Susahnya Jadi Konsumen Di Indonesia

  • Uploaded by: Khaerul Umam Noer
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Susahnya Jadi Konsumen Di Indonesia as PDF for free.

More details

  • Words: 974
  • Pages: 2
Susahnya jadi konsumen di Indonesia Bagi anda yang tinggal di Indonesia, anda pasti tahu betapa susahkanya jadi konsumen di Indonesia, bahkan dalam hal yang menyangkut posisi Indonesia di mata dunia sekalipun. Suatu hari (30.8.08) saya hendak berangkat ke surabaya dengan penerbangan Mandala nomor pnerbangan 270, bayangkan saya sudah berangkat buruburu kayak kesetanan, jam lima pagi sudah berangkat demi mengejar pesawat jam 9.00, tapi saya kecewa, pihak Mandala telah mengubah jadual penerbangan jadi jam 11.50, betapa gondoknya hati saya, jika saja saya tahu lebih dahulu, saya akan sarapan pagi terlebih dahulu baru kemudian berangkat ke bandara. Pihak maskapai dengan seenak udelnya bilang kalau perubahan jadual sudah diberitahukan kepada para penumpang, lha saya tanya “pemberitahuannya via apa? Ko saya ga dapet email, telpon atau sms? Masa pake merpati pos atau telepati?”, kalau iya pake telepati, berarti sepenuhnya kesalahan saya sebab saya bukan dukun setingkat mbah roso yang bisa menggunakan telepati. Di lain kesempatan, saya mencoba peruntungan di Lion Air, memang untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, pesawat saya terlambat hingga empat jam tanpa pengumuman apapun. Alangkah gondoknya saya melihat dunia penerbangan Indonesia saat ini. masih untung saya, seorang anak negeri yang mau mengerti betapa carutmarutnya dunia penerbangan di Indonesia, bayangkan kalau orang dari luar negeri, betapa pemerintah gagal menekan pihak maskapai agar mentaati jadual yang telah ditetapkan sebelumnya. Betapa sulitnya menjadi konsumen juga saya terima dalam transportasi, baik di darat maupun di laut. Ketika perjalanan darat misalnya, baik itu ketika saya naik kereta api maupun naik bis hasillnya sama saja. Bayangkan saya pernah ditelantarkan di stasiun ketika kereta api yang datang terlambat lebih dari enam jam, gila banget. Pengalaman buruk juga pernah saya alami ketika bis saya terlambat lebih dari dua jam, sehingga saya dan puluhan penumpang bis harus manyun menunggu bis yang datang. Kalau anda berpikir bahwa kerugian sebagai konsumen hanya pada moda transportasi, lebih baik anda berpikir ulang. Saya pernah membeli makanan yang sudah kadaluarsa di swalayan Super Indo, ketika saya sudah keluar dan mengecek, baru saya sadar bahwa roti yang saya beli sudah kadaluarsa 1 hari, tapi apa jawaban kasir ketika saya komplain “Pak, harusnya anda mengecek dulu barang yang anda beli baru kemudian membawa ke kasir”, lha, saya heran sepenuhnya, bagaimana mungkin pihak swlayan terkemuka tidak melakukan pengecekan setiap hari terhadap barang yang mudah kadaluarsa. Tapi saya pun sepenuhnya menyadari, bahwa nama besar suatu tenant menyebabkan saya lengah dan lalai untuk berwaspada. Di lain kesempatan, saya pun pernah dikecewakan oleh sebuah rumah sakit ternama, ketika saya hendak menebus resep obat, saya harus menunggu lebih dari 45 menit, dan ketika saya bertanya “Mbak ko lama seh?!”, pihak rumah sakit hanya dengan enteng menjawab “Iya pak, ada obat yang belum ketemu”, aji gile, masa di rumah skait besar sistem penyimpanan obatnya begitu kacaunya hingga ada obat yang belum ditemukan atau sulit ditemukan. Kekesalan saya semakin bertambah ketika ada seorang ibu yang datang lebih belakang dengan nomor urut di bawah saya namun dilayani lebih dahulu dengan alasan “obatnya hanya sedikit”.

Tentu saja ini sangat non-sense, bagaimana mungkin kita (barangkali saya terlalu mendramatisir) memiliki posisi tawar yang begitu lemahnya ketika berhadapan dengan produsen, apapun itu. Ketika saya harus berhadapan dengan pihak Lion misalnya, bahkan saya menggebrak meja penerima di ruang tunggu dan memberikan ultimatum kepada petugasnya. Saya bahkan harus mengancam pihak maskapai Lion Air untuk menepati janjinya kepada konsumen. Saya memberikan tiga ultimatum: (1) saya harus segera naik pesawat dengan jadual yang terdekat atau saya laporkan ke kepolisian, (2) saya harus segera naik pesawat dari masakapai lain dengan biaya di tanggung Lion Air, dan (3) saya menuntut agar bagasi saya diambil dan dibawa ke ruang tunggu serta uang tiket saya dikembalikan seratus persen. Kegilaan yang saya lakukan tentu saja tidak perlu terjadi jika produsen menepati janjinya kepada konsumen. Persoalannya sederhana sekali: sebagai konsumen kita tidak memiliki hak apapun yang dapat dituntut kepada produsen, pun kita memiliki kemampuan untuk menuntut, tetap saja posisi tawar kita sangat lemah. YLKI atau Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia sendiri mengakui bahwa posisi tawar masyarakat sebagai konsumen sangat lemah. Pada kasus roti kadaluarsa misalnya, kepada siapa saya harus menuntut? Pada pihak Super Indo sebagai penjual atau pihak Sari Roti sebagai produsen? Saya bahkan pernah menanyakan kasus ini pada seorang teman yang sedang mengambil studi ilmu hukum, dia bilang kalau saya tidak dapat menuntut, karena pihak Super Indo akan berdalih kalau mereka hanya sebagai distributor sehingga kesalahan ada pada produsen, sedangkan saya pun tidak dapat menuntut Sari Roti karena sebagai produsen mereka menyerahkan pengecekan harian pada distributor, di mana produk mereka yang kadaluarsa akan dilaporkan sehingga pihak produsen hanya bertugas untuk memproduksi. Bayangkan betapa lemahnya posisi saya dalam kasus roti tersebut, barangkali saya hanya akan mendapat senyuman ‘penuh arti’ dari polisi ketika saya melaporkan kasus roti tersebut, barangkali dalam hati si polisi akan berkata ‘sialan, masa gara-gara roti 5.000 doang harus lapor ke polisi.’ Kata orang ‘time will healing’, tapi apa iya?, seiring dengan waktu saya ko rasanya belum juga sembuh dari rasa sakit hati saya ketika saya dikecewakan sebagai konsumen. Ada teman yang berkelakar bahwa hati saya kurang bersih, kurang jernih. Sial! Emang dia pikir hati saya kelewat kotor, bahkan saya berprasangka bahwa hati dia pun tidak lah ‘sejernih air mineral’. Ah tapi saya pun harus instropeksi diri, jangan-jangan betul, bahwa hati saya tidak lah sebening embun (cie......), tapi ini serius lho. Saya meyakini bahwa apa yang saya rasakan adalah representasi dari apa yang dirasakan oleh orang-orang yang senasib dengan saya. Bayangkan jika anda sendiri merasakan hal yang sama dengan saya. Tapi sebagai konsumen saya berhak untuk mengeluh atas perlakuan yang saya terima, ini adalah jeritan hati kecil saya (bahkan saya sendiri ragu apakah saya masih memiliki hati kecil). Saya selalu berdoa, semoga para produsen itu mendapatkan hidayah sehingga tidak lagi mengecewakan konsumen, lagi pula, bukan kah waktu pas? Bahwa ketika ramadhan menjelang banyak orang yang insaf? Atau jangan-jangan itu cuma sekedar jadi publisitas saja? Ah lagi-lagi saya terlalu berprasangka.

Related Documents


More Documents from "titi sitihunah"