Surat untuk para guru 17: Menumbuhkan kreativitas Leo Sutrisno
Anakku, Setia Nugraha, Engkau mengeluh bahwa sebagian besar muridmu kurang kreatif. Mereka hanya mengerjakan sesuai dengan penugasan tidak lebih tidak kurang. Bahkan, sering mereka itu hanya sekedar mengungkapkan kembali apa yang telah engkau ajarkan sebelumnya. Jarang ditemukan siswa yang atas inisiatifnya sendiri mengembangkan pengetahuan yang telah dimilikinya (Baca: diterima). Kalau disuruh menggambar bebas, misalnya pemandangan, yang digambar juga hanya itu-itu saja. Ada gunung, ada sawah, ada sungai, ada matahari dsb. Seolah-olah hanya menyalin dari gambar-gambar pemandangan yang sering dilihatnya. Memang itu yang terjadi. Tetapi sesungguhnya masalah ini bukan hanya masalah muridmu saja. Murid kawan guru yang lain pun demikian. Juga bukan hanya monopoli siswa, kita pun sebagai guru juga kurang kreatif. Lihat misalnya, tentang yang engkau lakukan di kelas: bagaimana engkau menjelaskan, alat apa yang engkau gunakan, bagaimana engkau mengevaluasi siswa dari tahun ke tahun kurang lebih sama. Sesungguhnya engkau sendiri juga tidak jauh berbeda dengan yang lain. Engkau, saya, ibumu juga kurang kretaif dalam mengajar. Mengapa? Dapat dibuat cerita bersambung karena panjang. Tetapi secara ringkas dapat dikatakan kita menjadi kurang kreatif karena sejak di bangku sekolah Taman Kanakkanak hingga tingkat studi lanjut kita mengikuti pembelajaran dalam tradisi absolutisme yang digaris-bawahi oleh pemikiran behaviorisme. Dalam tradisi ini, para siswa dapat memang tidak dikembangkan agar membangun pengetahuaannya sendiri. Karena itu, evaluasinya berupa reproduksi pengetahuan yang telah diterima dari para guru. Semua pengetahuan yang tidak sesuai dengan pengetahuan para guru dianggap ’salah’. Akibatnya, para siswa, termasuk kita sendiri seing memilih ’pura-pura’ mengikuti (mengamini) apa yang disampaikan oleh para guru. Apa yang perlu kita lakukan ke depan? Jika engkau ingin para muridmu kreatif maka engkau sesegera mungkin melepas tradisi absolutisme ini. Engkau harus menerima kenyataan bahwa setiap siswa membangun pengetahuannya sendiri. Ingat, bukan sendirian. Atas bantuanmu, atas bantuan para guru yang lain, atas bantuan teman sesama siswa, setiap siswa menyusun pengetahuannya sendiri (bukan pengetahuan orang lain, sekalipun itu gurunya). Boleh jadi, pengetahuan yang ia bangun itu tidak sama dengan pengetahuan yang engkau sampaikan kepada mereka di kelas. Kalau pendapat ini engkau terima, maka engkau juga ’terpaksa’ mengubah cara mengajarmu. Dalam tradisi absolutisme, engkau ’mencurahkan’ semua materi berikut penjelasannya kepada semua siswa di kelas tanpa harus memperhatikan apa tanggapan para muridmu. Semua siswa engkau anggap masih kosong dan engkau isi dengan
pengetahuan yang telah ditetapkan di dalam kirukulum. Baratnya, engkau mengisi botol kosong dengan pengetahuan yang telah engkau ’pilih’. Sesungguhnya, bukan engkau yang memilih, para penyusun kurikulum telah memilihkan untuk kita. Apa gantinya? Engkau dapat menggantinya dengan tradisi konstruktivisme. Dalam tradisi ini disepakati bahwa sebelum memasuki ruang kelasmu , para muridmu itu, masingmasing memiliki pengetahuan yang terkait dengan materi yang akan engkau bahas di kelas mereka. Tugasmu, pertama-tama memeriksa kembali apa sungguh telah ada pengetahuan mereka itu. Kemudian mengklasifikasikan pengetahuan itu menjadi pengatahuan sudah konsisten dengan penjelasan para ahli dan yang belum. Tugas ini disebut diagnose pengetahuan awal siswa. Tugas berikutnya adalah mengubah pengetahuan yang belum konsisten dengan pengetahuan para ahli ini selama proses pembelajaran. Pengetahuan mereka mungkin ada yang dipertajam, mungkin ada yang diperhalus, mungkin ada yang diubah total. Proses ini disebut remediasi. Jadi, dalam satu paket proses pembelajaran terjadi proses diagnose dan remediasi. Kalau begitu, apa peran guru dalam tradisi konstruktivisme? Guru sebagai fasilitator agar proses konstruksi pengetahuan yang dilakukan para siswa berlangsung efisien dan efektif. Dalam kerangka seperti ini, sebagai fasilitator, para guru tidak mungkin duduk ’santai’ si meja guru sambil membaca koran sementara para siswanya sedang berkelana membangun pengetahuannya sendiri. Engkau sebagai fasilitator ’terpaksa’ terlibat aktif dalam proses berpikir siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Perlu diingat bahwa dalam tradisi konstruktivisme juga tidak memberikan kebebasan seratus persen kepada siswa. Jika ini dilakukan maka para siswa akan cenderung mengambil posisi yang paling aman, yaitu mencontoh pandapat atau pemikiran orang lain sebelumnya. Tanpa harus mengeluarkan energi yang cukup banyak tetapi hasilnya sudah dijamin baik. Siswa cenderung meniru yang paling aman. Justru, pembatasan diperlukan. Dengan pembatasan itu, siswa ’terpaksa’ memutar otak untuk memperoleh hasil yang terbaik tanpa mengorbankan harga dirinya menjadi seorang ’peniru’. Justru karena dibatasi, mereka akan lebih kreatif menyambut tantanganmu. Tentu saja, engkau harus memperluas pengetahuan dan juga memperdalam agar dapat menempatkan pengetahuan para muridmu pada cakrawala yang lapang dan tampak sistematis. Semoga!