BAB I Identifikasi Modifikasi Lingkungan Alam A. PENDAHULUAN Dalam bab ini dijelaskan tentang indikasi dan cara identifikasi terhadap modifikasi lingkungan alam, baik melalui survei permukaan terhadap gejala atau kenampakan yang sekarang masih dapat dikenali di permukaan tanah, maupun melalui penginderaan jauh. Isi bab ini berkaitan dengan Mata Ajaran Metode Survei dan Ekskavasi. Sebagai catatan, teori mengenai teknik-teknik survei permukaan sudah dijelaskan dalam Mata Ajaran Metode Survei dan ekskavasi, sehingga dalam Mata Ajaran Arkeologi Lansekap yang ditekankan adalah praktik identifikasi dan interpretasi terhadap objek survei berdasarkan hasil perekaman atau pencatatan data. Dalam bab ini contoh hasil modifikasi lingkungan alam yang disajikan meliputi indikasi-indikasi baik berupa fitur bekas aktivitas manusia maupun kenampakan yang bersifat monumental. Contoh-contoh tersebut dapat menjadi titik tolak untuk praktikum yang tercakup dalam Bab II, III, VII, VIII, dan IX. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan II) mahasiswa akan dapat melakukan identifikasi terhadap modifikasi yang telah dilakukan manusia terhadap lingkungan alamnya.
B. PENYAJIAN 1. Pengertian modifikasi lingkungan alam Aktivitas manusia tidak hanya tergantung dan dipengaruhi oleh lingkungan alam, namun juga dapat mempengaruhi dan menyebabkan modifikasi lingkungan alam, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dalam mata ajaran ini, yang dimaksud dengan modifikasi sebagai akibat aktivitas manusia bukanlah perubahan suhu atau punahnya spesies flora-fauna tertentu (lihat Bradsaw dan Weaver 1993: 488-489), melainkan semua perubahan bentuk relief bumi atau permukaan tanah, baik sebagai akibat adanya konstruksi maupun adanya gejala atau kenampakan fisik lainnya. Seiring dengan berjalannya waktu, gejala atau kenampakan akibat aktivitas manusia tersebut kadang-kadang tidak disadari kehadirannya, lebih-lebih bila tidak terkonsentrasi pada situs-situs arkeologi. Oleh karena itu gejala tersebut menjadi pokok bahasan salah satu cabang dalam arkeologi yang seringkali disebut sebagai Arkeologi Lansekap (Landscape Archaeology) (lihat Sharer dan Ashmore 1993: 246). Keberadaan gejala atau kenampakan bekas aktivitas manusia di permukaan tanah antara lain dapat diketahui melalui survei, baik survei permukaan (surface survey) maupun melalui interpretasi foto udara hasil penginderaan jauh (remote sensing). Survei permukaan adalah pengamatan langsung terhadap permukaan tanah secara sistematis.
Dalam hal ini, pengetahuan, pengalaman, dan kecermatan sangat diperlukan untuk dapat melakukan identifikasi segala kenampakan di permukaan tanah. Melalui pengamatan yang seksama, gejala atau kenampakan di atas permukaan tanah yang merupakan hasil aktivitas manusia dapat dibedakan dari gejala atau kenampakan yang terbentuk secara alamiah, yang biasa dipelajari dalam geomorfologi (lihat Bradsaw dan Weaver 1993: 264). Bekas aktivitas di suatu lahan kadang tidak diketahui keberadaannya karena telah
tertimbun tanah
dalam kurun waktu lama atau tertutup tanaman yang rimbun, dan tidak diketahui oleh pengguna lahan yang baru. Dalam kasus seperti ini hasil interpretasi terhadap foto udara dapat membantu mengungkap keberadaan bekas aktivitas tersebut. Selain melalui kegiatan-kegiatan tersebut, keberadaan situs arkeologi kadangkadang juga dapat diketahui secara tidak sengaja, misalnya melalui petani penggarap sawah yang cangkulnya terantuk suatu benda atau struktur bangunan candi, aktivitas pembuatan jalan, dan pembangunan pemukiman baru. Semua kegiatan tersebut mengakibatkan terkuaknya tinggalan arkeologis yang semula terpendam tanah. Oleh karena itu, wawancara dengan penduduk setempat perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan tinggalan arkeologis di wilayah yang disurvei.
2. Indikasi Modifikasi Pengetahuan mengenai indikasi-indikasi adanya modifikasi yang telah dilakukan manusia terhadap lingkungan alamnya sangat membantu dalam melakukan survei arkeologis. Indikasi modifikasi lingkungan alam antara lain berupa: garis-garis lurus yang tampak di permukaan tanah, parit atau sistem saluran air, pematang atau dinding batu, deretan lubang yang membentuk garis lurus, lubang-lubang bekas tiang, permukaan tanah yang datar, batu-batu tanpa pengerjaan tertentu yang membentuk formasi segiempat atau lingkaran (lihat foto I.1.). kumpulan batu yang tertata membentuk struktur tertentu dan datar, timbunan kulit kerang bercampur batu penumbuk, timbunan-timbunan pasir dan kerakal alluvial (lihat foto I.2.), tanda-tanda kerusakan pada dinding suatu bukit kapur, vegetasi dengan tingkat kesuburan berbeda dari vegetasi di sekitarnya.
Foto I.1. Susunan batu-batu tanpa pengerjaan tertentu yang membentuk formasi segiempat atau lingkaran, dikenal sebagai watu kandang (ston enclosure). Lokasi temuan: Matesih, Karanganyar, Surakarta (Dok. Anggraeni)
Foto I.2. Timbunan-timbunan pasir dan kerakal alluvial, sebagai indikasi aktivitas penambangan emas sekitar awal abad XV di Shoalhaven, New South Wales, Australia (Dok. Anggraeni) Dalam bidang ilmu Arkeologi, indikasi-indikasi tersebut merupakan bentuk-bentuk data arkeologi, yang dapat dikategorikan sebagai artefak, fitur, atau ekofak. Agar indikasiindikasi tersebut dapat dijelaskan makna dan fungsinya, maka dilakukan beberapa kegiatan, yaitu: a.
Perekaman, meliputi pengukuran, penggambaran, pemotretan, dan pemetaan.
b.
Interpretasi yang didasarkan pada: hasil perekaman data, sumber tertulis, gambar,foto dan peta lama, atau wawancara dengan penduduk sekitar.
Kombinasi dua atau lebih indikasi mengenai adanya aktivitas manusia kadangkadang ditemukan di lokasi yang sama dan membentuk suatu situs arkeologi baru yang semula belum diketahui keberadaannya. Temuan atau situs baru yang berhasil diidentifikasi dan batas-batas distribusinya harus dicatat dengan baik dan diplotkan pada peta yang sudah ada untuk keperluan analisis selanjutnya. Berdasarkan interpretasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa indikasi-indikasi yang telah disebutkan di atas ada yang merupakan lubang bekas tiang suatu gubuk atau rumah, fondasi rumah, bekas aktivitas penambangan, atau bagian dari aktivitas pertanian. Berikut ini akan dipaparkan dua contoh hasil survei permukaan dan interpretasi terhadap indikasi bekas aktivitas manusia yang terdapat di Arizona, dan Maryland Amerika Serikat. Survei pertama yang berskala besar dilakukan oleh Suzanne Fish, Paul Fish dan tim di dekat Tucson, Arizona, di bagian baratdaya Amerika Serikat. Survei tersebut telah menghasilkan temuan berupa timbunan batu kerakal sebanyak 42.000 buah, masing-masing timbunan tingginya kurang dari 1 meter, dan diameternya kurang dari 1,50 meter. Timbunan-timbunan batu tersebut tersebar pada 112 lahan, masing masing lahan luasnya mencapai 1 - 50 hektar (lihat gambar I.1.). Pada lahan-lahan tersebut juga terdapat lubang-lubang pembakaran dan artefak-artefak yang berasal dari periode Klasik dalam budaya Hohokam, sekitar 1100-1450 Masehi. Hasil eksperimen dan interpretasi menunjukkan bahwa timbunan-timbunan batu yang semula diabaikan tersebut merupakan bagian dari teknik pertanian Hohokam yang hebat. Timbunan timbunan batu tersebut digunakan untuk memperl ambat proses penguapan atau mempertahankan kelembaban tanah di daerah Arizona yang beriklim kering, sehingga memungkinkan untuk bercocok tanam agave (Sharer dan Ashmore 1993: 191-192).
Gambar I.1. Peta ini memperlihatkan distribusi timbunan-timbunan batu (rock pile), lubang-lubang pembakaran (roasting pits), terasteras dan cekdam yang merupakan sarana bercocok tanam prasejarah di lahan pertanian Hohokam, dekat Tucson, Arizona. (Sumber: Sharer dan Ashmore 1993: 192) Penelitian kedua dilakukan oleh suatu tim yang dipimpin oleh Mark Leone di tiga buah kebun dari abad XVIII di Annapolis, Maryland, di bagian timur Amerika Serikat. Kegiatan penelitian Arkeologi Lansekap tersebut menghasilkan dua buah premis: (1) ruang-ruang di antara bangunan-bangunan dan fitur-fitur lainnya sama pentingnya dengan fitur itu sendiri; (2) ruang-ruang tersebut mencerminkan makna sosial dan ideologi yang penting bagi pembuatnya. Dengan bantuan dokumen sejarah dan hasil ekskavasi, Leone dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa kebun-kebun tersebut dirancang sebagai pembatas fisik dan sosial untuk memasuki rumah-rumah mewah di dekatnya, yang merupakan milik bangsawan kaya. Dengan kata lain, kebun-kebun dari abad XVIII tersebut dirancang dengan hati-hati untuk menciptakan ilusi atau bayangan mengenai ruang yang lebih luas yang dapat menaikkan pengakuan atas kekuasaan dan status pemiliknya (Sharer dan Ashmore 1993: 246).
3. Distribusi Artefak Selain contoh-contoh yang telah dikemukakan, banyak situs arkeologi yang dapat diidentifikasi keberadaannya melalui adanya konsentrasi temuan artefaktual di permukaan tanah, seperti fragmenfragmen gerabah atau serpih-serpih batu beserta calon-calon beliung. Sebagaimana gejala-gejala lainnya, himpunan artefak di suatu lokasi dapat mengubah relief permukaan tanah. Sebagai contoh, keberadaan timbunantimbunan tatal batu pada areal seluas kurang lebih 6000 hektar, yang dikenal sebagai bengkel pembuatan beliung persegi dan mata panah di wilayah Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (lihat Susilo 2000). Dalam hal ini, aktivitas alam, seperti aliran air tidak dipungkiri ikut andil sebagai faktor penyebab terjadinya transformasi dan akumulasi data arkeologi. Namun, melalui pengamatan terhadap serpih-serpih batu limbah produksi beliung dan artefak yang ada, dapat dipastikan bahwa timbunan timbunan batu tersebut bukan sekedar hasil aktivitas alam, melainkan bekas aktivitas komunitas manusia yang pernah tinggal di wilayah yang sekarang lebih dikenal sebagai wilayah yang tandus tersebut. Kasus yang hampir sama dapat dijumpai di dekat pantai Samas, sekitar 30 km di sebelah selatan Yogyakarta. Dalam hal ini, aktivitas alam berupa gelombang air dan angin telah membentuk bukit pasir yang terdiri atas endapan beting gisik bagian bawah dan endapan aeolian di bagian atas. Dua di antara tiga deretan bukit pasir bentukan alam tersebut ternyata pernah dimanfaatkan oleh manusia, sebagaimana terbukti dari adanya timbunan ribuan fragmen gerabah dan sejumlah artefak lain (lihat Nitihaminoto 2001). Akumulasi fragmen gerabah dan artefak lain pada bukit pasir tersebut telah membentuk situs arkeologi yang khas, yang dikenal sebagai situs Gunung Wingko.
4. Bangunan Monumental
Keberadaan konstruksi bangunan, baik masih dalam kondisi utuh maupun reruntuhan, paling mudah diketahui kehadirannya bila dibandingkan dengan jenis data arkeologis lainnya. Jenis data arkeologis ini, yang memang bentuknya sangat menonjol bila dibandingkan dengan gejala lainnya, benar-benar mengubah relief permukaan tanah yang terbentuk secara alamiah. Namun demikian, aktivitas alam yang tidak hentihentinya, seperti meletusnya gunung berapi, banjir, banjir lahar, juga berpengaruh terhadap tersembunyi atau terkuaknya tinggalan arkeologis berupa bangunan monumental. Kalau sekarang kita dapat menyaksikan kemegahan candi-candi di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah, seperti Candi Prambanan dan Borobudur, sebenarnya tidak demikian halnya dengan kondisi candi-candi tersebut puluhan tahun yang lalu. Kondisi megah seperti sekarang adalah hasil proses rekonstruksi yang panjang dari gejala-gejala yang tampak di permukaan tanah berupa gundukan tanah atau bukit batu dengan onggokan batu-batu persegi baik polos maupun berhias relief. Kondisi yang sama juga terjadi pada candi atau kompleks percandian lainnya. Dengan demikian, faktor ketidaksengajaan dan faktor kesengajaan seperti kegiatan survei juga tetap berperan dalam pengungkapan keberadaan jenis tinggalan arkeologis ini.
Latihan Amati lingkungan kampus dan sekitarnya, buatlah catatan mengenai contoh kenampakankenampakan di permukaan tanah yang dapat menjadi indikasi adanya campur tangan manusia. Bila misalnya kenampakan yang anda peroleh tersebut merupakan permukaan yang membukit, sulit ditanami (tidak subur) dibandingkan tanah sekitarnya, dan sering didapatkan pecahan-pecahan batubata, maka kemungkinan besar gundukan tanah tersebut merupakan bekas bangunan. Catatan yang dibuat di lapangan (field notes) sangat bermanfaat untuk keperluan-keperluan selanjutnya.
Rangkuman: Modifikasi lingkungan alam oleh manusia adalah semua perubahan bentuk relief bumi atau permukaan tanah, baik sebagai akibat adanya konstruksi maupun adanya gejala atau kenampakan fisik lainnya. Indikasi modifikasi: semua gejala yang bentuknya cenderung geometris, beraturan, berpola, atau membentuk formasi tertentu.
C. PENUTUP Sebutkan gejala atau kenampakan di permukaan tanah yang merupakan hasil modifikasi manusia berkaitan dengan kegiatan pertanian. Tunjukkan gejala-gejala bekas aktivitas manusia yang tampak dalam foto udara wilayah Pleret, Yogyakarta. Kunci: Indikasi modifikasi: lahan tanah berbentuk persegi, jalur-jalur lurus, parit.
BAB II Praktikum I: Simulasi Survei A A. PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dijelaskan teknik-teknik perekaman reruntuhan atau fitur, yang meliputi teknik pengukuran, penggambaran, dan pemotretan. Di samping itu akan dijelaskan pula mengenai cara pembuatan catatan lapangan atau field notes yang bukan hanya perlu untuk mata ajaran ini, tetapi juga untuk kegiatan lapangan lainnya. Penjelasan yang disertai dengan demonstrasi dan latihan dalam bab ini merupakan langkah dan bekal awal sebelum melakukan praktikum selanjutnya, yang langsung dilaksanakan pada situs-situs arkeologi, terutama sebagaimana dijelaskan pada Bab III dan VI.
Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan IV) mahasiswa akan dapat melakukan perekaman data berupa fitur atau reruntuhan secara visual.
B. PENYAJIAN 1. Pembuatan Field Notes Catatan lapangan atau field notes, sesuai dengan namanya, merupakan catatan yang dibuat langsung pada buku catatan ketika peneliti berada di lapangan. Catatan lapangan sebaiknya ditulis pada buku yang mudah dibawa kemana-mana, bukan berupa lembaran- lembaran kertas yang mudah hilang. Buku catatan ini memuat semua indikasi atau gejala, nama atau istilah yang diberikan penduduk setempat, letak administratif temuan, deskripsi temuan, sket temuan, hasil pengukuran, informasi atau pendapat penduduk mengenai temuan tersebut, dan interpretasi sementara. Semua catatan harus ditulis dengan jelas dan dapat dimengerti bila akan diacu untuk pembuatan laporan verbal dan visual. Agar tidak ada hal-hal penting yang terlewatkan, field note dapat berupa form yang tinggal diisi di lapangan (lihat Joukowsky 1980).
2. Perekaman reruntuhan/fitur di Permukaan Tanah: Pengukuran Yang dimaksud dengan kegiatan perekaman objek survei yaitu mencatat, menyalin, atau memetakan objek tersebut di kertas, baik dalam bentuk verbal (uraian kata) maupun visual (gambar, foto, peta). Pembuatan catatan yang baik dan lengkap (lihat sub judul �Pembuatan Field Notes� di atas) harus dilakukan di lapangan. Catatan dan gambar sket yang telah dibuat di lapangan harus segera disalin dengan rapi (dalam format laporan). Oleh karena itu kegiatan pengukuran dan pencatatan detail
objek atau situs harus dilakukan dengan cermat agar hasil perekaman di lapangan dapat disalin dengan akurat. Perekaman objek atau situs yang disurvei dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik survei, mulai dari yang paling sederhana hingga yang rumit, meliputi: chain survey, plane table survey, levelling, theodolite survey (lihat Farrington 1997; Joukowsky 1980), dan Global Positioning System (GPS). Teknik-teknik tersebut menggunakan peralatan pokok yang berbeda-beda, dan pemilihan masing-masing teknik tergantung pada sifat dan ukuran situs yang perlu dipetakan. Meskipun demikian, teknik yang paling sederhana (chain survey) pun mempunyai tingkat akurasi cukup tinggi, bila pengukuran dilakukan dengan cermat, bahkan dapat menekan biaya yang dibutuhkan dan hasilnya pun dapat dipublikasikan. Berikut ini akan diuraikan prosedur beberapa teknik survei yang sering digunakan dalam survei arkeologis.
a) Chain survey Alat yang diperlukan dalam teknik ini adalah: kompas, 2 buah rol meter (biasanya 20- 50 meter), beberapa tongkat setinggi 2 meter yang salah satu ujungnya runcing, sejumlah patok, buku catatan, dan pensil. Teknik survei ini mencakup dua metode dasar, yaitu offset survey dari sebuah garis dasar (baseline) dan compass traversing yang dimulai dan berakhir pada titik yang sama. Bila tingkat akurasi yang diharapkan tidak terlalu tinggi, kedua metode tersebut berguna untuk membuat peta situs secara cepat.
Offset Survey Teknik ini dapat digunakan bila kondisi objek atau situs relatif lurus, seperti parit dan pematang, atau dapat pula digunakan pada objek survei yang berukuran kecil dan bentuknya tidak beraturan, seperti sebaran artefak paleolitik atau sebaran artefak di situs bengkel neolitik. Teknik ini dapat pula dipakai untuk membuat layout kotak-kotak untuk ekskavasi, atau untuk mencatat indikasi permukaan tanah dan kegiatan pengoleksian artefak.
Langkah-langkah (lihat Farrington 1997): Pilih titik awal untuk melakukan survei - disebut sebagai titik (stasiun) A � pada jarak 3-15 m dari titik sudut terluar dari suatu situs. Tandai stasiun A dengan tongkat. Tariklah baseline dari stasiun A ke stasiun B. Baseline ini usahakan untuk sejajar dengan axis situs atau objek. Stasiun B juga harus berada pada jarak yang cukup jauh dari sudut luar lain dari suatu situs. Tandai pula stasiun B dengan tongkat. Catatan: bila situs atau objek survei itu panjang dan berbentuk kurva, maka perlu dibuat baseline kedua dari stasiun B ke stasiun C Ukur dan catat panjang baseline. Panjang baseline biasanya sama dengan panjang maksimum suatu rol meter. Berdirilah sejauh 5 m di belakang stasiun A dan tembak stasiun B dengan kompas, catat posisinya dalam derajat.
Pindahlah ke stasiun B dan bidik stasiun A dengan kompas, dan catat posisi derajatnya. Jika kedua hasil pembacaan kompas tadi sama (sama dengan 180o), berarti anda dapat mulai melakukan survei dan pengukuran detail situs. Jika hasilnya tidak sama, posisi kedua stasiun harus ditentukan lagi. Bila posisi kedua stasiun sudah benar, kedua stasiun tersebut jangan dipindah-pindah lagi. Tandai semua gejala yang ada di situs dan ingin anda survei dengan patok. Berilah nomor urut gejala-gejala tadi pada sket yang sudah anda gambar di buku catatan. Perekaman data secara rinci di suatu situs, dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu: perpendicular offset dan intersection (lihat Farrington 1997).
(1) Perpendicular Offset Pada dasarnya metode ini digunakan untuk mencatat posisi tiap titik (gejala) yang sudah dicatat pada sket (lihat gambar II.1) terhadap baseline. Langkah-langkahnya dapat diuraikan sebagai berikut: Letakkan rol meter di sepanjang baseline. Berjalanlah di sepanjang baseline dari stasiun A menuju ke stasiun B sampai titik 1 berada tegak lurus baseline. Untuk memperoleh perpotongan yang tegak lurus antara kedua garis tersebut, dapat digunakan penggaris siku, rumus Trigonometri, kompas, atau dengan perkiraan saja. Tandai titik perpotongan tadi (tanda X) dengan patok. Ukurlah jarak antara stasiun A dengan titik X dan dari titik X ke titik 1. Catatlah hasil pengukuran tersebut di dalam buku catatan lapangan Lakukan hal yang sama untuk titik-titik yang lain, sesuai nomor urut yang telah ditentukan.
Catatan: Metode konvensional yang dipakai dalam mencatat hasil perpendicular offset survey dapat dilihat pada gambar II.2. Bagian kiri buku catatan lapangan dipakai untuk menggambar sket, bagian kanan buku dipakai untuk menuliskan semua penjelasan tentang gejala (fitur) pada situs yang disurvei. Pertama-tama gambarlah dua garis vertikal sejajar. Pada masing-masing ujung (stasiun A dan B) buatlah dua garis horisontal di antara kedua garis vertikal tersebut. Angka-angka di antara kedua garis vertikal menunjukkan posisi stasiun A terhadap stasiun B (120o), panjang baseline dari stasiun A ke B (64 m), jarak dari stasiun A ke titik-titik perpotongan (8,4 m; 28,7 m; 30,3 m; 55,1 m). Angka-angka lain yang menunjukkan besar jarak, merupakan hasil pengukuran jarak dari titik (gejala) ke titik perpotongan dengan baseline. Gambar sket kemudian disalin pada kertas kalkir (tracing paper) yang diletakkan di atas kertas grafik, sehingga hasil pengukuran di lapangan dapat disalin dengan mudah dan berskala. Selain salinan gambar yang dibuat dengan skala tertentu, cantumkan pula judul survei, keterangan gambar (legenda), besar skala, penunjuk arah utara magnetik, dan nama orang yang melakukan survei. Cara ini merupakan cara
menggambar hasil survei yang paling mudah dan akurat, serta dapat menghasilkan sebuah peta situs yang lumayan.
(2) Intersection Metode ini cocok untuk diterapkan pada titik (gejala) yang letaknya saling berjauhan (lebih dari 10 m). Dalam metode ini, titik (gejala) yang disurvei dapat diplot melalui pengukuran dari stasiun A dan B yang lokasinya tetap. Jarak stasiun A dan B haruslah cukup jauh dari objek survei. Pengukuran dapat dilakukan dengan atau pun tanpa kompas (lihat gambar II.3, II.4). Dalam survei tanpa kompas, alat utama yang digunakan adalah rol meter. Langkah-langkah pengukuran dengan menggunakan kompas adalah sebagai berikut. Dari stasiun A bidik dengan kompas semua titik (gejala) yang sudah ditandai secara berurutan, dimulai dari titik 1. Pada waktu membidik titik tersebut, berdirilah padajarak 5 m di belakang stasiun A. Pindahlah ke stasiun B, ulangi pengukuran dengan cara yang sama, untuk semua titik (gejala). Pengukuran dikatakan akurat bila sudut yang diperoleh berkisar antara 35o-145o. Langkah-langkah pengukuran dengan menggunakan rol meter adalah sebagai berikut. Tempatkan ujung sebuah rol meter di stasiun A, dan sebuah lagi di stasiun B Ukurlah jarak tiap-tiap titik (gejala) dari kedua stasiun. Teknik ini mempunyai keterbatasan pada pengontrolan besar sudut yang diperoleh dari hasil pengukuran dari kedua stasiun.
Catatan: Metode konvensional yang dipakai dalam mencatat hasil survei intersection dapat dilihat pada gambar II.5. Bagian kiri buku catatan lapangan dipakai untuk menggambar sket, bagian kanan buku dipakai untuk menuliskan semua penjelasan tentang gejala (fitur) pada situs yang disurvei. Pertama-tama gambarlah dua garis vertikal sejajar. Pada masing-masing ujung (stasiun A dan B) buatlah dua garis horisontal di antara kedua garis vertikal tersebut. Angka-angka di antara kedua garis vertikal menunjukkan posisi stasiun A terhadap stasiun B (120o), panjang baseline dari stasiun A ke B (38 m). Angka-angka lain menunjukkan hasil pengukuran dengan kompas (160o, 220o; 180o, 246o) dan rol meter (25,9 m, 16,4 m; 19 m, 35 m) dari stasiun A dan B ke masingmasing titik (gejala). Hasil survei ke mudian dapat disalin pada kertas kalkir (tracing paper) yang diletakkandi atas kertas grafik, dengan menggunakan protractor dan metode geometris yang sederhana, sehingga hasil pengukuran di lapangan dapat disalin dengan mudah dan berskala. Selain salinan gambar yang dibuat dengan skala tertentu, cantumkan pula judul survei, keterangan gambar (legenda), besar skala, penunjuk arah utara magnetik, dan nama orang yang melakukan survei.
Dengan teknik intersection, gejala yang berhasil disurvei dapat Dalam proses perekaman data secara detail dengan menggunakan chain survey, teknik perpendicular offset dan intersection dapat diterapkan bersama-sama (lihat gambar II.6). Kedua teknik juga sering dipakai untuk mencatat gejala dengan rinci, setelah survei secara umum dilakukan dengan menggunakan plane table atau teodolit.
Compass Traversing Traversing adalah suatu istilah yang dipakai dalam pengukuran panjang dan arah garis-garis lurus yang saling berhubungan (Joukowsky 1980: 93). Teknik ini dipakai bila situs yang disurvei luas dengan hanya sedikit hambatan, atau bila situs tersebut perlu ditempatkan pada konteks yang lebih luas, misalnya hubungan antara situs tersebut dengan suatu bangunan yang masih utuh (Joukowsky 1980: 94; Farrington 1997). Pada prinsipnya, survei dengan teknik ini dimulai dan berakhir pada stasiun yang sama. Langkah-langkah dalam metode compass traversing sama dengan offset survey, demikian pula prosedur pencatatannya. Biasanya dalam metode ini digunakan gabungan teknik perpendicular offset dan intersection. Jika traverse ditutup atau dibuat di antara titik-titik yang ditempatkan pada suatu peta, maka kemungkinan ketika traverse digambar bagian akhir tidak tumpang tindih dengan titik-titik yang sudah diketahui lokasinya. Untuk mengurangi kesalahan atau ketidaktelitian pengukuran perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut (lihat gambar II.7). Traverse berlangsung dari stasiun A ke B, C, dan D. Jika diketahui bahwa D akan berakhir di D1, maka garis antara D-D1 menunjukkan total kesalahan yang telah terjadi. Demikian pula bila traverse dimulai dan berakhir di A, maka garis A-A1 menunjukkan total kesalahan. Gambarlah garis yang sejajar D-D1 melalui B dan C. Untuk traverse yang paling dekat, gambarlah garis paralel A-A1 melalui semua stasiun yang lain. Mengingat sumber kesalahan utama traverse terletak pada fungsi jarak, maka gambarlah keseluruhan traverse sebagai garis lurus dari A-D untuk mengukur dan menandai posisi B dan C. Demikian pula untuk traverse tertutup, gambarlah sabuah garis sepanjang A-A dari traverse dan tandai pula semua titik yang lain. Gambarlah garis D-D1 atau A-A1 untuk mengukur perpendicular ke garis A-D atau A-A. Gambarlah garis A-D1 atau A-A1. Hapuslah perpendicular dari garis 5 untuk intersect garis 3 dan ukurlah jarak antara BB1, C-C1 dst. Hal itulah yang merupakan kesalahan. Tandai jarak-jarak tersebut pada gambar denah asli pada garis yang digambar sejajar dengan D-D1 atau A-A1. Gambarlah kembali traverse tersebut dengan memakai stasiun-stasiun yang baru. Tambahkan detail pada tiap-tiap traverse untuk membuat
denah situs.
Gambar II.1 Offset Surveying
Gambar II.2. Pencatatan hasil Offset Surveying
Gambar II.3. Intersection dengan menggunakan kompas
Gambar II.4. Intersection dengan menggunakan rol meter
Gambar II.5. Pencatatan hasil Chain Survey dengan teknik Intersection
Gambar II.6. Offset Surveying dengan kombinasi teknik perpendicular offset dan intersection
Gambar II.8. Teknik pengukuran kontur situs
b) Theodolite Survey Teodolit merupakan alat yang paling canggih di antara peralatan yang digunakan dalam survei. Pada dasarnya alat ini berupa sebuah teleskop yang ditempatkan pada suatu dasar berbentuk membulat (piringan) yang dapat diputar-putar mengelilingi sumbu vertikal, sehingga memungkinkan sudut horisontal untuk dibaca. Teleskop tersebut juga dipasang pada piringan kedua dan dapat diputar-putar mengelilingi sumbu horisontal, sehingga memungkinkan sudut vertikal untuk dibaca. Kedua sudut tersebut dapat dibaca dengan tingkat ketelitian sangat tinggi (Farrington 1997). Teleskop pada teodolit dilengkapi dengan garis vertikal, stadia tengah, stadia atas dan bawah, sehingga efektif untuk digunakan dalam tacheometri, sehingga jarak dan tinggi relatif dapat dihitung. Dengan pengukuran sudut yang demikian bagus, maka ketepatan pengukuran yang diperoleh dapat mencapai 1 cm dalam 10 km. Pada saat ini teodolit sudah diperbaiki dengan menambahkan suatu komponen elektronik. Komponen ini akan menembakkan beam ke objek yang direfleksikan kembali ke mesin melalui cermin. Dengan menggunakan komponen tersebut pengukuran jarak dan tinggi relatif hanya berlangsung beberapa detik saja. Bila komponen tersebut ditempatkan pada bagian atas teodolit, maka disebut Electronic Distance Measurers (EDM), namun bila merupakan satu unit tersendiri maka disebut Total Stations (Farrington 1997).
Survei dengan menggunakan teodolit dilakukan bila situs yang akan dipetakan luas dan atau cukup sulit untuk diukur, dan terutama bila situs tersebut memiliki relief atau perbedaan ketinggian yang besar. Dengan menggunakan alat ini, keseluruhan kenampakan atau gejala akan dapat dipetakan dengan cepat dan efisien (Farrington 1997). Alat-alat yang diperlukan: sebuah teodolit, tripod, levelling stave, buku catatan, pensil, patok berbendera untuk menandai situs. Cara pembacaan sudut berbeda antara satu tipe teodolit dengan tipe yang lain. Tiap teodolit mempunyai sebuah skala vernier. Skala ini akan memberikan hasil pembacaan derajat dan menit. Format Pencatatan Judul survei: Nama:
Pembantu survei:
Tgl. & jam:
Stasiun A Titik no.
Sudut horisontal
Sudut vertikal
Stadia tengah
Stadia atas
Stadia bawah
Jarak
Tinggi relatif
Atau Titik No.
Sudut horis.
Sudut vertikal
Stadia Tengah
Stadia atas
Stadia bawah
Jarak
Tinggi relatif
X
Y
Catatan: Kontur Situs Gambar kontur (irisan melintang) perlu pula dibuat agar diperoleh gambaran mengenai tinggi rendah permukaan (relief) situs yang disurvei. Dalam hal ini gambar tersebut dapat dengan mudah dibuat berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan teodolit. Meskipun demikian, pembuatan gambar kontur suatu situs atau gejala yang kecil dapat pula dilakukan melalui pengukuran dengan teknik yang sederhana.
Langkah-langkah: Sejajar dengan axis (sumbu X) situs, tancapkan dua buah tongkat di kiri kanan, pada jarak 1 m dari titik-titik terluar situs. Pada kedua tongkat tersebut rentangkan tali setinggi 1 meter di atas permukaan situs. Buatlah agar posisi tali rata-rata air (level) dengan bantuan waterpass (spirit level). Ukurlah jarak antara tali dengan permukaan situs dengan rol meter; agar posisi rol meter tegak lurus, dapat digunakan lot (plumb bob). Ulangi pengukuran pada jarak yang sudah ditentukan, misalnya tiap 20 cm, sepanjang rentangan tali (lihat gambar II.8).
Z
Sejajar dengan ordinat (sumbu Y) situs juga dilakukan pengukuran dengan prosedur yang sama. Catat semua hasil pengukuran. Hasil pengukuran tersebut akan digunakan untuk membuat gambar kontur situs (lihat gambar II.9)
3. Penggambaran Gambar merupakan alat penting dalam Arkeologi Lansekap. Informasi yang sudah disampaikan secara verbal akan lebih mudah dimengerti melalui gambar (lihat Kabaila 1997). Beberapa aspek Arkeologi Lansekap yang dapat dikomunikasikan melalui gambar antara lain adalah: Kondisi objek survei dan konteksnya Hierarki ruang dan hubungannya Hubungan secara keruangan antar artefak yang saling berasosiasi Struktur Gambar dapat dibuat langsung dengan tangan. Pada umumnya gambar yang memadai untuk ditampilkan dalam laporan tidak dibuat selama survei permukaan berlangsung. Pada saat itu yang dapat dibuat adalah gambar sket dengan catatan-catatan mengenai ukuran dan keteranganketerangan lain (lihat gambar II.2). Gambar dapat dibuat dengan alat dan teknik yang sederhana hingga yang canggih, yaitu dengan bantuan komputer. Namun yang penting di sini, gambar perlu dibuat dengan jelas dan tidak rumit (penuh arsiran), agar memperjelas penyampaian informasi. Gambar yang sederhana tetapi jelas dan berskala lebih tepat untuk kepentingan Arkeologi Lansekap. Sebagai komponen penting dalam perekaman situs, gambar yang dibuat untuk melengkapi sebuah laporan survei situs tipe A dapat berupa gambar denah situs, gambar kontur situs, dan gambar artefak yang penting, yang ditemukan di situs tersebut. Gambar-gambar tersebut, khususnya gambar denah situs dan gambar kontur situs dibuat berskala, atas dasar hasil pengukuran melalui suatu teknik survei (lihat gambar II.9).
4. Pemotretan Foto merupakan alat perekam atau pembantu ingatan mengenai bentuk objek dan situasi di sekitarnya. Foto sangat membantu dalam proses penggambaran, analisis data dan interpretasi. Oleh karena itu, dalam pembuatan foto arkeologis, penempatan skala yang besarnya disesuaikan dengan besar objek akan membantu membuat perkiraan mengenai ukurannya, terlebih lagi bila ada bagian yang lupa diukur.
Latihan Pilihlah suatu objek di halaman Fakultas Ilmu Budaya UGM dan buat sketnya. Dengan bantuan dua orang teman, buatlah baseline dari stasiun A ke stasiun B, sebagai titik tolak untuk memetakan objek tersebut. Sebelumnya, tentukan stasiun A dan B beberapa kali dengan menggunakan beberapa jenis
kompas. Catatlah semua hasil pengukuran di buku catatan lapangan. Posisi stasiun A terhadap B atau sebaliknya dikatakan akurat bila jumlahnya 180o. Setelah gejala-gejala yang akan dipetakan ditentukan, ukurlah posisinya terhadap baseline. Dengan menggunakan alat bantu berupa kompas, rol meter, tali, dan waterpass buatlah dua kontur yang memotong objek; yang satu sejajar axis dan yang lain sejajar ordinat. Setelah teknik-teknik perekaman data diketahui, teknik-teknik tersebut perlu dipraktekkan beberapa kali secara individual, dengan bantuan teman. Dengan penguasaan terhadap teknik dasar tersebut, mahasiswa akan siap untuk dihadapkan pada tugas yang lebih berat dan mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan dalam proses perekaman data di lapangan.
Rangkuman: Catatan lapangan atau field notes adalah catatan yang dibuat langsung pada buku catatan ketika peneliti berada di lapangan. Chain survey: teknik survei yang paling sederhana, dengan alat kompas dan rol meter, tetapi hasilnya dapat dipertanggungjawabkan dan cukup akurat. Theodolite survey: teknik survei dengan menggunakan alat berupa sebuah teodolit, tripod, levelling stave, buku catatan, pensil, patok berbendera untuk menandai situs. Teknik ini terutama digunakan untuk memetakan situs yang luas dan reliefnya besar. Semua survei yang dilakukan, baik dengan peralatan canggih maupun sederhana, harus direncanakan dengan sebaik-baiknya, dicatat dengan hati-hati dan teliti, dan dilengkapi dengan sket peta (denah situs) yang memadai. Hal ini mengingat semua catatan tersebut akan digunakan untuk membuat salinan gambar dan untuk interpretasi. Pengecekan catatan selama di lapangan sangat dianjurkan, sehingga bila perlu dapat dilakukan perubahan.
C. PENUTUP Buatlah gambar denah dan gambar kontur suatu objek di lingkungan UGM dengan menggunakan teknik perpendicular offset survey.
BAB III PRAKTIKUM II: SIMULASI SURVEI B A. PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dijelaskan teknik-teknik perekaman data berupa bangunan monumental, yang meliputi teknik pengukuran, penggambaran, dan pemotretan. Penjelasan yang disertai dengan demonstrasi dan latihan ini merupakan lanjutan dari Simulasi Survei A, dan menjadi bekal sebelum melakukan praktikum selanjutnya
yang berlangsung pada situs arkeologi, sebagaimana dijelaskan pada Bab VIII dan IX. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan VI) mahasiswa akan dapat melakukan perekaman data berupa bangunan monumental secara verbal dan visual. B. PENYAJIAN 1. Perekaman Data Monumental: Pengukuran Objek praktikum untuk jenis situs B adalah data monumental, yaitu bangunan bersejarah yang merupakan bangunan tunggal dan masih utuh. Dalam merekam data semacam ini yang pertama-tama perlu dilakukan adalah mengadakan observasi menyeluruh terhadap bangunan tersebut, dan mengamati detaildetailnya, yang meliputi bentuk dan konstruksi bangunan mulai dari lantai hingga atap, ciri arsitekturalnya, bahan bangunan, tebal dinding, dan indikasi-indikasi yang menunjukkan perubahan-perubahan yang telah terjadi pada bangunan tersebut. Dari hasil observasi tersebut buatlah catatan selengkap-lengkapnya, dan tandai halhal yang perlu dicarikan informasi lebih lanjut, baik melalui narasumber maupun studi literatur. Langkah selanjutnya adalah membuat sket denah bangunan, dan mengukur secara horisontal semua bagian dari bangunan tersebut dengan teliti, dengan menggunakan rol meter. Perhatikan pula letak pintu masuk atau jendela, sehingga posisikan dengan benar pada gambar denah tersebut. Gambar lain yang perlu dibuat adalah tampak depan bangunan. Pada bagian ini, selain pengukuran secara horisontal, pengukuran perlu pula dilakukan secara vertikal. Namun mengingat tingginya bangunan, pengukuran secara vertikal sulit untuk dilakukan. Dalam hal ini adanya foto tampak depan bangunan yang dilengkapi dengan skala sangat membantu untuk membuat gambar tampak depan tersebut.
2. Penggambaran Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab II, gambar sket yang dibuat secara teliti dan lengkap dengan catatan-catatan mengenai ukuran dan keteranganketerangan lain, sangat diperlukan dalam survei arkeologis. Hal ini mengingat sket yang dibuat secara terinci akan memudahkan proses penyalinan gambar untuk melengkapi suatu laporan survei. Gambar yang dibuat untuk merekam hasil survei dapat dikatakan baik dan informatif jika gambar tersebut mudah dimengerti dan dilengkapi dengan penjelasan yang memadai. Gambar yang perlu dibuat untuk melengkapi sebuah laporan survei situs tipe B adalah gambar denah dan gambar tampak depan bangunan (lihat gambar III.1 dan III.2). Dalam hal ini skala juga sangat diperlukan dalam menggambar hasil survei tersebut; semakin besar skala yang dipakai, akan semakin banyak detail yang dapat ditampilkan. Namun, bila gambar yang dibuat terlalu banyak detail, misalnya seluruh susunan batu batanya juga ditampilkan, maka gambar denah atau tampak depan yang dihasilkan menjadi tidak jelas, atau bahkan membingungkan (lihat Gambar III.3). Peralatan dasar yang diperlukan untuk menggambar meliputi: pensil, pena, dan penggaris. Melalui alat-alat yang sederhana itu pun sudah dapat dihasilkan gambar yang memadai untuk lampiran suatu laporan verbal. Dalam hal ini, kunci laporan visual arkeologis yang baik terletak pada pemilihan skala, ukuran, dan detail objek. 3. Pemotretan Foto untuk kepentingan perekaman data monumental perlu dibuat dari segala penjuru bangunan dan dilengkapi dengan skala. Foto, selain dapat digunakan untuk menginterpretasikan tinggi bangunan, juga dapat membantu ingatan dalam merekam detail-detail bangunan, seperti bentuk dan letak pintu, jendela, tiang, bentuk atap, dan hiasan. Selain itu, detail bangunan yang terekam dalam
foto antara lain dapat dipakai untuk menginterpreasikan ciri arsitektural, latar belakang etnik atau agama pendiri bangunan, dan periode pembangunannya. Bagian-bagian tertentu dari bangunan, yang menunjukkan ciri-ciri khusus perlu difoto dari jarak dekat (close up). Foto semacam ini juga dapat membantu proses pendeskripsian bangunan dan interpretasi (lihat foto III.1). Latihan Pilihlah suatu bangunan di lingkukan kampus UGM sebagai objek survei. Lakukan observasi terhadap bentuk dan konstruksinya, ciri arsitekturalnya, bahan bangunan, perubahan-perubahan yang telah terjadi pada bangunan tersebut, dan interpretasikan pula mengenai kurun waktu pembangunannya. Ciri arsitektural dan pilihan terhadap bahan bangunan seringkali berubah dari waktu ke waktu, mengikuti trend yang ada. Hal yang demikian memungkinkan peneliti untuk membuat perkiraan tentang masa pembangunannya, terutama bila tidak ada sumber tertulis yang dapat memberikan informasi. Oleh karena itu, ciri arsitektural dan bahan perlu sekali untuk diperhatikan, di samping aspek lainnya. Rangkuman Gambar hasil survei dikatakan baik dan informatif jika mudah dimengerti dan dilengkapi dengan penjelasan yang memadai. Foto suatu objek yang dilengkapi dengan skala digunakan untuk membantu ingatan dalam merekam detail-detail objek dan menginterpretasikan ukuran objek. C. PENUTUP Lakukan observasi terhadap salah satu bangunan di sekitar tempat tinggal anda. Buatlah laporan tertulis selengkap-lengkapnya mengenai bangunan tersebut, dilengkapi gambar denah dan tampak depan bangunan tersebut.
BAB IV PENGUMPULAN INFORMASI UNTUK INTERPRETASI
A. PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diberikan penjelasan mengenai penggunaan beberapa jenis sumber informasi, antara lain dokumen sejarah, gambar dan foto lama, serta keterangan penduduk sekitar situs. Dengan memahami pentingnya sumbersumber informasi yang ada, proses analisis dan interpretasi untuk penyusunan laporan survei arkeologis, sebagaimana dijelaskan dalam Bab VI, dapat dilakukan dengan baik. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan VII) mahasiswa akan dapat mengumpulkan informasi untuk keperluan analisis dan interpretasi. B. PENYAJIAN Sumber-sumber informasi, baik berupa dokumen tertulis, laporan penelitian terdahulu, gambar atau foto lama, maupun keterangan penduduk di sekitar situs, sangat membantu dalam proses analisis dan interpretasi terhadap objek yang disurvei. Dengan memanfaatkan sumber-sumber informasi yang ada, laporan survei yang dibuat tidak hanya berupa laporan yang bersifat deskriptif berdasarkan kondisi objek yang dapat dilihat pada saat survei berlangsung. Dalam hal ini, melalui sumbersumber informasi yang ada, berbagai peristiwa atau perubahan yang berkaitan dengan objek survei akan lebih mudah untuk dirunut kembali. Sumber-sumber tertulis biasanya juga memuat foto, gambar, atau peta yang mungkin dapat dimanfaatkan. Sumber-sumber tertulis pada umumnya tersimpan di perpustakaan-perpustakaan, seperti perpustakaan milik pemerintah (misalnya Perpustakaan Nasional) milik instansi (misalnya Perpustakaan Museum Sono Budoyo, Perpustakaan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY), perpustakaan pribadi, atau di Pusat Arsip Nasional. Meskipun demikian, foto dan peta lama ada yang disimpan secara khusus, bukan merupakan bagian dari
dokumen tertulis, atau tidak diterbitkan. Dalam hal ini keberadaan gambar dan foto lama dapat pula diperoleh di perpustakaan-perpustakaan. Sumber-sumber yang dipergunakan harus tetap diteliti akurasinya, mengingat beberapa sumber, seperti babat, mungkin tidak langsung memberikan keterangan mengenai objek yang disurvei, atau hanya memuat informasi terpilih (lihat McIntosh 1986: 45). Demikian pula halnya dengan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan penduduk (narasumber) di sekitar situs. Informasi yang diterima pada saat wawancara di lapangan sedang berlangsung perlu ditanggapi dengan positif. Dalam hal ini si pewawancara perlu menjadi pendengar yang baik. Bila perlu informasi yang diberikan direkam dengan tape recorder. Dalam proses analisis informasi tersebut baru disaring dan dicocokkan (cross checked) dengan informasi dari sumber-sumber lain, misalnya sumber tertulis. Informasi yang dicari melalui proses membaca biasanya jauh lebih mudah didapatkan daripada informasi yang harus dikorek dari seorang narasumber. Hal ini mengingat antara pewawancara dan narasumber mungkin belum pernah saling mengenal, sehingga kadang-kadang timbul kecurigaan di pihak narasumber. Oleh karena itu pewawancara perlu mengenal teknik pengumpulan data melalui wawancara, dan sangat dianjurkan untuk menguasai bahasa setempat. Berdasarkan berbagai pengalaman, wawancara semacam itu cukup efektif digunakan untuk melacak keberadaan situs-situs atau tinggalan arkeologis dan latar belakang sejarahnya. Namun sekali lagi, informasi mengenai latar belakang sejarah khususnya, perlu diteliti kebenarannya. Latihan Peti kubur batu banyak ditemukan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul dan penelitian terhadap tinggalan tersebut sudah banyak dilakukan. Untuk itu, carilah referensi-referensi mengenai peti kubur batu di wilayah tersebut, sehingga deskripsi mengenai jenis tinggalan ini dapat disusun. Usahakan referensi yang dipakai tidak hanya yang merupakan koleksi Perpustakaan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM saja, tetapi juga referensi dari perpustakaan lain di luar Fakultas Ilmu Budaya UGM, seperti perpustakaan Balai Arkeologi Yogyakarta
dan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta. Rangkuman Sumber-sumber informasi untuk keperluan analisis dan interpretasi suatu situs arkeologi dapat berupa dokumen tertulis, laporan penelitian terdahulu, gambar atau foto lama, dan keterangan penduduk sekitar situs. Sumber-sumber yang dipergunakan untuk keperluan interpretasi harus diteliti akurasinya, mengingat beberapa sumber tidak langsung memberikan keterangan mengenai objek yang disurvei, atau hanya memuat informasi terpilih. C. PENUTUP Tentukan suatu topik yang berkaitan dengan tinggalan-tinggalan arkeologis di Kotagede. Carilah referensi mengenai topik tersebut dari berbagai perpustakaan. Buatlah tulisan singkat (250 kata) berdasarkan referensi yang sudah dikumpulkan.
BAB V KARTOGRAFI
A. PENDAHULUAN Kartografi adalah ilmu dan teknik pembuatan peta (Prihandito, 1989). Dalam kaitannya dengan survei arkeologi, pembahasan mengenai kartografi pada bab ini tidak langsung dikaitkan dengan ilmu dan teknik pembuatan peta, tetapi lebih berkaitan dengan pemanfaatan peta yang sudah dipublikasikan untuk kepentingan survei. Ulasan tentang teknik pemetaan secara garis besar sudah dibahas dalam Bab II. Mengingat peta termasuk sebagai perlengkapan utama dalam kegiatan survei arkeologis, maka bab ini selain membahas pemanfaatan peta untuk survei
arkeologis, juga akan membahas tentang jenis-jenis peta dan teknik pembacaan peta. Pemanfaatan peta yang dikemukakan dalam bab ini dapat melengkapi �Pengumpulan Informasi untuk Interpretasi� yang dijelaskan di Bab IV dan survei situs arkeologis yang dijelaskan di Bab VII, VIII, dan IX. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan VIII) mahasiswa akan dapat menggunakan peta yang sudah diterbitkan untuk keperluan survei arkeologis. B. PENYAJIAN 1. Pengenalan Jenis-jenis Peta Peta dapat diklasifikasikan menurut jenis, skala, fungsi, dan macam persoalan (maksud dan tujuan). Ditinjau dari jenisnya peta dapat dibedakan menjadi dua, yaitu peta foto dan peta garis. Peta foto adalah �peta yang dihasilkan dari mosaik foto udara / ortofoto yang dilengkapi garis kontur, nama, dan legenda� (Prihandito 1989: 3). Peta ini meliputi peta foto yang sudah direktifikasi dan peta ortofoto. Adapun peta garis adalah �peta yang menyajikan detil alam dan buatan manusia dalam bentuk titik, garis, dan luasan� (Prihandito 1989: 3). Peta ini terdiri atas peta topografi dan peta tematik. Ditinjau dari skalanya, peta dapat dibedakan menjadi peta skala besar (1:50.000 atau lebih kecil, misalnya 1:25.000) dan peta skala kecil (1:500.000 atau lebih besar). Adapun menurut klasifikasi berdasarkan fungsi, terdapat tiga macam peta, yaitu: Peta umum, yang antara lain memuat jalan, bangunan, batas wilayah, garis pantai, dan elevasi. Peta umum skala besar dikenal sebagai peta topografi, sedangkan yang berskala kecil berupa atlas; Peta tematik, yang menunjukkan hubungan ruang dalam bentuk atribut tunggal atau hubungan atribut; dan Kart, yang didesain untuk keperluan navigasi, nautical dan aeronautical (Prihandito 1989: 3-4).
Adapun peta yang dapat diklasifikasikan menurut macam persoalan (maksud dan tujuan), antara lain meliputi: peta kadaster, peta geologi, peta tanah, peta ekonomi, peta kependudukan, peta iklim, dan peta tata guna tanah (Prihandito 1989: 4). Di antara macam-macam peta peta tersebut, yang sering digunakan dalam survei arkeologi adalah peta topografi. Peta topografi adalah peta yang menampilkan, semua unsur yang berada di atas permukaan bumi, baik unsur alam maupun buatan manusia, sehingga disebut juga peta umum. Unsur alam antara lain meliputi: relief muka bumi, unsur hidrografi (sungai, danau, bentuk garis pantai), tanaman, permukaan es, salju, dan pasir (Prihandito 1989: 23; Hascaryo dan Sonjaya 2000: 10). Adapun unsur buatan manusia di antaranya adalah: sarana perhubungan (jalan, rel kereta api, jembatan, terowongan, kanal), konstruksi (gedung, bendungan, jalur pipa, jaringan listrik), daerah khusus (daerah yang ditanami tumbuhan, taman, makam, permukiman, lapangan olah raga), dan batas administratif (Prihandito 1989: 22; Hascaryo dan Sonjaya 2000: 10). Tinggalan-tinggalan arkeologis atau bersejarah seperti bangunan megalitik, candi, gereja, dan reruntuhan bangunan kuna, seringkali juga ditampilkan dalam peta topografi (lihat McIntosh, 1986: 44). Selain menyajikan data keruangan, peta topografi juga memuat data non-keruangan, antara lain grid, graticul (garis lintang dan bujur), arah utara, skala, dan legenda (keterangan mengenai simbol-simbol yang digunakan pada peta) (Prihandito 1989: 117-120; Hascaryo dan Sonjaya 2000: 10; lihat gambar V.1). 2. Pemanfaatan Peta Peta topografi dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan, serta dapat digunakan sebagai peta dasar (base map) dalam pembuatan peta tematik, seperti peta arkeologi dan peta turis (lihat Prihandito 1989: 17). Dalam survei arkeologi, peta topografi berguna untuk memperoleh gambaran umum tentang wilayah yang diteliti. Dalam kondisi tertentu, misalnya medan survei yang terlalu berat, peta yang sudah ada dapat dipakai untuk memplotkan temuan arkeologis.
Pemetaan tersebut, meskipun hanya bersifat sementara, sangat efektif untuk menyimpan dan menyelamatkan data arkeologis (Hascaryo dan Sonjaya 2000: 1).
Data dari peta topografi yang diambil untuk membuat peta arkeologi hanya satu atau dua unsur saja, tergantung dari skala dan tujuan pembuatan peta arkeologi itu. Data tersebut digunakan sebagai latar belakang penempatan dan orientasi secara geografis. Selain peta topografi, yang dapat digunakan sebagai peta dasar antara lain adalah foto udara, peta geologi, dan peta administratif (Hascaryo dan Sonjaya 2000: 10). Besar skala peta dasar yang dibutuhkan untuk membuat peta arkeologi tergantung pada luas wilayah yang akan dipetakan, yaitu: wilayah seluas provinsi memerlukan peta dasar berskala 1:100.000 sampai dengan 1:250.000; wilayah seluas kabupaten memerlukan peta dasar berskala 1:50.000 sampai dengan 1:100.000;
wilayah setingkat kecamatan, desa, atau situs memerlukan peta dasar berskala 1:10.000 sampai dengan 1:25.000 (Wasisto 1998, dikutip dalam Hascaryo dan Sonjaya 2000: 10). Latihan
Berdasarkan peta topografi yang tersedia, berikan penjelasan tentang: nomor grid peta besar skala data arkeologis yang dimuat dalam peta nama tempat (toponim) yang menurut anda berkaitan dengan sejarah, peristiwa, kegiatan, atau status sosial tertentu. Rangkuman
Pengertian kartografi secara luas adalah ilmu dan teknik pembuatan peta. Peta topografi adalah peta yang menampilkan semua unsur yang berada di atas permukaan bumi, baik unsur alam maupun buatan manusia. Peta topografi disebut juga peta umum atau peta dasar, dan dari peta ini dapat diciptakan peta tematik, seperti peta arkeologi. C. PENUTUP
Berikan penjelasan tentang unsur buatan manusia yang tercantum dalam peta topografi Tergolong dalam peta apakah peta sebaran situs dan peta situasi situs ? Kunci
Unsur buatan manusia antara lain meliputi: sarana perhubungan (jalan, rel kereta api, jembatan, terowongan, kanal), konstruksi (gedung, bendungan, jalur pipa, jaringan listrik), daerah khusus (daerah yang ditanami tumbuhan, taman, makam, permukiman, lapangan olah raga), dan batas administratif. Peta tematik, karena menyajikan tema tertentu.
BAB VI PENYAJIAN DATA A. PENDAHULUAN Suatu catatan hasil survei hanya akan mudah dimengerti dan bermanfaat bagi orang lain apabila sudah disalin dalam format (laporan) yang baik, atau lebih-lebih bila sudah diterbitkan. Laporan tersebut berupa laporan verbal yang dilengkapi dengan ilustrasi yang memadai, baik berupa denah, peta, gambar, maupun foto. Oleh karena itu dalam bab ini mahasiswa akan dibekali dengan teknik-teknik penyajian data, yang dapat menunjang pembuatan laporan praktikum di Bab VII, VIII, dan IX.
Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan IX) mahasiswa akan dapat menyusun laporan verbal dan visual dengan baik.
B. PENYAJIAN Laporan pada umumnya dibuat sebagai bentuk pertanggungjawaban suatu pekerjaan yang sudah diselesaikan. Dalam kaitannya dengan survei arkeologi, laporan yang perlu dibuat tidak hanya berupa laporan verbal, tetapi juga laporan visual. Hal ini mengingat gambar, foto, atau peta akan menjadi bahan komunikasi yang lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan uraian kalimat. Sebuah laporan hasil survei, baik yang verbal maupun visual, memuat semua data arkeologi yang telah dikumpulkan di lapangan. Laporan tersebut menjadi kurang bermanfaat dan sulit dimengerti pembaca apabila data yang ditampilkan disusun secara serampangan (tidak sistematis). Oleh karena itu, perlu disusun suatu format standar yang sifatnya luwes, sehingga laporan penelitian arkeologi menjadi enak dibaca dan tetap mencerminkan ciri penyusunnya. Contoh yang diberikan berikut ini adalah garis besar isi sebuah laporan verbal yang sederhana (bandingkan dengan Putranto 2000). Penjelasan tentang objek survei (lokasi, status kepemilikan, indikasi sebagai situs arkeologi, kondisi saat ini)
Deskripsi tentang situs dan segala komponennya (ukuran, jenis, bahan, ciri yang khas Analisis terhadap data atau gejala yang ada Interpretasi atas dasar data yang diperoleh di lapangan dan hasil studi pustaka. Bila keempat unsur tersebut dipenuhi, diharapkan laporan yang dibuat meskipun ringkas sudah dapat menampilkan semua data hasil penelitian lapangan dan mudah dipahami, baik oleh kalangan akademisi, pemerintah, maupun khalayak umum.
Latihan Pilihlah tiga buah laporan penelitian arkeologi yang tersedia di Perpustakaan Jurusan Arkeologi, seperti Berita Penelitian Arkeologi (BPA) yang diterbitkan oleh Pusat Arkeologi dan sejumlah Balai Arkeologi. Lakukan penilaian terhadap laporan-laporan tersebut, yang meliputi materi (verbal dan visual), formatnya, dan kemudahannya untuk dimengerti.
Rangkuman Laporan merupakan bentuk pertanggungjawaban suatu pekerjaan yang sudah diselesaikan. Laporan hasil survei, baik yang verbal maupun visual, memuat semua data arkeologi yang telah dikumpulkan di lapangan. Laporan menjadi kurang bermanfaat dan sulit dimengerti apabila data ditampilkan secara serampangan (tidak sistematis).
C. PENUTUP Pilihlah dua buah laporan penelitian dan bandingkan sistematika penulisannya Berikan pula penilaian terhadap data yang ditampilkan dalam laporan tersebut secara visual; apakah sudah komunikatif ataukah tidak mudah dipahami.
BAB VII PRAKTIKUM III: SURVEI SITUS ARKEOLOGI A
A. PENDAHULUAN Bab ini berisi petunjuk instruksional untuk melakukan survei di situs arkeologi yang tidak bersifat monumental. Teknik survei untuk objek semacam ini sudah dibahas dalam Bab II, sehingga ketika dihadapkan pada tinggalan yang sesungguhnya, mahasiswa tidak kebingungan lagi untuk memilih teknik survei dan langkah-langkah yang perlu dilakukan.
Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan XI) mahasiswa akan dapat melakukan identifikasi dan perekaman data arkeologi yang berupa fitur atau reruntuhan, menginterpretasikan, serta membuat laporannya.
B. PENYAJIAN Situs tipe A yang harus disurvei merupakan situs yang tinggalan arkeologisnya sudah tidak utuh lagi atau tidak bersifat monumental. Indikasi yang akan diperoleh dapat berupa himpunan artefak, reruntuhan atau fondasi bangunan, atau fitur-fitur lain bekas aktivitas manusia. Situs semacam ini banyak dijumpai di wilayah DIY dan Jawa Tengah, tidak hanya terbatas tinggalan dari masa prasejarah saja, namun juga meliputi tinggalan masa pengaruh Hindu-Budha, Islam, dan Kolonial. Prosedur perekaman data untuk situs tipe A dapat dilihat pada Bab II.
Latihan 1.
Tentukan objek survei yang sesuai
2.
Amatilah sebaran artefak atau reruntuhan.
3.
Tentukan teknik survei yang akan digunakan.
4.
Berilah tanda pada batas terluar sebaran tersebut dengan menggunakan patok.
5.
Buatlah sket denah objek survei tersebut, dan lakukan pengukuran
6.
Buatlah gambar kontur objek survei tersebut
7.
Buatlah foto objek survei
8.
Plotkan lokasi objek survei pada peta topografi.
9.
Susunlah semua data yang diperoleh dalam bentuk laporan.
Perlu diingat bahwa dalam laporan harus dicantumkan hasil interpretasi dan argumen yang melatar belakanginya.
C. PENUTUP Buatlah daftar situs tipe A di wilayah DIY dan Jawa Tengah. Lakukan observasi terhadap salah satu situs dan buatlah denahnya
BAB VIII PRAKTIKUM IV: IDENTIFIKASI SITUS ARKEOLOGI B
A. PENDAHULUAN Bab ini berisi petunjuk instruksional untuk melakukan survei di situs arkeologi yang mempunyai tinggalan bersifat monumental. Teknik survei dan perekaman untuk objek semacam ini sudah dibahas dalam Bab III, sehingga ketika dihadapkan pada tinggalan arkeologis yang masih utuh atau sudah direkonstruksi sehingga hampir mendekati utuh, mahasiswa tidak kebingungan lagi untuk memilih teknik survei dan langkah-langkah yang perlu dilakukan.
Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan XIII) mahasiswa akan dapat melakukan identifikasi dan perekaman data arkeologi yang berupa bangunan monumental tunggal, interpretasi, serta membuat laporannya.
B. PENYAJIAN Di wilayah DIY dan Jawa Tengah banyak terdapat tinggalan arkeologis yang bersifat monumental, yang berasal dari berbagai periode, mulai dari periode Klasik, Islam, sampai dengan Kolonial. Bangunan monumental dari tiap periode mempunyai ciri arsitektural tersendiri, sehingga cukup mudah dibedakan. Namun demikian, bangunan-bangunan dari suatu periode juga mempunyai berbagai macam variasi.
Variasi tersebut antara lain dipengaruhi oleh fungsi bangunan (misalnya fasilitas peribadatan, benteng, atau tempat tinggal), latar belakang keagamaan (misalnya Hindu, Buddha, Islam, Kristen, Katolik, atau Kong Hu Cu), latar belakang budaya (misalnya India, Jawa, Cina, Belanda, Inggris, Portugis, atau Jepang), status sosial pemilik (golongan atas, menengah, atau bawah). Dengan demikian arsitektur suatu bangunan dapat ditinjau berdasarkan aspek-aspek tersebut di atas. Bangunan yang bahan utamanya batu atau bata pada umumnya dapat bertahan dalam kurun waktu lama. Dalam kurun waktu panjang berbagai hal dapat terjadi pada suatu bangunan, misalnya dipugar, diperluas, atau dialihkan fungsi dan kepemilikannya. Oleh karena itu, studi kepustakaan sangat perlu dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang telah terjadi dengan bangunan tersebut.
Latihan Objek untuk latihan survei kali ini adalah bangunan Masjid Agung Kotagede. Lakukan evaluasi terhadap ciri arsitekturalnya, bentuk, konstruksi, dan fungsinya. Amati perubahan-perubahan yang mungkin telah terjadi pada bangunan tersebut, baik perubahan bentuk, konstruksi, pembagian ruang, maupun fungsinya. Dalam hal ini, studi literatur sangat membantu untuk mendapatkan informasi mengenai �evolusi� yang telah terjadi pada bangunan tersebut (lihat gambar III.1 dan VIII.1). Berdasarkan hasil pengamatan dan studi literatur, buatlah laporan tertulis selengkap-lengkapnya mengenai bangunan tersebut, dilengkapi gambar denah dan tampak depan bangunan tersebut. Sertakan pula peta yang menunjukkan lokasi tinggalan tersebut.
C. PENUTUP Pilihlah suatu bangunan tunggal yang masih utuh sebagai objek survei. Buatlah gambar denah dan tampak depan bangunan tersebut
BAB IX PRAKTIKUM V: IDENTIFIKASI SITUS ARKEOLOGI C
A. PENDAHULUAN Bab ini berisi petunjuk instruksional untuk melakukan survei di kompleks situs arkeologi. Pada kompleks situs semacam ini akan didapatkan berbagai macam komponen, antara lain berupa bangunan, jalan, gapura, atau pintu gerbang. Secara umum, teknik survei dan perekaman data untuk objek semacam ini sudah tercakup dalam pembahasan teknik survei terhadap objek yang lebih sederhana, yaitu dalam Bab II dan III. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan XV) mahasiswa akan dapat melakukan identifikasi dan perekaman data arkeologi yang berupa kompleks situs, serta membuat laporannya.
B. PENYAJIAN Kompleks situs, sebagaimana bangunan tunggal, juga banyak dijumpai di wilayah DIY dan Jawa Tengah. Kompleks situs tersebut antara lain kompleks situs Candi Prambanan, Ratu Boko, Benteng Vrederburg, Masjid Agung Yogyakarta, dan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Sebelum melakukan pencatatan daan pengukuran, berjalanlah di sekitar situs dan lakukan observasi secara menyeluruh. Observasi ini penting untuk mengetahui luas kompleks situs dan gejala-gejala yang perlu dicatat secara terinci. Namun mengingat suatu kompleks situs biasanya mencakup suatu wilayah yang luas, maka pengukuran untuk pembuatan peta situs dapat dilakukan tanpa menggunakan rol meter, tetapi menggunakan langkah kaki. Melalui pengukuran secara kasar tadi dapat pula dihasilkan sket kompleks situs yang cukup memadai. Detail tiap-tiap gejala atau komponen dalam kompleks situs dapat direkam melalui foto, sehingga pendeskripsian data yang kurang lengkap dan interpretasi dapat dilakukan setelah pulang dari lapangan. Sama halnya dengan survei situs tipe A dan B, peralatan minimal untuk pemetaan dan penggambaran adalah field note, pensil, penggaris, penghapus, dan rol meter. Kamera dan skala juga merupakan alat yang penting untuk dibawa.
Latihan Contoh objek praktikum untuk jenis situs C adalah kompleks situs Benteng Vrederburg. Lakukan evaluasi mengenai komponen-komponen yang ada, bentuk dan konstruksi masing-masing komponen, tata ruang, perubahan-perubahan yang tata ruang yang mungkin terjadi, dan interpretasikan pula fungsi masingmasing komponen atau perubahan fungsinya. Buatlah laporan tertulis selengkaplengkapnya mengenai kompleks situs tersebut, dilengkapi dengan peta situs (lihat gambar IX.1) Dalam proses pembuatan laporan yang lengkap, terutama pada tahap interpretasi, diperlukan pula studi terhadap literatur-literatur tentang situs tersebut. Di samping itu, wawancara dengan narasumber mungkin juga perlu dilakukan. Siapkan pula peta topografi agar situs yang disurvei dapat diplotkan dalam peta tersebut.
C. PENUTUP Sebutkan grid reference peta yang memuat situs Benteng Vrederburg. Berikan penjelasan tentang fungsi Benteng Vrederburg sejak didirikan hingga sekarang.
Gambar IX.1. Contoh denah situs (Sumber: Kaabaila, 1997)
BAB 10. Arkeologi Bentanglahan
ARKEOLOGI BENTANGLAHAN (LANDSCAPE ARCHAEOLOGY) (Oleh: Drs. J. Susetyo Edy Yuwono)
A. Pengertian Umum Bentanglahan: (Istilah bentanglahan, alam, dan lingkungan, secara umum memiliki makna yang sama. Perbedaannya terletak pada aspek interpretasinya. Bentanglahan merupakan landasan dasar lingkungan manusia) Arti Luas: Permukaan bumi dengan segaja gejalanya, mencakup bentuk-bentuk lahan, vegetasi, dan atribut (sifat) pengaruh manusia, yang secara kolektif ditunjukkan melalui fisiografi. Arti Sempit: Wilayah, atau suatu luasan di permukaan bumi dengan delineasi (batas-batas) tertentu, yang ditunjukkan melalui suatu geotop atau kelompok geotop. (Geotop: bagian geosfera yang relatif homogen dari segi bentuk dan prosesnya). Delineasi bentanglahan merupakan tahapan paling dasar dalam visualisasi suatu bentanglahan sebagai satuan (unit) wilayah. B. Visualisasi Bentanglahan: Karakteristik alami dan non-alami dari ruang di permukaan maupun dekat permukaan bumi, yang bersifat dinamis. Hasil suatu perubahan berkesinambungan dari interaksi dinamis antar sfera (Bentanglahan merupakan ekspresi hubungan erat antar sfera). C. Unit Bentanglahan:
f (L, T, V, M) (Landform, Tanah, Vegetasi, Manusia) D. Unit Bentuk Lahan (Landform): f (R, P, S, B, W) (Relief/topografi, Proses, Struktur, Batuan, Waktu) E. Penekanan Analisis Bentanglahan: - Bentanglahan untuk manusia - Pengaruh negatif dan positif manusia terhadap bentanglahan F. Jenis-Jenis Landscape (H.R. Bintarto): Natural Landscape (NL) Bentangalam alami, merupakan fenomena/perwujudan di muka bumi. Misal: gunung, laut. Physical Landscape (PL) Bentangalam alami yang masih didominasi unsur-unsur alam, yang diselangseling dengan kenampakan budaya. Misal: jembatan, jalan. Sosial Landscape (SL) Bentangalam dengan kenampakan fisik dan sosial yang bervariasi karena adanya heterogenitas adaptasi dan persebaran penduduk terhadap lingkungannya. Misal: kota dan desa dengan berbagai fasilitas individual maupun publiknya. Economical Landscape (EL) Bentangalam yang didominasi oleh bangunan beragam yang berorientasi ekonomis. Misal: daerah industri, daerah perdagangan, daerah perkotaan, daerah perkebunan, dll. Cultural Landscape (CL) Bangunan/unsur budaya dengan natural feature sebagai latar belakangnya. Misal: daerah pemukiman dengan kelengkapan sawah, kebun, pekarangan.