datang ke Banda Aceh untuk menuntut hak pembangunan rumah, sebab korban konflik belum semuanya mendapat rumah. Kenapa DPRA tidak memikirkan hal ini? Kenapa malah lebih memikirkan pemberdayaan ratusan organisasi yang tak jelas keberadaannya. Sebagai perwakilan rakyat, DPRA seharusnya lebih membangun daya tanggap dan sensitifitas sosial yang tinggi. Karena mereka digaji dari uang rakyat, dan bekerja untuk rakyat, bukan untuk partai. Misi terselubung Berat dugaan, pengalokasian uang rakyat kepada 225 lembaga tersebut sarat dengan kepentingan politik 2009. Pemilu tinggal hitung hari. Masing-masing partai politik mengeluarkan strategi. Namun, sangat tidak baik ketika uang rakyat ini diarahkan untuk

hubungan dengan beberapa partai politik maupun politisinya. Memang hal ini sulit dibuktikan secara yuridis atau legal formil, karena memang itu merupakan ruang bagi untuk melakukan upaya money laundryng! Mana mungkin perampok melakukan aksi tanpa menggunakan sebo (penutup wajah)? Mustahil kan? Bahkan, kita perlu mempertanyakan terhadap hak dan legalitas lembaga dalam mendapat bantuan. Ada lembaga yang tidak pernah kita dengar sebelumnya, atau hanya berkantor dalam tas. Ada juga lembaga yang mendapat bantuan dari mulai level provinsi sampai kabupaten. KAMMI misalnya, lembaga ini mendapat kucuran dana sampai ke kabupaten, IKADI, juga begitu. Kalau DPRA mau fair, seharusnya mereka melakukan tracking terlebih dahulu terhadap lembaga-lembaga tersebut. Kalau lembaga dakwah,

kenapa hanya lembaga “A” yang mendapat bantuan? Apa kelebihan lembaga tersebut? Lembaga siswa, mahasiswa juga harus seperti itu, kenapa hanya lembaga “B” yang dapat. Seharusnya DPRA lebih peka terhadap hal itu, agar publik tidak mengasumsikan hal lain. Rakyat pun sudah mempertanyakan soal pengalokasian uang rakyat tersebut. Tapi DPRA nampaknya belum juga mengubah sikap. Sebagai elemen sipil, perlu saya tegaskan, agar DPRA berfikir lebih jernih dan bijaksana lagi. Mereka seharusnya mendengar aspirasi dari arus bawah, bukan mengabaikan. Sehingga citra mereka secara personal dan lembaga BPRA tidak buruk dimata rakyat Aceh. Sebaiknya, DPRA harus mementingkan halhal tersebut Jika pun DPRA tidak bisa membahas ulang untuk memangkas dan merumuskan kembali dana aspirasi yang selanjutnya berada dibawah Biro Keistimewaan Setda Aceh itu, maka menurut saya, anggaran tersebut harus dicairkan setelah pemilu berlangsung, sehingga animo yang berkembang terhadap penggunaan anggaran tersebut untuk kampanye politik secara tidak langsung dapat dikurangi. Biro Keistimewaan juga harus melakukan ferivikasi ulang terhadap lembaga-lembaga tersebut. Agar uang yang bersumber dari APBA yang notabenenya uang rakyat Aceh dapat dipertanggung jawabkan dunia dan akhirat. Maka sekali lagi, sebaiknya agar dana yang sudah dianggarkan dapat dikucurkan paska pemilu. Tujuanya, agar rakyat dapat menguji ketulusan anggota dewan dalam merumuskan dana aspirasi tersebut. Sehingga klaim atau kecurigaan bahwa dana tersebut digunakan sebagai alat kampanye calon anggpota legislatif dapat diminimalisir. Q Ketua Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI)

CMYK

NASIONAL 14

12 - 20 Februari 2009

Tak Mekar Lalu Membunuh Misi pembentukan Provinsi Tapanuli terkait Kristenisasi. Mereka ingin menjadikan Provinsi Tapanuli pusat penyebaran kristen di Sumatera. Kristenisasi di Aceh menjadi target selanjutnya. Karena dihambat, akhirnya Ketua DPRD Sumut yang jadi korban.

S

ELAMA minggu pertama Februari ini, penonton televisi di Indonesia kerap disuguhkan berita memiriskan tentang aksi demo anarkis di DPRD Sumatera Utara. Sekelompok mahasiswa dan pemuda yang mengaku warga Tapanuli masuk menerobos ruang sidang dan merusak seluruh peralatan yang ada di ruangan itu. Para anggota DPRD Sumut yang tengah melakukan rapat, tak mampu berbuat apa-apa. Mereka justru terancam aksi massa yang beringas. Beberapa di antaranya terpaksa lari ke luar ruangan menyelamatkan diri. Massa semakin tidak terkendali karena nyaris tidak ada polisi yang menghambat aksi tersebut. Pendemo tampak begitu bebas melakukan apa saja di ruangan itu. Mereka berteriak-teriak mengecam seluruh anggota DPRD Sumut. ‘’Kalian harus dukung pembentukan Provinsi Tapanuli. Kalau tidak, nyawa kalian terancam!” teriak mereka. Hanya ada beberapa orang wakil rakyat di DPRD itu yang tetap

tenang menyikapi aksi brutal tersebut. Salah satunya H Abdul Aziz Angkat, ketua DPRD Sumut yang juga Sekretaris DPD Golkar Sumatera Utara. Semula Aziz ingin bersikap jantan berhadapan langsung dengan perwakilan pengunjukrasa. “Mari kita bicarakan dengan hati yang tenang,” katanya kepada kerumunan massa. Ironisnya, sikap bijak yang ditunjukkan Aziz justru ditanggapi dengan negatif oleh massa. Mereka menuding Aziz termasuk yang berperan menghalang-halangi pembentukan Provinsi Tapanuli. “Siapapun yang menghalangi pembentukan Provinsi Tapanuli, kita hantam saja!” teriak massa. Suasana semakin tidak terkendali ketika Aziz mencoba keluar ruangan. Ia bermaksud ingin bertemu dengan massa di luar saja, mengingat situasi di dalam ruangan sudah sangat kisruh. Saat melangkah ke luar itulah, massa semakin beringas terhadap dirinya. Tidak hanya caci maki yang mereka lontarkan kepada Aziz, tapi juga pukulan. Beberapa pengunjukrasa menjotos wajah dan bagian tubuh Aziz, sehingga ayah tiga anak itu merasa kesakitan. Tak seorang pun polisi terlihat mengawalnya. Dalam situasi yang panas itulah, Aziz yang terus berjalan ke luar ruangan, tiba-tiba terjatuh. Wajahnya pucat pasi. Beberapa rekannya langsung mencoba menolong dan mem-

bawa Aziz ke Rumah Sakit Gleneagle. Hanya tiga jam di rumah sakit itu, nyawa mantan pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumatera Utara ini tidak tertolong lagi. Ia menghembuskan nafas sore hari pada 3 Fabruari lalu. Dokter mengatakan Aziz meninggal dunia akibat seragan jantung. Tidak bisa ditampik, pukulan dan aksi demo anarkis itu adalah penyebabnya. Aziz Angkat baru dua bulan menjabat sebagai Ketua DPRD Sumut menggantikan Abdul Wahab Dalimunthe, yang di-recall Golkar karena pindah ke Partai Demokrat. Selama hidupnya Aziz dikenal sebagai politisi santun dan tokoh yang mudah bergaul. Tidak heran kepergiannya mengejutkan banyak pihak. Belakangan situasinya membalik. Massa yang tadinya melakukan aksi demo, setelah tahu Aziz meninggal dunia, langsung membubarkan diri, mencoba menghilangkan jejak. Ada yang buru-buru kembali ke kampungnya. Ada yang mencoba lari ke luar Provinsi Sumatera Utara. Tapi polisi cepat bertindak. Malam harinya, tujuh tokoh penggerak massa itu diciduk polisi dari sebuah hotel di Medan. Mereka langsung dinyatakan sebagai tersangka dan ditahan. Mereka adalah Ketua Panitia Pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) GM Chandra Panggabean, Eron Lumbangaol (anggota DPRD

Sumut), anggota panitia Burhanuddin Rajagukguk (mantan tokoh Mahasiswa Kristen Sumut), Datumira Simanjuntak (pendeta), Viktor Siahaan (wartawan SIB yang juga koordinator lapangan) serta RM Simanjuntak, (aktivis kristen Sumut). Di samping itu, ada juga beberapa mahasiswa yang dituduh melakukan kekerasan. Termasuk pula Rudolf Marpaung (Pembantu Rektor Universitas Sisingamangaraja ). Hingga pertengahan Februari ini paling tidak sudah 39 orang yang dinyatakan tersangka. Kesemuanya adalah tokoh kristen Tapanuli. Sebagian besar massa aksi itu adalah mahasiswa Universitas Sisingamangaraja dan Universitas Tapanuli. Keduanya memang satu kepemilikan, milik keluarga GM Panggabean, ayah Chandra Panggabean. Universitas Sisingamangaraja berdiri di Medan, sedangkan Universitas Tapanuli ada di Tarutung, ibukota Tapanuli Utara. Saat melakukan unjukrasa, para mahasiswa itu dengan bangganya memakai simbol-simbol atribut kampus, seperti jaket kuning dan bendera kampus. Kedua kampus ini bukanlah tempat belajar favorit di Medan. Hanya beberapa orang mahasiswanya berasal dari Medan. Sebagian besar berasal dari Tapanuli Utara atau Simalungun. Jumlahnya pun relatif sedikit. Dibanding kampus lain yang ada di Medan, Universitas Sisingamangaraja tergolong kampus ‘orang-orang kampung’. Selain sebagai pemilik dua kampur tersebut, GM Panggabean juga dikenal sebagai pemilik Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), sebuah koran yang cukup tua di Sumatera Utara. Walaupun bukan harian berkualitas, namun SIB cukup berpengaruh di kalangan etnis batak. Sebagian besar pasarnya beredar di wilayah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Simalungun. Disebut tidak berkualitas, sebab tata letak koran itu sangat serampangan. Bahasanya juga terkadang sulit dimengerti. Isinya lebih banyak berita provokasi. Harian SIB kerap sekali bermasalah, bukan hanya di kalangan etnis lain, tapi juga di kalangan etnis batak sendiri. Meski demikian, hingga sekarang koran itu masih eksis sebagai media harian di Sumatera Utara. Dua kekuatan inilah – harian SIB dan mahasiswa — menjadi amunisi utama dalam menggerakkan tuntutan pemekaran Provinsi Sumatera Utara. Yang menjadi motornya adalah Chandra Panggabean, putra GM Panggabean. Chandra dibantu beberapa orang wartawannya, antara lain Victor Siahaan, wartawan senior yang lama ngepos Polda Sumut. Tidak heran jika Victor kenal dengan banyak polisi Sumatera Utara. Untuk urusan dengan polisi, Victor jagonya. Tentu bukan hanya mereka yang menjadi tokoh dibalik tuntutan pemekaran ini. Ada sejumlah tokoh batak di Jakarta yang mendukung pemekaran ini, termasuk Letjen (purn) TB Silalahi, yang saat ini menjabat sebagai penasihat Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Dari kalangan poli-

NASIONAL 15

12 - 20 Februari 2009

tisi, sejumlah tokoh PDI Perjuangan yang berasal dari Sumatera Utara, ada di belakang aksi ini. Yang tidak kalah pentingnya, tuntutan pembentukan Provinsi Tapanuli didukung penuh oleh kalangan pendeta dan misionaris kristen. Kalau saja provinsi ini jadi terbentuk, mereka berencana akan menjadikannya sebagai pusat pengembangan kristen di Sumatera. Warga di wilayah Tapanuli memang tidak semuanya beragama Kristen. Ada beberapa wilayah yang kental dengan Islam-nya. Seperti Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan sebagian kabupaten Tapanuli Tengah dan serta Dairi, kampung kelahiran Aziz Angkat. Namun secara keseluruhan, jumlah warga nasrani jauh lebih besar. Dalam bidang pemerintahan pun, sebagian besar kekuasaan ada di tangan tokohtokoh kristen. Itu sebabnya, ketika tuntutan Provinsi Tapanuli mencuat ke permukaan, banyak muncul tantangan dari kelompok muslim. Bekali-kali aksi pro pemekaran berlangsung di DPRD Sumut, berkali-kali pula kelompok muslim melakukan aksi penolakan. Pro kontra ini yang membuat DPRD Sumut tak mau gegabah. Jika salah membuat keputusan, bukan tidak mungkin bakal mucul konflik antaragama di Sumatera Utara. Para tokoh kristen itu tidak mau mundur. Terhambat di provinsi, mereka menyampaikan aspirasi hingga ke DPR RI. Didukung sejumlah tokoh Batak di Jakarta, konsep pemekaran telah diajukan ke DPR RI sejak 1998. Bahkan sedikitnya tiga kali DPR RI sempat membahas masalah pembentukan Provinsi Tapanuli ini. Tapi tetap saja terhambat, sebab menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta PP No 78 Tahun 2007 tentang Pemekaran, syarat pembentukan wilayah otonomi baru harus

mendapat persetujuan DPRD induknya. Rekomendasi ini yang belum dikeluarkan oleh DPRD Sumut. Kalau saja DPRD Sumut mau mengeluarkan rekomendasi, sudah tentu harapan mereka untuk mendapatkan provinsi baru akan terwujud. Chandra Panggabean, Eron Lumbanggaol dan sejumlah motor pemekaran yang memang terobsesi menjadi pejabat di provinsi baru itu, bakal mendapat kekuasaan baru. Makanya, kekesalan mereka terus ditujukan kepada DPRD Sumut. Pada awal Febraru lalu Chandra, Eron dan Jamaluddin merencanakan aksi untuk menggeber DPRD Sumut soal rekomendasi itu. Berita-berita provokasi sudah dimuat terlebih dahulu di Harian SIB Medan. Dalam beritanya, SIB selalu menyebut aksi pro pemekaran merupakan tuntutan rakyat. Para pembaca digiring untuk mendukung aksi tersebut. Nama Chandra, Eron dan Jamaludin, disebut sebagai tokoh teladan dan motor aksi tersebut. Massa didatangkan dari kalangan mahasiswa Universitas Sisingamangaraja dan Universitas Tapanuli. Masing-masing mendapat uang jasa Rp 20 ribu. Setelah semuanya matang, sekitar pukul 11.00 WIB Selasa 3 Februari lalu, ratusan massa pro pemekaran mendobrak pagar DPRD Sumut. Anehnya, ruang gerak aksi massa ini sangat leluasa. Biasanya polisi selalu tanggap jika terjadi aksi di DPRD Sumut. Tapi yang terjadi hari itu sebaliknya. Hanya belasan orang polisi yang terlihat. Itupun tidak melakukan tindakan apapun. Melihat situasi yang begitu bebas, para pengunjukrasa seakan merasa di atas angin. Setelah merusak dan menerobos pintu pagar, mereka langsung masuk ke ruang sidang anggota dewan. Di sinilah aksi anarkis itu semakin brutal. Hampir seluruh ruang rapat dewan diobrak-abrik. Massa juga membawa

masuk sebuah peti mati yang sudah mereka siapkan. Yang jelas, semua aksi tersebut sudah direncanakan secara matang dua hari sebelumnya. Polisi begitu lunak, diduga karena ada pembicaraan sebelumnya dengan salah seorang wartawan SIB yang juga ikut dalam aksi tersebut. Sikap tidak bijak inilah yang kemudian berbuntut pada pencopotan Irjen Pol Nana Sukarno dari jabatan Kapolda Sumut

serta Kombes Aton Suhartono dari jabatan Kapoltabes Medan. Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri di Jakarta menjelaskan, tim dari Mabes Polri menemukan adanya pelanggaran pada pengamanan demonstrasi di Medan. ”Mereka tidak profesional dalam melakukan tugas, sehingga perlu ada sanksi,” katanya. Kapolri berjanji akan mengusut tuntas seluruh kejadian itu. Q Amd

Tak ada Lagi Provinsi Baru Aksi anarkis DPRD Sumut 3 Februari lalu menorehkan catatan kelam demo aksi pemekaran di Indonesia. Unjukrasa yang menelan korban meninggalkan Ketua DPRD Sumut H Aziz Angkat memaksa pemerintah pusat mengkaji kembali program pemekaran di tanah air. Kemungkinan besar pemerintah akan menututp semua kran pemekaran di Indonesia. Dengan kata lain, Provinsi Tapanuli kini hanya tinggal mimpi. Sejalan keputusan itu, ambisi sejumlah tokoh di Aceh bagian tengah untuk menuntut pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA), juga ikut terbenam. Pemerintah menilai, baik Provinsi Tapanuli maupun Provinsi ALA, sama-sama tidak layak untuk dijadikan sebagai daerah otonomi baru. Tuntutan kedua provinsi itu lebih banyak karena kepentingan elit ketimbang untuk kesejahteraan rakyat. Sejak 1999 hingga 2008 DPR RI dan pemerintah telah mensahkan pembentukan 207 daerah otonomi baru. Namun dari penelitian yang dilakukan lembaga study Otonomi daerah Universitas Indonesia, hanya 20 persen dari daerah baru itu yang bisa di-

katakan sukses. Selebihnya terus menyusu ke pemerintah pusat. Provinsi Gorontalo, Provinsi Riau Kepulauan dan Provinsi Banten masuk ketegori yang berhasil sebagai daerah otonomi baru. Lainnya, hanya bagi-bagi kekuasaan para elit. Desakan demi desakan untuk menghentikan pemekaran di Indonesia sebenarnya telah berkumandang sejak lama. Tapi pemerintah dan DPR RI seakan mengabaikan ini. Sejak kasus Sumatera Utara inilah, gaung penghentian pemekaran mencuat lagi. Di DPRD Sumut sendiri semangat menghentikan pembahasan pemekaran itu sudah menjadi kebulatan tekat sejumlah fraksi, kecuali Fraksi PDI Perjuangan yang tampaknya masih ingin pembentukan provinsi baru. Jangan heran, sebab anggota fraksi partai ini mayoritas beragama kristen dan berasal dari Tapanuli. Kalangan akademisi pun sudah mendesak agar pusat menghentikan pemekaran di Indonesia. Dikhawatirkan, pemekaran ini akan berujung kepada munculnya konflik etnis di wilayah tersebut. Q Amd

CMYK

FIGUR 16

12 - 20 Februari 2009

D

UNIA modeling adalah awal karir Nabella Volary. Dia telah menggelutinya sejak duduk di bangku kelas satu SMA. Besutan Rasman Abbas (Cek man) ini semakin matang pada ranah fashion, baik di tingkat regional maupun nasional. Jangan tanya masalah prestasi. Ia kerap muncul sebagai juara dalam berbagai event dan festival. “Dunia modeling penuh tantangan. Bukannya mudah berjalan di catwalk dengan sepatu berhak 9 sentimeter. Semua membutuhkan latihan ekstra ketat,” ujar dara kelahiran 2 Juni, delapan belas tahun lalu. Kata Bella, mencapai hasil maksimal butuh latihan yang serius. Itu dibuktikannya dari beberapa lomba yang diikutinya. Bella peraih juara pertama lomba catwalk Aceh, Finalis Lomba Model Majalah Kawanku, juara kedua Duta Wisata II yang diadakan di Aceh beberapa waktu lalu, dan masih banyak lainnya. Mahasiswi Pertanian Jurusan Agrobisnis, Universitas Syiah Kuala ini menilai dunia model, merupakan dunia yang glamor dan memiliki cita rasa tersendiri bagi sebagian masyarakat. Lainnya, banyak juga masyarakat yang memandang sebelah mata untuk dunia modeling. “Namun saya dan kawan-kawan tetap konsisten akan apa yang kami geluti hari ini, saya yakin lewat fashion orang lain akan mengenal asal, suku dan identitas kita, maka yakinlah ketika fashion Aceh dikenal orang, maka semua akan mencari kekhasan kita lewat pakaian,” papar putri kedua pasangan Syamsuar dan Rahmah ini. Modeling bukanlah satu-satunya bidang ekspresi yang digeluti Bella. Dia juga mulai debutan di dunia akting. Setelah lolos dua kali tes casting, Bella dinobatkan menjadi pemeran utama dalam film Lemak Mabok, memerankan Farida. Film komedi Aceh itu disutradarai Nisfu Candra Dirwata dan diproduksi Ide Production. Film Lemak Mabok ini merupakan film yang memasukkan unsur etnikalitas Aceh, sarat akan pesan dari cuplikan peristiwa yang akrab di masyarakat Aceh. “Inilah Film pertama saya. Sempat bingung juga ketika terpilih sebagai pemeran utama, tapi lama-kelamaan peran itu menjadi menyatu dengan saya dan semua ini berkat sutradara yang terus menerus mengarahkan saya untuk benar-benar menjadi Farida,” urainya Pengakuan Bella, pengalaman baru menjadi bintang film mesti terus diasahnya. Tak seperti dunia fashion yang sudah melekat sejak lama. “Saya juga mulai menyukai dunia peran, hanya saja masih baru dan perlu banyak belajar,” ujarnya. Bella sangat terbantu untuk itu, banyak seniornya yang siap mendidik. Kedekatannya dengan para seniman teater Taman Budaya sangat membantunya sebagai tempat bertanya, berbagai persoalan tentang seni peran. “Saya ingin mendalami seni peran secara serius seperti ketika saya berada di dunia fashion,” ujarnya. Q

Rahmad Sanjaya

CMYK

FIGUR 17

12 - 20 Februari 2009

FOTO-FOTO RAHMAD SANJAYA

Ridho Berlian Laksamana

Pemain Bass Cilik Meski terasa besar dan berat untuk ukurannya, bukan halangan bagi Ridho Berlian Laksamana untuk menyandang Guitar Bass Electric, dalam pertunjukan musik. Dia masih belia, baru duduk di kelas 5 Sekolah Dasar Negeri 1 Banda Aceh. Ridho, begitu dia kerap disapa, tergabung dalam Noktah (titik) Band dan piawai di atas panggung dengan gitar empat senar. Aksi panggungnya memukau, terbukti ketika Noktah Band pentas sebagai eksibisi di acara Lustrum Leha-leha Teknik Unsyiah beberapa waktu lalu. Ridho membetot bass, memukau banyak penonton yang hadir. Ridho belajar gitar bass sejak umur sembilan tahun. Memainkan bass bukanlah semudah bermain gitar biasa. Ketekunan dalam mempelajari bagaimana cara memetik, menggaruk dan membetot senar harus secara kontinu, agar dapat menghasilkan permainan yang sesuai dengan format lagu yang dibawakan.

Pengakuan putra kedua dari Syarifuddin dan Oriza Satifa ini, sebelum bergelut dengan gitar bass, pada saat berusia empat tahun sampai delapan tahun, dia sudah akrab dengan gitar biasa. “Pada mulanya gitar bass itu lebih berat jika saya sandang, namun karena seringnya latihan, sudah tidak terasa lagi beratnya,” ujarnya. Ridho mengatakan bermain bass lebih asyik ketimbang bermain gitar biasa. “Senarnya hanya empat dan besar-besar, apalagi saat bermain di atas panggung, saya dapat merasa lebih percaya diri,” ujar penggemar Bondan Prakoso ini. Berbekal kesungguhan berlatih, keinginannya menjadi seorang musisi mulai berbuah. Di usianya yang sepuluh tahun, Ridho sudah mampu menapaki citacitanya, meski baru tangga nada pertama. Kariernya tak hanya sekedar kebisaaan dan ketekunan. Jelasnya, orangtuanya pun mendukung ambisi Ridho sebagai musisi cilik di Aceh. Q Rahmad S

Angelina Jolie

Herlina

Pengungsi Rohingya

Aktifis Berbakat Nyanyi Banyak hal yang dilakukan oleh aktifis perempuan yang satu ini, dari membicarakan persoalan pemberdayaan perempuan, sampai ke urusan gaya hidup terkini yang digandrungi kaum hawa. Tapi Herlina punya bakat lain yang tak bisa diganggu gugat, olah vokal. Ketika dia berada dalam kelompok koornya di Taman Budaya, tiada lain yang dipikirkannya, hanya nada dan irama. “Saya sangat menyukai seni vocal sejak kecil,” ujar pemilik suara sopran ini. Perempuan yang lahir 27 tahun lalu mengatakan, bakat seni yang dimilikinya tidak harus dibuang begitu saja, meski aktif di berbagai organisasi perempuan. Bakat harus terus diolah setiap saat, ibarat pisau yang terus diasah, jangan biarkan bakat itu terpendam dan mengendap sebab itu akan merugikan. Keterlibatan Alin, panggilan akrabnya, dalam paduan suara ternyata bukan sekadar menyalurkan hobi dan mengasah kemampuan. Tetapi di dalam kelompoknya, dia belajar dan

merasakan banyak pengetahuan yang bertambah. “Bagi saya pembagian suara seperti tenor, sopran, alto dan lain sebagainya, seperti kita hidup bermasyarakat, berbeda baik suku, agama, pendapat, pola pikir, ada laki-laki dan ada perempuan. Biasanya kita jarang sekali bisa menerima perbedaan tersebut, sementara di kelompok paduan suara, perbedaan dapat membuat lagu menjadi indah,” jelasnya. Dari itu juga pelajaran kehidupan diserapnya, kalau setiap perbedaan itu adalah keindahan. “Kesenian seperti paduan suara sudah memberi contoh yang baik kepada kita; berbeda, bersatu untuk mencapai keindahan,” ujarnya. Pengakuan Alin, mengikuti kelompok paduan suara bagi dirinya membuat bahagia. “Lewat nyanyian, orang yang mendengarkan sedikit banyaknya pasti akan tergugah dan juga terhibur,” ungkap putri pelukis Suharno Manaf ini. Q Rahmad Sanjaya

Sikap kejam yang diberlakukan militer Thailand terhadap pengungsi Rohingya yang terdampar di negara itu, mengundang protes keras dari aktris Angelina Jolie. Istri aktor Brad Pitt yang didaulat sebagai duta UNHCR ini mengaku sangat kecewa mendengar kabar tersebut. ‘’Thailand sungguh tidak manusiawi,” Kata artis berusia 33 tahun tersebut. Untuk itu ia mendesak Pemerintah Thailand menghormati hak asasi manusia perahu Rohingya dari Myanmar. Hari Kamis 5 Februari lalu, Jolie dan pasangannya aktor Brad Pitt, berada di Thailand guna membicarakan masalah tersebut. Mereka mengunjungi penampungan pengungsi Ban Mai Nai Soi di perbatasan Thailand-Myanmar. Kunjungan Jolie di Thailand, kata juru bicara Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), Kitt McKinsey, kebetulan

terjadi bersamaan dengan kasus manusia perahu Rohingya. ”Dia (Jolie) tersentuh dengan keadaan pengungsi Rohingya. Dia berharap seharusnya hak pengungsi Rohingya tetap dihormati,” kata McKinsey. Saat berada di Ban Mai Nai Soi, Jolie berbicara dengan para perempuan. Dia bertemu anak-anak yatim piatu di asrama dan mendengarkan kecemasan para gadis jika mereka dikembalikan ke Myanmar. Kasus yang sama ia dengar pula yang terjadi di Aceh. “Umumnya pengungsi itu berharap tidak dikembalikan ke negaranya,” ujar Jolie. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa tentang sikap Thailand itu. Yang ia kampanyekan, bagaiana agar pemerintah Thailand dan juga Indonesia bijak melihat nasib pengungsi tersebut. Kalaupun harus dikembalikan, harus ada jaminan warga tersebut tidak dianiaya. Q Rahmad

SOSOK 18

12 - 20 Februari 2009

FOTO-FOTO: RAHMAD SANJAYA

Sang Maestro Penebar Pesona Sebut saja nama Udin Pelor! Semua orang Aceh pasti mengenalnya. Hidupnya tidak pernah lepas dari seni. Ia pernah melakoni profesi sebagai tukang obat, penyanyi, promotor show, dan pembaca acara. Tapi semua itu tidak lepas dari dunia seni.

D

ENGAN berperawakan ala cowboy, si pembaca acara itu menyerigai penonton dengan suara-suara desing peluru dan dentuman bom. Terkadang ia menggunakan bahasa Aceh, terkadang bahasa China, atau bisa pula berbahasa Inggris. Sudah pasti semua ucapannya itu bersalahan. Tapi itu tidak penting, yang penting, penonton pastilah terpingkal-pingkal dengan gayanya. Lucu, menghibur dan asyik ditonton. Tak jarang justru kehadiran pembawa acara itu lebih menarik ketimbang acara yang sesungguhnya. Namanya Mahyuddin Ismail. Tapi jika menyebut nama itu di depan umum, semua pasti bingung. Tidak banyak yang kenal dengan nama Mahyudin. Sebaiknya panggil nama popularnya saja: Udin Pelor! Barangkali tidak ada warga Aceh yang tidak mengenalnya. Sejak belasan tahun silam, Udin Pelor adalah trade mark berbagai acara pertunjukkan yang ada di Aceh. Ia adalah simbol suksesnya sebuah

acara pertunjukan di tanah nanggroe ini. Meski sangat terkenal di Aceh, jangan pikir ia hidup bak selebriti. Gaya hidupnya tidak jauh seperti warga desa di pedalaman. Ramput panjangnya selalu dikucir ke belakang. Kerap memakai celana jean belel. Hidupnya bagaikan angin. Datang dan pergi sesuka hatinya. “Saya akan bergeak sesuai hati. Jika hati saya mengatakan ia, maka sayapun ke sana. Jika tidak, saya tidak akan ke sana,” katanya tersenyum. Entah apa makna kalimat itu, tapi semua rekan-rekannya tahu, Udin adalah sosok seniman yang tidak mau tundak pada kekuasaan apalagi uang. Ia tunduk pada nurani. Baginya setiap gerak hidup adalah seni. Itu pula yang membuat lelaki gaek kelahiran Matang Geulumpang Dua, 6 Juni 1945 ini masih terus menebar pesona di kalangan warga Aceh. Kesederhanaannya, kepeduliannya pada seni, perhatiannya pada orang kampung, semua ada pada diri Udin Pelor. Hingga di usianya yang sudah mencapai 64 tahun inipun, Udin tetap tidak bisa melepaskan diri dari dunia seni. Walau namanya populer di kalangan pejabat, Udin Pelor tidak pernah sekalipun memanfaatkan peluang itu untuk mencari kekuasaan. Hingga sekarang hidupnya

tertumpu pada usaha mandiri yang dilakukannya sejak usia 16 tahun, mulai berjualan durian, jualan buku bacaan, menulis, hingga kesenian lainnya. “Hidup adalah seni. Seni harus hidup,” itu prinsipnya. Dalam dunia seni, Udin Pelor adalah sosok pendobrak komposisi musik Aceh. Dia orang pertama yang mengubah tone dan ritmik musik Aceh dengan meletakkan pondamen dasar alat musik tradisional. Lahir dari keluarga petani, sejak kecil kehidupan Udin Pelor kerap berbalut lingkungan konflik. Semasa remaja, daeranya termasuk yang rawan konflik. Kala itu Aceh bergejolak dengan hadirnya perlawanan dari kelompok DI/TII pimpinan ulama Teungku Daud Beureu-eh. Udin yang ketika itu punya sebuah boat nelayan kecil, pernah membawa pasukan tentara menuju kuala Langsa. Dalam perjalanan, terjadi kontak tembak. Semua yang ada dalam perahu itu meninggal dunia. Hanya Udin yang tidak tersentuh peluru. Ia terpaksa membawa mayat itu kembali ke daratan. Banyak orang heran mengapa Udin bisa selamat. “Barangkali karena yang menembak itu kenal dengan saya, jadi mereka tidak menembak saya,” kata Udin mengenang kisah sambil terkekeh. Sejak itulah, salah seorang pe-

jabat Pabean di Aceh Timur menyebut dirinya dengan nama Udin Tse Pelor yang artinya Udin sisa pelor. Belakangan justru nama itu kian popular dan jadilah pria kurus tinggi ini dipanggil Udin Pelor. Popularitas nama itu kian menjulang karena Udin Pelor juga aktif dalam kegiatan sandiwara di kampungnya. Lambat laun nama Mahyudin Ismail menghilang ditelan alam. Udin Pelor semakin dikenal, sebab ia memang kerap menampilkan adegan lucu kala tampil di atas pentas. Panggung sandiwara dikenalnya saat bergabung dalam Gelanggang Labu, sandiwara rakyat yang sering pentas keliling desa, dari satu tempat ke tempat yang lain. Selama bergabung dalam kelompok Gelanggang Labu, banyak pengalaman hidup yang diperoleh Udin Pelor. Di situ ia mengenal bagaimana karakter penonton hiburan di Aceh. Sandiwara yang dipertontonkan Gelanggang Labu biasanya selalu dipadari pengungjung karena cerita yang dibawakan banyak mengandung kisah tentang perjuangan Aceh, pendidikan agama, hukum Islam dan hubungan sosial masyarakat. Penampilannya yang khas menjadikan Udin sebagai tokoh utama dalam kelompok itu. Ia simbol kesuksesan setiap pemantasan. Hidup sebagai seniman teater tidak membuatnya lepas dari beban ekonomi. Terkadang penghasilan mereka lumayan, tapi tidak jarang pas-pasan. Tidak jarang hasil yang diperoleh dari pementasan itu tidak bisa dibagi rata sesama 30 anggota teater tersebut. Namun karena hidup seagai seniman sejati, bagi Udin, honor bukanlah seghala-galanya. Tujuan utamanya adalah mempopulerkan seni dan menghibur masyarakat. Suatu ketika, usai tampil di sebuah desa di Aceh Utara, seseorang mendatanginya. Lantas mengusulkan Udin untuk berjualan obat saja. “Dengan tehnik Anda melawan seperti di atas pentas itu, pasti akan sukses sebagai penjual obat,” katanya. Kala itu memang jualan obat di jalanan sedang menjadi tren. Orang lebih suka membeli obat di pinggir jalan ketimbang di apotik. Tentu saja si penjual obat harus mampu menghibur penonton terlebih dahulu. Udin Pelor sosok yang bisa melakukan itu. Dengan kemampuannya bercerita dan melawan, ia pun mulai berjualan obat. Dunia teater tetap tidak ditinggalkan. Beberapa trik jualan obat mulai dipelajarinya secara alami. “Kita harus hibur dulu semua orang. Nanti mereka akan datang ke depan kita. Setelah mereka terhibur, lalu tawarkan barang yang kita mau jual,” katanya. Obat yang dijajakan Udin hanyalah obat sederhana. Terkadang obat cacing, obat batu karang, obat kecantikan. “Pokoknya saya tidak menipu pembeli,” katanya. Terkadang obat itu ada yang diraciknya sendiri, tapi ada pula yang dibeli di apotik. “Saudara-saudara, kalau anda terkena penyakit cacing maka pakailah ramuan kami ini, yang paling top dan

SOSOK 19

12 - 20 Februari 2009

ampuh membasmi cacing yang bersarang di perut anda, ingat saudara-saudara, cacing yang ada pada tubuh kita dan paling berbahaya bukanlah cacing gelang, tapi cacing yang kecil-kecil, alias cacing keremi, maka untuk membasminya minumlah ramuan ini secara teratur, di jamin sembuh seratus persen, kalau tidak uang kembal.” Tidak banyak penjual obat yang memiliki keahlian seperti Udin. Tak heran jika namanya semakin terkenal. Di manapun Udin Pelor menjual obat, semua orang pasti akan berkerumun di sana. Terkadang banyak dari penonton itu yang tidak mau beranjak dari tepatnya berjualan, hingga acara selesai. Yang ditunggu-tunggu tentunya cara Udin melawan. Ia terkadang meniru suara binatang, berbahasa asing dan sebagainya. Semua orang terpingkal-pingkal dibuatnya. Sampai-sampai orang menganggap obat Udin bukan yang utama, tapi aksi

seninya yang ditunggu. “Penonton itu lebih suka hiburan. Karena asyik menonton hiburan sampai-sampai mereka lupa beli obat,” ujarnya terpingkal-pingkal. Udin sendiri tidak keberatan dengan itu. Baginya, yang penting bisa berkesenian. Jualan obat memang untuk mendapatkan uang, tapi unsur seni tetap tidak dilupakannya. Terkadang bermain teater, terkadang jual obat. Itulah dua dunia yang dilakoni Udin Pelor pada tahun 70-an. Tidak hanya sebagai pemain sandiwara, terkadang ia bertindak selaku promotor. Beberapa kali ia mengundang kelompok teater dari Medan untuk mentas di Aceh. Ada kalanya undang, tapi banyak ruginya. Sampai-sampai ia pernah menjual tanah sebagai modal mendatangkan seniman dari Medan. “Itulah hidup. Bagi saya yang penting menikmati hidup, bukan mencari untung,” katanya. Selama

Tak Butuh Penghargaan Namanya memang sangat mentereng di Aceh. Ia menjadi simbol budaya dan seni. Udin kerap diundang ke berbagai pentas kesenian di berbagai kota. Citra Aceh selalu dipertahankannya. Tapi jangan pikir ia banyak mendapat penghargaan. Sampai sekarang tidak satupun pengharaan yang pernah diterima Udin Pelor. Menghargai pekerja seni sepertinya bukan budaya bagi Pemerintah Aceh. Lihat saja bagaimana kehidupan seniman kondang dari Aceh Tengah, PMTOH, Toet dan lainnya. Nama mereka tidak hanya populer di Aceh, tapi juga seluruh nusantara. Tapi penghargaan pemerintah Aceh tak pernah secuilpun menyentuh mereka. Penghargaan justru diterima dari perseorangan di Jakarta. Ketika dua seniman kondang itu mangkat, barulah terasa betapa besarnya peranan mereka dalam mendobrak dunia seni di Aceh. Karya-karya mereka masih berjaya sampai sekarang. Anehnya, Pemerintah Aceh tidak punya dokumentasi itu. Justru ada di luar Aceh. Inilah salah satu yang disesalkan Udin

Pelor terhadap Pemerintah Aceh. Masih ada anggapan bahwa seniman adalah beban yang memberatkan. Padahal peranan seniman sangat besar dalam menyuarakan apapun yang terjadi di tingkat masyarakat. Ketika konflik mendera Aceh, para seniman Aceh juga berjuang lewat jalur seni. Udin sendiri tidak berharap banyak agar Pemerintah Aceh menyadari masalah ini. “Saya tidak memiliki muka untuk mengemis pada mereka yang punya banyak dana, apalagi Pemerintah. Bagi saya, adanya kesadaran berbudaya sudah cukup. Tidak perlu bantu saya. Saya Cuma minta merekamereka menyadari akan adanya budaya di sekitar kita,” ujarnya. Memasuki usia yang sudah senja, Udin lebih banyak menikmati hidup dengan agama dan seni. Terkadang ia menerima banyak tamu yang mau berbagi pengalaman. Kebanyakan mereka adalah seniman muda. Meski tidak muda lagi, tapi Udin Pelor ternyata masih menebar pesona. Q Rahmad Sanjaya

hidup berpindah dari kota ke kota itulah, Udin berupaya mencari jodoh. Ia pernah mendengar nasihat orang tuanya di kampung untuk mencari jodoh seorang wanita bernama Siti Hawa. Berkali-kali ia mencari wanita bernama seperti itu, ternyata sulit. Pernah suatu ketika ia menemukannya, tapi sudah neneknenek. “Ternyata tidak banyak wanita Aceh yang bernama Siti Hawa,” kenangnya. Merasa frustasi, ia tidak lagi peduli dengan nama itu. Dalam suatu acara pementasan di Pidie, justru ia tertarik dengan seorang wanita dari Desa Lueng Putu. Halimah namanya. Pada 1972 ia nekad mempersunting wanita cantik itu. Dari hasil pertemuan dua anak manusia ini, mereka dikaruniasi seorang putri. Hingga sekarang Udin mengaku sangat bahagia hidup bersama Halimah. Setelah berkeluarga Udin masih sempat menekuni bisnis jual obat di pinggir jalan. Bebragai cemoohan orang kerap ia terima. Salah satunya, ia pernah diusir seorang warga etnis tionghoa ketika berjualan di depan toko. Udin mengaku kecewa. Suatu ketika, muncul masalah seorang anak Aceh dengan seorang etnis Tionghoa. Udin yang tidak pernah melupakan sakit hatinya itu, ikut sebagai salah satu motor untuk mengusir etnis itu dari Aceh. Sekitar tahun 1974 terjadilah aksi besarbesaran di Aceh yang memaksa ratusan keluarga keturunan Tionghoa hengkang dari daerah ini. Usai kemelut itu, ia kembali berkarya di pinggir jalan dan di atas pentas. Tapi teman-temannya kemudian menyarankan Udin agar meninggalkan kegiatan itu. Soalnya, orang-orang selalu mengerumuninya hanya untuk melihat Udin berceloteh dan berkisah. Membeli obat bukan yang utama. Atas saran rekan-rekannya, Udin akhirnya mulai menekuni dunia master of ceremony (MC) atau pem-

bawa acara di berbagai kegiatan seni dan formal lainnya. Udin rupanya setuju dengan usul itu. Sejak penghujung tahun 80-an mulailah ia tampil sebagai pembaca acara di berbagai kegiatan seni. Tidak jarang ia diundang untuk acara-acara pemerintahan. Di sinilah Udin mengeluarkan jurus barunya sebagai tukang ngocol. Dasar pelor! Udin tidak mau berhenti di satu titik. Tidak puas hanya menjadi pembaca sebuah acara, Udin kembali menekuni musik, dunia yang sempat ia geluti semasa remaja. Ia sempat menelurkan satu buah album trio bersama Istri dan anaknya. Lagu ini berformat musik gaya baru berbau country dan India. Nama Udin menjadi taruhannya. Tidak sia-sia. Album tersebut meledak di seluruh Aceh. Nama besar Udin Pelor bak mengalahkan segalanya. Itu sebabnya ia dikatakan sebagai salah satu pembaharu dalam musik Aceh. Sejak peluncuran album tersebut, banyak seniman musik Aceh yang melahirkan musik dengan corak yang sama. Sambil mengenang kembali ke masa silam, Udin mencoba mengingat beberapa bait dalam lagunya tersebut. “Ingat-ingat wahe rakan droe/ Bak tatiek duro bak jalan raya/ Han binasa ta jak binasa ta wo/ Peunyakit tablo utang tapeuna//Tameututo bek leupah-leupah/ Peukara lidah yoe cok binasa/ Seubab lidah juwah ban rimoung/ Keumeunan neukheun le ureung tuha//Taba peusuna keugob tapeugah/ Narit fitnah asai bak gata/Di yaumil masya kateusuet lidah/ Panyang meuleumpah meuribe deupa// Gunteng neuraka meu yue koh lidah/ Teumpat keuneubah dalam neuraka.” Sebagai seorang pekerja seni, Udin mengaku sudah banyak merasakan asam garam kehidupan ini. Ia merasa pernah hidup bagaikan seorang pejabat negara. Tinggal lama di sebuah hotel di Banda Aceh. Namun yang lebih penting baginya adalah semangat untuk terus berkiprah di dunia kesenian. “Saya hanya akan berhenti berlumur dengan dunia seni jika saya tidak lagi punya umur,” katanya. Ia tidak memiliki banyak harta yang bisa diwariskan untuk anak dan dua cucunya. Satu-satunya yang diandalkannya adalah karya-karya seni yang sudah pernah ia telurkan. Termasuk album lagu yang pernah populer di Aceh. “Saya sudah katakan kepada istri dan anak saya, cuma syair-syair inilah harta paling berharga saya, biasanya kalau penciptanya sudah tidak ada, syair-syair ini akan di cari orang,” kelakarnya. Meski usianya sudah tidak muda lagi, tapi jiwa Udin Pelor tidak pernah berubah. Ia tetap semangat. Setia dalam berteman dan tetap komitmen dalam dunia seni. Penampilannya tidak banyak berubah dengan Udin pada masa muda dulu. Ramput tetap panjang dikucir ke belakang, kerap tampil dengan topi cowboy, celana jeans dan baju longgar selalu menjadi ciri khasnya. Dunia Udin adalah dunia seni. Dunia yang membuat orang selalu mengenangnya. Q Rahmad Sanjaya

LINGKUNGAN 20

12 - 20 Februari 2009

Program Lamteuba Tinggal Nama FOTO-FOTO JUNAIDI MULIENG

Janji Pemerintah Aceh mengembangkan kawasan pertanian di Desa Lamteuba, ternyata isapan jempol belaka. Yayasan Mae Fah Luang yang berjanji membantu program itu, telah hengkang ke Desa Maheng. Istri gubernur turut bermain?

K

AWASAN Lamteuba, Aceh Besar, beberap waktu lalu sempat menjadi pembicaraan di tingkat nasional. Pemerintah Aceh bahkan pernah memperkenalkan kawasan itu kepada sejumlah lembaga asing, sebagai lokasi percontohan untuk kawasan pertanian masa depan. Warga Lamteuba yang dulunya dikenal banyak terlibat sebagai petani ganja, akan dilatih mengelola pertanian yang berbau bisnis. Seluruh kegiata di sana akan dibantu oleh sebuah lembaga sosial dari Thailand, Mae Fah Luang Fondation. Mae Fah Luang Fondation (MFLF) adalah lembaga donor yang dikelola oleh keluarga kerajaan Thailand. Lembaga ini pernah sukses mengembangkan kawasan pertanian di Kamboja, Myanmar dan wilayah konflik lainnya. Semua lokasi yang dikembangkan itu mulanya adalah ladang ganja atau heroin. Namun semuanya berubah berkat jasa MFLF. Berkat jasanya itulah, MFLF beberapa kali mendapat penghargaan internasional, karena bisa mengubah paradigma warga, dari penanam ganja menjadi petani yang sukses. Program itupula yang semula akan dikembangkan MFLF di Aceh. Awal 2008 lalu MFLF datang ke Aceh dan menawarkan kerjasama dengan Pemerintah Aceh untuk membuat

lokasi pertanian di wilayah ini. Pemerintah Aceh lantas menunjuk lokasi Lateuba sebagai tempatnya. Pihak MFLF sudah setuju. Apalagi Lamteuba sebelumnya dikenal kawasan ladang ganja. MFLF berharap bisa mendidik warga desa di sana untuk beralih menjadi petani yang sukses. Selain mengembangkan lapangan pertanian, rencananya di desa itu juga akan didirikan pusat peternakan kambing. Pemerintah Aceh menggaet MFLF dengan harapan bisa mengembangkan tiga program utama, yaitu ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Program ini bisa meningkatkan gerakan-gerakan ekonomi yang bersumber dari agrobisnis. MFLF memulai aksinya pertengahan 2008 lalu dengan penanaman beberapa jenis palawija, sebagai pilot project pertanian alternatif. Lamteuba merupakan kemukiman yang tergabung delapan desa di dalamnya; Gampong Ateuk, Lam Apeng, Blang Tingkeum, Lambada, Lampante, Meurah, Lamteuba Droe dan Pulo. Masyarakat di daerah ini, sebagian besar berprofesi sebagai petani. Pada masa konflik melanda Aceh, Lamteuba termasuk daerah hitam, karena sering kali dijadikan basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai tempat persembunyian. Daerah ini tergolong subur. Letaknya tidak jauh dari kaki gunung

Seulawah Agam, sekitar 500 meter dari permukaan laut. Bisa ditempuh dalam dua rute perjalanan. Dari rute atas, jarak tempuh mencapai 62 kilometer yang melalui Seulimum. Sementara rute bawah berjarak tempuh 48 kilometer yang melalui pelabuhan Malahayati, Krueng Raya. Kendati tak jauh dari ibukota provinsi, jalan menuju ke sana masih parah. Wilayah itu lumayan terisolir, tidak adanya transportasi umum, membuat aktifitas perekonomian masyarakat Lamteuba tidak berjalan. Bahkan, untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari saja, masyarakat harus pergi ke Banda Aceh. Selama ini Lamteuba kurang tersentuh program pemerintah Aceh. Bangunan pun tidak banyak yang berdiri di sana. Keadaan ini semakin diperparah dengan tidak tersedianya lapangan kerja tetap bagi masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Makanya, ketika MFLF menyatakan siap membangun daerah itu, warga Lamteuba mengaku sangat senang. Untuk untuk mendukung pelaksanaan program tersebut, warga menyerahkan semua lahan mereka untuk proyek pertanian. Tercatat 5.000 hektar tanah warga siap dijadikan lahan pertanian buah. Sebanyak 800 hektar lainnya untuk persawahan. Program itu melibatkan sekitar 4.000 jiwa warga setempat.

Semua persiapan sudah lancar. Untuk menjalankan misi itu, MFLF mendatangkan belasan tenaga kerja khusus dari Thailand. Di antaranya ada ahli bidang pertanian tanaman keras dan sejumlah ahli peternakan yang berpengalaman. Namun, selama tiga bulan program berjalan, ternyata MFLF terkesan tidak serius menggarap kawasan tersebut. Tidak satupun kegiatan di Lamteuba yang membuahkan hasil. Ladang gambut dan tanah kosong masih terbentang luas di sana. Tidak ada lahan pertanian buah, tidak ada pembibitan tanaman di sana. Yang ada hanya debu dan asap yang mengepul dari mobil pengangkut kayu yang melintas jalan daerah itu. “Mulanya mereka sangat menggebu-gebu akan membangun desa kami. Tapi ternyata semua itu omong kosong belaka,” kata Nasir, salah seorang tokoh masyarakat di Lamteuba. Pihak MFLF dianggap hanya memanfaatkan masyarakat untuk popularitas organisasi mereka. Misalnya, kata Nasir, ada masyarakat yang menanam cabe dan tomat, mereka foto dan mengatakan bahwa itu kerja mereka. Padahal itu murni usaha warga di desa di sana tanpa ada bantuan mereka sedikit pun. “Ini yang membuat masyarakat tidak suka sama mereka,” katanya. Bahkan kerbau ada pula kerbau

LINGKUNGAN 21

12 - 20 Februari 2009

milik warga desa yang mereka suntik, dan sampai sekarang kerbau itu tidak beranak lagi. Tadinya warga berharap MFLF akan mengembangkan Lamteuba seperti yang dijanjikannya semula. Akan ada lokasi pertanian yang subur di desa itu. Nyatanya, warga setempat hanya disuruh menanam terong Thailand, padahal warga tahu terong tidak terlalu diminati warga Aceh. Selain itu, tambah Nasir, tidak semua masyarakat desa bisa makan terong. “Kalau misalnya, kami tidak punya beras untuk dimasak, apa kami harus makan terong,” ujar Nasir kesal. Warga Desa Lamteuba pun bingung. Hubungan keduanya kian runyam dan akhirnya program tak berjalan. Puncaknya, diam-diam MFLF hengkang dari Lamteuba. “Mereka keluar dari Lamteuba tanpa memberitahukan apa-apa. Masyarakat semakin yakin, bahwa keberadaan mereka di sana tidak sepenuhnya ingin membantu masyarakat. Kami kecewa terhadap MFLF,” ujar Muhammad Nasir, pemuda Lamteuba. Padahal, ungkap Nasir, waktu MFLF dan Pemerintah Aceh masuk ke Lamteuba, warga desa semua dikumpulkan. Tapi waktu mereka keluar, tidak ada pemberitahuan apaapa kepada warga desa. “Begini

caranya bertamu, padahal mereka berasal dari negara yang dikenal memiliki nilai sosial tinggi,” ungkap Nasir. Mukim Lamteuba Muhammad Hasyim, membenarkan kepergian MFLF dari Lamteuba tanpa sepengetahuan masyarakat. Bahkan, yang menyedihkan lagi, siang hari sebelum keberangkatan MFLF, mereka memerintahkan kepala desa di daerah tersebut agar mendata jumlah ternak masyarakat untuk dikebiri dan penyuntikan. “Tapi malam harinya, mereka datang ke saya menyerahkan kunci kantor. Katanya mereka mau ke Maheng. Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka sudah siap untuk berangkat, mereka bilang akan kembali lagi ke sini. Yang jadi permasalahan sekarang, kepala desanya harus menerima gunjingan masyarakat, karena sudah terlanjur mendata ternak masyarakat,” ujarnya. Hasyim juga mengaku kecewa. Selain itu dia mengungkapkan sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat Lamteuba adalah lapangan kerja. “Dengan adanya lapangan kerja, ekonomi masyarakat juga akan tumbuh. Tapi dari program MFLF ini, masyarakat tidak mendapatkan hal tersebut,” ungkap Hasyim. Tersiar kabar, keluarnya MFLF dari Lamteuba karena dirayu oleh

Yayasan Sambinoe, sebuah lembaga yang dikelola oleh Darwati A.Gani, isteri gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Dugaan ini dikuatkan, karena MFLF keluar dari Lamteuba setelah Sambinoe masuk untuk melakukan pemberdayaan pertanian kedelai di salah satu kampung di Lamteuba. Kabar ini sudah tersiar luas di kalangan warga Lamteuba “MFLF dijemput Sambinoe dengan alasan jalan ke Lamteuba susah dilalui karena jembatannya rusak parah,” kata Zulfahmi, tokoh masyarakat Lamteuba. Kebetulan Yayasan Sambinoe punya program di Desa Maheng, Aceh Besar, jadilah MFLF mengalihkan programnya di sana. Program yang tadinya akan dikembangkan di Lamteuba, semua dialihkan ke Maheng. Tenaga ahli yang semula tinggal di Dea Lamteuba, juga pindah dan menetap di Maheng. Ketua Harian Yayasan Sambinoe, Misdawan mengakui, Yayasan Sambinoe memang mengajak MFLF kerjasama untuk melaksanakan program di Maheng. “Atas dasar ajakan itu, MFLF mengirim beberapa orang ke Maheng untuk melakukan peninjauan lapangan,” katanya. Belakangan justru Maheng yang menjadi pusat program MFLF di Aceh. Tapi Misdawan mengaku MFLF masih punya program di Lamteuba bersama Sam-

binoe, berupa program pemberantasan penyakit malaria. Di Desa Maheng yang terdapat di kaki gunung Seulawah, Yayasan Sambinoe mengelola beberapa program pertanian palawija, peternakan kambing dan juga perikanan darat. Sejumlah pejabat daerah dikerahkan untuk membantu kegiatan yayasan ini. Listrik yang tadinya tidak ada, kini sudah masuk. Pengaruh Darwati A Gani, selalu istri gubernur Aceh dan pengelola Yayasan Sambinoe sangat berperan mendorong agar pejabat Aceh membantu program tersebut. Wajar saja jika MFLF lebih senang bekerjasama dengan Yayasan Sambinoe, karena mereka punya akses langsung dengan pemegang kekuasaan. Program kerjasama Yayasan Sambinoe dan MFLF di Maheng ini belum banyak diketahui orang. Kabarnya pemerintah Aceh sengaja menutup-nutupinya agar tidak malu kepada publik dan dunia internasional. Sebelumnya Irwandi telah menggembar-gemborkan kalau program MFLF ada di Lamteuba, bukan di Maheng. Program di Maheng itu adalah kegiatan Yayasan Sambinoe, lembaga yang dikelola istri Irwandi. Tapi tidak disangka, justru yayasan itu yang menjadi pemicu agar MFLF meninggalkan Lamteuba. Q Junaidi Mulieng

Pusat Pemberantasan Malaria M

ELIHAT situasi Desa Lamteuba, yang terbayang adalah sebuah desa kubuh yang tak tersentuh pembangunan. Warga desa ini hidup dalam kemisinan. Sangat kontras dibanding lahan desa yang terkenal subur. Dulu sebagian warga Lamteuba hidup dari menanam ganja. Setelah tanaman ini diberantas, warga tidak tahu lagi dari mana untuk hidup. Mereka sempat berharap banyak dengan kedatangan Mae Fah Luang Foundation (MFLF) yang diundang oleh Pemerintah Aceh. Belakangan MFLF henkang dan memilih bekerjasama dengan yayasan yang dikelola Darwati A Gani, istri Gubernur Irwandi Yusuf. Satu-satunya program yang tersisa di Lamteuba adalah rencana pemerintah untuk menjadikan kawasan itu sebagai pilot proyek pemberatasan malaria untuk Provinsi Aceh. Lamteuba sebagai lokasi percontohan, sebab daerah ini merupakan salah satu daerah endemis malaria. “ Karena itu kita memilih Lamteuba sebagai pilot poyek yang kasusnya malaria sudah mulai menurun,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh TM Thaib. Kasus malaria tertinggi di Lamteuba terjadi pada pada 2006 yaitu sebanyak 751 kasus, kemudian turun pada 2007 menjadi 150 kasus. Pada 2008 kurang dari 50 kasus dengan rincian 12 kasus terjangkit pada penduduk dan selebihnya para pendatang di daerah ini. Menurut kepala Puskesmas Lamteuba, dr Natalina Kristanto saat ini di daerah tersebut hampir tidak ditemukan kasus malaria namun pada masa penularan paling banyak terdapat tiga kasus.Menurunnya kasus malaria secara signifikan di daerah itu, kata Natalina, karena dukungan kader yang aktif dan peran serta masyarakat. “Masyarakat turut berperan aktif memberantas malaria, mereka juga cepat merespon dengan langsung membawa ke puskesmas jika ada yang dicurigai malaria,”

ujarnya. Perilaku masyarakat yang menjadi sumber penularan malaria juga bisa diubah sehingga masyarakat bisa hidup lebih sehat. Desa ini memiliki enam kader pemberantasan malaria yang direkrut dari masyarakat setempat. Mereka bertugas memberi penyuluhan bahkan mengambil sampel darah dari warga yang diduga malaria. Program pemberantasan malaria merupakan satu-satunya kegiatan MFLF yang masih dikembangkan di Lamteuba. Yayasan Sambinoe yang dikelola Darwati A Gani, juga ikut terlibat dalam program ini. Kedua lembaga ini mengembangkan program pemberantasan, dengan beberapa tahapan,

yakni deteksi, diagnosa, penanganan dan pencegahan serta membangun kapasitas masyarakat setempat untuk memberantas malaria. Bagi masyarakat Lamteuba, pemberantasan malaria tentu sangat penting. Namun sesungguhnya yang lebih penting lagi adalah pembangunan ekonomi. Tadinya mereka berharap Mae Fah Luang bisa mendorong perbaikan ekonomi ini. Namun Yayasan Sambinoe justru telah merebut mereka dan memindakan program ekonomi tersebut ke Desa Maheng, lokasi yang menjadi proyek Yayasan Sambinoe. Ini yang membuat warga desa kecewa. Yayasan Sambinoe telah meruntuhkan harapan warga desa itu. Q Junaidi Mulieng

CMYK

EKONOMI 22

12 - 20 Februari 2009

Kopi Gayo Masih Ditunggu Permintaan luar negeri terhadap kopi Arabika dari Tanah Gayo masih tetap tinggi. Krisis global tidak membuat penggemar kopi menghentikan hobi mereka menyeruput minuman ini setiap pagi. Kopi Arabika bahkan penyumbang terbesar devisa negara

K

RISIS ekonomi global yang melanda dunia sejak September 2008 telah mengganggu ekspor non-migas Indonesia yang cenderung menurun, karena daya beli di luar negeri lesu. Provinsi Aceh yang kini sedang memulai membangun ekonomi sejak dilanda konflik dan musibah tsunami, juga ikut teribas krisis tersebut. Namun, krisis yang sudah memasuki bulan keempat ini belum berpengaruh terhadap perdagangan luar negeri Aceh, karena memang komoditi non migas yang diekspor pada tahun 2008 masih sedikit, hanya 13 jenis. Dari 13 jenis tersebut hanya tujuh komoditi hasil non-industri, seperti kopi Arabika, getah damar, madu, biji coklat, pinang, damar dan tempurung kelapa sawit. Dari jumlah tersebut, kopi Arabika merupakan komoditi yang paling besar menyumbangkan devisa bagi negara. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM Provinsi Aceh, realisasi nilai ekspor kopi Arabika hingga periode Januari-September 2008 mencapai 21,255 juta dolar Amerika Serikat (5,815 ribu ton) atau meningkat 17,66 persen dibandingkan tahun 2007 yang hanya 18,890 juta dolar AS (6,038 ribu ton). Kepala Disperindagkop dan UKM Aceh, Cipta Hunai di Banda Aceh, menyatakan, pangsa pasar terbesar komoditi kopi Arabika adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat merupakan negara paling besar yang mengimpor kopi Aceh hingga September 2008 yakni men-

capai 14,946 juta dolar AS (4,129 ribu ton) atau 70,30 persen dari total ekspor komoditi tersebut. Oleh karenanya, pada saat krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat, para eksportir mulai lesu, karena ekspor terhenti, katanya. Kemudian, negara pengimpor lainnya Kanada dengan nilai 1,742 juta dolar AS (434,7 ton), Meksiko 1,164 juta dolar AS (288 ton), Australia 130,8 ribu dolar AS (37,2 ton), dan Selandia Baru senilai 126,171 ribu dolar AS (36 ton). Selain itu, negera tujuan ekspor kopi Aceh juga ke Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), yakni Inggris, Berlgia, Jerman, Norwegia, Swedia, serta Selandia Baru. Negara pengimpor terbesar adalah Jerman dengan nilai 916.775 dolar AS (291,96 ton). Ia menyatakan, bila ditinjau dari pangsa pasar, seharusnya eksportir

Aceh tidak hanya melihat Amerika Serikat, tapi bagaimana pasar Eropa diperluas, baik negara tujuan dan volume ekspornya. Dengan demikian, pangsa pasar kopi Aceh tidak hanya tergantung pada Amerika Serikat saja, sehingga apabila terjadi krisis ekonomi seperti sekarang ini dampaknya tidak terlalu besar, katanya. Prospek cerah Kopi Arabika yang diekspor seluruhnya dihasilkan di Kabupaten Aceh tengah dan Bener Meriah, sehingga dataran tinggi Gayo tersebut merupakan sentra produksi komoditi tersebut. Ketua Forum Kopi Aceh (FKA), Mustafa Ali menyatakan, kopi merupakan komoditi andalan masyarakat yang berada di daerah berhawa dingin itu, karena sudah bertahuntahun penghasilan mereka dari tanaman tersebut. Pada bulan pertama krisis ekonomi, katanya, petani di daerah itu sempat khawatir, karena hasil kopi mereka tidak bisa dipasarkan, karena pembeli luar negeri tidak mau beli lagi. Namun, kekhawatiran tersebut mulai hilang, karena ternyata pasaran kopi Arabika masih tetap eksis. “Meksipun krisis ekonomi global masih melanda dunia, namun pasaran kopi Arabika pada tahun 2009 masih cukup cerah. Hal itu dilihat dari faktor harga yang semakin membaik,” ujarnya. Ia menyatakan, harga kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah bergerak naik mendekati normal, setelah sebelumnya sempat turun akibat berkurangnya permintaan luar negeri, akibat krisis ekonomi global. Harga biji kopi gabah (kualitas ekspor) di tingkat petani saat ini Rp13 ribu hingga Rp14 ribu/ kg, sedangkan sebelumnya sempat

turun Rp9.000/Kg. “Naiknya harga kopi tersebut bersamaan dengan meningkatnya permintaan, termasuk dari luar negeri.” Sehubungan dengan itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah terus berupaya meningkatkan mutu kopi di daerah itu, sehingga bisa tetap bersaing di pasaran luar negeri. Sekitar 16 ribu dari 85 ribu hektare tanaman kopi Arabika di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah kini secara bertahan sedang direhabilitasi, karena selain sudah tidak produkstif lagi, juga ada pohon yang tidak cocok dengan kondisi alam. Mustafa Ali menyatakan, kedua pemerintah di kabupaten itu akan membantu petani untuk meremajakan kembali tanaman kopi mereka yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Di Kabupaten Aceh Tengah sedikitnya 8.000 ha dan Bener Meriah 8.000 ha tanaman kopi yang harus diremajakan kembali dengan varitas unggul. Pemerintah setempat sudah melakukan pembibitan tiga varitas kopi unggul yang telah ditetapkan, yakni varitas Timtim, Borbor, dan PB-88. Ketiga jenis kopi tersebut merupakan hasil penelitian Dr. Surib dari Balai Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, Jawa Timur. “Jadi, dari hasil penelitian hanya tiga varitas kopi tersebut yang cocok ditanam di kawasan daratan tinggi Gayo, Aceh Tengah dan Bener Meriah,” katanya. Mustafa menyatakan, pengembangan tanaman kopi di daerah itu tidak perlu lagi dengan sistem ekstensifikasi, tapi intensifikasi dengan melakukan rehabilitasi secara besarbesar, karena memang luasnya sudah cukup memadai.

CMYK

CMYK

PENDIDIKAN 23

12 - 20 Februari 2009

Jerit Tangis Petani Kopi di Luar Aceh PETANI kopi di tanah Gayo pantas bergembira. Di tengah krisis global yang melanda dunia, permintaan kopi dari daerah pegunungan Aceh nan dingin ini terus meningkat. Harga penjualan kopi Gayo di kalangan petani pun masih cukup menggembirakan. Data dari kalangan petani di Takengon menyebutkan, harga kopi hijau kualitas ekspor di tingkat petani berkisar Rp 24.000 - Rp24.500 per kg. Sementara kopi gabah Rp13.000 hingga Rp13.500 per kg, biji kopi gelondongan antara Rp3.500 hingga Rp4.000/ bambu (satu bambu = 1,5 Kg). Beberapa bulan sebelumnya harga kopi di Aceh memang sempat menerima dampak dari krisis global tersebut. Bahkan harga pernah anjlok hingga 30 persen. Namun situasi itu hanya berlangsung selama dua bulan. Sejak penghujung tahun lalu harga kembali naik menuju titik normal yang menguntungkan petani. Kopi adalah satu-satunya komoditi yang tidak terpengaruh lagi dengan kondisi krisis ekonomi. “Sekarang ini, Alhamdulillah permintaan kopi sudah mulai stabil, bila dibandingkan pada saat krisis ekonomi awal September 2008. Harganya pun sudah mulai normal,” kata Mustofa, salah seorang petani kopi di Aceh Tengah. Luas tanaman

“Dengan luas lahan yang ada sekarang ini saja, produksi kopi Arabika sudah sangat melimpah, sehingga tidak perlu perluasan lahan,” katanya. Dipatenkan Kopi Arabika kini akan diusulkan untuk dipatenkan dari sisi geografis, sehingga memiliki daya

kopi Arabika di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah mencapai 50 ribu hektare dengan produksi sekitar 50 ribu ton/tahun. Nilai ekspor kopi Arabika asal Aceh pada 2008 tercatat 24,979 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau naik 38 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 18,064 juta dolar. Kenaikan nilai ekspor itu menunjukkan bahwa komoditi kopi tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi yang melanda dunia sejak September 2008. Volume ekspor kopi Aceh tahun lalu naik dari 6.038 ton pada 2007 menjadi 6.933 ton. Untuk tahun ini prospek ekspor kopi Aceh masih cerah karena permintaan dunia masih tinggi. Suka cita yang dialami petani Kopi di dataran tinggi Gayo ini berbanding terbalik dengan petani kopi di luar Aceh. Suasana di wilayah Lampung — salah satu provinsi yang juga penghasil kopi di Indonesia – berbeda dengan Aceh. Petani kopi di wilayah ini justru hidup merana karena harga kopi mereka terus anjlok. Saat ini harga kopi hijau di wilayah mencapai Rp13.000 perkilogram (kg). Padahal sebelumnya harga kopi itu mencapai Rp 22.000 per kg. Kopi lampung adalah jenis robusta. Berbeda dengan kopi Aceh yang berjenis arabika. Akibat penurunan yang mengejutkan itu, para

jual yang tinggi. Mustafa Ali menyatakan, pihaknya akan mengusulkan ke Departemen Hukum dan HAM agar kopi Arabika mendapat sertifikasi indikasi geografis kopi Arabika dataran tinggi Gayo. Sebelumnya, katanya, pihaknya akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat, menyusun buku yang

petani di Lampung berencana untuk menebang tanaman kopi mereka dan menggantikannya dengan jenis tanaman lain. Melihat iklim di daerah itu, petani Lampung berencana menanam coklat dan karet sebagai pengganti kopi. Rencana ini yang membuat kalangan eksportir kopi di Indonesia menjadi resah. Pemerintah diminta menghimbau petani kopi Lampung agar melanjutkan niat mereka ini. “Kita minta pemerintah meyakinkan petani kopi di Lampung untuk tidak menebang kopi mereka dan menggantikannya dengan tanaman lain,” kata Ketua Kompartemen Pembinaan Produksi dan Mutu (PPM) Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Lampung Riswansyah Djahri. Untuk mendorong petani Kopi di sana agar tetap mempertahankan tanaman kopinya, AEKI Lampung dan pemerintah setempat mulai menggalakkan kampanye memperluas tanaman kopi. Salah satunya dengan membagi-bagikan bibit secara gratis. Sampai Januari ini sebanyak 30.000 batang bantuan Mentan sudah diberikan kepada masyarakat. Namun tampaknya kampanye itu tidak banyak membantu. Sampai bulan ini petani kopi di Lampung masih resah karena harga belum jua membaik.

melibatkan para ahli, dan kemudian di seminarkan. Disebutkan, apabila kopi Arabika NAD tersebut memiliki hak paten, maka semua produk yang dikeluarkan dari tanah Gayo harus ada lebel sertifikasi. Tujuan sertifikasi tersebut selain bisa meningkatkan pendapat daerah, juga melindungi petani di daerah

Cafe Starbucks yang tersebar di berbagai negara, masih menjadikan kopi gayo sebagai salah satu minuman favorit

Q Rizanul

tersebut, katanya. Dengan adanya sertifikasi, mutu kopi Arabika bisa dipertahankan, sehingga daya saing di pasaran luar negeri semakin kuat, tambahnya. Selain itu, Departemen Pertanian juga diharapkan bisa memberi sertifikasi terhadap tiga bibit unggul kopi Arabika yang dikembangkan selama ini. Ketiga jenis kopi Arabika tersebut adalah Timtim, Borbor dan P88. Biji kopi yang berasal dari tiga jenis bibit itu juga sudah dites di luar negeri, dan sesuai dengan selera konsumen, ujarnya. Departemen Pertanian diharapkan bisa memberi sertifikasi terhadap tiga jenis bibit kopi Arabika tersebut, sehingga bisa dilakukan penangkaran secara besar-besar untuk dikembangkan di daerah tersebut, katanya. “Kita menginginkan agar produktivitas tanaman kopi di dataran tinggi Gayo bisa ditingkatkan lagi, sehingga produksi komoditi tersebut bisa meningkat,” katanya. Oleh karenanya, untuk meningkatkan produksi harus melalui sistem intensifikasi, yang antara lain mengembangkan bibit unggul yang telah terbukti hasilnya, ujarnya. Selain itu, program lain yang harus dilakukan adalah rehabilitasi tanaman kopi yang tidak produktif lagi. “Jadi, setiap tahun FKA minta kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah untuk mengalokasikan dana pengadaan bibit. Alhamdulillah permintaan tersebut direspon, sehingga mulai tahun lalu pemerintah menyediakan satu juta bibit,” kata Mustafa Ali. Q Rizanul

CMYK

CMYK

BISNIS 24

12 - 20 Februari 2009

FOTO-FOTO JUNAIDI MULIENG

B

Mencoba Nyali di Tali Gantung

ERPETUALANG dalam alam yang masih asri. Mencoba tantangan mengadu nyali pada tali-tali sambil melayang antara bukit. Flying Fox, itulah fasilitas yang coba ditawarkan pada sebuah tempat wisata sekaligus olahraga di D’Mata Ie Hillside. Berlokasi di Mata Ie, tempat itu dibangun Teuku Darmawan, putera asli Aceh yang telah mampu menciptakan lokasi wisata baru untuk masyarakat.

Flying Fox, adalah salah satu game tantangan individu yang coba ditawarkan. Diadaptasi dari pelatihan militer ini, dilakukan dengan cara meluncur dari ketinggian tertentu. Tujuan akhir dari game ini adalah untuk memantapkan seseorang, bahwa kita harus bisa mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Berani berkata “ya” atau “tidak”. Wahana baru yang terdapat di D’Mata Ie Hillside ini, sangat menarik bagi orang-

orang yang ingin menguji adrenalinnya, terbang melewati arena out bound dan para pengunjung yang berada di bawah. Sangat menyenangkan, permainan ini aman, karena sebelum meluncur perlengkapan keselamatan langsung di bawah pengawasan operator. Setiap peluncur wajib mengenakan back harness atau seat harness dan carabiner. Sehingga pengunjung dapat memperagakan Spider style dan Superman style. Dengan mengeluarkan biaya

sebesar Rp 20.000, anda sudah bisa menikmati permainan satu ini. Permainan yang membutuhkan keberanian dan mental kuat ini, selain digemari orang dewasa juga disukai anak-anak. Meluncur dengan flying fox! bagaimana rasanya ya?...Yang jelas anda akan mendapatkan pengalaman berbeda. Nyali anda akan ditantang dalam game ini. Dan akan lebih seru lagi kalau lintasannya panjang. Q Junaidi Mulieng

CMYK

CMYK

BISNIS 25

12 - 20 Februari 2009

FOTO-FOTO JUNAIDI MULIENG

Menarik Laba di Mata Ie Tempat itu berawal dari arena pribadi, lalu dtawarkan ke umum. Jadilah arena wisata dan bermain yang menjanjikan. Setiap akhir pekan banyak keluarga yang berlibur ke sana. Jadilah kawasan Mata Ie sebagai lahan bisnis hiburan baru.

D

’MATA Ie Hillside. Tulisan itu terpampang pada sebuah spanduk di lereng gunung Mata Ie, Aceh Besar, sekitar setengah jam memakai motor dari pusat kota Banda Aceh. Tempat wisata itu menjanjikan, menawarkan berbagai permainan baru sekaligus wisata bagi masyarakat Aceh. Setelah melewati beberapa tanjakan dari gunung itu, akan terlihat sebuah tempat yang diberi pengaman dengan pagar sekitar tiga meter. Di balik pagar, tepatnya di tempat parkir, ratusan mobil serta motor pribadi memenuhi area sebelah kiri. Sebuah pos lalu dilewati. Pengunjung wajib membayar tiket masuk, Rp 25.000 per orang. mereka akan mendapat soft drink serta fasilitas bebas berenang di kolam biasa dan kolam air laut sampai sore. Kolam ini akan dijumpai ketika menuruni tanjakan dari pintu masuk. Setiap pengunjung juga bebas bermain di area pohon dan jembatan gantung, yang terletak di bagian belakang D’Mata Ie Hillside, serta bebas untuk keliling tempat seluas dua hektar tersebut. Tempat yang baru dibuka akhir tahun 2008 lalu, juga menawarkan berbagai hiburan permainan lainnya. Misalnya jika ingin menikmati permainan ATV sircuit (motor mesin kecil), yang terletak di tengah wahana bermain tersebut, harus menambah Rp 20.000 untuk empat kali

putaran. Sedangkan bagi pengunjung yang ingin menguji nyali dengan bermain flying fox, bergelayutan dan meluncur dengan tali yang ketinggiannya lebih dari 10 meter, dikenai biaya tambahan Rp 20.000 untuk sekali terjun. Soft gun atau arena permainan tembak menembak ala tentara sedang dalam proses izin dan pengerjaan, belum bisa dinikmati. Untuk keamanan pengunjung, permainan ini diawasi oleh pekerja yang sudah berpengalaman. Dari sekian banyak wahana bermain, kolam renang yang paling banyak diminati. Maklum, selain gratis, airnya juga sangat dingin dan segar. Sesuai dengan namanya Mata Ie yang berarti ‘mata air’, semua air yang terdapat di kawasan itu adalah dari mata air pegunungan. Mata Ie adalah sumber air alama yang menjadi andalan penduduk Banda Aceh. Selain tempat bermain, D’Mata Ie Hillside juga menyediakan tempat untuk santai dan restoran yang dibuat di tempat yang menanjak, tempat duduk dibuat pada sisi kiri lereng gunung batu yang berundakundak, menambah keindahan tempat ini. Para pengunjung juga dimanjakan dengan keindahan gunung Mata Ie, pepohonan menghijau serta udaranya yang sejuk. Di sisi kanan, group band lokal menghibur para pengunjung dengan alunan musik yang merdu. Bagi pengunjung yang ingin menikmati keindahan alam sambil mengadakan berbagai pertemuan, tempat ini juga menyediakan ruangan untuk meeting. Melihat konsep pembangunan D’Mata Ie Hillside, yang terbayang adalah sebuah konsep lokasi wisata yang mengandalkan keindahan pemandangan

alami: hutan Aceh. Boleh jadi inilah lokasi wisata pertama yang terdapat di kawasan hutan di Aceh. Karena menghadirkan konsep baru, tidak heran jika setiap akhir pekan banyak keluarga yang boyongan ke sana. Mata Ie bisa ditempuh dengan menggunakan sepeda motor atau mobil. Jaraknya sekitar 15 km dari pusat kota Banda Aceh. Selain sebagai lokasi hiburan keluarga, kawasan D’Mata Ie Hillside bisa juga sebagai tempat rapat. “Sekarang saja ramai yang pesan untuk berbagai keperluan acara per paket. Untuk satu hari paket out bond Rp 1,3 juta sampai Rp 3,5 juta, tergantung jumlah pesertanya,” ungkap Linda Darmawan, pengelola taman rekreasi tersebut. Menurutnya, awal mula tempat itu dibuat untuk kepentingan pribadi, berekreasi dan berlibur. Lama kelamaan karena banyaknya permintaan dari para relasi agar tempat

tersebut dibuka untuk umum, maka tanggal 26 Desember 2008, tempat itu resmi dibuka untuk umum. “Pada awalnya ide membuka tempat ini lahir dari trauma orang Aceh terhadap laut akibat tsunami penghujung 2004 lalu, nggak berani ke laut, kita buka tempat di gunung dan kebetulan di Aceh belum ada tempat yang seperti ini,” ujar Linda. Respon masyarakat terhadap tempat yang buka setiap hari ini cukup bagus, terbukti saban Sabtu dan Minggu jumlah pengunjung mencapai 1.000 orang. Sedangkan pada hari kerja jumlanya sekitar hanya 80 sampai 100 orang. “Kita nggak pernah menyangka kalau akan seramai ini, padahal awalnya hanya tempat rekreasi keluarga,” tambah ibu tiga anak ini. Melihat antusias pengunjung yang baik, rencananya T Darmawan sang pemilik D’Mata Ie Hillside akan menambah beberapa jenis permainan lagi di tanah pribadi warisan milik keluarganya itu. Seperti water boom dan kebun binatang. Rancangan tempat dengan berbagai permainan wisata itu telah menghabiskan dana lebih dari Rp 8,8 milyar. Darmawan yang arsitek itu merancangnya sendiri. Tempat itu dibuka setiap hari, di luar Sabtu dan Minggu, arena dibuka mulai pukul 09.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Akhir pekan, baru ditutup pada pukul 24.00 WIB. “Walau dibuka sampai larut malam, tempat ini dilarang mesum,” kata Bustari, seorang penjaga. Menurutnya, malam hari tempat ini khusus dibuka untuk keluarga dan meeting, tidak untuk yang berpasangpasangan belum menikah. Sedangkan di siang hari dibuka untuk umum, dan tidak ada celah untuk berbuat mesum, karena semua ada pengawasannya. “Kalau untuk duduk-duduk dan santai, masih oke lah,” ujar laki-laki 38 tahun itu serius. Untuk keamanan dan kenyamanan, arena rekreasi seluas dua hektar ini mempekerjakan sekitar 50 orang karyawan, mulai dari waiters, petugas pengawas permainan sampai satpam. Dengan gaji mulai dari Rp 1,3 juta hingga Rp 2,5 juta perbulan. Setiap petugas disediakan mess yang tersebar di sekitar tempat rekreasi tersebut. Q Mellyan

CMYK

UKM 26

12 - 20 Februari 2009

Batu Bata

tak Lagi Jaya

Seiring berakhirnya proses rehab rekon, permintaan batu bata semakin menurun. Pengusaha terpaksa banting harga. Bisnis batu bata yang dulu sempat menggiurkan, kini tak lagi bergengsi.

W

AJAH Zulfikar tak lagi diselumuti senyum. Ketika mendengar Badan Behabilitasi dan Bekonstruksi (BRR) akan mengakhiri masa tugasnya di Aceh tahun ini, ia pun mulai mengambil ancang-ancang untuk memulai langkah baru. Bisnis batu bata yang sudah digelutinya sejak lima tahun lalu tampaknya tidak menjanjikan lagi. ‘’Saya mungkin akan beralih ke bisnis perikanan, ‘’ katanya saat ditemui di kawasan pabrik batu bata miliknya di Aceh Besar. Seraya menunjukk ke tumpukan batu bata yang menggunung di lokasi pabrik itu, Zulfikar berujar, ‘’ Lihatlah batu bata itu. Sudah berbulan bulan teronggok menunggu pembeli, tapi belum juga laku.” Padahal tidak sedikit dana yang sudah diinvestasikannya untuk memulai bisnis ini. Sebelumnya ayah dua anak ini mengembangkan bisnis perikanan. Ia sempat punya dia boat penangkap ikan yang beroperasi di Pantai Barat Aceh. Setelah tsunami melanda, ia beralih profesi mengembangkan bisnis kerajinan batu bata. Ia tertarik, karena selain memiliki jaringan ke berbagai kalangan pengusaha, Zul mengaku punya teman di Medan yang juga berpengalaman mengembangkan bisnis ini. Dari temannya itu, Zul lantas belajar banyak tentang lika liku bisnis batu bata. Ia menjual salah satu biat pukatnya dan membeli mesin pencetak batu bata di Medan seharga Rp 90 juta. Mesin itu sejatinya untuk mobil, tapi kemudian dimodifikasi menjadi mesin perakit batu bata. Dalam sehari, ribuan bata bisa dicetak dengan menggunakan mesin tersebut. Langkah Zulfikar tidak salah. Baru sebulan mengembangkan bisnis batu batanya, permintaan tak pernah berhenti. Mesin yang dibelinya itu nyaris tidak pernah berhenti berbunyi. Dengan mempekerjakan empat pemuda setempat, siang malam mereka sibuk meracik batu bata untuk kebutuhan rehab rekon di Aceh. Dalam tiga tahun terakhir, pundi-pundi keuangan Zulfikar terus bertambah karena permintaan seakan tidak pernah berhenti. Dalam sebulan, paling sedikit ia harus melayani permintaan batu bata sebanyak 10 ribu unit. Bahkan

pada dua tahun pertama ia pernah kelabakan harus menyiapkan permintaan dari kontraktor sebanyak 100 ribu batu bata. Jika sebuah bata batu dihargai Rp 500, berarti dalam sebulan Zulfikar pernah mendapatkan omzet hingga Rp 50 juta. Dari jumlah itu, sekitar Rp 30 juta merupakan keuntungan bersih setelah dipotong harga beli tanah dan gaji pekerja hariannya. ‘’Saat itu bisnis batu bata memang sedang booming. Sampai-sampai saya harus membeli dari pabrik lain karena pabrik yang saya punya tidak sanggup memenuhi permintaan pembeli,” katanya. Padahal sebelum tsunami, harga jual batu bata di Banda Aceh hanya Rp 250 per buah. Setelah tsunami, ketika rehab rekon tengah menggila, harga kalangan pengrajin menaikkan harga jualnya hingga 100 persen atau dua kali lipat. Begitupun, kebutuhan batu bata di banda Aceh masih terasa kurang. “Rasanya keputusan saya beralih menjadi pengusaha batu bata adalah keputusan yang tepat saat itu,” ujar Zulfikar. Memasuki tahun keempat pascabencana tsunami, mulailah tanda-tanda penurunan omzet dirasakan Zulfikar. Permintaan yang tadinya minimal 10 ribu per bulan, mulai menurun sedikit demi sedikit. Belakangan penurunan itu kian tajam. Bahkan kalangan pengusaha konstruksi mulai berani menawar harga lebih rendah lagi. ‘’Dulu kontraktor itu tidak pernah menawar-nawar harga. Mereka telepon dan butuh batu bata sekian, lalu kami antar,” tambah Zul. Sekarang, kalangan pengusaha batu bata terpaksa

harus merayu agar produk batu batanya dibeli. Harga terpaksa diturunkan, dari Rp 500 per buah menjadi Rp 300. Dalam beberapa bulan terakhir, omset penjualan batu bata di pabrik Zulfikar paling banyak sekitar 5.000 buah per bulan. Dalam sebulan ia hanya mendapatkan hasil penjualan Rp 2,5 juta. “Jelas hasil itu tidak sepadan dengan harapan saya dulu. Biaya operasional juga sangat besar,” katanya. Belum lagi biaya pembelian kayu untuk pembakaran yang nilainya Rp 600 ribu satu truk. Agar lebih berhemat, Zul terpaksa mengurangi jumlah karyawannya, menjadi satu orang saja. Banyaknya pengrajin batu bata di wilayah Aceh Besar membuat persaingan bisnis ini semakin ketat. Kalangan pengusaha kontruksi kini bisa leluasa memilih batu bata yang mereka suka karena stok sangat banyak di pasaran. Bisnis batu bata yang sempat menjadi idola, kini tidak lagi bergengsi. Berkurangnya aktivitas rehab rekon membuat permintaan terus menurun. Kondisi ini yang membuat Zul bersiap-siap kembali ke bisnis lamanya, jadi nelayan. Mumpung ia masih memiliki satu kapal kecil penangkap ikan yang selama ini disewakan kepada rekannya. ‘’Tampaknya batu bata akan saya tinggalkan. Saat ini sedang musim ikan di pantai barat,” katanya. Saat ditemui di rumahnya di kawasan Lhung, Aceh Besar, beberapa waktu lalu, Zul sedang bergelut dengan jaringjaring ikan yang lama tidak terpakai. Jaring itu disimpannya di gudang belakang. ‘’Sudah empat tahun saya tidak meng-

gunakan jaring ini. Kini saatnya mereka digunakan lagi.” Bisnis batu bata tetap tidak akan ditinggalkannya. Tetap dijalankan, namun hanya sekedarnya saja, sebab pembeli juga tidak terlalu banyak. Di lokasi pembakaran batu batanya, Zul memiliki empat dapur pembakaran. Masing-masing dapur bisa membakar delapan ribu batu bata. Sekarang hanya dua dapur saja yang beroperasi, itupun sesekali. Belum ada data yang pasti berapa jumlah pabrik batu bata yang ada di kawasan Aceh Besar. Namun Zul memperkirakan lebih dari 200 lokasi pembakaran batu bata di kabupaten ini. Belum lagi beberapa tempat yang ada di sekitar Banda Aceh. Sebelum tsunami melanda, pabrik batu bata di kawasan Aceh Besar hanya sekitar 50 buah. Setelah tsunami, karena tingginya permintaan, banyak pengusaha yang mengembangkan bisnis ini. Yang terbanyak berada di Aceh Besar karena bahan bakunya, tanah merah, mudah diperoleh di kaki bukit. Malah ada pula pengusaha di Banda Aceh yang mengembangkan bisnis batu bata di tengah kota, dengan membeli tanah merah dari Aceh Besar. Sekarang semua pengusaha batu bata itu bernasib sama seperti Zulfikar. Mereka mengeluh karena semakin turunnya permintaan. Harga batu bata terpaksa diturunkan karena rendahnya permintaan pembeli. Ironisnya, biaya operasional justru semakin mahal, termasuk gaji karyawan yang harus dinaikkan seiring naiknya upah minimun regional di Banda Aceh dan Aceh Besar. Q Rizanul

UKM 27

12 - 20 Februari 2009

Melirik Bisnis Langka

FOTO-FOTO JUNAIDI MULIENG

Sukses mendirikan bengkel pembuatan Kubah di Pulau Jawa, Imran akhirnya memutuskan pulang kampung ke Aceh dan mendirikan usaha pembuatan kubah masjid di Banda Aceh. Pasarnya tersebar di seluruh Aceh. Biasanya menjelang hari raya omset akan naik.

B

ENGKEL itu tergolong langka. Tak ada mobil atau motor yang parkir diperbaiki di sana, tak juga peralatan rumah tangga. Yang terlihat hanyalah kubahkubah masjid berbahan besi anti karat. Bentuknya bak perak yang mengkilap. Sebuah papan nama terpampang di atas kerangka bengkel tersebut: Kubah Tamita Jaya. Di kalangan warga Banda Aceh, bengkel yang terdapat di Desa Lueng Bata itu memang dikenal sebagai pusat pembuatan kubah masjid. Bengkel tersebut didirikan oleh Imran Saleh. Dia memang seorang seniman logam yang sangat mahir menciptakan kreasi dari besi. Imran tertarik mengembangkan bengkel kubah masjid karena sangat sedikit orang di Aceh yang tertarik mengembangkan bisnis itu. “Di Aceh banyak masjid, tapi hanya sedikit yang bisa menciptakan bengkel untuk kubah masjid,” katanya. Inilah yang dilihat sebagai peluang bisnis oleh Imran Saleh. Dia membangun usahanya di Aceh pascatsunami lalu. Bengkelnya sederhana, sebuah ruko berukuran 3 x 4 meter yang dipenuhi besi dan rangka

kubah. Saat SIPIL menjenguk ke sana, suara bising timbul dari mesin serta palu yang beradu dengan rangka kubah. Cat bagian dinding ruko mulai terkelupas. Tempat tersebut disewa Rp 10,5 juta pertahun. Imran memanfaatkan bagian belakang ruko untuk tempat tinggal pengurus bengkel dengan istri dan anak mereka yang ikut membantu membuat kubah tersebut. Sejatinya, bengkel tersebut adalah sebuah cabang dari usaha pembuatan kubah yang terdapat di Jakarta dan Medan. Sang pemilik, Imran Saleh yang asli putra Aceh, sebelumnya telah sukses membuka usahanya di Pulau Jawa. Karena itu pula, dia membuka cabang bengkel kubah di Aceh. Para pekerjanya berasal dari Bandung, Jawa Barat. Termasuk Haris, ketua cabang bengkel kubah Aceh. Sementara bengkenya yang di Jawa tetap berjalan sampai sekarang. Imran sendiri mulai banting stir menjadi pengrajin kubah masjid ketika ia tinggal di Jakarta. Mulanya ia hanya ahli bangunan biasa. Suatu ketika ia mendapat order untuk membangun masjid. Di sanalah ia

mulai merancang pembuatan kubah. Sejak saat itu ia terus belajar dan mempelajari teknik khusus pembuatan kubah masjid. Kebetulan kala itu banyak pesanan kubah masjid di Pulau Jawa, sehingga bisnis Imran mulai maju. Ia juga membuka pendidikan kursus pembuatan kubah di bengkelnya di Jakarta. Ketika tsunami menghantam Aceh, Imran terpikir bakal banyak masjid yang akan direnovasi setelah rusak dihantam gelombang raya itu. Kebetulan ia ingin sekali pulang kampung. Maka klop lah, impian pulang kampung bisa berjalan, sekaligus bisa membuka ladang usaha baru di Banda Aceh. Berbekal keahlianya itulah, Imran membuka usaha baru di Banda Aceh. Benar saja, ketika pertama kali berdiri, banyak order yang diterimanya. Bengkelnya di Banda Aceh yang mulai beroperasi awal 2005 itu, sampai sekarang bahan bakunya masih didatangkan dari pulau Jawa. Untuk membuat kubah masjid, dibutuhkan besi dan lempengan stainless mengkilap untuk menutup serta melapisi rangka besi, bakal kubah masjid. “Di sini bahan bakunya susah didapat. Kalaupun ada, harganya mahal, pekerjanya juga dari Jawa karena di sini susah cari orang untuk kerja,” ujar kepala bengkel, Haris yang telah memutuskan untuk menetap di Aceh. Kubah masjid berukuran beragam, mulai yang paling kecil berdiamater 40 sentimeter sampai yang paling besar, ukuran 12 meter. Namun Haris juga menerima pembuatan kubah sesuai pesanan. Pengakuannya beberapa waktu lalu, mereka membuat kubah dengan ukuran 18 meter. Menurutnya, untuk membuat satu kubah berukuran 40 sentimeter, menghabiskan seperempat lembar stainless yang berukuran 1 x 2 meter. Sedangkan untuk membuat kubah ukuran 12 meter menghabiskan 140 lembar. Satu lembar stainless dibeli dengan harga Rp 200 ribu. Proses penyelesaiannya juga

tergantung besar atau kecil kubah yang disiapkan. Biasanya untuk menyelesaikan sebuah kubah yang berukuran 40 sentimeter, dibutuhkan waktu tiga hari. Harga jualnya Rp 4,5 juta. Sementara untuk menyelesaikan kubah 12 meter, diperlukan waktu seminggu lebih, dengan harga jual Rp 144 juta perbuah. Dalam sebulan, bengkel kubah tersebut menjual satu atau dua kubah masjid. Haris tidak bisa menghitung secara jelas berapa omset bengkel itu dalam sebulan. Soalnya, tingkat penjualan juga tidak tetap. “Pernah juga nggak laku sama sekali dalam satu bulan, tapi kita tetap membuatnya untuk stok. Sekarang, kubah yang besar paling banyak laku,” ungkap ayah dua anak ini. Konsumen kubah masjid dari Tamita Jaya ini tersebar di seluruh wilayah Aceh, mulai dari pesisir barat selatan hingga utara dan timur Aceh. Bahkan mereka juga memenuhi pesanan stok kubah masjid dari Bireuen. Pesanan sepi biasanya pada pertengahan tahun. Mereka akan kebanjiran order menjelang lebaran. “Mungkin waktu lebaran ramai yang buat masjid atau renovasi,” ujar Haris. Haris membawahi sepuluh orang pekerja. Mereka digaji Rp 30.000 sampai Rp 60.000 per hari, sesuai dengan berat pekerjaan masingmasing. Jumlah tersebut bersih, di luar jatah makan yang sudah menjadi tanggungan bengkel Tamita Jaya. Bengkel ini menjual dua jenis kubah, yaitu kubah berbentuk setengah lingkaran dan kubah biasa atau lingkaran penuh. Dari satu buah kubah yang berukuran besar, pemiliknya mendapat keuntungan bersih 20 persen. “Keuntungan itu sudah dipotong untuk gaji pegawai dan membeli bahan baku yang tergolong mahal itu,” kata Haris. Selain memproduksi kubah masjid, bengkel ini juga menerima titipan kubah yang berasal dari Jawa untuk dijual, dengan cara membagi keuntungan hasil penjualan bersama pihak yang menitip kubah tersebut. Q Mellyan

PARIWARA 28

12 - 20 Februari 2009

Arena Belajar Kuli Tinta JUNAIDI MULIENG

AJI Banda Aceh membidani lahirnya sekolah jurnalistik di Banda Aceh. Pendanaannya dari Kanada. Idealnya guru harusnya wartawan lokal, bukan wartawan Jakarta.

“U

NTUK membuat laporan indept reporting berita televisi, tidak mesti menonjolkan kamera, itu poin ketiga. Yang penting melakukan observasi, fokus yang jelas dan ada bahan awal,” ujar Dhandhy Dwi Laksono, produser salah satu terlevisi swasta dalam sebuah kegiatan belajar mengajar di Banda Aceh. Para mahasiswa mahfum. Beragam pertanyaan pun muncul. Semuanya demi mendalami ilmu jurnalistik untuk melakukan liputan yang lebih baik. Dandhy menjabarkan semua pertanyaan itu berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Banyak yang puas, dan barangkali ada juga yang masih kurang menangkap. Ya, itulah dinamika yang berlangsung di ruang belajar Muhamrram Jurnalis School, sebuah lembaga kursus jurnalis yang baru berdiri di Banda Aceh. Dandy hanya satu dari beberapa wartawan yang memberi kuliah umum di kursus itu. Dia diundang dari Jakarta untuk memberikan kuliah umum berdasarkan pengalamannya sebagai wartawan TV. Muharram Jurnalis School (MJS) adalah sekolah yang lain dari biasanya. Pendirian lembaga kursus ini diprakarsai Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh. Harapannya, MJS akan menjadi sekolah untuk para calon wartawan di Aceh.

MJC diresmikan pada November 2008 silam oleh Debra Bucher, Perwakilan Development and Peace (D&P), sebuah organisasi non pemerintahan asal Kanada yang terlibat dalam pemulihan kondisi Aceh pascatsunami. D&P lah yang mendanai operasional sekolah tersebut selama dua tahun ke depan. Maimun Saleh, Rektor MJC kepada Sipil mengatakan, sekolah dibuka karena banyak jurnalis Aceh yang tidak memiliki akses untuk pendidikan formal dalam meningkatkan kemampuan jurnalistiknya. Akibatnya karya jurnalistik cenderung bernilai rendah. “Lainnya adalah agar adanya proses regenerasi wartawan di Aceh,” ujarnya. Nama Muharram diambil dari nama Ketua AJI Banda Aceh, Muharram M Nur, wartawan Aceh yang meninggal saat bencana tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004 silam. Muharram adalah ketua AJI kedua semenjak organisasi ini berdiri di Banda Aceh pada 2000. Lembaga pendidikan jurnalis ini terbuka bagi siapa saja yang berminat di bidang jurnalistik. Menurut Maimun, tahap pertama, MJC menerima sebanyak 60 orang. Mereka terdiri dari pekerja pers pemula dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menyukai jurnalistik. Masuk sekolah tak sembarang, tapi melalui proses seleksi yang ketat. “Ada 200 orang yang mendaftar, setelah diseleksi tinggal 60 orang,” ujar Maimun Mahasiswa terbagi dalam tiga kelas, cetak, radio dan televisi. Untuk memudahkan proses belajar me-

ngajar, kelas cetak dibagi dalam dua bagian, untuk mahasisiwa dan jurnalis. Sedangkan radio dan televisi khusus untuk para jurnalis yang umumnya masih pemula. Mahasiswa MJC akan dibina selama satu semester atau enam bulan dengan jadwal belajar hari sabtu, ditambah dua kali kuliah umum dalam sebulan, yang menggabungkan semua kelas. Tenaga pengajarnya adalah jurnalis senior dari lokal dan nasional. MJC menerapkan sistem belajar dengan menggabungkan teori dan praktik. Untuk mendukung kegiatan tersebut, MJC menyediakan fasilitas laboratorium bagi kelas cetak, agar memudahkan mahasiswa menulis serta mengolah berita. Sedangkan kelas radio dan televisi disediakan fasilitas studio. “Setelah mereka belajar teori bisa langsung praktik, ini untuk memudahkan mahasiswa dalam belajar,” ujar Maimun. Sekolah gratis, tidak memungut bayaran apapun. Minimal untuk tahap pertama dalam dua tahun ke depan. Menurut Maimun, sekolah tersebut nantinya akan diplot jangka panjang, menjadi sebuah lembaga pendidikan yang permanen di Aceh. Setelah tidak lagi didanai D&P, sekolah akan berusaha mencari funding lain. Juga akan mewajibkan siswanya untuk membayar, sampai kepada menawarkan program pelatihan menulis kepada instansi yang membutuhkannya. “Kita tatap upayakan sekolah itu tidak mati.” Menurut Ketua AJI Banda Aceh, Muhammad Hamzah, didirikannya MJC bertujuan untuk mendidik



jurnalis memegang peranan penting bagi Aceh yang saat ini dalam masa transisi setelah konflik yang panjang ”

jurnalis muda yang profesional dan bertanggung jawab. Diharapkan nantinya berita yang tersaji di berbagai media massa kepada publik lebih berkualitas. Terutama karena dirasakan adanya kesulitan regenerasi di level penulis dan redaktur. Hamzah menambahkan, jurnalis memegang peranan penting bagi Aceh yang saat ini dalam masa transisi, setelah konflik maupun pascatsunami. Media punya andil dalam menjaga perdamaian Aceh maupun hak asasi manusia. “Karena media mempunyai kekuatan besar membentuk cara berfikir sebuah bangsa.” Nana Muliana, Mahasiswa Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Ar-raniry (IAIN) yang menjadi seorang mahasiwa di MJC , sekolah tersebut merupakan lembaga pendidikan pendukung bagi anak muda yang ingin belajar sekaligus memperdalam ilmu jurnalistik. Dengan tenaga pemgajar handal yang berasal dari daerah dan nasional, para jurnalis pemula bisa belajar profesional. “Banyak hal baru yang saya dapatkan dari MJC. Seperti cara menulis serta metode menghadapi narasumber yang sesuai jurnalistik,” ujarnya. Walaupun demikian, Nana mengakui metode yang diterapkan MJC belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Seperti masalah kedisiplinan serta kuliah umum yang dianggapnya membosankan. “Sebenarnya udah lumayan untuk kuliah khusus, tapi waktu kuliah umum terasa membosankan, kayak kuliah di kampus juga, mungkin karena rame,” ungkap perempuan kelahiran 1987 ini. “Kalau masalah disiplin, terasa masih kurang. Contohnya batas pengumpulan tugas, terkesan nggak tegas sehingga kita nggak terpacu untuk menyelesaikannya,” tambah Nana. Ia berharap kedisiplinan serta metode belajar bisa lebih variatif sehingga mahasiswa MJC bersemangat mengikuti kuliah serta dapat menyerap ilmu yang diberikan tenaga pengajar dengan sempurna. Terkait kurang disiplinnya MJC, terutama kurang tegasnya proses penugasan mahasiswa, Maimun mengakui hal itu. Dia berjanji, sekolah akan terus memperbaiki di kemudian hari. “Maklum, kita masih baru dan sedang membenahi semuanya,” demikian Rektor MJC. Q Adi W, Mellyan

SENI 29

12 - 20 Februari 2009

Karya seni pada umumnya adalah perkawinan atau pergulatan antara pikiran dan perasaan seniman yang subjektif dengan realitas objektif yang ada dalam dalam kehidupannya. Subjektifitas seniman muncul disebabkan pilihan hidup yang dibentuk oleh lingkungan seniman itu sendiri. Sementara objektifitas hadir dalam realitas manusia tanpa bisa dinafikan. Pergulatan inilah yang menjadikan karya seni itu bermakna.

Tokoh Absurd dalam Diri Kita Oleh: Djamaluddin Sharief *

M

ELALUI bukunya, The Anatomy of Drama, Martin Esslin dalam salah satu risalahnya menyatakan bahwa kandungan masalah yang terdapat dalam teater modern makin lama akan semakin komplek. Teater masa kini, seiring dengan melajunya peradaban umat manusia tidak hanya berbicara seputar nasibnya, moral dan kekuasaan seperti pada zaman Yunani kuno, melainkan sudah semakin terfokus pada masalah-masalah yang lebih spesifik seperti bahasan politik, ekonomi dan hubungan antar manusia secara individu. Pada akhir abad ke-19, muncul teater modern yang diakibatkan oleh keraguan manusia terhadap kebenaran-kebenaran dari nilai-nilai yang hadir di tengah masyarakat. Padahal manusia itu sendiri dapat menciptakan peradaban baru dengan nilai-nilai yang baru pula. Teater modern sejak munculnya mulai berkembang di seluruh dataran Eropa dan kemudian menjalar ke Amerika Serikat serta bagian dunia lainnya. Sedangkan absurditas dalam teater muncul setelah Perang Dunia II dan merambah seluruh dataran Eropa. Bentuk teater ini menolak untuk digolongkan ke dalam aliran-aliran yang sudah ada dan lebih memberi perhatian pada sisi kemanusiaan. Albert Camus, salah seorang yang paling fasih menjelaskan absurdisme menyebutkan bahwa manusia absurd ialah manusia yang di satu pihak menyadari keinginannya untuk hidup dalam ketertiban, di lain pihak

menyadari pula bahwa alam semesta tidaklah tertib. Di satu sisi ia mendambakan rasionalitas, di sisi lain bahwa alam semesta tidaklah rasional; hatinya penuh pertanyaan bila berhadapan dengan alam semesta yang bisu; hasratnya yang menggapaigapai makna hanya menangkap ruang yang kosong tanpa makna. Ditambahkan oleh Camus bahwa manusia hidup tidak bahagia dan ia (kemudian) mati. Manusia tidak tahu untuk apa ia menderita dan mati. Nasib manusia yang seperti itu tidak bisa lain kecuali bersifat konyol alias absurd. Absurditas dalam konsep Albert Camus tersebut memiliki kemiripan dengan konsep chaos yang ditulis Ziauddin Sardar dan Iwona Abrams yang menjelaskan bahwa chaos menarik karena ia menghubungkan pengalaman sehari-hari manusia dengan hukum-hukum alam dengan cara mengungkapkan kaitan sama antara manusia kesederhanaan dan kompleksitas serta antara keteraturan dan keacakan. Chaos menampilkan sebuah semesta yang pada suatu saat deterministik dan mematuhi hukumhukum fisika dasar, namun berpotensi untuk menjadi tak teratur, kompleks dan tak teramalkan. Banyak naskah-naskah teater yang berbicara tentang tokoh yang hidup dalam pertentangan keinginan, antara keinginan manusia terhadap hidup yang tertib dengan keinginan manusia yang irrasional. Terdapat tokoh sebagai raja sudah terbiasa dengan kalimat-kalimat perintah dan ini

merupakan wujud dari otokrasi kekuasaan, menginginkan dirinya diperintah yang merupakan wujud irrasional dalam otokrasi kekuasaan. Hal ini merupakan kekonyolankekonyolan dari keinginan manusia yang kadangkala tidak rasional. Seperti juga sering tanpa sadar muncul sosok lain dalam diri kita bila kita mau jujur. Kita acap merasa bukan diri kita pada waktu-waktu tertentu. Nah, tokoh absurditas dalam naskah teater akan terlihat bahwa manusia pada sisi tertentu memiliki keinginan yang tidak masuk akal dan menunggu sesuatu yang tidak jelas. Dalam kehidupan sehari-hari sering terlintas keinginan yang sama dengan menuntut sesuatu yang tidak jelas sebagai wujud dari keinginan manusia secara umum yang juga kadangkadang tidak jelas. Dalam pandangan filsafat absurd, memang tidak ada yang dapat dicapai atau ditunggu dalam alam semesta yang irrasional. Oleh karena itu maka keinginan yang terlintas sesaat hanya semata-mata hendak pergi melanglang buana dalam jagad pikiran yang aneh. Jagad pikiran tersebut tidak jelas mau bermuara kemana. Akan tetapi absurditas memang mengarah pada sesuatu yang tidak jelas, yang dipentingkan adalah masalah bukan menyelesaikan masalah. Karya absurd seperti Samuel Beckett dan Eugene Ionesco, menarik perhatian kita untuk lebih merenungkan makna hidup, dengan sebuah pertanyaan sederhana; makna apa yang akan kita berikan pada hidup

kita ini? Benny Yohanes mengatakan bahwa menjadi aktor adalah usaha memaparkan hakikat sebuah kejadian. Dalam teater kejadian-kejadian itu terutama di ekspresikan melalui katakata. Kata-kata adalah bentuk pengabdian dari suatu kejadian. Karena itu, tantangan yang paling prinsipil bagi aktor teater adalah kesanggupannya untuk merawat katakata yang mengungkapkan emosi abadi yang termuat di balik kata-kata. Lalu bagaimana dengan kita, pengalaman empirik yang sering disebut dejavu atau hal lain yang senada dengan itu. Sudah siapkah para teaterawan di Aceh untuk menyelami pikiran-pikiran konyol dalam teater? Tentu saja dengan kemasan yang layak dan dapat dicerna oleh masyarakat penonton. Meski pada sisi lain, teater seharusnya mampu mencerdaskan penonton lewat tontonan yang tidak hanya menyuguhkan persoalan kelucuan semata. Nilai pesan jauh lebih penting ketimbang hanya berkutat pada kelucuan yang sebenarnya tidak lucu. Paling tidak para teaterawan Aceh jangan sampai terjebak pada kedangkalan berpikir sehingga tidak terjadi adaptasi yang mentah terhadap naskah-naskah dari barat. meskipun begitu, ada usaha untuk mencoba belajar lewat naskah-naskah yang mampu mencerdaskan aktor, sutradara dan tentu saja, penonton di Aceh. Q Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang, berdomisili di Banda Aceh.

BUDAYA 30

12 - 20 Februari 2009

RAHMAD SANJAYA

Teater untuk Gampong Untuk menggugah kepedulian warga Aceh terhadap orang cacat, kalangan seniman Aceh menggelar acara keliling kampung. Mereka menyebutnya program saweu gampong. Dengan pertunjukan teater, mereka mengundang agar semua warga menghargai penyandang cacat.

P

ERTENGAHAN Januari 2009 lalu, di pedalaman Aceh Besar, para seniman menggelar tikar plastik, sebagai alas untuk mereka dan warga. Pada sebuah tanah lapang di depan kantor desa Lheu, Kecamatan Seulimum, mereka punya hajatan menghibur warga dengan pentas teater. Anak-anak, muda-mudi dan tetua desa berkumpul sore itu, menonton aksi seniman yang tergabung dalam Komunitas Seniman Muda Aceh atau disingkat KOSMA. Mereka menyaksikan semua ulah anak-anak muda itu sampai usai. Sebuah

teater yang dikemas dalam sandiwara keliling dan diiringi pentas musik kontemporer, paduan alat musik tradisional dan modern. Pemimpin KOSMA, Iwan Setiawan sebelumnya menjelaskan terlebih dahulu tentang tujuan mereka menggelar acara tersebut. Selain menghibur, masyarakat Aceh yang berdomisili di pedesaan, menurutnya, sangat memerlukan informasi dan halhal yang dapat memberikan efek positif terhadap pemikiran awam orang desa. Karena itulah mereka mengemas program Saweu Gampong, sebuah program yang pernah populer saat tsunami masih belum terlalu jauh dari ingatan. Kini aksi it hampir tak terdengar gaungnya. Maklum, kurang donator hingga dana pun cekak. Banyak seniman yang tak sanggup lagi masuk kampung. Tapi KOSMA terus saja maju. Gayung bersambut ketika Handicap dan PIDA – dua lembaga

donor yang peduli dengan budaya — mau be kerjasama. Mengangkat isu sosialisasi untuk warga tentang Penyandang Cacat, mereka keliling dengan teaternya. Wilayah cakupan yang mereka kunjungi lumayan luas di Aceh Besar. Di antaranya; Lamnga, Ie Sueum, Lamtengoh, Lambaro, Lamkawe, Pante Raja, Dilip Bukti, Buklok, Lheu, Sepat Baro dan Lamteba. “Sosialisasi ini sebenarnya lanjutan program tahun kemarin, kali ini kita bersosialisasi di 16 desa. Sosialisasi ini sudah kita lakukan sejak 11 Januari lalu dan akan berakhir pada 7 Maret 2009,” ujarnya Iwan menambahkan, ketertarikan mereka atas program ini karena rasa kemanusiaan. Menurutnya, semua orang perlu berinteraksi, tanpa kecuali. Pentas seni yang mereka pertontonkan ke penduduk desa adalah teater. Dalam teater itu, mereka mengajak semuanya peduli terhadap saudara-saudara penyandang

cacat, baik yang cacat sejak lahir, cacat karena konflik atau karena tsunami. Pentas itu sekaligus mengandung misi mengajak orang catat untuk tampil percaya diri. Jangan merasa kalah dengan orang normal. Umumnya mereka yang mengalami cacat tubuh, kata Iwan, akan minder baik secara pribadi maupun dalam kehidupan lingkungannya. “Kami ingin menuntun mereka pada wilayah yang lebih positif dan meyakinkan mereka dan warga umumnya, bahwa penyandang cacat juga mampu berbuat lebih dari orang-orang yang normal.” Dalam melakukan sosialisai, para seniman KOSMA membuat mini drama yang berisikan pesanpesan langsung yang menggugah kehidupan masyarakat Gampong. Bahasa yang digunakan sangat sederhana dan mudah dimengerti. Bahasa daerah menjadi andalan karena banyak orang kampung tidak tidak paham bahasa nasional.

BUDAYA 31

12 - 20 Februari 2009

Misalnya, mereka pernah mempertontonkan sebuah cerita tentang seorang anak cacat yang justru berhasil dalam pendidikan. Ada pula kisah lain tentang anak cacat yang sangat baik hati. Semua tontonan itu memang bertujuan untuk menggugah kesadaran semua orang terhadap cacat fisik. Walau tema yang diangkat sangat sederhana, namun daya tarik terhadap tontonan tersebut sangat tinggi. Setiap acara yang digelar, penonton umumnya sangat ramai. Daya pikir dan nalar para seniman ini sangat brilian, mereka sanggup merangkul masyarakat gampong hampir ke seluruh pelosok untuk menyaksikan sosialisasi baik di balai desa maupun di lapangan desa. Terbukti setiap kali mereka hadir di desa, penontonnya lumayan banyak dan antusias. Seniman muda ini juga melakukan sosialisasi melalui poster dan spanduk agar masyarakat desa tahu, bila mereka akan datang. Seorang personel KOSMA, Fuad mengatakan, sebelum mereka tampil, tim promosi terlebih dahulu menjumpai kepala desa. Izin kemudian didapat, mereka lalu bergerak untuk menempelkan pengumuman dan membagi poster. “Selama kami melakukan sosialisasi sebelum pertunjukan, kami tidak mengalami kendala apapun, yang ada hanya antusias aparat desa yang kami lihat. Hampir semua desa yang kami datangi memberikan respon positif atas kegiatan ini,” ujar Fuad KOSMA kerap mendapat acungan jempol dari aparat desa dan tidak jarang setelah sosialisasi, para ibu, aparat desa dan anak-anak sesungukan melepas kepergian mereka. Para seniman itu telah memberikan pemahaman yang sangat hakiki bagaimana

menghargai sesama manusia, termasuk orang cacat sekalipun. Misalnya ada satu yang paling membekas pada KOSMA, ketika mereka akan meninggalkan Desa Lamnga. Para ibu-ibu memberikan mereka lontong sayur. Kata mereka, warga tidak bisa membayar mereka apapun, hanya lontong sayur yang mereka punya. “Semoga adik-adik jangan bosan datang ke desa kami ini,” kata Iwan menirukan pesan seorang ibu. “Saya langsung terenyuh dan tidak dapat berkata apa-apa lagi, bagi saya inilah penghargaan yang paling tinggi selama ini, karena ibu-ibu itu memberi atas dasar keikhlasan yang tinggi atas kehadiran kami di desa mereka,” urai Iwan. Dari hasil program Saweu Gampong oleh KOSMA, beberapa desa di Aceh Besar sudah terlihat kemandirian beberapa penyandang cacat yang dulunya takut berinteraksi dengan masyarakat di desanya. Mereka tak segan lagi berbaur dan mengerjakan banyak hal. Beberapa orang penyandang cacat yang dijumpai KOSMA, optimis merubah pola hidup mereka dari ketergantungan dengan keluarga menjadi kreatif dan mandiri. Teater untuk gampong terus saja dilakoni oleh mereka para seniman muda. Keluar-masuk gampong untuk sebuah sosialisasi, mungkin ke depan juga tentang perdamaian. Selain menghibur, juga berisi pendidikan. Aksi brilian seniman Aceh ini sekaligus menampik anggapan bahwa karya seni hanya kerap dipertontonkan untuk orang kota. Nyatanya, karya seni seperti teater sudah mulai dikenal masyarakat desa. Teater juga alat sosialisasi efektif untuk menyampaikan program pemerintah. Q Rahmad Sanjaya

Dimana Tabloid SIPIL Bisa Didapat Anuar Ar Jl Cut Nyak Dhien Setui. Banda Aceh M. Fadir Jl Banda Aceh Medan Kios Remis Grong-grong. Sigli Hp. 08126997662 Yanuar Jl Iskandar Muda Sigli Hp. 085277316526 Zulkifli Jl Banda Aceh Medan samping Toko Bahagia Beurneun M. Jafar Jl Banda Aceh Medan depan Bpd Lumputu Hp. 085277112544 Muklis/Jafar Belakang Halte Bus Trenggading Hp. 081360965535 Toko Buluh Indah Jl Iskandar Muda Kota Meurdu Bnga Yadi Toko Planet Samalanga Hp. 081269806521 Armiya Jl Gajah No. 2 terminal Bireun Hp. 085260291090 Alahuddin Jl Banda Aceh Medan Patupat aceh Utara Usman Jl Suka Ramai Lhokseumawe Hp. 081360027784 Mahiddin Samping Masjid Mon Geudong Lhokseumawe Hp. 081360163142 Faruddin Toko Berdikari Jl Banda Aceh Medan Lhoksukon Hp. 085277776050 Toko Sinar Jl Cikditoro no. 24 Panton Labu Hp. 085261679335 Toko Dinar Jl Banda Aceh Medan Lhok Nibung M. Nasir Jl Banda Aceh Medan Jolok, Kuta Binjai Hp. 085261747605 Bapak Umar Toko Buku Bina Ilmu Jl Banda Aceh Medan Idi Rayeuk

Hp. 064621785 Muklis Toko Multi Media Jl Banda Aceh Medan Hp.08527089524 Yosaini Jl A. Yani No 33 Depan Masjid Raya Langsa Hp. 085262260200 Jailani Jl Rel kereta api. No. 1Langsa Hp. 081361768187 Jhon Firly Jl Yos Sudarso Belkoda Takengon Hp. 081360067752 Toko Sali Jl Takengon Pondok Baru Simpang Tiga Bener Meriah Rapi Indah Jl Syiah Utama Pondok Baru Bener Meriah Ramdani Ub Waspada Jl Gajah Mada No. 62 Meulaboh Hp. 081269232506 Fikri Jl Syiah Kuala, Kantor DPW PRA Aceh Barat Hp. 081377272009 Adi Jl Melauboh Tapaktuan Blang Pidie Hp.081360701290 Muklis Toko Buku Alqaida Blang Pidie Hp. 081360568989 Teja Kesuma Kordinator JKMA, Aceh Selatan Loket Sejati Tour Meukek Hp. 085260434245 Maryada Adziya Agency Jl Tapaktuan Medan Kedai Runding Hp. 085277333307 Nadirsyah Jl A. Yani Toko Obat Segar Kutacane Hp. 081376069699 Bang Agus Jl B.Aceh - Medan Kuala Simpang Hp.085297319029 Erwin Wijaya Perusahaan Angkutan Umum CV. Anugrah Jaya Jl Masjid Pase Singkil Tlp. 0658-21095

TARIFIKLAN TABLOID Suara Arus Bawah

TabloidSIPIL menawarkanbeberapaalternatifuntukplacementataupenempataniklan

Anda,sebagaiberikut:

CONTACTPERSON&MARKETING

HARGAIKLANDISPLA Y No. Position 1 HALAMAN1 -IklanKuping -IklanKaki 2 3 4 5 6

1Halaman 1/2Halaman 1/4Halaman 1/8Halaman CoverBelakang

Size

F/C(Berwarna)

73mmx60mm 250mmx50mm

Rp.4.000.000,Rp.7.000.000,-

250mmx340mm 125mmx170mm 62,5mmx85mm 31,25mmx42,5mm 250mmx340mm

Rp.10.000.000,Rp.5.800.000,Rp.3.200.000,Rp.1.700.000,Rp.12.000.000,-

Rp.8.000.000,Rp.3.800.000,Rp.2.100.000,Rp.1.200.000,-

F/C(Berwarna) Rp.10.200.000,Rp.8.200.000,-

B/W(HitamPutih) Rp.7.200.000,Rp.4.000.000,-

B/W(HitamPutih)

ADVETORIAL No. Position 1 1Halaman 2 1/2Halaman

Karakter 8.000-1 1.000plusimage 3.000-4.000plusimage

Jalan T.IskandarNo.50Lambhuk,UleeKarengBanda Aceh23118 Telp.0651-28541(Ext.105),Fax.0651-28542 Email:[email protected]

Pemasaran Tabloid Contactperson: Joe:081389094970 Yusuf:085218343015 Rahmad:081382372345

Suara Arus Bawah

CMYK

12 - 20 Februari 2009

32

CMYK

Related Documents

Tabloid Sipil Edisi 18
December 2019 6
Tabloid Sipil Edisi 6
December 2019 12
Tabloid
June 2020 12
3g Magazine! Edisi 18
December 2019 5
Tabloid Dummy
May 2020 15