19 Juli 2005 Surat untuk Kekasih Wahai kekasih, malam ini, sendiri ku duduk di depan meja tulisku. menghadapi bagian tengah buku yang tengah kutulisi surat, dariku untukmu. Tahukah kau wahai kekasihku, aku merindukanmu, mendamba melihatmu, mengharap senyummu, membayangkan suaramu yang berat. Aku yakin gelombang suaramu dapat menembus dadaku. Bahkan saat kini ku membayangkan, hatiku berdebar lebih cepat. Aku menginginkanmu. Wahai kekasih, saat ini, seolah aku bisa melihat langsung ke arah mata gelapmu. Begitu intens kau memandangku, hingga ku merasa caramu memandangku takkan kulupakan seumur hidup. Senyummu membias di sudut bibir memancing tawaku. Kita berdua tertawa. Kita berdua tak tahu apa yang kita tertawakan. Dalamnya kegelapan matamu, pancaran indah senyummu; keduanya berpadu membuatku terhipnotis. Perasaanku meluap. Rongga dadaku mengembang. Sepertinya persediaan oksigen seumur hidupku tengah memenuhi paru-paruku. Hanya karena pandangan serta senyummu kau persembahkan untukku. Wahai kekasih, kali ini, ku memperhatikanmu. Dalam khayalku. Dengan latar putihbiru-pink yang menjadi tema kamarku, kau duduk menekuk satu lututmu menghadapku. Setiap inci tubuhmu, setiap satu porimu, setiap hembusan nafasmu, menunjukkan kau memujaku. Hanya karena kau mencintaiku. Seperti kau bergerak melingkupi, melindungi, memelukku dengan kasih yang kau persembahkan untukku. Tanpa kau perlu bergerak sedikitpun. Ikhlas kau serahkan dirimu padaku. Tak pernah kau menyesal karenanya. Bahkan ketika keraguanmu melanda. Duhai kekasih, aku mencintaimu. Caramu tersenyum padaku. Caramu memandangku. Caramu melindungiku dengan aura cintamu. Bahkan caramu duduk di hadapanku. Dan caramu membelaiku dengan hatimu. Dan caramu menyerahkan diri untukku. Semua itu memecah tempurungku. Menjebol penjaraku. Membuka kurunganku. Aku bebas. Tidak takut lagi karena sudah ada kau dalam diri, pikiran dan jiwaku; bersamaku sekaligus melindungiku. Kau dan aku bersama. Duhai kekasih, kasihku untukmu. Ku memandangmu. Ku tersenyum padamu. Ku mencinta bersamamu. Kimia dan fisika tak lagi menjelaskan. Tak sanggup diuraikan. Karena cintaku satu untukmu, manusiaku. Partikel inilah yang terkecil, tak dapat dan tak mau kubagi, namun penuhi hatiku, meluberi pikiran serta kembangkan jiwaku. Partikel cinta. Tebarannya bagaikan pakaian khususku. Hiasi tubuhku bagaikan mutiara murni, berwarna putih cahaya karena sucinya dan karena indahnya. Untaian mutiara terindah. Duhai kekasih. Kukerjap mata dan kau menghilang. Berkasmu adalah pertandaku. Bagaikan percikan kembang api. Titik-titik cahaya di gelapnya latar. Warna-warni memudar. Fokus pun menghilang. Dunia kembali suram dengan teriknya mentari bertabur silaunya lampu. Tiba saatnya udara seumur hidupku habis. Kemanakah nafasku? Tak kutemukan. Hembusan angin besar menyapu wajahku; timbul karena kibasan bulu mataku. Angin akal sehat telah mendatangiku. Ku hanya harus bersabar. Menanti saat kita bertemu. Jalan lurus bercahaya membentang di depanku. Harus kulalui sambil berbenah. Sebab di ujung sana ada dirimu. Saat kita bertemu, kan kau temui cantikku. Terima kasih, untuk berada di sana, duhai Kasih..