Menularkan Kegemaran Belajar
Guru Belajar Edisi ke VII Tahun Kedua, Desember 2017
Mengelola Kelas,
Memanusiakan Hubungan
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
1
Semua Murid Semua Guru
Memanusiakan Hubungan Modal Perjalanan Belajar
K
ekuatan utama pendidikan adalah relasi dan interaksi yang terjadi. Memanusiakan hubungan menjadi modal utama perjalanan guru dan murid. Kebanyakan kita sepakat bahwa hubungan yang positif, bermanfaat untuk perkembangan sosial-emosional murid, karena ia mendapatkan teladan nyata dari guru dan kesempatan mempraktikkannya setiap hari di dalam kelas. Kenyataannya, hampir semua penelitian menunjukkan hubungan yang positif juga mendukung perkembangan akademis dan intelektual karena guru sensitif pada kesiapan dan kebutuhan anak, situasi kelas aman untuk eksplorasi dan refleksi. Memanusiakan hubungan, memang menjadi prasyarat dari pengembangan kompetensi. Sebelum seseorang mampu meningkatkan pemahaman, mengembangkan sikap dan melatih keterampilan dan melakukan aksi, ia perlu memiliki motivasi yang kuat. Motivasi ini muncul karena pengalaman yang menyenangkan di dalam kelas, yang ingin diteruskan dengan mentransfernya ke berbagai konteks di luar kelas. Satu hal yang perlu ditekankan, memanusiakan hubungan juga bermanfaat untuk guru. Guru mendapatkan kekuatan dalam menjalani peran yang seringkali melelahkan secara fisik maupun psikis. Kebanyakan guru memilih profesi ini karena kepedulian pada kemanusiaan, karenanya ironis rasanya saat penguatan hubungan tidak menjadi alasan utama kehadiran di kelas. Guru yang
Surat Kabar
Guru Belajar Kantor Jl. Ciater Rawa Mekar Jaya, Serpong Tangerang Selatan, 15310
memprioritaskan hubungan dengan muridnya akan merasakan kehangatan dan penerimaan pada emosinya. Semakin positif hubungan dengan murid, dan orang dewasa di sekitarnya, semakin berkurang tekanan emosional dan professional yang dirasakan guru serta semakin baik kemampuannya mengelola dirinya. Hambatan utama guru dalam memprioritaskan penguatan hubungan seringkali adalah pengalaman pribadinya dalam hubungan di luar sekolah dan paradigmanya tentang anak (dan manusia). Sebagian guru memandang anak sebagai individu yang kaya secara sosial-emosional sehingga perlu didengarkan kebutuhannya dan ditumbuhkan regulasi dirinya. Namun banyak juga guru masih memandang muridnya sebagai anak yang miskin empati apalagi refleksi, sehingga semua tingkah lakunya hanya bisa dikendalikan dengan hukuman dan sogokan. Sulit membayangkan hubungan yang saling menghormati di dalam kelas, saat guru memulai hubungannya dengan paradigma kedua, yang didasari oleh manipulasi dan eksploitasi. Memanusiakan hubungan essensial untuk setiap tahapan pembelajaran. Dalam perencanaan sebelum masuk kelas, saat mengajar dan belajar bersama anak, di waktu melakukan penilaian sesudah jam pelajaran. Guru yang memanusiakan hubungan, sejak awal merencanakan pen-
Info Surat Kabar Guru Belajar
Terbit setiap dua bulan sekali, surat kabar ini menampilkan praktik cerdas pengajaran dan pendidikan untuk menularkan kegemaran belajar pada komunitas guru. Isi tidak sepenuhnya mewakili pandangan redaksi.
gajaran yang berfokus pada hal yang relevan dan memancing keterlibatan aktif murid. Tuntutan kurikulum, harapan masyarakat serta minat dan pengalaman guru tentu dipertimbangkan, namun differensiasi pada murid sebagai subyek pembelajaran sesungguhnya dimulai dengan pengenalan guru pada setiap dan semua anak. Guru yang memanusiakan hubungan, menyatakan kepercayaan dan harapan sebagai strategi utama pengajaran. Kesempatan diberikan pada semua anak, dengan memastikan pengalaman sukses dirasakan setiap anak. Komunikasi yang konsisten, bukan hanya dilakukan di permukaan tetapi memang diniatkan dengan kesadaran bahwa hubungan yang kuat perlu waktu dan harus diusahakan. Guru yang memanusiakan hubungan menunjukkan dengan eksplisit pengaruh dari proses belajar-mengajar pada anak. Di tingkat awal, pengaruh ini bisa dimulai pilihan anak tentang aktivitas dan penilaian yang akan dilakukan. Di tingkat menengah, pendapat anak bisa mempengaruhi konteks yang dipilih untuk memahami materi, sampai kebebasan yang diberikan pada anak untuk memilih pelajaran dan jurusan yang pengaruhnya signifikan pada masa depan. Yang seringkali dilupakan saat membicarakan hubungan adalah pentingnya ketulusan. Kesempatan, pilihan, apalagi pujian, tidak akan
Dewan Redaksi
Najelaa Shihab Bukik Setiawan Chusnul Chotimah Lany Rh Rizqy Rahmat Hani Rizky Satria Desainer Grafis
Email dan sosial media
[email protected] Kampus Guru Cikal Kampusgurucikal @Kampusgurucikal
Suhud Rois Wilma Kailola Virandhy
2
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
“
Guru yang memanusiakan hubungan, sejak awal merencanakan pengajaran yang berfokus pada hal yang relevan dan memancing keterlibatan aktif murid.
“Memanusiakan hubungan mestinya dilandasi ketulusan dan keadilan, hanya itu yang mungkin menumbuhkan iklim kelas yang positif”
bermakna saat dipaksakan. Membiasakan ketulusan, sebetulnya sesuatu yang bisa terus guru pelajari dari muridnya sendiri. Kita juga sering mengabaikan pentingnya keadilan saat berbicara tentang hubungan. Memanusiakan hubungan tidak bisa dimplementasikan setengah hati. Ini hanya akan berarti bila ada dukungan yang merata pada semua orang di lingkungan. Banyak kita yang tidak terbiasa memberikan kesempatan bertanya dan menjawab pada setiap anak, menyediakan waktu lebih untuk menunggu anak menyelesaikan pekerjaan atau mengidentifikasi resiko tertentu pada karakter anak yang mungkin mempengaruhi hubungannya dengan guru (misalnya perbedaan jenis kelamin dan tempramen atau penerapan disiplin di rumah yang penuh ancaman)
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Memanusiakan hubungan yang dilandasi ketulusan dan keadilan juga menumbuhkan iklim kelas yang positif. Interaksi individual menjadi modal dinamika sosial. Resolusi konflik yang lebih baik, kebanggaan bersama sebagai kelas, keberhasilan akademik yang diraih berkelanjutan bahkan pelibatan orang tua dalam pembelajaran, adalah dampak nyata dari guru yang memanusiakan hubungan. Bayangkan bagaimana kepercayaan, kehangatan dan kepedulian di kelas “dibawa pulang” oleh anak ke rumah kepada masing-masing orangtua yang pada akhirnya akan membawanya kembali dalam bentuk dukungan pada guru dan semua orang di sekitarnya. Lingkaran saling memahami yang nantinya akan mendasari kompetensi diri anak dalam perjalanan belajar memahami lingkar dunianya yang semakin besar.
Najelaa Shihab Pendiri Sekolah Cikal, Kampus Guru Cikal, IniBudi.Org, Keluarga Kita, Islamedu dan penggagas Pesta Pendidikan. Bisa di temui di twitter @NajelaaShihab
3
DARI REDAKSI
Mengelola Kelas, Memanusiakan Hubungan
B
ayangkan! Anda berada di sebuah ruangan, duduk dan menunggu. Lalu, ada orang asing masuk dalam ruangan tersebut. Orang asing itu duduk di dekat Anda. Tanpa berkenalan, orang itu bercerita tentang teori korabesi yang Anda sama sekali tidak mengerti. Ia memberi sebuah buku dan alat tulis, dan memberi instruksi pada Anda untuk mengerjakan soal. Anda tidak paham tujuannya sehingga keberatan mengikuti instruksi orang tersebut. Tapi karena segan melihat tubuhnya yang besar dan suaranya yang keras, Anda terpaksa mengerjakan perintahnya. Apa yang Anda rasakan? Apakah Anda merasakan kebingungan? Apakah Anda merasa tertekan? Bila cerita tersebut diubah, teori korabesi diganti mata pelajaran (apapun) dan orang asing diganti guru, apakah cerita tersebut menggambarkan suasana kelas kita? Kita telah banyak membicarakan urusan pendidikan. Kita bicara tentang kurikulum, kompetensi lulusan (KI/KD), RPP, mata pelajaran, buku teks, strategi pengajaran dan banyak hal lagi. Tapi ada satu urusan yang seringkali tidak dibicarakan dalam percakapan mengenai pendidikan, relasi guru dengan murid. Topik relasi di ruang kelas seringkali dianggap otomatis bisa diatasi dengan hadirnya guru di ruang kelas. Kenyataannya, persoalan-persoalan pendidikan seringkali berpangkal dari buruknya kualitas relasi guru dan murid. Problem relasi pemangku kebijakan pusat dengan daerah atau buruknya kualitas buku teks bisa terlihat dari corak percakapan yang terjadi di ruang kelas. Perubahan dari pengajaran berpusat pada guru menjadi pengajaran berpusat pada murid sulit terwujud bila belum ada perubahan relasi guru dan murid.
Bukik Setiawan dewan redaksi
Murid, sebagaimana kita, adalah manusia yang butuh dipahami dan dipercaya. Manusia yang butuh berkenalan dan berbincang ringan untuk menemukan kesamaan dan menghapus keterasingan. Manusia yang butuh pengalaman bersama sebelum bisa membangun kepercayaan dan menyelesaikan tantangan. Tidak ada orang yang bisa belajar dari orang yang asing, apalagi orang yang tidak disukai. Dengan memanusiakan hubungan, relasi di ruang kelas bukan lagi relasi antara penguasa dengan yang dikuasai. Percakapan di kelas bukan lagi percakapan yang agresif dengan yang permisif. Disiplin di kelas bukan lagi berdasarkan ancaman hukuman dan sogokan. Belajar di kelas bukan lagi aktivitas yang dipaksakan. Memanusiakan hubungan akan mentransformasikan kelas menjadi taman yang setiap anggotanya merdeka belajar. Pentingnya relasi guru dan murid yang berkualitas mendorong kami untuk memilih topik Manajemen Kelas untuk Memanusiakan Hubungan sebagai topik Surat Kabar Guru Belajar edisi ke-13 ini. Manajemen kelas bukan semata perkara teknis mengatur kelas, tapi sebagai strategi untuk membangun relasi guru dan murid yang berkualitas. Anda mungkin membaca surat kabar ini pada saat liburan semester. Tapi kami percaya, tak ada hari libur bagi mereka yang merdeka belajar. Justru pada saat-saat liburan ini, kita bisa mengatur waktu lebih leluasa untuk belajar sehingga bisa melakukan persiapan pengajaran yang lebih baik pada semester berikutnya. Mari memanusiakan hubungan mulai dari ruang kelas kita!
Dalam banyak kasus, guru masuk ke kelas langsung tancap gas untuk mencapai target pengajaran. Murid dianggap botol kosong yang bisa langsung dijejali pelajaran. Tak ada waktu untuk membangun relasi. Segera beri instruksi, segera sampaikan semua materi. Ketika urusan pengajaran selesai, guru disibukkan dengan berbagai macam urusan administrasi dan kelengkapan mengikuti berbagai kompetisi.
4
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
“
Lalu pak Mino pun mendominasi kelas dan mulai berceramah. Dan seperti yang bisa ditebak, menit-menit berikutnya di kelas itu menjadi kian sulit. Siswa kurang kooperatif, materi pelajaran tidak dapat tersampaikan seutuhnya, dan yang paling mengerikan: baik siswa maupun guru menjadi tidak nyaman dalam menjalani proses pembelajaran.
Bangun Kesiapan Belajar Siswa dengan 3 Aktivitas Sederhana Kaya Makna
“Selamat pagi anak-anak semuanya,” sapa pak Mino kepada murid-muridnya. “Pagiiiiii Paaaaaakkk,” sahut sebagian siswa. “Oke. Minggu lalu kita belajar sampe mana ya?” tanya pak Mino membuka kelas. “.......” Suasana kelas mendadak hening. Sebagian besar siswa tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang sedang mengusap wajahnya menggunakan handuk, ada yang sedang minum, ada yang sedang meletakkan kepalanya di atas meja, ada yang sedang bercanda. Hanya sebagian yang memandang pak Mino dan membuka buku catatannya. Saat itu memang para siswa baru saja mengikuti pelajaran olahraga. “Coba semua dibuka catatannya!” “Ga bawa Pak!” “Dipinjem Anto Pak, belum balik.” “Ah, ada-ada saja alasan kalian.” Lalu pak Mino pun mendominasi kelas dan mulai berceramah. Dan seperti yang bisa ditebak, menitmenit berikutnya di kelas itu menjadi kian sulit. Siswa kurang kooperatif, materi pelajaran tidak dapat tersampaikan seutuhnya, dan yang paling mengerikan: baik siswa maupun guru menjadi tidak nyaman dalam menjalani proses pembelajaran. *** Pernah mengalami kelas seperti itu atau yang semisalnya? Suasana kelas kurang kondusif dan mengganggu pembelajaran hanya karena kita sudah memulai pembelajaran saat para siswa belum sepenuhnya hadir dan siap mengikuti pelajaran. Mungkin ada di antara mereka yang pikirannya masih tertaut di rumah. Bisa jadi perasaan mereka masih berkecamuk karena baru saja bertengkar dengan teman sebangkunya saat istirahat sekolah. Atau barangkali ada di antara mereka yang masih menahan lapar karena tidak sempat sarapan. Wajar jika akhirnya mereka tidak bisa mengikuti pembelajaran lantaran kondisi fisik maupun psikis yang belum 100% siap. Sebagai pendidik tidak jarang kondisi itu dialami oleh saya. Terlebih ketika saya ditugaskan mengampu mata pelajaran di waktu-waktu yang krusial: setelah jam makan siang, setelah jam olahraga, pada saat hari puasa (di sekolah tempat saya mengajar diwajibkan berpuasa hari Senin dan Kamis) atau setelah mata pelajaran yang menguras daya pikir seperti Fisika dan Matematika. Setelah melakukan diskusi dengan beberapa pendidik senior, berbincang-bincang dengan beberapa siswa dan melakukan refleksi mandiri, saya menemukan fakta bahwa selama ini saya belum membuka kelas dengan baik. Alih-alih membuat siswa sepenuhnya siap untuk belajar di awal pembelajaran, saya justru memulai kelas dengan aktivitas yang sangat kaku.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
5
Dengan sedikit eksperimen sederhana akhirnya saya mencoba untuk menerapkan 3 aktivitas diharapkan dapat membuat siswa lebih siap untuk belajar. Berikut ini adalah 3 aktivitas tersebut. Buang Emosi Negatif dengan Aktivitas Bakar Sampah Emosi
jar itu perlu fokus dan untuk fokus maka semua emosi negatif perlu dibuang. ii. Minta mereka menuliskan hal-hal negatif yang mereka rasakan saat itu di kertas kecil. Pikiran/prasangka/kekhawatiran yang dirasakan juga termasuk kategori emosi negatif. iii. Minta mereka meremas-remas kertas itu dan memasukkannya ke wadah logam yang telah disiapkan. iv. Sampaikan pada siswa bahwa demi mendapatkan ilmu dan agar dapat belajar dengan optimal, maka semua emosi negatif ini harus dimusnahkan. v. Tuangkan spiritus ke dalam wadah berisi kertas lalu bakar seluruh kertas tersebut. Catatan: - Untuk mengurangi risiko timbulnya asap yang berlebihan, pastikan seluruh kertas terkena spiritus/alkohol. - Gunakan spiritus/alkohol dalam jumlah sedikit. - Pastikan tidak ada benda-benda yang mudah terbakar di sekitar tempat membakar kertas.
Aktivitas ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi emosi negatif pada diri siswa yang dikhawatirkan akan mengganggu selama pembelajaran.
Deklarasikan Kesiapan Belajar Siswa dengan Ember Ilmu
Alat yang dibutuhkan: - kertas ukuran kecil (Anda bisa menyediakan untuk siswa atau siswa menyediakannya sendiri) - wadah logam yang kira-kira cukup untuk menampung kertas sejumlah siswa di kelas - 1 botol kecil spiritus/alkohol - korek api Tahapan aktivitas: i. Sampaikan pada siswa tujuan pembelajaran hari ini. Berikan pemahaman pada mereka bahwa untuk bela-
6
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Manakah kalimat yang lebih menarik siswa untuk belajar? Anak-anak semuanya, hari ini kita akan belajar tentang fungsi. Silakan buka buku kalian halaman 78. Silakan baca sub bab 2 dengan judul ‘Manfaat Mempelajari Fungsi’.
Anak-anak, hari ini kita akan mencari tahu bagaimana peran ‘fungsi’ dalam membuat sebuah permainan di HP, di PS3, Nintendo Wii dan permainan-permainan lainnya. Sekarang bagi yang membawa smartphone bisa dikeluarkan dan buka 1 permainan yang paling kalian suka.
Hari ini kita memasuki Bab baru, yakni tentang detik-detik proklamasi. Sebelum kita memulai pelajaran, silakan kalian baca artikel yang sudah Bapak berikan!
(Setelah menonton cuplikan tayangan tentang dampak buruk penjajahan). Hari ini kita akan mencari tahu mengapa jutaan orang di Indonesia mau memperjuangkan kemerdekaan meski harus berkorban nyawa. Mari kita membaca!
Baik, bahasan tentang kesetimbangan kimia sudah kita pelajari minggu lalu. Pekan ini kita akan masuk ke bahasan baru tentang laju reaksi.
Tahukah Kalian, bahwa di alam semesta ini ada hal yang terjadi dengan sangat lambat seperti pembentukan minyak bumi, namun ada juga yang terjadi sangat cepat seperti meledaknya sebuah bom. Hari ini kita akan mencari tahu bagaimana cara ‘mengatur’ agar suatu reaksi bisa berjalan lebih cepat ataupun lebih lambat.
Aktivitas ini dilakukan dengan 2 tujuan utama: Membantu siswa mengingat materi yang dipelajari di pertemuan sebelumnya dan menguatkan kondisi mental siswa untuk belajar.
Buat Siswa Bergairah untuk Belajar dengan Kalimat Penggoda
Alat yang dibutuhkan: - Ember berukuran sedang - Kertas berukuran kecil Tahapan aktivitas: i. Sampaikan pada siswa bahwa sebelum memulai pembelajaran kita perlu mengingat-ingat kembali pelajaran yang kita dapatkan di pertemuan sebelumnya. ii. Minta siswa untuk menuliskan hal-hal yang diingat saat pertemuan sebelumnya di selembar kertas. iii. Sampaikan pada siswa bahwa supaya apa yang telah pelajari tidak hilang maka mereka perlu menyimpannya di ember ilmu. iv. Mintalah siswa untuk menyimpan kertas masing-masing ke dalam ember ilmu dengan cara melemparkan ke dalamnya dari radius 1-2 meter dari ember. Supaya lebih mantap, saat siswa melemparkan kertasnya mereka harus sambil berteriak, “Saya (sebutkan nama) siap belajar hari ini.” v. Pastikan setiap siswa melakukan hal tersebut agar seluruh siswa benar-benar siap untuk belajar di saat itu.
Riset membuktikan bahwa motif seseorang melakukan sesuatu sangat dipengaruhi oleh ketertarikannya terhadap hal tersebut (Krapp, 1998). Maka, apabila kita tidak dapat menyentuh aspek ketertarikan siswa dalam belajar maka rasanya mustahil membuat siswa mau belajar bersama kita. Membuat kalimat penggoda adalah sebuah upaya untuk memunculkan ketertarikan dan rasa ingin tahu siswa. Coba Anda bandingkan beberapa pasang kalimat pembuka yang diajukan oleh guru matematika, guru sejarah, dan guru kimia berikut ini: 1a. Anak-anak semuanya, hari ini kita akan belajar tentang fungsi. Silakan buka buku kalian halaman 78. Silakan baca sub bab 2 dengan judul ‘Manfaat Mempelajari Fungsi’.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
7
1b. Anak-anak, hari ini kita akan mencari tahu bagaimana peran ‘fungsi’ dalam membuat sebuah permainan di HP, di PS3, Nintendo Wii dan permainan-permainan lainnya. Sekarang bagi yang membawa smartphone bisa dikeluarkan dan buka 1 permainan yang paling kalian suka. 2a. Hari ini kita memasuki Bab baru, yakni tentang detik-detik proklamasi. Sebelum kita memulai pelajaran, silakan kalian baca artikel yang sudah Bapak berikan! 2b. (Setelah menonton cuplikan tayangan tentang dampak buruk penjajahan). Hari ini kita akan mencari tahu mengapa jutaan orang di Indonesia mau memperjuangkan kemerdekaan meski harus berkorban nyawa. Mari kita membaca! 3a. Baik, bahasan tentang kesetimbangan kimia sudah kita pelajari minggu lalu. Pekan ini kita akan masuk ke bahasan baru tentang laju reaksi. 3b. Tahukah Kalian, bahwa di alam semesta ini ada hal yang terjadi dengan sangat lambat seperti pembentukan minyak bumi, namun ada juga yang terjadi sangat cepat seperti meledaknya sebuah bom. Hari ini kita akan mencari tahu bagaimana cara ‘mengatur’ agar suatu reaksi bisa berjalan lebih cepat ataupun lebih lambat. Menurut Anda, di antara 3 pasang pernyataan tersebut, mana yang kira-kira lebih menggugah minat siswa untuk belajar? Tentu pernyataan “b” lebih menggugah minat siswa untuk belajar. Mengapa? Karena kalimat “b” lebih memfasilitasi siswa untuk mengetahui motif di balik pembelajaran yang akan dilakukan. Dalam bukunya, Start With Why (2012), Simon Sinek mengatakan bahwa manusia terdorong melakukan sesuatu ketika aspek ‘mengapa’ nya terjawab. Aspek ‘mengapa’ inilah yang harus kita sematkan dalam kalimat penggoda kita. Adapun agar kalimat penggoda kita mampu menyentuh aspek ‘ke-mengapa-an’ siswa, kita perlu mempertimbangkan hal-hal berikut ini: Apa kaitannya dengan nilai manfaat yang akan didapatkan oleh siswa? Seberapa mampu kalimat penggoda yang kita sampaikan menggugah rasa ingin tahu siswa? Apa hubungan kalimat penggoda kita dengan konteks kehidupan nyata? Dengan mengetahui ‘ke-mengapa-an’ mempelajari suatu hal, diharapkan kesadaran siswa untuk terlibat penuh dalam pembelajaran terbentuk. Sehingga keterlibatan aktif siswa yang kita harapkan dapat terwujud.
pembelajaran. Dampak paling signifikan yang dirasakan adalah adanya interaksi positif yang terbuka antara saya dengan siswa. Kalaupun ada kendala di saat pembelajaran berlangsung, kita bisa segera mengingatkan siswa tentang komitmen yang sudah dibangun di awal. Misalnya ketika ternyata ada siswa yang mengantuk saat pelajaran berlangsung kita dapat mendekatinya dan mengingatkan dengan lembut, “Anton, tadi Bapak dengar Anton sudah siap belajar. Menurut Anton apakah mengantuk itu bukti bahwa kita siap belajar?”. Atau ketika ada yang melamun kita bisa ingatkan, “Wuri, lagi mikirin apa? Kayaknya tadi pikiran-pikiran negatifnya udah kebakar deh. Atau masih ada pikiran negatif yang Wuri pikirkan?” dan kalimat-kalimat lain sejenisnya. Kesimpulan Tiga aktivitas yang dipaparkan dalam tulisan ini sebenarnya hanyalah segelintir contoh aktivitas yang dapat digunakan untuk membangun kesiapan belajar siswa. Ada banyak aktivitas lain yang dapat kita lakukan untuk membantu siswa menyiapkan dirinya mengikuti seluruh proses pembelajaran di kelas. Mengutip yang disampaikan oleh Malcolm Forbes, “Presence is more than just being there.” Bahwa kehadiran itu tidak berarti hanya fisiknya saja yang berada di tempat kita. Hadirkan raga, jiwa, dan pikiran siswa dalam ruang belajar kita, sehingga kita dan mereka dapat menjadi pembelajar seutuhnya.
Anggayudha Anandarasa KGB Pandeglang Pendidik di Ibad Ar Rahman Islamic Boarding School. Saya bisa dihubungi melalui instagram di @ayesaja
Hasil yang Diperoleh Ketika saya mencoba menerapkan tiga aktivitas pembuka kelas tersebut saya mengalami pengalaman mengajar yang jauh berbeda dibandingkan tanpa menerapkan aktivitas tersebut. Siswa lebih mudah dikendalikan selama proses pembelajaran berlangsung. Akibatnya suasana kelas lebih kondusif untuk
8
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Di Kelas Ini, Kamu Boleh Melakukan Apa Saja...
B
elasan tahun saya mengajar, ada banyak hal yang membuat saya begitu terpukau dengan dunia tersebut. Salah satunya adalah bagaimana kita menertibkan (baca: mengajarkan berlaku tertib) anak. Di mana “peraturan” adalah sarana yang dipandang efektif dan paling sederhana untuk mencapai tujuan tersebut. Maka tak mengherankan ketika masuk ke sebuah kelas di suatu sekolah, saya menemukan ada 36 butir peraturan berikut konsekuensinya. Jidat saya berkerut membacanya, dan tentu saja bengong setelahnya. Namun akhirnya saya merasa geli setelah sejenak menenangkan diri dan mencoba berpikir jernih. Bukan bermaksud menertawakan, namun bagi saya semakin banyak peraturan bagi anak berarti semakin lucu diri kita ini. Misalnya begini, di kelas kita bikin peraturan dengan lima belas poin larangan. Suatu ketika ada anak yang melakukan sebuah tindakan tidak patut (indisipliner) namun belum terdapat dalam peraturan yang dibuat, apakah anak tersebut dinyatakan melanggar peraturan? Peraturan mana yang dilanggar, kan tidak ada dalam poin-poin peraturan yang dibuat? Apakah kemudian kita akan menambahkan poin baru? Itu berarti kita tidak antisipatif. Inilah yang saya sebut lucu dan membuat saya geli. Peraturan di mana-mana pasti disertai sanksi. Peraturan pasti bersifat membatasi. Di satu sisi, dunia anak adalah tempat yang begitu dinamis. Anak butuh banyak mencoba dan bereksplorasi. Peraturan yang ketat dengan ancaman sanksi akan membatasi ruang gerak anak. Bisa jadi anak takut dengan sanksinya. Dan, ingatkah bahwa pendidikan itu tujuannya mengembangkan anak? Kalau ternyata kita sendiri yang membatasi anak untuk berkembang, bukan kah itu sesuatu yang lucu? Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Inilah tantangannya, bagaimana membiasakan anak berlaku sesuai norma dan nilai kesantunan tanpa terkekang kebebasan ekspresi dan eksplorasinya. Itu yang pertama. Kedua, bagaimana membuat sebuah peraturan yang bisa melatih keterampilan berpikir anak. Kebanyakan peraturan dibuat dalam kalimat yang tegas. Maksudnya tidak untuk ditafsirkan. Tidak ada kesempatan melatih anak berpikir. Ketiga, bagaimana membuat peraturan yang sederhana, mudah dipahami dan diterima anak, tapi mampu meng-cover semua perilaku yang tidak diharapkan. Benar sekali kita harus mengajarkan anak untuk tahu aturan, tidak berlaku seenak sendiri, dan menghargai orang lain. Kalau tanpa peraturan, lalu dengan apa? Beruntung saya menemukan jawabannya. Tidak usah bikin peraturan! Setiap awal tahun ajaran, saat pertama kali masuk kelas, saya ajak anak-anak menyebutkan peraturan di kelas. Saya tulis semua usulan mereka. Setelah tidak ada lagi yang memberi pendapat, saya bacakan peraturan yang akan berlaku. “Wow, ternyata banyak, ya?” komentar saya. Lalu saya kasih contoh perbuatan yang tidak semestinya dilakukan, tapi belum ada peraturan yang melarangnya. “Bagaimana kalau ada yang melakukannya?” tanya saya. “Tambah lagi peraturannya, Pak.” Begitu biasanya jawaban anakanak. Saya sebutkan banyak contoh perbuatan yang belum ada aturannya. “Apakah semuanya akan dimasukkan ke dalam peraturan?” tanya saya. “Memang kalau banyak aturan kalian suka?” Pada akhirnya saya katakan: “Kalian boleh melakukan apa saja asal tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.” Sudah, cukup itu saja. Pendek, simpel, jelas, dan antisi-
9
patif. Di samping itu juga tidak membuat anak takut, bahkan mereka merasa aman dan nyaman. Kan boleh melakukan apa saja. Tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Itu kuncinya. Kita ajak anak memahami betul kalimat tersebut dengan contoh perbuatan. Akhirnya anak sadar bahwa apapun yang bersifat merugikan tidak boleh dilakukan. Apa saja itu? Banyak, dan tentu saja tidak akan cukup untuk menuliskan daftarnya. Dan memang tidak perlu didaftar. Tentu saja hal ini tidak otomatis membuat anak jadi tertib seratus persen. Justru ketika mereka melakukan tindakan yang merugikan, itulah saatnya menyadarkan dan membelajarkan bahwa hal tersebut tidak perlu dilakukan. Ketika hal itu terjadi, anak distimulasi untuk menilai apakah perbuatannya merugikan? Merugikan siapa? Apa kerugiannya? Harusnya bagaimana? Terus, apa yang akan dilakukan selanjutnya? Misalnya ada anak yang berkata dengan nada suara yang keras. Anak tersebut tidak langsung ditegur, tetapi saya nyatakan apa yang saya lihat atau dengar. Saya akan katakan begini, “Bapak dengar kamu tadi berkata keras. Apakah benar seperti itu?” Kita lihat, anak tidak disalahkan tapi dimintai konfirmasi. Saya cukup mengatakan faktanya saja dulu. Setelah itu barulah saya sampaikan apa yang saya rasakan. “Bapak kecewa dan tidak suka kamu berteriak ketika berbicara.” Kemudian saya ajak anak tersebut memikirkan akibat dari perbuatannya. “Menurut kamu, ketika kamu tadi berteriak, ada yang terganggu enggak?” Pada saat inilah saya punya kesempatan untuk mengajak dia berpikir dan menyadari perbuatan dan akibatnya, terutama bagi orang lain. Biasanya akibat sebuah perbuatan diibaratkan bola salju yang menggelinding. Artinya tidak hanya merugikan satu orang saja, tetapi banyak orang yag dirugikan. Jadi sebenarnya bukan tanpa aturan, tapi peraturan yang dibuat sangat cair. Sehingga apapun perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang merugikan dan tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, anak belajar berempati. Tindakannya bisa saja merugikan orang lain, dan dirugikan itu tidak enak. Di samping itu, anak juga terbiasa melakukan introspeksi. Anak dilatih menemukan dan menyadari kesalahan tanpa dipersalahkan. Hal ini membuat harga diri anak terjaga, yang ujungnya akan membuat anak kian nyaman di kelas.
Suhud Rois, KGB Cimahi SD Peradaban Insan Mulia Cimahi
[email protected]
10
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Mengasah Diri melalui Wiraga, Wirama, dan Wirasa. Ressa Rizky Mutiara Hadi
S
aya adalah guru tari yang mengajar di semua level dari pra sekolah sampai sekolah menengah. Di setiap semester, saya mengajar klub terlebih dahulu sebelum mengajar kelas di tengah semester berikutnya. Pengalaman menarik yang pernah saya alami saat pertama kali mengajar di sekolah adalah ketika menangani Klub Tari Tradisional untuk anak usia 4- 5 tahun. Situasi anak-anak yang saya hadapi saat itu adalah adanya keragaman dalam keaktifan. Ada yang cerewet dan ada yang tidak mau berbicara sama sekali, dengan kata lain ada gap antara anak yang aktif dan pasif. Namun saya tidak mau kelas ini terbagi menjadi dua kubu, saya ingin semua anak bisa menjadi aktif. Di samping itu, di usia mereka yang masih dini, banyak di antaranya yang belum terbiasa bekerjasama serta berani tampil percaya diri di depan umum. Oleh karenanya, hal-hal inilah yang ingin saya bantu kembangkan melalui bidang yang saya ajarkan. Saya mencoba mengoptimalkan unsur-unsur tarian (Wiraga, Wirama, dan Wirasa) sebagai media belajar anak-anak untuk mengembangkan kemampuan dirinya. Sederhananya Wiraga adalah penguasaan gerak, Wirama adalah penguasaan irama/ketukan, dan Wirasa adalah penguasaan rasa (penghayatan). Kemudian, saya memikirkan jenis tarian yang di samping dapat mengoptimalkan potensi mereka, juga dapat mengelola keaktifan mereka. Setelah melakukan riset dan berdiskusi dengan rekan guru, akhirnya saya memilih untuk mengajarkan tari Cublak Cublak Suweng yang berasal dari Jawa Timur. Kemudian, sebelum berpraktik saya ajak anak-anak untuk membahas pemahaman tentang menari terlebih dahulu. Apa itu menari dan bagaimana contoh tarian yang akan dipelajari.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Di awal, untuk mengasah kemandirian, saya mencontohkan anak-anak cara memakai selendang dan meminta mereka mencotohnya secara mandiri. Ini saya lakukan berkali kali sampai mereka bisa. Selanjutnya ketika ada anak yang masih belum bisa, temannya yang lain segera membantunya. Melalui hal ini proses kemandirian dan kerjasama pun dimulai. Kegiatan berlanjut ke sesi pemanasan yang berfungsi untuk merenggangkan otot sampai anak tidak merasa kaku untuk bergerak. Kemudian kami memulai untuk bergerak, di mulai dari gerak tangan, kemudian kaki dan menyusul gerak lainnya untuk dapat dirangkai menjadi satu. Pada setiap pertemuan, anak anak melakukan irama 2x8 hitungan yang terus diulang. Melalui irama ini, anakanak belajar tentang ritme saat melakukan gerakan dan melatih mereka menemukan pola. Di 10 menit terakhir saya selalu memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk berekspresi melalui lagu kesukaan mereka. Pertanyaan ini saya lontarkan, “Mau lagu apa untuk ending kelasnya?” Mereka menjawab, trolls, moana, dsb yang membuat mereka kemudian dapat mengekspresikannya melalui tarian yang bermacammacam. Setelah selesai, saya selalu bertanya, “Apa kalian senang?” yang seringkali mereka jawab dengan “Yaa..” Hal ini saya lakukan untuk melihat sejauh mana mereka menikmati proses belajarnya. Sepanjang prosesnya saya selalu punya tantangan di setiap pertemuan. Dimulai dari anak yang belum mampu menggunakan kain selendang, merasa tidak mampu mengikuti gerak atau belum cukup percaya diri, hingga anak yang belum bisa mengondisikan diri dan melakukan sesuatu di luar konteks kegiatan. Sepanjang waktu tersebut saya terus belajar untuk bisa bersabar mendampingi dan mengingatkan mereka.
11
memberi contoh
saling bantu
memakai selendang
mengasah kemandirian
pemanasan
gerak berirama
akomodasi
bertanya
jika ada yang belum bisa
tangan-kaki
2x8 hitungan
kesukaan anak
“Apakah kamu menyukai?”
mengasah kerjasama
agar tidak kaku
mengetahui pola tarian
kebebasan berekspresi
mengetahui anak menikmati proses
Semakin senang perasaan saya ketika kemudian ada anak yang bertanya dengan yakin, “Bu, kapan kita pentas lagi?” Mengasah kekompakan adalah strategi yang penting saat menangani mereka. Saya selalu menyampaikan untuk menyatukan Wiraga, Wirama, dan Wirasa, dalam diri mereka dan dalam kelompok. Ketika ada anak yang belum bisa saya selalu memberikan pertanyaan seperti “Teman-teman, A belum bisa gerakan di bagian akhir lagu, bagaimana ya?” Kemudian saya arahkan anak-anak untuk bisa saling membantu. Rutinitas ini terus dilakukan hingga tanpa diminta mereka dapat saling membantu satu sama lain.
anak-anak pada saat sebelum dan sesudah berkegiatan menari. Selain memunculkan keaktifan yang merata, anak-anak juga dapat lebih kompak dan cukup percaya diri menampilkan sesuatu di depan umum. Hal ini juga terkonfirmasi dari hasil obrolan dengan orangtua yang ikut mendampingi proses belajar mereka di rumah. Semakin senang perasaan saya ketika kemudian ada anak yang bertanya dengan yakin, “Bu, kapan kita pentas lagi?”
Di ruang tari, terdapat cermin besar di dinding agar setiap anak dapat melihat gerakannya sendiri dan membantu proses latihannya. Hal ini juga melatih anak untuk lebih percaya diri karena melihat dirinya secara terus menerus di depan kaca. Rasa percaya diri juga terus terbangun dengan rutinitas berlatih di setiap pertemuan. Kegiatan berlangsung hingga tiba di akhir pertemuan di mana anak-anak harus menampilkan kemampuannya di depan umum (orangtua dan teman-teman kelas yang lain) melalui kegiatan assembly sekolah. Akhirnya, setelah konsisten melatih diri melalui gerak, irama, dan ekspresi, dengan segala kekurangan dan kelebihannya anak-anak mampu menampilkan diri dengan baik dalam kegiatan assembly tersebut.
Ressa Rizky Mutiara Hadi, Sekolah Cikal Serpong
Pada akhirnya, terdapat perbedaan antara kondisi
12
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Membangun Kesepakatan Positif dan Menyenangkan pada Kesan Pertama FATIMAH ANTI ASTUDY
K
ali ini saya ingin bercerita tentang tantangan menerapkan “peraturan kelas” kepada siswa. Saya mengajarkan mata pelajaran Bahasa Inggris yang mana target pembelajarannya adalah bagaimana siswa dapat mempraktikkan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, atau minimal dalam percakapannya di dalam kelas selama pelajaran Bahasa Inggris berlangsung, di samping menunjukkan bakat dan memiliki karakter yang baik dalam belajar. A. Kesan pertama, chemistry, dan keteladanan. Banyak yang mengatakan bahwa kesan pertama menentukan kesan berikutnya. Saya pun mencoba memulai pengenalan aturan kelas pada saat pertemuan pertama di awal semester. Bagi saya, sangat penting mengenalkan aturan tersebut pada pertemuan awal, sebab kesan pada pertemuan awal akan lebih tersimpan dalam benak siswa. Meskipun, pada kegiatan sehari-hari nantinya akan muncul kesan-kesan baru atau mengubah pendapat siswa tentang kesan awal, tetapi dengan adanya kesan awal yang baik, akan memudahkan guru untuk mengembalikan kesan awal baik tersebut ketika dalam kegiatan selanjutnya guru kehilangan hal tersebut. Guru perlu membangun kesan baik, bukan semata-mata agar dinilai baik, tetapi lebih kepada memberikan keteladanan dan membangun chemistry yang baik dengan siswa-siswinya. Dulunya, saya hanya mengumumkan peraturan kelas dengan cara saya. Hal yang saya temukan selanjutnya adalah aturan tersebut terabaikan dan terlupakan sehingga saya sempat mencak-mencak sendiri. Sikap yang menurut saya sangat jauh dari kesan guru ideal. Sekarang saya pun sering senyam-senyum sendiri saat membayangkan kejadian-kejadian tersebut.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
B. Aturan menjadi Kesepakatan Pada tahun-tahun berikutnya, saya mulai belajar bagaimana berkolaborasi dengan siswa. Belajar pula bahwa sama halnya dengan kebanyakan orang dewasa, ataupun guru, siswa tidak suka pada aturan. Parahnya, terkadang, kekecewaan kepada aturan yang dinilainya terlalu mengikat ataupun merugikannya justru yang memancingnya untuk melanggar aturan tersebut. Berangkat dari berbagai studi kasus di lingkungan sekolah saya tersebut, saya mengubah aturan searah menjadi “kesepakatan belajar” atau sering pula diistilahkan dengan “kontrak belajar”. Dalam membangun kesepakatan tersebut, saya pun mencoba memahami karakter siswa secara umum pada setiap kelas. Di dalam kelas dengan siswa yang cenderung pendiam, saya memancing dengan memaparkan beberapa poin kesepakatan, dan mereka menyatakan setuju atau tidak setuju secara lisan. Untuk penambahan poin kesepakatan, mereka boleh mengajukan usul dengan menuliskannya di papan tulis ataupun secara lisan. Sedangkan bagi siswa yang cenderung aktif, di mana banyak yang ingin bersuara, mereka boleh menuliskan usulan aturannya, kemudian saya bacakan di depan kelas dan mulai mengumpulkan suara terbanyak. Ternyata, banyak keseruan dalam proses membangun kesepakatan dengan melibatkan siswa yang merupakan objek utama kesepakatan tersebut. Di sini, saya belajar betapa pentingnya membangun kesepahaman. Dalam proses tersebut Guru harus mempertimbangkan suarasuara siswa sambil mengatur apakah suara atau pendapatnya itu sesuai dengan materi kesepakatan atau sudah keluar dari materi kesepakatan tersebut.
13
14
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
C. Pola Penyampaian Kesepakatan yang Menyenangkan dan Manfaatnya
setiap pertemuan pembelajaran yang dipimpin oleh ketua kelas.
Tidak semua usulan siswa dapat guru terima. Tugas guru selanjutnya adalah memikirkan cara menyampaikan penolakan usulan tersebut dengan tidak melukai perasaan siswa, tetapi membangun kesan yang menyenangkan. Ada berbagai cara untuk membangun kesan yang menyenangkan, yang pada penerapannya, guru memperhatikan cara penyampaiannya dengan percaya diri serta sesuai dengan karakter siswa yang sedang dihadapinya. Semua trik positif tersebut bagus dan bisa dipelajari dari hasil sharing dengan rekan sekerja, searching tips dan trik di mesin pencari data, membaca buku, observing pengalaman siswa, ataupun teori pribadi sang guru dari pengalaman-pengalamannya sebelumnya. Sebagai pembungkus dari berbagai trik, bisa dipermanis dengan senyuman. Senyuman penting dalam menyampaikan kesepakatan, agar memberikan kesan luwes, tidak kaku, dan lebih akrab dari kedua belah pihak.
Ketua kelas : “Get ready!” Siswa-siswi : “We are ready!” (berdiri) Ketua kelas : “Greeting to our teacher!“ Siswa-siswi : “Good morning, Miss/Sir” (bagi yang muslim ditambahkan salam atau menyesuaikan dengan agama masing-masing) Guru : “Good morning, students. How are you?” Siswa-siswi : “We are fine. And you?” Guru : “ I am very well” (tersenyum) Ketua kelas : “English Class Agreement“ Siswa-siswi : (Diucapkan sambil menyanyi) “English Class Agreement: Come on time, Clean the class, Bring your dictionary, Say password, Practice your english, Do all the Task. Thank you.”
Setelah mengubah proses penyampaian aturan yang sebelumnya adalah instruksi searah, diubah menjadi “kesepakatan” yang turut melibatkan pendapat dan kesiapan siswa, manfaat di kelas saya ternyata sangat besar. Siswa cukup mengingat poin atau kata-kata kunci tertentu. Atau menuliskan poin-poin kesepakatan tersebut di halaman awal bukunya. Ketika siswa lupa atau melanggar aturan tersebut, saya cukup mengingatkan poin kesepakatan atau kata kunci dari kesepakatan. Contoh kesepakatan dalam mata pelajaran Bahasa Inggris kreasi saya, kurang lebih seperti ini : English Class Agreement: (Kesepakatan Kelas Bahasa Inggris) Come on Time ( Datang tepat waktu ) Clean the Class (Membersihkan kelas) Bring Your Dictionary (Membawa kamus) Say Password (Mengucapkan sandi). Biasanya saya memberikan kosakata atau kalimat motivasi pada akhir pembelajaran, dan pada pertemuan selanjutnya menjadi password yang harus dihafal atau dibacakan oleh setiap siswa sebelum masuk kelas. Practice Your English (Berbahasa Inggris) Do All the Task (Mengerjakan tugas-tugas) D. Pemanis Kesepakatan Melalui Media Kreasi nan Inovatif Sebagai pemanis dari kesepakatan di atas agar menarik untuk selalu diingat tanpa memaksa siswa, guru dapat mengajak siswa untuk memajang aturan tersebut di kelas atau dengan berbagai cara kreatif lainnya. Saya memilih menggunakan media lagu. Saya meminta siswa saya untuk menyebutkan semua kesepakatan kelas tersebut dengan menggubah lagu ala kelas mereka. Mereka boleh memilih untuk mempercayakan kepada teman tertentu yang bisa menggubah lagu atau semua siswa menggubah lagu dan nantinya akan dipilih satu lagu yang dirasa cocok dengan kesepakatan kelas tersebut untuk disepakati bersama. Selanjutnya, kesepakatan kelas yang dinyanyikan tersebut akan terdengar membahana di ruang kelas pada Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
E. Kesimpulan Ada banyak cara dalam mengatur penyampaian kesepakatan selama proses belajar mengajar berlangsung, seperti : Kata “aturan” diganti dengan kata “kesepakatan”. Proses pembuatan kesepakatan harus melibatkan pendapat siswa, dengan guru sebagai pengontrol proses, agar poin-poin kesepakatan tidak keluar dari materi. Penyampaian kesepakatan disampaikan dengan sikap lugas, ramah, dan bersahabat. Kesepakatan ditetapkan pada awal semester. Kesepakatan diucapkan bersama setiap hendak memulai proses pembelajaran, sebagai pengontrol sikap dalam proses pembelajaran tersebut. Poin-poin kesepakatan disampaikan dengan dipermanis, sesuai kreativitas dan inovasi yang sesuai dengan karakter umum siswa, misalnya dengan media gambar atau tulisan yang dipajang di kelas, menggubah lagu, dsb. “Kesan pertama atau first impression yang baik merupakan hal penting bagi setiap orang. Cara kita berbicara dan memilih pemakaian kata, cara kita bersikap, kepercayaan diri kita serta perilaku kita merupakan sebagian besar faktor yang menciptakan kesan pertama.” (Jalaluddin Rahmat, Komunikasi.wordpress.com)
FATIMAH ANTI ASTUDY,SS MTs Al-IKHLAS KAB.BONE, SUL-SEL
[email protected]
15
Berbagi dan Menghargai Melalui Mengambar Bersama Wilma Ayu Indira Sari Kailola
S
aat pertama kali menjadi guru, saya selalu berpikir bahwa saya harus menjadi guru yang tahu segalanya karena saya adalah satu-satunya sumber belajar bagi murid-murid. Namun seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa semua orang dapat menjadi guru, bahkan murid saya pun bisa menjadi guru terbaik saya untuk belajar memahami tahapan perkembangan, kemampuan, dan keinginan mereka. Saya pun menyadari bahwa murid saya bisa menjadi guru terbaik bagi temannya, di mana mereka dapat belajar bersama, berkolaborasi, saling berbagi ilmu, yang dapat memberi informasi tentang banyak hal dari sudut pandang berbeda. Kegiatan belajar dari teman atau peer teaching sudah sering saya lakukan di kelas. Namun ada satu hal yang cukup menggelitik saya sejak awal saya mencoba metode peer teaching ini, yaitu apakah metode ini dapat ditingkatkan lagi kadar kualitasnya atau tidak? (Dari awalnya belajar bersama jadi cara belajar untuk menghargai teman, menerima kekurangan teman, atau bahkan belajar menghargai teman dengan mengkomunikasikan perbedaan pikiran melalui cara yang santun, hingga di akhirnya anak bisa berefleksi bersama tentang hasilnya). Terlebih lagi murid saya berada di rentang usia 4-6 tahun, di mana rasa ke-aku-annya masih sangat kuat. Hingga akhirnya di tahun ke tiga saya mengajar, saya mendapat inspirasi dari sebuah gambar yang dibuat bersama oleh kakak beradik dalam sebuah keluarga. Gambar itu hanya sebuah gambar biasa (gambar sebuah rumah dan halamannya), yang membuat gambar itu menarik untuk saya adalah karena dikerjakan berdua, bersama-sama, berkolaborasi, antara adik dan kakak. Saat itu yang terlintas
16
di pikiran saya adalah saya ingin mengajak anakanak saya menggambar bersama, bekerjasama, berpasangan, membuat satu objek tema bersamasama, secara bergantian. Lalu di mana unsur menghargainya bisa diolah? Saya bingung, namun saya yakin saya akan menemukan jawabannya saat saya bersama murid saya nantinya. Keesokan harinya setelah kegiatan review materi belajar dengan berbagai media yang mengolah gaya belajar anak-anak, saya mengeluarkan kertas dan spidol hitam. Lalu saya sampaikan bahwa saya ingin meminta mereka menggambar orang secara berpasangan. Anak-anak berseru kegirangan dan mulai mencari teman untuk dijadikan pasangan menggambarnya. Saat akan mulai menggambar, salah seorang anak bertanya pada saya, “Bu Wilma, aku boleh gak ngengambarnya pake spidol pink?” Hati saya berdegup kencang kegirangan, ini dia jawaban pertanyaan saya yang belum terjawab sebelumnya. Saya pun meminta anak-anak menenangkan diri dan duduk bersama pasangannya. Kemudian saya menyampaikan aturan dan tata cara kerjasamanya, yaitu setiap anak harus menggunakan spidol dengan warna yang berbeda serta harus bekerjasama dan menghargai karya temannya. Saya meminta anak mendefinisikan penerapan arti kata bekerjasama dan menghargai temannya dalam bentuk apa. Jawaban anak-anak sangat beragam dan akhirnya berdasarkan jawaban mereka, kami sepakat untuk melakukan kegiatan menggambar dengan aturan selain menggunakan spidol warna yang berbeda, mereka akan mencoba menghargai karya teman dengan tidak mencoret karya teman yang tidak sesuai ide mereka. Mereka juga sepakat untuk berbagi kesempatan dengan saling bergantian
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Setiap anak harus bekerjasama dan menghargai temannya 1. tidak mencoret ide milik temannya 2. bergantian menggambar objek 3. saling melengkapi karya teman. 4. tidak memberi komentar negatif
menggambar objek dan saling melengkapi karya temannya. Saya dan partner mencoba menuliskan kesepakatan yang dibuat anak di papan tulis, tujuannya agar anak lebih memahami isi kesepakatan yang mereka buat. Setelahnya ternyata ada anak yang meminta agar kesepakatannya ditambahkan dengan poin untuk tidak memberi komentar negatif atas karya temannya. Semua anak setuju, dan kegiatan menggambar bersama pun dimulai. Saat kegiatan berlangsung, suasana kelas hening, anak-anak fokus menggambar bersama temannya, meskipun sempat terlihat ada beberapa anak yang belum berkegiatan sesuai isi kesepakatan yang dibuat, namun kendala itu bisa diatasi mereka sendiri atau bahkan dengan bantuan dari teman kelompok lain yang ada di dekatnya yang mengingatkan tentang kesepakatan yang sudah dibuat. Selesai menggambar, saya meminta anak menuliskan namanya dan memajang karya gabungan mereka di depan kelas. Lalu bersama-sama kami mengamati dan meminta anak memberikan komentar atas karya yang sudah mereka buat. Beberapa anak memberi jawaban di luar dugaan saya, seperti ada yang berkata bahwa ia gemes dengan gambar temannya, sehingga memutuskan sepihak untuk tidak banyak berbagi dengan temannya. Ada juga yang berkata bahwa ia senang karena jumlah warna yang terlihat sama antara warna spidolnya dengan warna spidol temannya. Komentar lainnya adalah bahwa ia senang karena dapat menahan diri untuk tidak memberi komentar negatif atas karya temannya. Ada lagi yang berkata bahwa ia senang karena temannya mengingatkannya tentang jumlah jari orang saat menggambar bagian tangan, dan sebagainya.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Seluruh komentar anak tadi saya sampaikan lagi di depan kelas di hadapan anak-anak. Lalu bersama partner, saya mengajak anak-anak berefleksi tentang kegiatan hari ini. Hasil refleksi mereka adalah mereka semua merasa senang karena bisa berbagi kesempatan menggambar, karena temannya menghargainya usaha dan karyanya, dan karena mereka bisa menghargai usaha teman serta menerima kekurangan teman. Ternyata keesokan harinya anak-anak kembali mengulang kegiatan ini secara mandiri tanpa panduan guru, dan mereka melakukan refleksi mandiri dari kegiatan yang sudah mereka lakukan, seperti mengingatkan teman untuk menghargai karya teman lainnya, spontan berbagi kesempatan menggambar bersama teman, dan sebagainya. Senang sekali rasanya karena sudah dapat membuat sebuah kegiatan memiliki makna dan pembiasaan baik untuk anak. Kegiatan ini akhirnya saya lakukan juga di tahun pembelajaran berikutnya untuk melihat sejauh mana kemampuan anak dalam belajar, berbagi, dan menghargai temannya.
Wilma Ayu Indira Sari Kailola
[email protected]
17
Memantik Partisipasi dalam Kelompok Mala R. Manurung
“Miss, yang ini jawabannya benar tidak?” “Miss, punya saya kok belum diperiksa?” “Miss, kalau sudah selesai, kerjakan apa lagi? Saya boleh gambar ya?” “Miss, aku taruh bukuku untuk diperiksa di sini ya…” “Miss, Miss,…” dan banyak lagi suarasuara dari mulut siswa kelas 3 atau 4 SD yang memanggil nama saya.
Mala Rejeki Manurung SD Kristen Gloria 1 Surabaya
[email protected]
18
Kejadian ini berlangsung di kelaskelas yang saya ajar di sekolah. Pada awalnya, saya hanya merasa bahwa hal ini wajar mengingat ini adalah keadaan baru di mana saya perlu beradaptasi. Saya sendiri baru mengajar di sekolah ini pada bulan Juli tahun ajaran ini. Saya mengajar Bahasa Inggris di kelas 3 dan 4 di mana masing-masing terdapat dua kelas paralel. Total kelas yang saya ajar ada empat kelas di mana kondisi umum siswa yang saya amati adalah sebagai berikut: a. Siswa seringkali terus mengonfirmasi jawaban yang benar dari guru. b. Image jawaban yang benar tersebut biasanya hanya terdiri dari satu jawaban yang benar. c. Jika dilakukan diskusi dalam kelas, siswa cenderung mempunyai satu jawaban dan biasanya yang mereka yakini benar. Jika guru memberikan pertanyaan yang bisa saja mempunyai lebih dari satu jawaban, biasanya jawaban siswa hampir dapat dikatakan seragam. d. Siswa terbiasa mengerjakan sesuatu secara individual.
e. Kerja kelompok sangat jarang dilakukan, hanya pelajaran tertentu yang menggunakan kerja kelompok sebagai sarana pembelajaran. f. Siswa kurang terbiasa menghargai pendapat teman karena pendapat gurulah yang terpenting. g. Siswa kurang mengaktifkan keterampilan berpikir karena menunggu jawaban yang benar dari guru. Berdasarkan keadaan tersebut, saya menetapkan dalam hati untuk melakukan beberapa kegiatan pembelajaran agar siswa merasa terlibat dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Muncul keinginan untuk menjadikan siswa merdeka belajar dan guru bukan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan tapi sebagai fasilitator. Juga muncul keinginan untuk melihat siswa belajar dari temannya dan menyadari bahwa setiap siswa dapat berkolaborasi dan berkontribusi memberikan jawaban. Kriteria dalam menentukan pembelajaran yang akan saya pilih untuk kerja kelompok adalah: a. Apakah materi tersebut membutuhkan berbagai pandangan yang berbeda untuk melatih siswa menghargai pendapat temannya? b. Apakah dengan bekerja kelompok pembelajaran menjadi lebih efektif atau tidak? Misalnya untuk penguatan konsep tertentu, siswa akan lebih baik jika belajar bersama? c. Apakah siswa yang kurang mengerti dapat menjadi lebih mengerti jika belajar bersama atau jika diterangkan oleh siswa yang konsepnya sudah kuat? Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
tantangannya adalah
Kondisi Umum Anak saat berkelompok
Siswa sering mengonfirmasi jawaban benar dari guru Jika siswa diskusi hanya ada satu jawaban Siswa terbiasa mengerjakan sesuatu secara individu. Kurang menghargai pendapat
Membuat Siswa Lebih Terlibat
Kurang mengaktifkan keterampilan berpikir
Melihat tantangan dan kesempatan yang ada, pada akhirnya kegiatan kerja kelompok saya fokuskan berdasarkan kriteria dan tujuan sebagai berikut: A. Memperkaya Wawasan dengan Mendengarkan Teman. Contohnya saya menaruh satu flashcard yang berisi gambar satu kosakata tertentu dan meminta siswa dalam kelompok menebak kata apa yang dimaksud berdasarkan gambar tersebut. Dengan demikian setiap siswa diharapkan dapat berkontribusi karena gambar tersebut mempunyai banyak interpretasi. Kosakata siswa juga bertambah dengan mendengar pendapat teman satu kelompok. Pada kesempatan yang lain, saya meminta mengerjakan latihan di buku bersama-sama dalam kelompok. Diharapkan siswa dapat saling berpikir dan menjelaskan jika ada teman yang kesulitan dalam kelompok. Hal yang menarik dari desain kerja kelompok ini, saya melihat siswa belajar memimpin dan dengan mandiri mengatur bagaimana mereka membagi tugas. Berikut adalah cuplikan percakapan siswa dalam kelompok, “Sekarang kita bagi tugas! Kamu Keiko, mengerjakan nomor satu. Clara, nomor dua. Jeremy, nomor tiga. Saya sendiri (Ruben) akan mengerjakan nomor empat.“ Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Contoh lainnya adalah ketika membuka tema pembelajaran yang baru dan meminta siswa dalam kelompok memikirkan apa saja yang mereka ketahui mengenai tema tersebut. Saya memberikan gambar atau tulisan tertentu yang berkaitan dengan tema tersebut. Mengingat in adalah open ended task, interpretasi setiap kelompok diharapkan berbeda. Kemudian saya meminta setiap kelompok menulis. Pada akhirnya saya meminta setiap kelompok melihat hasil kelompok lainnya. Siswa dapat melihat pekerjaan kelompok lain demi memperkaya wawasan mereka. B. Meningkatkan Keteribatan Siswa Contoh lainnya adalah membaca bacaan. Biasanya saya membacakan bagian pertama untuk semua siswa dan meminta beberapa siswa untuk membacanya secara keseluruhan, maka saya merubah instruksi agar mereka membaca bergantian dalam kelompok. Jika bacaan tersebut dapat dibagi rata agar dapat dibaca oleh empat atau lima orang, maka saya meminta siswa untuk membaca dalam kelompok. Hal ini ternyata mempunyai dampak pengiring, yaitu siswa mempunyai rasa tanggung jawab tertentu membaca teks keseluruhan dan memperhatian bagian masing-masing dan temannya. Hal ini membuat siswa merasa lebih terlibat dan membuat pemahaman siswa
terhadap bacaan juga lebih dalam. Dalam konteks membaca, kelompok siswa dapat membaca bagian masing-masing secara bergantian. Saya menjaga agar tidak membuat setting kerja kelompok menjadi suatu ajang kompetisi, tetapi dengan tujuan agar siswa terlatih kepekaannya dalam bekerja sama. C. Mempersiapkan Siswa untuk Menghadapi Tes Bahasa Inggris Mengingat tes kosakata (Vocabulary Test) selalu rutin dilakukan, maka saya menaruh flashcard berisi kosa kata yang akan diujikan dan meminta mereka saling menguji satu sama lain. Hal yang menarik adalah siswa merasa lebih fun ketika ditanya oleh temannya dibandingkan dengan saya yang bertanya sebagai gurunya. Contoh lainnya adalah review bersama atas tata bahasa (grammar) bersama-sama dalam kelompok. Contohnya ketika persiapan Ujian Akhir Semester, siswa berkelompok mengerjakan soal-soal persiapan untuk review tersebut. D. Mengisi Waktu Pembelajaran Jika Ada Tes Lisan (Oral test) Seringkali tes lisan diberikan dalam bentuk tes secara individu, dengan demikian satu siswa akan saya dengarkan atau berikan pertanyaan. Untuk siswa yang tidak tes, mereka harus diberikan tugas mandiri tanpa
19
Memperkaya Wawasan dengan Mendengarkan Teman.
K E R J A K E L O M P O K
Contohnya saya menaruh satu flashcard yang berisi gambar satu kosakata tertentu dan meminta siswa dalam kelompok menebak kata apa yang dimaksud berdasarkan gambar tersebut. Dengan demikian setiap siswa diharapkan dapat berkontribusi karena gambar tersebut mempunyai banyak interpretasi.
Meningkatkan Keteribatan Siswa
Dengan membaca bergantian di setiap kelompok. Satu bacaan panjang dibaca oleh 4-5 anggota kelompok. Dampak pengiring, yaitu siswa mempunyai rasa tanggung jawab tertentu membaca teks keseluruhan dan memperhatian bagian masing-masing dan temannya. Hal ini membuat siswa merasa lebih terlibat dan membuat pemahaman siswa terhadap bacaan juga lebih dalam.
Mempersiapkan Siswa untuk Menghadapi Tes Bahasa Inggris maka saya menaruh flashcard berisi kosa kata yang akan diujikan dan meminta mereka saling menguji satu sama lain. Hal yang menarik adalah siswa merasa lebih fun ketika ditanya oleh temannya dibandingkan dengan saya yang bertanya sebagai gurunya. Mengisi Waktu Pembelajaran Jika Ada Tes Lisan Meja pertama : Kelompok Membaca Buku Cerita Meja Kedua : Siswa menebak kosokata Meja Ketiga : Siswa mengisi bagian kosong Meje Keempat : Siswa membaca bacaan Meja Kelima : Menulis kosokata
perlu bertanya kepada guru. Saya biasanya mengelompokkan siswa dalam lima kelompok dan setiap kelompok mempunyai tugas yang berbeda. Dengan menggunakan timer selama periode tertentu (misalnya setiap 10 menit), setiap kelompok akan berpindah meja dan mengerjakan tugas yang berbeda. Mengingat mereka tidak dapat bertanya kepada saya, maka mereka diharapkan saling membantu dan meluruskan pemahaman yang salah.
Meja kelima: Sama dengan meja kedua tapi siswa menuliskan kata-kata berdasarkan gambar yang diterima setiap kelompok.
Contoh lima kelompok :
Dinamika siswa dalam pembelajaran tentu selalu ada. Saya akan tetap berusaha melakukan bagian dengan memikirkan strategi yang kreatif agar siswa dapat belajar menyadari bahwa dengan belajar bahasa mereka dapat mengekspresikan sesuatu dengan beragam cara. Tentu saja, saya juga telah dan akan banyak belajar dari semua proses tersebut!
Meja pertama: Siswa membaca buku cerita Bahasa Inggris (Saya menyediakan enam-tujuh buku agar siswa dapat mempunyai pilihan yang beragam). Meja kedua: Siswa menebak kosa kata yang dimaksud dengan melihat flashcard. Siswa menebak secara lisan. Meja ketiga: Siswa mengisi bagian yang kosong dari lembar kerja berdasarkan kosa kata yang mereka telah pelajari. Meja keempat: Sama dengan meja pertama tapi dengan buku bacaan yang berbeda.
20
Dari pengalaman melakukan desain kerja kelompok dalam pembelajaran saya, saya menyadari masih banyak yang perlu saya perbaiki. Yang perlu saya syukuri adalah siswa menunjukkan perubahan dengan terbiasa bekerja dalam kelompok. Mereka mulai terbiasa mengatur dirinya sendiri dan mulai lebih menyadari temannya bisa menjadi sumber belajar dan berlatih memperkaya wawasan. Di sisi lain, saya menyadari ada siswa yang tetap memilih bekerja sendiri dengan kenyamanan masing-masing. Mereka merasa lebih mudah untuk mengerjakan sendiri tanpa perlu repot berkonsolidasi dengan teman. Ataupun ada murid-murid yang akhirnya terlalu bergantung pada temannya dalam kerja kelompok.
Selamat melakukan praktik baik!
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Pendahuluan Saya pernah mengampu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SD Negeri. Lumayan lama, sejak 2005 sampai awal tahun 2017. Awalnya saya merasa kesulitan untuk mengajar kelas besar yang jumlah anaknya terdiri atas 35-48 siswa. Ketika belum menemukan strategi pembelajaran dan pola pengaturan kelompok yang cocok, yang saya lakukan kebanyakan adalah metode konvensional: Datang, Duduk, Catat, dan Hafal (DDCH). Siswa tidak terlibat aktif dalam pembelajaran. Berangkat dari hal ini kemudian saya mencoba menerapkan sistem pembagian kelompok dan peran bagi setiap anak. Melalui kelompok-kelompok kecil, saya mencoba memberikan ruang bagi siswa untuk bisa aktif melibatkan diri dalam setiap kegiatan belajarnya di kelas.
RAGAM PENGATURAN KELOMPOK DAN PERAN DI KELAS BESAR
Ragam Pengaturan Kelompok Cara pengaturan kelompok yang pernah saya lakukan antara lain dengan angka, kriteria, atau menggunakan alat. A. Pengaturan Kelompok dengan Angka Pengaturan kelompok dengan angka sering saya gunakan. Ada dua jenis pengaturan kelompok dengan angka, yaitu dengan berhitung dan formasi angka. Pengaturan kelompok dengan berhitung merupakan cara paling mudah. Cara ini tidak membutuhkan persiapan khusus. Contoh kelas dengan jumlah siswa 48 yang akan dibagi ke dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 siswa. Mintalah siswa membentuk lingkaran. Kemudian, mintalah siswa berhitung 1-12. Mulai. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12. Lanjutkan dengan meminta siswa berkumpul dengan angka yang disebutnya. Siswa yang mengucapkan angka 1 berkumpul dengan siswa yang dengan angka 1 juga. Begitu seterusnya hingga terbentuk 12 kelompok kecil. Kegiatan ini hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Mudah, bukan? Untuk kelas tinggi, bisa dengan angka kelipatan. Dimulai dengan meminta siswa berhitung. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40. 41, 42, 43, 44, 45 46, 47, 48. Mintalah siswa membentuk kelompok dengan angka kelipatan 12. Maka siswa dengan nomor hitung 12, 24, 36 dan 48 membentuk 1 kelompok. Lanjut berhitung sisanya. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40. 41, 42, 43, 44. Mintalah siswa membentuk kelompok dengan angka kelipatan 11. Maka siswa dengan nomor hitung 11, 22, 33 dan 44 membentuk 1 kelompok. Begitu seterusnya. Untuk kelas SMP ke atas, bisa dengan menghitung mundur dan angka kelipatan. Pengaturan kelompok dengan formasi angka juga mudah dilakukan. Mintalah siswa membuat lingkaran. Berikan ketentuannya, jika guru menyebutkan angka 6,
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
21
Pengaturan Kelompok dengan Angka
dengan cara berhitung bilangan prima kelipatan sebelas dsb
RAGAM PENGATURAN KELOMPOK DI KELAS BESAR
Pengaturan Kelompok dengan Alat
memanfaatkan kertas dan spidol
Pengaturan Kelompok dengan Kriteria
abjad urutan kelahiran tinggi badan
maka siswa membentuk kelompok dengan formasi 6. Cara ini bisa dilakukan sambil siswa berdendang dan berkeliling lingkaran. Selesai berdendang, guru menyebutkan angka formasi. B. Pengaturan Kelompok dengan Kriteria Dalam KBBI, kriteria berarti ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu. Kriteria dalam pengaturan kelompok yang saya maksud adalah dengan mengurutkan anak berdasarkan abjad nama, urutan kelahiran, tinggi-pendek, besar-kecil, dan sebagainya. Cara ini juga tidak membutuhkan persiapan khusus. Bisa juga dilakukan sebagai lanjutan formasi angka. Mintalah siswa berkelompok sesuai dengan kriteria yang sudah disepakati.
C. Pengaturan Kelompok dengan Menggunakan Alat Alat yang biasa saya gunakan dalam pengaturan kelompok yaitu kertas atau spidol. Kertas terdiri atas kertas bertuliskan angka dan kertas warna-warni. Demikian juga spidol, menggunakan spidol warnawarni. Pengaturan kelompok dengan kertas angka membutuhkan sedikit persiapan. Siapkan kertas berukuran sekitar 3 x 3 cm (ukuran fleksibel, bisa lebih kecil atau leih besar) sejumlah siswa. Tuliskan angka sesuai dengan jumlah kelompok yang akan dibentuk. Contoh kelas terdiri atas 30 siswa akan dibagi menjadi 6 kelompok. Maka sediakan kertas sejumlah 30 buah. Tuliskan hanya angka 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 pada kertas. Jadi akan ada 5 buah kertas bertulis angka 1, dan seterusnya. Upayakan tempat duduk sudah disiapkan membentuk jumlah kelompok. Jika memungkinkan letakkan bendera kertas yang bertuliskan angka untuk setiap kelompok. Selanjutnya bagikan kertas pada tiap siswa. Saya juga biasa mengajak siswa ke luar kelas untuk membagi kelompok dengan kertas angka ini. Lemparkan ke atas kertas-kertas tadi. Biarkan siswa mengambil satu buah kertas. Seru! Mereka akan berebut mengambil kertas lebih dulu. Mintalah mereka mencari tempat duduk berkelompok sesuai dengan angka yang mereka dapatkan.
Gambar : Siswa kelas 2 sedang berbaris berdasarkan tinggi pendek badan
22
Pengaturan kelompok dengan kertas warna atau spidol warna dapat menggunakan pola yang sama.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Mintalah siswa berkelompok sesuai dengan kertas atau spidol warna yang mereka dapatkan. Telunjuk Demokrasi Telunjuk demokrasi saya gunakan setelah pengaturan kelompok. Tujuannya untuk menentukan peran dalam kelompok secara demokratis karena kondisinya siswa masih enggan jika diminta untuk mengambil peran yang dibutuhkan. Di sisi lain, jika ada yang bersedia, misalnya menjadi ketua kelompok, teman-temannya yang lain malah tidak bersepakat. Oleh karenanya, dengan telunjuk demokrasi, maka penentuan ketua dan peran lainnya dalam kelompok dapat selalu terpecahkan, bahkan dengan menyenangkan. Caranya, mintalah siswa dalam kelompok untuk mengacungkan tangan. Dalam hitungan 3, mintalah siswa dalam kelompok untuk menunjuk teman yang dianggap pantas berperan dalam sesuatu hal seperti ketua kelompok, juru tulis, dan sebagainya. Siswa yang ditunjuk paling banyak kemudian dianggap mendapat kepercayaan teman-temannya untuk mengambil peran tersebut. Di sini peran guru adalah selain memberi motivasi kepada siswa yang ditunjuk teman-temannya, juga ikut mempertimbangkan apakah setiap anak menggunakan hak pilihnya dengan berdasar/bertanggung jawab atau tidak, serta memastikan pada akhirnya bahwa semua siswa sudah mendapatkan kesempatan yang sama.
Penutup Belajar dalam kelompok kecil memungkinkan siswa aktif sebagai subyek belajar. Belajar dalam kelompok kecil juga memberikan kesempatan pada mereka untuk menunjukkan perannya dalam kelompok. Untuk mendukung hal itu, metode-metode yang saya sampaikan di atas bisa menjadi langkah awal agar di setiap kelas besar yang jumlah siswanya cukup banyak, pengaturan kelompok bukan lagi menjadi hal yang sulit bagi anak-anak.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Belajar dalam kelompok kecil memungkinkan siswa aktif sebagai subyek belajar. Belajar dalam kelompok kecil juga memberikan kesempatan pada mereka untuk menunjukkan perannya dalam kelompok.
Ahmad Faozan KGB Indramayu KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN INDRAMAYU
[email protected]
23
Berjumpa Rekan Seperjuangan
Temu Pendidik Nusantara 2017
24
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Temu Pendidik Nusantara 2017
PERJALANAN B E R J U M PA Rekan Seperjuangan
W
alau yang paling ditunggu adalah kelas-kelas di Temu Pendidik Nusantara 2017 dan berjumpa rekan dari berbagai daerah di Indonesia, namun perjalanan menuju ke sana pun bisa dijadikan pelajaran bermakna. Banyak cerita selama perjalanan menuju Jakarta. Misalnya Pak Mujahidin yang harus memburu waktu mengejar pesawat di Makassar lantaran ban bus yang ia tumpangi pecah Guru Anggi dari Klaten karena saking fokusnya pada TPN, hampir saja satu koper bajunya ketinggalan. Cerita lebih lengkapnya simak foto-foto perjalanan guru untuk bertemu rekan seperjuangan di TPN 2017.
Bosan saat perjalanan panjang sampai lebih dari 12 jam. Tidak masalah bagi guru KGB Probolinggo yang ‘ngerujak’ di dalam kereta. Perjalanan jadi lebih singkat dan menyenangkan.
Guru Mujahidin yang mengejar pesawat di Makassar, namun bus yang ia tumpangi pecah ban di jalan. Rombongan guru belajar Pekalongan Pemalang berjumlah 30 orang. Namun sesampainya di Cikal Cilandak, salah seorang guru harus pulang terlebih dahulu, karena ada keluarganya yang meninggal dunia.
Rencananya lurik ini jadi identitas solo raya di #TPN2017 nanti, tapi ternyata berfungsi ganda. Kereta ekonomi adem banget. - Anggi Rizki Pustika.
Pertemuan yang tak terduga di kereta, antara penggerak KGB Jawa Timur dan KGB Yogyakarta.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
25
Temu Pendidik Nusantara 2017
Kelas Penggerak
T
elah tiga tahun Komunitas Guru Belajar lahir dan berkembang. Alur pergerakan selama ini sebatas mengikuti panduan Buku Mini Komunitas Guru Belajar. Tapi seiring waktu, Komunitas Guru Belajar hadir di semakin banyak daerah dan melibatkan banyak sekali penggerak. Koordinasi yang selama ini sebatas mengacu pada panduan dan komunikasi melalui Whatsapp sudah tidak memadai lagi. Lahir kebutuhan untuk meningkatkan koordinasi gerak melalui pengembangan kemampuan penggerak. Kebutuhan tersebut yang mendorong lahirnya Kelas Penggerak yang pertama kali digelar pada Temu Pendidik Nusantara 2017. Pembukaan kelas dibawakan Bukik Setiawan dengan melakukan pembagian kelompok berdasarkan kesamaan minat sebagai perekat kelompok. Setelah itu, perkenalan tim Kampus Guru Cikal oleh jajaran manajemen Grup Cikal. Selesai perkenalan, proses dilanjutkan dengan pembagian peran dalam kelompok secara acak agar setiap anggota terlibat dalam proses kelompok. Orientasi kelas yang terdiri dari penggalian harapan peserta dengan 3 orang bicara di depan kelas. Harapan peserta disambung dengan penjelasan tujuan kelas, dan kesepakatan kelas. Bukik Setiawan membuka sesi pertama dengan meminta peserta melengkapi kalimat untuk membantu peserta mengenali keyakinan akan perubahan pendidikan. Najelaa Shihab tampil memapaparkan 3 salah kaprah perubahan pendidikan disambung dengan penjelasan mengenai pola perubahan oleh Bukik Setiawan. Pola perubahan diawali dengan inisiatif segelintir orang, menyebar melalui percakapan dan interaksi sosial, dan meluas hingga mempengaruhi
26
kebijakan. Pada akhir sesi, diskusi kelompok membahas pola perubahan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu sesi kedua dimulai dengan membahas mengenai tujuan dan pengembangan guru Cikal. Sesi ketiga yang paling seru karena ada 3 orang guru penggerak yang bercerita mengenai gerakan yang mereka lakukan di daerah masing-masing. Ada Guru Nuno Riza Puji yang menceritakan gerakannya di Komunitas Guru Belajar Pekalongan. Kemudian ada Guru Titis Karuniawati dari KGB Sanggau yang bercerita tentang kegigihannya dalam mengajak guru belajar, dan ada Guru Usman Djabbar penggerak KGB Makassar yang susah payah mengajak guru belajar di sana. Sesi refleksi diisi oleh Yoris Sebastian. Dari kelas penggerak ini banyak guru yang terinspirasi dengan kisah 3 guru penggerak yang berbagi kisah perjuanganya. “Kelas yang sangat inspiratif penuh pencerahan dan membuat kita lebih teguh dalam konsisten dalam perjuangan Merdeka Belajar.” tutur Hikmawan, salah satu penggerak dari KGB Tangerang. “Yang menyenangkan dari kelas penggerak hari ini adalah mengingatkan saya bahwa penggerak kudu inisiatif bukan hanya komitmen.”, timpal Indhira, penggerak dari KGB Jakarta Selatan.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Temu Pendidik Nusantara 2017
Kelas Kemerdekaan “Saya sedang di kelas S1K112. Barusan Bu Betha dari Alifa Kids memaparkan praktik cerdasnya. Sesekali berhenti dan melihat catatan. Di tengahtengah, bu Betha berhenti untuk minta maaf. “Mohon maaf Bapak Ibu, saya sedang belajar. Sekali lagi saya minta maaf.” Peserta lain sontak bertepuk tangan. Byar...., air mata saya tumpah. Di depan ada seorang guru yang sedang menunjukkan usaha terbaik, di antara guru-guru yang sepenuh hati mendukungnya. Subhanallah, indah banget ….”. Tulisan Guru Irmayanti, salah seorang peserta TPN 2017 menggambarkan bagaimana esensi Kelas Kemerdekaan. Tempat mendapatkan inspirasi, tempat untuk saling belajar. Berbeda dengan Guru Irma, Guru Adik berpendapat bahwa kelas kemerdekaan di TPN 2017 itu melatih sistem. “Dengan menaruh banyak pembicara dengan satu tema, hadirin sedang diberikan jigsaw mata pelajaran yang luas dan dengan keunikan masing-masing menyusun jigsaw mereka dari kepingan materi tiap narasumber. Dalam perspektif saya, ini yang diingatkan bu Najelaa Shihab dalam video pembuka bahwa yang lebih penting adalah refleksi akhirnya.” Tidak hanya Guru Irma dan Guru Adik yang mendapat inspirasi, guru Iwan pun mendapatkan juga di kelas yang ia ikuti. “Nun di sana, ada guru yang bergerak mendidik anak-anak dan pengamen di sekolah master (Masjid dan terminal). Tanpa gaji tanpa tunjangan sertifikasi, tapi Nana Sutarna ini mengajar anak-anak dengan dengan penuh inovasi. Hari ini Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
di #TPN2017 saya berkesempatan hadir di kelasnya. Sebagai seorang guru bagi anak-anak pemulung tentu bukan perkara mudah. Namun, inovasinya mengubah kelas menjadi “pesawat” terbang dan menerbangkan pesawat itu menunju sautu tujuan, adalah upaya cerdas menyiasati anak-anak itu senang belajar. Tidak ada imbalan dan gaji atas usahanya mendidik pengamen dan pemulung. Untuk biaya hidup ia berjualan kopi. Mahasiswa calon magister bidang ekonomi ini adalah sebuah inspirasi dan motivasi tersendiri. Saya bergembira bertemu dengan orang yang seperi ini yang disebut oleh teman saya Dr. H Djadja Ahmad Sardjana, sebagai “profesor kehidupan”. Kepada mereka lah saya selalu ingin belajar. Indonesia butuh sosok orang seperti Nana Sutarna yang rendah hati dan inspiratif ini” Kelas Kemerdekaan, kelas yang hanya berlangsung satu jam, dan dibagi menjadi dua bagian. Bagian inspirasi 30 menit dan bagian refleksi juga 30 menit. Bagian inspirasi ditujukan untuk pembicara menceritakan praktik baik yang pernah ia lakukan di kelasnya. Bisa juga berupa riset yang pernah ia lakukan. Pada bagian refleksi, tidak ada tanya jawab. Pembicara dan peserta bersama merefleksikan apa yang baru saja didengarnya. Tentang apa yang didapatkan, apa yang akan dilakukan. Pada akhirnya kelas kemerdekaan juga sebagai ajang belajar guru menjadi pembicara pemula.
27
Temu Pendidik Nusantara 2017
Kelas Kompetensi Penulis : Nur Padilah
S
alah satu kelas kompetensi yang saya ikuti adalah kelas Disiplin Positif yang dipandu oleh Mia Savitri dan Elisabeth, dua-duanya merupakan guru Sekolah Cikal. Menurut mereka bahwa disiplin positif itu menekankan pada penciptaan lingkungan positif melalui pola komunikasi yang sifatnya membangun dan menguatkan. Hal yang sering terjadi di pendidikan saat ini, bahwa jika anak salah, patut dihukum, murid harus takut kepada guru supaya guru dihormati, murid belum bisa memutuskan mana yang baik, sehingga guru perlu mengambil keputusan dan murid perlu dipuji supaya mau melakukan apa yang guru minta. “Ketika kita membuat sebuah kesepakatan dan konsekuensi harus proporsional dan sesuai dengan tindakannya. Disiplin hadir sebagai pembangun kesadaran pada diri siswa yang berlaku hingga jangka panjang,” Ungkap Ibu Elisabet di penghujung materi. Di kelas ini peserta benar-benar terlibat dalam proses diskusi. Tentang kesepakatan kelas, tentang hukuman dan konsekuensi. Narasumber benar mumpuni menyampaikan materi tersebut. Kelas Disiplin Positif hanyalah salah satu kelas yang ada di kelas kompetensi #TPN2017, setidaknya semuanya terdapat 40 kelas yang masing-masing kelas jumlah pesertanya berbeda, dari 20-an hingga paling banyak 40 peserta. Seperti kelas Disiplin Positif di atas, kelas kompetensi memang berbeda dengan kelas kemerdekaan, Kelas ini lebih mengutamakan melatih guru agar lebih berdaya. Bukan sekadar memberikan cerita inspirasi. Mengajak guru untuk menguasai kompetensi tertentu. Tentunya kompetensi yang berkaitan dengan kelas.
Ada banyak kompetensi yang ditawarkan di dalam kelas ini. Ada yang berkaitan dengan teknologi (memanfaatkan barcode scanner, membuat video pelajaran, pemanfaatan teknologi untuk belajar musik), berkaitan dengan mengatur kelas, berkaitan dengan kepenulisan, dan sebagainya.
“Senang, seru dan bermanfaat sekali. Banyak ilmu baru dan kawan seperjuangan baru,” tutur Ibu Dita, salah seorang peserta dalam TPN 2017.
Peserta mengikuti kelas ini karena kebutuhan. Kebutuhan untuk meningkatkan kompetensinya. Belajar dari guru yang sudah tahu terlebih dahulu.
28
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Temu Pendidik Nusantara 2017
Kelas Kolaborasi Penulis : Nur Padilah
T
unggul Harwanto berapi-api menjelaskan Rumah Literasi yang ia gagas bersama temantemannya di Banyuwangi.
“Faktanya, di Banyuwangi setiap 5 hari sekali anak perempuan mengalami kekerasan fisik bahkan tidak hanya fisik namun seksual juga.” Bahwa secara tidak langsung, sebagian anak-anak Indonesia belum merasakan merdeka belajar secara utuh. Anak-anak yang bahagia selalu disandingkan dengan mereka yang borju dan berliterat, sedangkan nasib mereka yang kurang beruntung dan kurang berliterat selalu dijadikan serangan bagi mereka yang beruntung. Rumah Literasi maupun Rumah Baca hadir sebagai salah satu jalan untuk menyebrangi anak-anak yang kurang beruntung agar tetap berliterat. Sebab, literasi merupakan penyeimbang antara si kaya dan si miskin. Dari situlah Tunggul Harwanto yang juga penggerak Komunitas Guru Belajar Banyuwangi mendirikan Rumah Literasi Banyuwangi 3 tahun lalu. Lalu ia menjelaskan cara mendirikan rumah literasi dan mengajak peserta untuk berkolaborasi mewujudkan impian 1000 rumah literasi se-Indonesia.
proyek yang sedang dijalankannya dengan maksud mengajak peserta untuk menjadi kolaborator. Tidak hanya Rumah Literasi Banyuwangi, setidaknya ada 21 pembicara di kelas kolaborasi. Kesemua pembicara menyampaikan proyeknya yang berkaitan dengan pengajaran dan pendidikan. Seperti KPK yang mengajak guru-guru yang ikut kelasnya menggunakan boardgames untuk mengajarkan pelajaran antikorupsi. Berbeda dengan KPK, Sinedu sebuah organisasi yang bergerak di bidang film mengajak guru untuk menggunakan film untuk bahan pembelajaran. Islamedu mengajak guru untuk menjadi penggerak pendidikan Islam di sekolah dan daerahnya. Inibudi mengajak guru untuk menjadi guru berbudi yang membuat video pembelajaran untuk bahan belajar siswa yang akses internetnta susah. “Mengikuti kelas kolaborasi membangkitkan semangat saya untuk membuka Rumah Baca yang menjadi salah satu cita-cita saya yang belum terwujud. Apalagi, di kelas yang saya ikuti banyak sekali relawan-relawan literasi yang senantiasa memberikan senyuman untuk anak-anak negeri melalui buku-buku dan seni,” ungkap Ibu Dilah yang menjadi salah satu peserta TPN 2017.
Itulah kelas kolaborasi, kelas di mana setiap individu, komunitas, kelompok atau institusi menyampaikan Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
29
Temu Pendidik Nusantara 2017
Kelas Karier
S
elama ini banyak yang mengetahui karier guru adalah menjadi kepala sekolah atau pengawas sekolah. Namun jika melihat kelas karier #TPN2017 kita akan melihat karier-karier lain guru. Karier yang protean.
Guru Intan menerbitkan buku dengan judul Addicted Teaching : Membuat Guru Keranjingan Mengajar. Ia menulis buku tersebut berdasarkan pengalamannya menjadi guru, tujuannya agar banyak guru menikmati pekerjaannya.
Guru-guru yang menjadi pembicara kelas karier ini memiliki karier yang ia kembangkan dari guru. Seperti Guru Eka Wardhana, penggerak KGB Bogor ini selain menjadi guru ia pun menjadi penulis, buku-buku yang ia tulis dan terbitkan bersama komunitasnya sudah banyak, seperti buku OMG, Selama Ini Cara Mengajarku Salah, Eat Teach Literacy, Nikmat Menulis Lahap Membaca, dsb. Ia berhasil menulis banyak buku karena pengalamannya mengajar.
Berbeda dengan keempat narasumber di atas, ada empat narasumber lain yang kariernya yaitu membuat media pembelajaran. Guru Sri Sulistyani, penggerak KGB Jember yang merupakan guru Matematika memiliki media Keajaiban Bilangan 9 untuk memudahkan siswa belajar Matematika.
Selain Guru Eka Wardana yang menulis buku, Guru Chusnul Chotimah dari Kampus Guru Cikal, Intan Irawati dari KGB Jakarta Timur dan Guru Dian Rosdiana dari Jakarta yang juga menulis buku. Guru Chusnul Chotimah memperkenalkan buku yang baru saja diterbitkan oleh Kampus Guru Cikal dan Komunitas Guru Belajar, yaitu Merdeka Belajar di Ruang Kelas. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan praktik baik pengajaran dari berbagai daerah. Adapun guru Dian Rosdiana menulis buku yang berjudul Revolusi Mengajar Berbasis Neurosains. Guru Dian menggunakan lagu dan gerak untuk mengajarkan bagian-bagian tubuh dan fungsinya. Penonton diajak mempraktikkan saat Guru Dian melakukan presentasi di depan.
30
Guru Mujahidin menggunakan bahan-bahan bekas untuk membuat replika terjadinya proses erupsi gunung berapi, membuat siswa lebih mudah belajar karena bisa melihat langsung proses erupsi. Guru Virandhy membuat media belajar yang memudahkan siswa Tuna Netra bisa belajar, yaitu dengan memanfaatkan resonator bunyi. Terakhir adalah guru Ameliasari dari Salatiga yang mengajar mata pelajaran ekonomi. Menggunakan board games untuk belajar ekonomi. Seakan-akan siswa bermain padahal sedang belajar. “Dari kelas karier ini saya terbuka pikirannya. Bahwa ternyata menjadi guru bisa berkembang kariernya. Menjadi penulis, pembuat media, pelatih, dsb.” tutur Riyadi Ariyanto salah seorang peserta TPN asal Jember ini.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Temu Pendidik Nusantara 2017
K
Acara Puncak
elas kolaborasi selesai, peserta TPN 2017 yang semula di SDN 08 dan 09 Ragunan serta di SMPN 41 Jakarta bergegas menuju GOR Ragunan. Beberapa peserta menaiki bus yang disediakan panitia. Beberapa yang lain memilih untuk berjalan kaki. Walau jarak lumayan jauh, sekitar 1 Km, namun kebersamaan membuat jarak yang jauh menjadi dekat. Sesampainya di GOR Ragunan, peserta TPN 2017 disambut oleh atribut-atribut unik TPN, seperti photobooth, dinding harapan, museum mini dan pameran hasil karya guru. Peserta langsung memanfaatkan momen sebelum acara puncak berlangsung untuk mengabadikan momen bersama rekan seperjuangannya dari daerah lain. Acara dimulai oleh kelas karier yang diisi oleh 8 narasumber dan bercerita tentang karier yang mereka jalankan sekarang. Setelah itu ada sesi khusus pemutaran dan diskusi film garapan Wardah Cosmetic. Film Sanggar Senja tersebut diambil dari kisah nyata. Film bercerita tentang perjuangan mas Adi (dalam film diperankan oleh Mathias Munchus) yang merupakan seorang penggerak pendidikan untuk anak jalanan di daerah Cibinong, Jawa Barat. Film berdurasi 17 menit itu berhasil membuat air mata penonton keluar.
Setelah itu dilanjutkan dengan diskusi film bersama Adi (tokoh nyata) dan Mathias Munchus (pemeran Adi).
Kemudian Manumata yang beranggotakan 4 anak membuat semangat dengan membawakan lagu hip-hop. Acara yang ditunggu pun tiba, yaitu talk show Belajar dari Anak bersama Menteri Kelautan Indonesia, Susi Pudjiastuti. Dibalik ketegasannya, ternyata ibu Susi merupakan sosok yang juga lucu dan senang berbagi. Beliau tidak sungkan bercerita tentang masa-masa sekolahnya. Di mana beliau suka sekali pergi camping dan bereksperimen. Hal yang sangat dirindukan ibu Susi adalah sewaktu mengaji di surau bersama teman-temannya. Beliau juga suka sekali ke perpustakaan untuk membaca buku. Tidak banyak yang tahu, kalau ibu Susi suka karya Leo Tolstoy, Adam Smith dan sastrawan klasik lainnya. Menurutnya pendidikan itu tidak boleh stagnan. Harus bergerak maju. Apa yang cukup 10 tahun lalu, belum tentu cukup untuk tahun ini. “Memupuk rasa keingin tahuan pada anak sangatlah penting. Begitu juga menumbuhkan kegigihan anak melakukan sesuatu dan memberikan kesempatan pada mereka” tutur bu Susi di akhir talk show. Lalu bu Najelaa Shihab berpidato tentang Belajar dari anak, dan diakhiri menyanyi lagu “Merdek Belajar” karya Tunggul Harwanto secara bersamaan.
“Masa depan itu kita sendiri yang nentuin, bukan temen Loe, bukan bos Loe” ungkap Mas Adi pendiri Sanggar senja. Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
31
Temu Pendidik Nusantara 2017
GALERI FOTO TPN 2017
32
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Temu Pendidik Nusantara 2017
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
33
Temu Pendidik Nusantara 2017
Pengalaman Menginap di Rumah Orangtua Murid Cikal
3 Hari untuk Selamanya
P
engalaman di Temu Pendidik Nusantara tidak hanya saat kelas-kelas dilaksanakan. Selain proses perjalanan yang penuh makna, saat bermalam pun tak kalah serunya. Penggerak yang berasal dari berbagai daerah selama 3 hari menginap di rumah-rumah orangtua murid Sekolah Cikal. Apakah hanya menginap? Tidak hanya menginap, ada interaksi saat menginap tersebut. Ada orangtua yang mengajak penggerak main flip botlle, ada juga yang mengajak jalan-jalan keliling Jakarta, ada yang memiliki sesi khusus berbincang, dan masih banyak kegiatan inisiatif dari orangtua murid.
“Menjadi penggerak yang diberikan kesempatan untuk tinggal di rumah orang tua murid Cikal, yang notabene adalah GM finance Cikal juga. Namanya Bu Lukluk, artinya mutiara. Dibukakan pintu ketika pertama kali datang. Diantarkan bertemu dengan roomate yang membuat saya dan Vera terus mengobrol sampai dini hari. Aktivitas kami tidak hanya makan bersama tetapi juga main bersama Ami. Ya, Ami putri lucu Bu Lukluk yang punya hobi masak dan mau jadi koki atau arsitek. Lalu, menemani Ami dan Vera main catur (karena saya belum tahu bagaimana mainnya). Akan banyak cerita, bahagianya hanya bisa dirasakan saja ya lewat wajah sumringah dan kata yang tertata tak rapih disini.” tutur Mahayu Ismaniar di akun Instagramnya.
34
Kesan lain juga didapatkan dari Wahyuniar Yusuf penggerak dari Pinrang “Kornelius Irwanto begitu kak Lany menginfokan nama tuan rumah saya. Wah, mmungkin ini bapak-bapak tentara kalau diliat dari namanya. Hehehe . Alhamdulillah, kehangatan keluarga kecil Ini menyambut kami. Ternyata saya tidak sendiri tinggal disini, ada ibu guru muda cantik mbak Nisa. Panggil kami kakak saja yah, jangan bapak dan ibu. Kak Koko dan kak Puti. Mereka berdua adalah orang-orang kecenya Sekolah Cikal. Kami diantar jemput, dipastikan selalu kami bahagia bersama mereka. Keberagaman persaudaraan terasa di sini. Meski beda agama, Kakak Puti menyiapkan sajadah dan mukenah di kamar kami. Begitu pun waktu membawa kami jalan-jalan di mall dann makan di resto Jepang. Mereka berdua dengan setia menunggu saat saya melaksanakan ibadah. Paling terasa sedihnya, pas sudah mau pamit pulang.Terima kasih banyak kakak-kakak tersayangku” Hal tersebut juga dirasakan oleh Guru Ila Maya, “Naaahh.... hostfam saya sudah WA dari semalaman menanyakan waktu tepatnya saya akan tiba. Dia ibu Anita Wahid. Lihat-lihat foto sih kayaknya pernah tahu (SKSD). Dan sampailah saya pada pukul 5 pagi. Nggak nyangka sambutannya luar biasa hangat. Sampe rela membawakan koper. Seumur-umur baru kali ini ketemu orang super ramah dan baik. Beliau punya 2 orang anak yang seru. Suka cerita dan sama ramahnya dengan ibu Anita. Mereka selalu menunggu kami pulang untuk bertukar cerita. Suerr.... Home sweet home Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Temu Pendidik Nusantara 2017
pokoknya. Nggak ngerasa numpang atau nginap di rumah orang. Feels like home dewe laaaahh.” “Mbak Nisa yang baik banget dan teman ngobrol yang baik, kami diskusi apa saja dari tentang Jakarta tentang Kalimantan. Tinggal bersama selama 4 hari rasanya seperti tinggal dengan keluarga yang lama tidak bertemu, Arra yang lucu, suami mbak Nisa yang ramah serta mbak yang menemani Arra.” tutur Bu Hermin Penggerak asal Kalimantan yang menginap di rumah bu Nisa.
Selain di rumah, ada beberapa penggerak yang menginap di LPMP Jakarta Selatan. Tidak kalah seru, walau tidak ada housefam, penggerak di LPMP bisa kenal satu sama lain. Membuat acara di malam hari, ngerujak, diskusi tentang daerah asal, dan keseuran lainnya. “Selama TPN saya tinggal di LPMP. Awalnya saya ditempatkan di lantai 3 kamar 24 bersama 2 peserta lain, tapi sampai jam 00.30 beliau berdua kok tidak kunjung datang, saya jadi mulai takut-takut gimana gitu, jadi saya putuskan untuk turun dan numpang
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
di kamarnya bu Laila Jauharoh di kamar 8 lantai satu. Alhamdulillah, akhirnya saya mendapatkan teman dan yang paling berkesan, saya mendapatkan kesempatan ngobrol santai penuh semangat dengan bu Ningsih dari Sanggau, beliau guru PNS, kepala sekolah SD di Sanggau yg merangkap juga sebagai kepala TU juga, secara usia beliau sudah sepuh, 2 tahun lagi pensiun, tapi semangatnya luar biasa, masih semangat juga ikut TPN ini.” tulis bu Nadia.
Sama halnya dengan Guru Nadia, guru Kurniaty Salam pun mendapat kesan menginap di LPMP. Selama TPN tinggal di wisma LPMP. Awalnya sempat “protes” kok tempat tinggalnya dipisah pisah dengan tim Palembang. Tapi pada akhirnya berterima kasih sekali dengan bu Lany dengan sistemnya :) malam pertama memang sempat sendirian tidur di kamar no 4 lantai 2 tapi malam kedua hingga hari terakhir sekamar dengan mbak-mbak zuper, tepatnya emak emak zuper. Saya salut karena mereka meninggalkan suami,keluarga dan anak demi MERDEKA BELAJAR. Kita bertiga berasal dari 3 pulau berbeda, 3 waktu berbeda. Saya WIB, mba Nita WITA dan mba Anik WIT.
35
Temu Pendidik Nusantara 2017
Temu Pendidik Daerah Pasca TPN 2017
M
enjelang Temu Pendidik Nusantara 2017 banyak anggota maupun penggerak berkeinginan datang ke Jakarta dan mengikuti TPN 2017. Namun menjelang hari keberangkatan banyak yang tidak bisa ikut, lantaran ada acara mendadak, ada tugas dari sekolahnya. Banyak yang kecewa karena tidak bisa ikut. Beberapa Komunitas Guru Belajar Daerah memiliki inisiatif untuk membantu anggota yang tidak ikut ke Jakarta. salah satunya membuat temu pendidik daerah dengan tema Temu Pendidik Nusantara (TPN) 2017. Apa-apa yang didapatkan di TPN 2017 dibagikan di TPD tersebut. Misalnya dari KGB Pekalongan, dalam temu pendidik yang diadakan Guru Dina menyampaikan materi yang disampaikan oleh Guru Bagus saat TPN. Guru Daru di TPD KGB Purwokerto membagikan merdeka belajar kepada anggota KGB. Dan juga Guru Nadia, Guru Syifa, Guru Labiba di TPD KGB Rembang yang membagikan materi-materi di kelas kemerdekaan TPN 2017.
36
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Rangkuman Temu Pendidik Bulanan
Manajemen Kelas Jumat, 17 November 2017 Bisa dilihat di : bit.ly/MudikBulanan9
Moderator
Bukik Setiawan Manajer Pengembangan Kampus Guru Cikal
Narasumber
Wilma Ayu Indira KGB Jakarta Pusat
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Boky Nur Astuty Sekolah Cikal Cilandak
Chusnul Chotimah Kampus Guru Cikal
37
HUTAN
Siapa yang kuat dia yang memimpin
Kelas berpusat oleh kontrol. Kadang murid yang mengontrol, kadang guru yang mengontrol
KEBUN BINATANG Dikendalikan oleh pawang
Guru memegang kendali kelas. agar sesuai harapan guru tersebut.
TAMAN
Semua beraktivitas sesuai mintas dan kebutuhan
Ada relasi yang dialogis antara guru dengan murid dan saling menjaga agar situasinya nyaman buat semua. Bukik Setiawan : Sejauh saya melakukan pengamatan, itu ada 3 jenis kelas. Pertama kelas hutan, di kelas hutan itu mesti ada singanya, hewan-hewan lain berusaha merebut kekuasaan sang singa dan itu selalu penuh dengan pertengkaran, perkelahian, power games gitu. Jadi siapa yang kuat, dia menentukan hukum.
yang ngatur, tapi kadang juga gurunya kalah sehingga kelasnya jadi diatur sama murid. Jadi situasinya nggak selalu sama. Jadi kelasnya semua berpusat pada kontrol. Jadi siapa yang punya kekuatan yang lebih kuat , jadi dia yang akan memimpin kelas tersebut.
Kedua seperti kebun binatang, jadi seperti di hutan itu ramai, berisik tapi di kebun binatang itu sepi. Kalaupun ada suara itu relatif teratur. Semua tinggal di masing-masing kandang, tapi kalau ada kandang yang lepas, rusak, chaos. Kuncinya ada di pawang. Kalau pawang udah pegang lecut, semuanya langsung tenang. Ketiga, kelas seperti taman. Jadi dia nggak setenang kebun binatang, ramai, riuh, ada suara-suara teriakan, ada tertawa, ada nangis, tapi tidak ada pertarungan kekuasaan seperti di hutan.
Kedua, situasi kebun binatang, kalau kita lihat kebun binatang ada apa sih, ada sekat-sekatnya, ada ruanganruangannya, ada jeruji besinya. Nah memang diibaratkan murid-muridnya itu adalah penghuni-penghuni dan disekat oleh jeruji besi itu. Jadi, guru-gurunya memegang kendali untuk mendisiplinkan situasi kelasnya sehingga kelasnya bisa berjalan sesuai dengan harapannya si guru. Biasanya posisi gurunya pasti berada di depan. Anak-anaknya pasti berkumpul di suatu tempat, di kursi menghadap ke gurunya, terus sudah pasti gurunya lebih banyak bicara daripada muridnya, kelasnya rapi, tidak ada suara yang dominan kecuali suara gurunya.
Kalau situasi kelas di Indonesia itu seperti apa sih kalau dari jenis kelas seperti itu. Apakah itu menggambarkan situasi kelas yang di Indonesia? Chusnul Chotimah : Sedikit banyak memang menggambarkan sih. Tiga situasi itu memang merefleksikan apa yang terjadi di ruang kelas. Jadi ada kelas yang seolah-olah itu seperti hutan. yang tadi diceritakan, ada yang seperti kebun binatang, ada juga yang seperti taman. Dari ketiga kondisi kelas itu ada keuntungan dan ada jebakan. Jadi kalau didefinisikan, kelas yang seperti hutan , kelas yang kalau kita lihat, kondisi guru dan muridnya sama-sama punya motif. Punya motif dalam artian kadang-kadang gurunya yang menang, kadang gurunya
38
Nah situasi kelas 3, ini situasi kelas taman. Taman itu menyenangkan, indah, terdiri dari sekelompok bunga, tanaman, hewan-hewan dan kondisinya beda-beda. Ada hewan seperti kebun bintatang, namun hewan tersebut tidak dikurung, nggak diatur, hewan-hewannya lebih jinak. Kalau dalam situasi kelas, ada harmoni antara gurunya dan situasi kelasnya, ada dialog, jadi komunikasinya sudah mulai 2 arah. Tapi seperti saya bilang, ketiganya itu jebakan, kalau dilihat kesannya yang paling bagus itu taman ya, tapi tiga-tiganya jebakan, kita guru nggak sebenarnya memahami apa yang kita lakukan di kelas gitu.. kira-kira itu dulu.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Bukik Setiawan : Saya akan lanjut ke bu Wilma dan bu Boki. Kebanyakan guru gembira ketika tahu bahwa dia jadi guru untuk pertama kali. Boleh nggak cerita proses transformasi dari situasi kelas pada hari pertama hingga yang sekarang. Saya yakin pasti ada perubahannya. Mungkin bisa diceritakan mulai dari Bu Boki atau Bu Wilma. Wilma : Jadi, ilmu pengetahuan saya waktu kuliah itu sebenarnya bukan mengajar, bukan pendidikan, tapi jurusan saya komunikasi. Yang ada di benak saya waktu pertama ngajar itu, “Pasti anak-anak itu akan duduk tenang. Trus kalau dikasih tahu nurut gitu ya.”. Saya pertama kali masuk itu di kelas TK A, itu kelas peralihan dari PG ke TK. Jadi otomatis banyak ledakan-ledakan, ledakan bahasa, ledakan motorik, begitu masuk ada yang nangis, ada yang ngatur-ngatur temen, ada yang asik main sendiri. Jadi saya bingung harus ngapain, “Ini bener nggak ya..” Jadi pernah ada kejadian gini. Di kelas itu ada sekotak kapur udah lama. Lalu ada anak murid yang bawa gunting juga. Kemudian kapur itu digunting-gunting, di gergaji juga. Terus dalam pikiran saya, “Nggak boleh, nggak boleh, bahaya banget.” panik gitu kan saya. Lalu ada teman guru yang memberi tahu “Jangan gitu reaksinya nanti anak nanti jadi kaget.”, tapi saya jawab “Kapur itu kan bahaya.” Lalu saya dijelaskan, “ Sebenarnya apa yang ingin mereka lakukan, kita tanya, kita gali lagi, kalau arahnya udah ke yang nggak aman, baru kita kasih tahu, gitu caranya. Waktu awal-awal sampai tahun-tahun kedua masih ada goncangan-goncangan kalau orang tuanya ini .. hah kok gini sih muridnya. Pernah juga ada murid yang nggak nurut, harga diri saya mau hancur. Saya sampai nangis terus lapor ke pengelola, “Ini gimana sih, pokoknya nggak mau lagi.” Baru tahun ketiga ngajar udah lebih smooth, udah mulai percaya sama anak. Jadi pas tahun ketiga udah mulai dirubah polanya, harus mulai percaya sama anak, sama orang tua, di kelas itu udah lebih banyak refleksi sama anak-anak.. Bukik Setiawan : Pengalaman adalah guru terbaik. Sekarang kita dengarkan pengalaman dari Bu Boki. Boki Nur Astuty : Kebetulan kalau di Cikal sudah 9 tahun dan total pengalaman mengajar itu sebenarnya sudah 19 tahun, tapi diawali jadi asisten. Karena jadi asisten hari pertama ngajar, amanikut aja gurunya kemana, aku nggak perlu khawatir. Gurunya bilang ambil tissue, anterin anak. Aman. Tapi begitu berubah menjadi guru kelas, itulah drama yang sebenarnya terjadi, ternyata nggak semudah apa yang waktu aku lihat sebagai asisten. Tapi dari sepanjang pengalaman ini, kunci bagi aku adalah kepercayaan orang tua ke guru. Kalau kita sudah mendapatkan kepercayaan orang tua, mau anaknya se-cranky apa pun, kita punya keyakinan untuk menghandle anak. Tapi kalau misalnya orang tua tidak percaya, bahkan anaknya pun akan ngerasa kan. Ketika orang tua sulit melepaskan anaknya ke guru, anak yang sebelumnya cranky akan lebih cranky lagi karena orang tua nggak bisa ngelepas anaknya ke guru. Bukik Setiawan : Gimana sih kita di hari pertama itu bisa Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
memperkenalkan diri sebagai guru. Bu Wilma, apa sih yang kelihatan penting untuk dikenalkan, untuk membangun kepercayaan dari anak-anak? Wilma : Biasanya sebelum kegiatan itu ada main dulu. Sebenernya kita bisa masuk, kita liat anaknya. Maksudnya nanti udah dapet perkiraan gitu kira-kira gimana. Meskipun mungkin ada benernya ada salahnya gitu. Nah dari situ, kalau kita ngajakin ngobrol gitu nanti anak-anaknya udah tahu, nanti pas kita ngajakin ngobrol pas sesi kenalan, anak ada yang udah ada rasa nyaman di mereka karena udah tau siapa yang ada di depannya. Terus pas ngomong juga nggak bisa anaknya di bawah terus kita yang berdiri dan bertanya “Siapa kamu namanya?” Karena anak TK harus sejajar gitu ya matanya, jadi dirasa bahwa emang dia mau deketin aku, bukan mau nyuruhnyuruh aku. Jadi seperti membangun hubungan dini dululah. Bukik Setiawan : Jadi berdiri sama duduk itu beda ya? Wilma : Beda jadi kalau berdiri itu seperti yang superior. “Nanti bakal disuruh-suruh.” Nanti anaknya juga akan ngerasa beda. “Ohh dia mau ngedeketin aku.. dia baik sama aku..” . Ditambah lagi dengan pandangan mata yang hangat gitu kan. Bukik Setiawan : Bu Boki ada juga nggak tips untuk membangun perkenalan di awal sebagai guru? Boki Nur Astuty : Kalau yang biasa kita lakukan di Cikal itu sebelum hari pertama kita dengan anak-anak itu, biasanya kita mengadakan riset kecil-kecilan gitu tentang si anak. Kita tanya dulu guru di kelas sebelumnya seperti apa, termasuk sukanya apa, kalau perlu nama panggilannya apa. Jadi begitu mereka masuk kelas, ada sesuatu yang familiar yang mereka temukan disana, begitu mereka datang, kita panggil namanya, kalau kita tahu nama panggilan, itu akan lebih membantu gitu. Karena kesan yang ditimbulkan, kesannya hangat ya. Kita panggil dengan nama panggilannya, kita perkenalan diri. Sama seperti tadi juga gesture kita, kita sejajarkan dengan anak-anak, jadi eye level. Kita kenalkan nama kita, kelas kita apa. Kita bisa memperkenalkan diri melalui lagu, melalui games. Jadi sesuatu yang mereka kenal atau sebelumnya anak ini pernah main lego , kita sediakan lego. Mereka sukanya gambar-gambar, kertas kita sediakan di kelas. Jadi sesuatu yang familiar buat mereka, jadi mereka tidak merasa asing di kelas yang baru. Bukik Setiawan : Jadi mengkombinasikan orang yang baru dengan sesuatu yang familiar. Bu Unun kalau jadi guru kan suka-suka kita kan ya? Kita sudah dapat SK, sudah punya kewenangan. Chusnul Chotimah : Ruang kelasnya kan kelas dia gitu kan? Bukik Setiawan : Iya ruang kelas dia. Apalagi guru SD kan. “Ini kan kelas saya..” Apalagi kalau sudah 2-3 tahun. Jadi murid kan pendatang baru gitu ya. “Siapa kamu datang-datang lalu membuat saya harus sederajat, harus bisa memahami? Mengapa harus seperti itu?”
39
kampusgurucikal
Bagaimana situasi kelas, saat Anda pertama menjadi guru?
disukai oleh najelaashihab, ununyasien dan 259 teman lainnya kampusgurucikal Kapan pertama mengajar, dan bagaimana situasi kelas tersebut? . Jawab di kolom komentar ya! widiautami Hari pertama jadi guru dicuekin pas ngomong di depan kelas. Rasanya mau marah. Tapi gabisa. Mau nangis apalagi. 2m
balasan
kemalaasthika Hari pertama masuk kelas 3 SD. Di pojokan ada anak yang pegang gunting. Dan kemudian potong rambutnya sendiri. 7m
balasan
roisahturrohmah Hari pertama saya masuk kelas langsung dihadapkan 42 siswa. Luar biasa. Ada yang memanjat tiang penyanggah, mengeluarkan jurus-jurus. Namun senang, berjalan satu semester berjalan lancar. 10m
balasan
ghinaghaniy hari pertama masuk kelas, langsung ada siswa yang ngajak ngedate. 15m
balasan
raniskaginting Hari pertama jadi guru, ada beberapa anak murid nangis dan maunya sama mamanya. 17m
balasan
ana_chusna Hari pertama ngajar, banyak anak laki-laki pada kejar-kejaran di dalam kelas. Saling pukul-pukulan sampai nangis. Kacau banget pokoknya. 17m
balasan
40
Chusnul Chotimah : Memang secara natural kondisi ratarata yang dimiliki semua negara gitu ya punya 1 ruang kelas, punya 10-20 anak murid yang harus dibina. Secara usia sudah pasti guru lebih tua dari murid. Situasi natural seperti itu memang ada, kemudian ada penyerahan dari orang tua ke guru bahwa ini adalah anak-anak yang dititipkan. Jadi sebelum kelas dimulai memang kepentingan guru sudah sangat tinggi. Namun di sisi lain, sayangnya guru-guru ini, kita kerja sama anak. Bekerja dengan anak, jadi memang kita kegiatannya melibatkan manusia. Jadi bukan sama robot, bukan pabrik gitu ya. Gimana caranya kita membantu anak-anak ini untuk berkembang sehingga dapat membantu mereka mencapai tujuan yang diharapkan. Jadi treatment-nya memang nggak bisa disamakan dengan bisnis-bisnis yang lain karena yang kita hadapi itu anak-anak. Anak-anak yang jam sekian perilakunya begini, hari ini beda besok beda lagi, menghadapi orang dewasa atau ketemu anak yang berbeda itu responnya berbeda juga. Jadi memang kompleks situasinya, nah dari situ memang bisa hubungan guru dan murid ini nggak bisa disimplifikasi. Ini hubungannya antar manusia sehingga relasi yang dimunculkan adalah relasi yang berorientasi pada manusia tersebut. Bukik Setiawan : Jadi lupakan SK! Chusnul Chotimah : Lupakan SK hahaha Tadi kalau saya lihat dari yang disampaikan Bu Boki ada 2 hal yang penting disitu. Pertama adalah riset untuk memahami anak-anaknya sama pengkondisian situasi kelas hingga bisa menjadi ruang kelas yang nyaman dan aman. Bukik Setiawan : Jadi serius ya, lupakan SK dan hadapilah kenyataan bahwa kita berhadapan dengan manusia meskipun lebih muda dan lebih kecil atau lebih banyak kurangnya dibanding guru.. tapi tetap kita berhadapan dengan manusia. Bu Wilma ada tips nggak bagaimana mengelola kelas agar siap untuk masuk ke proses belajarnya? Wilma : Kalau yang pertama saya lakukan itu. Pertama kan sudah ada tema ya. Trus cocok nggak ya dengan anakanaknya saat ini. Jadi pertama harus tahu dulu karakter kelasnya seperti apa, tipe anaknya seperti apa, biasanya kan tema besarnya sudah ada, tapi topik-topiknya itu bebas ditentukan oleh kelas. Bergantung anaknya itu seperti apa. Untuk menentukan topik itu perlu tahu dulu karakter anaknya itu seperti apa, minatnya seperti apa. Selain pengamatan terhadap anak-anak biasanya saya juga suka ngajakin anak ngobrol-ngobrol ringan gitu. Minggu depan topiknya misalnya tentang binatang. Bukik Setiawan : Sekarang Bu Boki, tadi kan kita sempat ngomong kelas sebagai hutan, hukum rimba. Bagaimana caranya agar kelas tidak terjerumus diatur dalam hukum rimba? Boki Nur Astuty : Tadi seperti penjelasannya Bu Unun kan kalau kelas dianalogikan sebagai hutan itu berarti yang kuat yang menang. Sedangkan seharusnya kondisi kelas itu harusnya tidak main kuat-kuatan gitu. Karena kita harusnya saling menghargai, saling percaya antara murid dan guru, kalau misalkan yang kami terapkan di kelas itu, ada beberapa hal yang di awal setelah hari pertama itu, kami biasanya punya 2 minggu masa orientasi. Saat masa orientasi tersebut saling mengenal guru dan anak. Anak-anak diberikan waktu Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Sediakan sesuatu yang membuat anak nyaman di kelas
MEMBANGUN
PERKENALAN DI AWAL PEMBELAJARAN
Main dan ngobrol dengan anak Eye level, posisi guru sejajar dengan anak Riset dengan bertanya kepada guru lain cari tahu nama panggilan anak untuk mengenal gurunya. Guru juga mulai memberikan pembagian tanggung jawab. Jadi yang bertanggung jawab di kelas itu tidak cuman guru tapi anak-anak juga punya porsinya untuk dijalankan gitu. Banyak hal yang kita lakukan dalam 2 minggu orientasi itu kita membuat social agreement, anak-anak juga menentukan goalnya, tujuan di kelas ini apa untuk setahun ke depan, apa yang mau dia capai. Lalu aktivitas, jadi untuk aktivitas setiap hari itu seperti apa sih? Kalau untuk sense of agreement biasanya kesepakatannya itu kelasnya seperti apa? Karena kelasnya itu kelas 4-5 tahun, jadi biasanya kita kasihnya itu bentuk visual. Ada video tentang kelas yang berantakan, serabutan. “Mau nggak kelasnya seperti ini?” Kalau mereka bilangnya nggak mau, kenapa? Aku nggak suka, aku sedih. Biasanya jawabannya sederhana, kalau nggak mau seperti ini, mau seperti apa kelasnya? Dari situ pendapat anak kita tampung, kita lihat Bukik Setiawan : Ini adalah kata kunci yang menarik. Jadi berbagi tanggung jawab. Bagaimana seorang guru berbagi tanggung jawab dengan anak TK. Apakah bekerja untuk anak usia 4-5 tahun? Boki Nur Astuty : Konsepnya untuk 4-5, jangan dipikir terlalu rumit dulu gitu. Berbagi tanggung jawab itu memang yang sesuai dengan umurnya. Kita nggak mungkin nyuruh mereka bikin planner gitu. Tapi kita bisa meminta mereka untuk melakukan yang sesuai dengan kemampuannya. Bukik Setiawan : Jadi secara prinsip berbagi tanggung jawab, tetapi secara teknis disesuaikan dengan tahap perkembangan anak? Karena pandangan orang kan 4-5 tahun bisa apa, mau tanggung jawab? Kan mereka untuk dirinya sendiri aja belum bisa tanggung jawab gitu kan? Kok ini harus dibagi dengan tanggung jawab kelas, tapi kalau di sini tadi kan kata Bu Boki secara teknis tetep, tapi yang sesuai dengan kemampuannya. Jadi yang Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
diutak-atik adalah teknisnya bukan soal prinsipnya ya? Boki Nur Astuty : Bukan, jadi salah satunya itu tadi, kesepakatan bersama. Isi kesepakatan bersamanya pun sesuai dengan umurnya. Mereka maunya mainnya samasama, tidak mau mainannya hilang, tidak mau kelasnya berantakan. Jadi itulah yang menjadi kesepakatan bersama, contoh lain adalah mereka dalam tahap peralihan dari kelas kecil ke kelas besar di mana tingkat kemandiriannya sudah lebih tinggi dibanding kelas sebelumnya. Jadi tingkat kemandiriannya itu dilihat dari self-help. Kemampuan mereka menolong dirinya sendiri, sehingga mereka terbiasa mengurus diri sendiri. Hal-hal yang simple juga, pakai sepatu sendiri, ke toilet sendiri, makan sendiri, beresin mainan sendiri. Ketika mereka mengerjakan tugas, ambil pensil sendiri, mengembalikan lagi. Bukik Setiawan : Saya mau tanya ke Bu Unun, kalau ke anak-anak usia 4 tahun. Kita harus menjelaskan tanggung jawab itu seperti apa, tapi kalau anak-anaknya sudah besar seperti SMP, SMA, perlukah yang dilakukan oleh Bu Boki tadi dilakukan pada anak yang sudah besar? Chusnul Chotimah : Memang Pak Bukik, orang dewasa seringkali terjebak dengan kata harus.. harusnya .. harusnya .. Nah sebenarnya sampai kita mati pun, kita juga belajar, kata-kata harusnya nggak berlaku pada semua orang. Memang mungkin ada orang yang self help-nya lebih tinggi. Kemampuan melihat masalah, menganalis,dll. Cuma jebakannya itu pada kata harusnya. Memang untuk mengatasi jebakan itu, kita kembali lagi harus memanusiakan hubungan tadi, kita harus sadar bahwa manusia berkembang dalam fase yang mirip tapi nggak sama. Waktunya mungkin deketan tapi nggak sama. Bisa juga sangat jauh, bahwa ada kemungkinan jarak antara orang yang satu dengan orang yang lain. Jadi nggak bisa kata-kata harusnya diterapkan.. Nah yang kedua, kalau kita terjebak pada harusnya kita lupa pada alasan kenapa kita melakukan itu, jadi seolah-olah yang penting adalah caranya, mengapa kita melakukan itu nya malah nggak dijawab. Kalau kita balik lagi ke Bu Boki, di awal ,
41
Agar tidak terjadi situasi saling mengontrol di kelas
Adanya pembagian tanggung jawab. Adanya masa saling mengenal di awal
berdiskusi dulu ke anak-anak. “Emang kenapa sih? Emang kamu maunya gimana? situasi kelas yang gimana dan kenapa?” Itu sebenarnya juga hal yang tidak boleh hilang dalam diskusi anak-anak yang sebenarnya sudah dalam usia SMP-SMA. Jadi sebenarnya apa yang kita mau, apa yang kita percaya, kenapa kita mau dan percaya pada hal itu, itu hal yang tetap harus dipelajari sampai usia dewasa pun gitu. Bukik Setiawan : Jadi diskusi membuat kesepakatan di kelas itu tetap berlaku meskipun anak-anak remaja? Chusnul Chotimah : Karena pada usia remaja menjelang dewasa muda, itu justru pertanyaan mengapanya makin tajam, kenapa saya disuruh bikin tulisan 1500 karakter? iya kan? Bukik Setiawan : Kenapa nggak 1400? Chusnul Chotimah : hahaha.. Iya itu justru kalau tidak dirintis sejak awal, pertanyaan lainnya itu tidak akan berpusat pada tujuan. Tapi kalau sejak kecil saya arahkan untuk berpikir kenapa, harapannya ketika dia dewasa, kemampuannya memahami situasi sekitar dan orang lain bisa jadi lebih tinggi gitu. Jadi Karena itu tadi saat dewasa, pertanyaan kenapanya akan semakin banyak. Bukik Setiawan : Jadi tidak peduli itu TK, SD, SMP atau SMA, kelas tetap jadi pertemuan di mana terjadi relasi antarmanusia yang satu kebetulan berperan sebagai guru, yang satu sebagai murid, tapi tetep relasi antarmanusia. Jadi tetep harus berbagi tanggung jawab dan berbagi kesepakatan agar kelasnya tidak jadi hutan. Karena kalau jadi hutan siapa yang lebih kuat dia yang menang, saya ingin tanya ke Bu Wilma pernah nggak membangun suatu rutinitas atau kebiasaan positif di kelas? Wilma : Pasti pernah ya, jadi saya percaya kalau karakter dikembangkannya sejak usia dini. Jadi kalau misalnya anak-anak sejak dini nggak ada pengembangan karakter
42
Guru mengajak menentukan Individual Goal Menentukan kesepakatan kelas secara bersama.
akan jadi sulit ya. Jadi rutinitas itu ujung pangkal adanya karakter baik dan kebiasaan-kebiasaan positif gitu. Jadi caranya sama kita diskusi dulu sama anak-anak bisa lewat film, obrolan, atau cerita sehari-hari misalnya ada kejadian apa. Terus ditanya pendapat anak-anak, terus dibahas kira-kira kamu mau nggak kalau seperti gitu situasinya? Kamu maunya gimana? Yang pernah saya lakukan adalah rutinitas masuk kelas gitu, karena yang biasanya anakanak lakukan pada saat masuk kelas itu ya masuk aja gitu jadi temennya mungkin nggak ngeh. Maksudnya tujuannya nanti saat hidup bermasyarakat kalau masuk harus memberi salam. Itu sempet dibahas juga sama anak-anak. Kalau masuk rumah itu gimana harusnya? apa sih rasanya kalau datang nggak ngucapin salam terus yang di rumahnya nggak tahu kalau dia datang? Terus kamu maunya gimana di kelas diterapinnya? Emang kalau di kelas kecil sebelum jadi rutinitas itu dibahas dulu gitu kan situasi di lapangannya seperti apa, lalu ditanya lagi kan ke mereka, diajak refleksi. Kamu nyaman nggak kalau seperti gitu? nyamannya gimana? kalau di kelas ini maunya seperti apa? Bukik Setiawan : Ruwet ya, beri salam saat masuk kelas itu kan tinggal buat peraturan.. setiap murid yang masuk kelas mengucapkan salam. Tempel besar-besar di dinding atau depan pintu.. kan lebih ringkas tinggal di print jadi, kenapa harus gitu? Wilma : Karena kalau mereka nggak tahu harus itu kenapa, Kenapa sih aku masuk kelas harus ngasih tahu? Kenapa nggak boleh nyelonong aja? Jadi berusaha memunculkan bahwa kamu hidupnya nggak sendiri loh, kamu hidupnya dengan orang lain juga. Bukik Setiawan : Jadi nggak sekedar anak masuk dan mengucapkan salam, tapi melandasinya, tahu kenapanya bukan sekadar kan peraturannya sudah seharusnya begitu.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Membangun Kesepakatan Belajar dari Awal
Kesepakatan disesuaikan dengan umur siswa. “Isi kesepakatan bersamanya pun sesuai dengan umurnya. Mereka maunya mainnya sama-sama, tidak mau mainannya hilang, tidak mau kelasnya berantakan.”
Selalu ingat Memanusiakan Hubungan “Kita kembali lagi harus memanusiakan hubungan, kita harus sadar bahwa manusia berkembang dalam fase yang mirip tapi nggak sama. Waktunya mungkin deketan tapi nggak sama. Bisa juga sangat jauh, bahwa ada kemungkinan jarak antara orang yang satu dengan orang yang lain. Jadi nggak bisa kata-kata harusnya diterapkan.”
Why dahulu sebelum How “Kita sering lupa pada alasan kenapa kita melakukan itu, jadi seolah-olah yang penting adalah caranya, mengapa kita melakukan itu nya malah nggak dijawab.”
Namanya kesepakatan, harus melibatkan.
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Chusnul Chotimah : Because my teacher said so… hahaha Karena anak-anak sering banget bilang gini, “Nggak tahu pokoknya Bu Guru bilang gitu…” “Mama caranya salah, bukan caranya Bu Guru..” Jadi itu sebenarnya jebakan rutin. Jadi di sekolah sebenarnya tempat anak-anak belajar sesuatu yang ada di kehidupan nyata dalam porsi yang lebih kecil. Sebaiknya sekolah juga menjadi tempat di mana aktivitas yang dilakukan itu juga ada kaitannya dengan kehidupan nyata. Kenapa dialog penting, karena pada situasi nyata, kita akan berhadapan dengan situasi-situasi yang nggak nyaman untuk kita dan harus mencari titik temu gitu untuk menyamakan pikirannya Jadi kesalahan dalam pembiasaan yang biasa terjadi adalah anak tidak tahu konteksnya, hubungan peraturan tersebut dengan dia apa. Jadi apalah artinya rutinitas kalau tidak bisa dimaknai sebagai sesuatu yang memang penting untuk dia lakukan. Bukik Setiawan : Nah kita sekarang masuk ke tanya jawab, ini akan saya lemparkan ke Bu Boki dari Pak Saidi Raden Mahmud di Sanggau ini ada kasus dari rekan guru ada anak kelas 1 SD yang selalu ditemani ibunya di dalam kelas. Jika ditinggal ibunya ia tidak akan masuk kelas dan mengamuk, bahkan tugas yang dikerjakannya pun, ibunya yang antarkan, beberapa usaha sudah dilakukan guru tersebut namun masih belum berhasil mohon tips bagaimana mengatasi siswa tersebut. Mungkin ada tips dari Bu Boki? Boki Nur Astuty : Ini seperti yang saya bilang ya, kepercayaan orang tua itu yang penting banget, yang harus kita dapatkan gitu, kalau melihat kasusnya sekilas, ini ibunya masih belum percaya ke guru, karena kalau ibunya sudah punya kepercayaan penuh terhadap guru. Anaknya mau nangis seperti apa pun di kelas, dia akan pergi karena dia percaya gurunya bisa meng-handle anaknya. Yang bisa dilakukan adalah ajak bicara si orang tuanya. Tunjukkan pada orang tuanya bahwa gurunya berkompeten untuk mengurus anaknya. Kalau sudah dapat kepercayaannya, buktikanlah itu terhadap anaknya. Jadi begitu orang tua sudah mau meninggalkan anaknya dengaan gurunya, gurunya pun harus punya strategi bagaimana meng-handle anaknya. Memang butuh waktu dan effort. Bukik Setiawan : Bagaimana menunjukkan bahwa kita itu kompeten sebagai guru? Boki Nur Astuty :Untuk mendapatkan kepercayaan, kita harus menunjukkan kompetensi kita bahwa kita kompeten sebagai guru. Biasanya komunikasi 2 arah dengan orang tua. Kita ajak orang tua untuk bicara. Karena memang sebagai guru itu kita tidak hanya bekerja dengan anak, tapi juga dengan orang tuanya. Jangankan yang anak-anaknya bermasalah. Anak-anaknya tidak bermasalah pun kan kita tetep butuh support dari rumah. Chusnul Chotimah : Seminggu yang lalu, saya ke Batalubang. Guru di sana juga ada yang punya masalah yang sama. Jadi guru kelas 1 ada anaknya yang nangis sudah berbulan-bulan sejak Juli-November, itu ditemani orang tuanya di kelas dan ditemani pun kan masalahnya nggak cuma disitu. Anak-anak yang lain jadi nggak nyaman belajarnya orang tua yang lain juga terpengaruh. Ada guru namanya bu Naah dari Bekasi, yang dilakukan bu Naah dengan datengin rumahnya. Jadi udah 3 bulan seperti ini, udah mulai frustasi
43
juga gitu kan, akhirnya dia menemukan fakta yang nggak dia temukan kalau dia nggak datengin rumahnya. Jadi setelah dia datang ke rumahnya, dia tahu bahwa anak ini anak pertama, usianya 6 tahun, SD kelas 1dan sudah punya adik 3. Jadi 4 bersaudara. Kebayang kan pasti jaraknya sangat dekat. Bu Naah ini bilang “Oh ya udah pasti nggak dapet perhatian, dari situ dia tahu bahwa masalahnya satu, anaknya butuh perhatian. Yang kedua, anaknya nggak percaya sama orang tua yang nggak percaya dengan gurunya. Bukik Setiawan : Ini ada pertanyaan dari Bunda Pelangi, tanya jadi sudah buat kesepakatan dengan anak, sudah jalan tapi beberapa saat kemudian pelanggaran lagi sepertinya mereka tidak sadar ketika melanggar namun mereka sudah setuju dengan kesepakatan yang dibuat bagaimana ya? mungkin Bu Boki bisa bantu jawab. Boki Nur Astuty : Sebenernya kesepakatan bersama di kelas itu untuk mencapai situasi yang ideal di kelas. Namun seiring berjalannya waktu, terlepas dari anak-anak yang melanggar peraturan itu. Anak yang membuat, mereka juga yang melanggar. Itu bisa terjadi setiap hari.. Yang harus dilakukan adalah sebagai guru jangan bosan mengingatkan, setiap ada pelanggaran kita balik lagi pada kesepakatan yang dibuat. Namun kalau sudah terlalu banyak pelanggaran yang dilakukan, ada baiknya kita review lagi kesepakatan itu. Apakah masih berlaku atau tidak. Perlu ditambah atau dikurangi, jadi kesepakatan yang awalnya kita buat itu tidak kaku, tapi fleksibel. Bukik Setiawan : Jadi kalau ada yang melanggar, itu kita mengingatkan mengacu pada kesepakatan yang di awal, itu sebenarnya apa yang terjadi pada saat itu? Boki Nur Astuty : Kesepakatan itu dibuat tidak hanya idealnya seperti apa, tapi juga konsekuensinya apa. Jadi sudah 1 paket loh, jadi kalau ada anak-anak yang melanggar, kita ingatkan peraturannya dan kita ingatkan konsekuensinya. Jadi ketika mereka dikenakan konsekuensi saat melanggar, mereka sudah tahu. “Kan kesepakatannya sudah kita buat bersama.. kalau kamu melanggar, konsekuensinya akan seperti ini..” Kan beda dengan hukuman yang sifatnya 1 arah, mereka suka nggak suka, tau nggak tahu, gurunya yang tetapkan tapi kalau konsekuensi kan nggak. Bukik Setiawan : Ada tambahan? Chusnul Chotimah : Saya ada tambahan sih 1 poin. Kalau proses itu sudah berkali-kali dilakukan dan tetap saja dilanggar, kita sebagai guru juga perlu berefleksi apa yang kurang kondisi apa yang tidak mendukung, kondisi apa yang menjadi faktor penghambat, karena bisa jadi yang dipikirkan itu. Perspektif guru gimana anak melanggar, tapi sebenarnya apa sih yang menyebabkan itu terjadi. Karena ada kondisi-kondisi tertentu di mana anak nggak mampu melakukan itu. Bisa jadi karena peraturannya abstrak nggak konkrit atau anak nggak bisa memahami peraturan tersebut atau karena ada faktor-faktor lain yang menyebabkan anak nggak bisa melakukan itu misalnya kesulitan belajar.
44
Saya punya pengalaman ngajar murid kelas 3 SD yang nggak bisa berhenti ngomong. Anak ini punya kesulitan. Jadi secara neurologis dia atensinya sangat rendah. Sehingga yang paling mudah dilakukan itu berinteraksi gitu. Jadi berefleksinya bisa secara kelas maupun secara anak. Bukik Setiawan : Jadi ada 1 kata kunci yang jadi kesamaan ya, bahwa kita percaya, kalau kita percaya bahwa murid-murid itu bisa, yang dilakukan itu bantu.. bantu.. . Jadi bukan gurunya jahat ya.. jadi bagaimana kita bersama murid bisa melaksanakan kesepakatan itu tadi.. kalau banyak pelanggaran, mungkin kesepakatannya justru yang perlu diubah. Boki Nur Astuty : Jadi ada proses refleksinya juga ya, nggak cuma ke murid tapi gurunya juga harus berefleksi juga. Bukik Setiawan : Dialog, dialog, dialog, dialog sama diri, dialog sama orang tua. Tapi kalau orangnya senang dialog malah jadi keasikan ya. Oke pertanyaan berikutnya dari Bu Eva SDIT Abdurahman Bekasi. Saya bertanya bagaimana cara mengatasi anak yang pendiam dan cenderung menutup diri dari lingkungannya. Ada yang mau berbagi pengalaman? Wilma : Kalau dulu sih saya pernah dapet murid yang anggak diam ya. Nah karena saya masih baru waktu itu, saya juga bingung. Sarannya sih pada waktu itu adalah coba deketin anaknya.. coba bahas juga dengan orang tuanya.. Setelah ngedeketin anaknya jadi tahu, kalau dia seperti gini karena malu, terus dia nggak nyaman dan pas dibahas dengan orang tuanya memang di rumah itu justru dia aktif dan pegang kontrol, tapi di sekolah justru seperti jago kandang. Kuncinya kalau menurut saya itu dekatin anaknya. Tanya apa yang dia rasakan, dia sebenarnya lebih nyamannya itu sama siapa, kalau main sendiri apa rasanya, kalau main sama temen apa rasanya, pengennya mainnya seperti apa. Terus juga bangun empati anak-anak yang lain, “eh ini temennya main sendirian loh.. gimana rasanya kalau main sendirian, enak nggak.. enaknya gimana? enaknya ditemenin..” ya mereka jadi tahu kalau sendiri itu nggak enak.. oh yaudah jadi aku ajakin dia main gitu. Bukik Setiawan : Jadi tidak hanya membantu murid, tapi juga mengajak murid-murid untuk saling membantu karena kalau ada 1 masalah pasti semuanya juga kena sehingga harus dipecahkan bersama-sama. Chusnul Chotimah : Menariknya dari apa yang dilakukan Bu Wilma , ada konsep ya, kita bisa pakai strength based, Bagaimana sih menggunakan kekuatan untuk mengembangkan diri daripada kita fokus pada kekurangan. Jadi fokus pada kekuatan dan apa yang bisa dilakukan sehingga suatu masalah bisa selesai gitu ya. Nah ini kaitannya sama memanusiakan hubungan menarik sekali sih. Kita bicara kondisinya anak, ada yang punya kelebihan dan kekurangan. Kalau kita fokusnya hanya pada kelemahan anak, itu nggak akan pernah selesai, tapi kalau kita fokus pada kekuatannya anak, terus kita mereSurat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
Guru jangan bosan mengingatkan. Selalu kembali ke kesepakatan yang dibuat
JIKA
Jika tidak berhasil, review lagi kesepakatan tsb
ANAK ANAK
Guru berefleksi : Apa yang kurang, kondisi apa yang kurang mendukung
SERING
Merefleksikan kesepakatan yang dibuat
MELANGGAR KESEPAKATAN
KELAS
Karena kesepakatan tidak kaku, tapi FLEKSIBEL
fleksikannya. Masing-masing anak sadar kelebihannya, lalu bisa melakukan apa itu kolaborasi di kelas bisa jadi semakin baik, relasi jadi semakin baik. Kenapa penting kolaborasi, karena dalam kehidupan nyata kita nggak bisa kerja sendirian sih. Bisa kerja sendirian tapi hasilnya akan beda dengan kerja barengan banyak pihak gitu ya. Bukik Setiawan : Temen-temen guru pasti banyak tahu kalau ranking itu dilihat.. ketika melakukan pelatihan guru juga didorong untuk berprestasilah. Terus tiba-tiba ada 4 orang disini yang ngomong soal memanusiakan hubungan, manajemen kelas dan minta pihak-pihak dalam kelas itu saling kolaborasi. Kan sangat berbeda dengan situasi yang dialami oleh guru-guru. Itu gimana kira-kira. Ini saya kasih pertanyaan yang lebih ekstrem. Bagaimana kalau Ibu-ibu naik pesawat terus pake parasut, terjun payung dan mendarat di sebuah sekolah di daerah itu terus masuk dalam kelas yang situasinya sangat kompetitif, kalau kita sudah sejak awal bisa kolaborasi sudah enak ya tapi dalam situasi tersebut kira-kira apa yang bisa dilakukan? Chusnul Chotimah : Untuk memanage kelas gitu ya? Bukik Setiawan : Untuk mendorong kelas yang kompetitif menjadi lebih kolaboratif. Boki Nur Astuty : Sebenarnya itu bukan culture ya. Kita harus tahu backgroundnya apa dan kenapa itu bisa sampai terjadi. Kenapa kompetitif itu penting buat mereka, terus kenapa itu harus mereka capai gitu. Backgroundnya dulu yang harus kita cari tahu. Karena biasanya sifat itu muncul karena lingkungannya yang membuatnya demikian. Jadi kalau juara 1, semua orang akan anggap itu Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
hebat. Kalau juara yang dibawahnya nggak akan dilihat gitu, memang anggak susah kalau itu terbentuk karena culture, yang kita butuhkan adalah waktu untuk mengubah pandangan orang. Kalau kita mau mengarahkan mereka menjadi kelas yang kolaboratif, kita mesti mulai dari hal-hal yang kecil. Kita tidak bisa secara ekstrim mengubah itu, kalau misalnya kompetitifnya itu dalam bidang akademik, berarti kita lihat , sisi yang lainnya bagaimana. Apakah begitu juga atau tidak,. kalau memang tidak berarti ada harapan untuk di akademiknya. Tapi kalau memang di hal-hal kecil pun mereka seperti itu, ini yang menjadi tantangan besar sekali. Kita mengubahnya harus pelan-pelan. Istilahnya kita ngambil hati dulu, kita ngambil kepercayaan. ngambil hati dulu, mereka percaya nggak dengan apa yang kita percaya kalau mereka percaya bahwa kolaboratif itu sama pentingnya dengan kompetitif itu tadi dan sama-sama bisa mengejar goal-nya. Bukik Setiawan : Jadi butuh kepekaan, pengamatan dan ngobrol dulu untuk melihat celah di mana kita bisa masuk untuk mengenalkan semangat saling membantu dan berkolaborasi. Kalau caranya udah ketemu, itu akan jadi jauh lebih mudah, ada lagi mungkin Bu Wilma? Wilma : Kalau saya, kalau dari saya sih untuk mengubah nilai itu kan semacam nilai diri ya, kita harus tahu dulu dasarnya apa. Apakah itu dari lingkungannya atau sekedar tuntutan aja. Kalau sekadar tuntutan ya bisa kita ubah lah dengan berbagai cara. Mulainya memang harus dari yang sederhana dulu baru nanti ke yang besar. Tapi memang kalau itu memang sudah terpakem dalam dirinya sebagai suatu nilai, itu
45
mengubah kelas kompetitif menjadi kelas kolaboratif
1. Membuat aktivitas kolaboratif di kelas 2.Ubah cara siswa duduk
Satu anak dalam satu ajaran, tidak duduk di posisi yang sama Perpindahan posisi duduk didasari ‘why’ Posisi duduk teamgroup untuk menghindari kompetisi
memang penting banget. Ngerubahnya itu harus ada semacam seperti ngobrol lagi, kita ajak refleksi, kita ajak cerita, kita kasih tahu lewat contoh-contoh yang mereka alami sendiri seperti misalnya dibikin kegiatan-kegiatan yang kolaboratif sehingga ada refleksi juga sehingga pada akhirnya mereka menyadari ada loh hal lain yang dilakukan selain berkompetisi. Saya sih bukannya nganggep kompetisi itu nggak perlu ya, itu perlu karena itu semacam memotivasi diri tapi yang penting itu adalah memilahnya. Kapan kita perlu berkompetisi dan kapan kita perlu berkolaborasi. Jadi dari berbagai bentuk kegiatan yang bisa kita berikan itu, disitu kita ajak anak-anak refleksi. Di sini kamu bisa loh berkompetisi tapi di sini kamu lebih baik berkolaborasi karena goal akhirnya lebih penting buat kamu dibandingkan kompetisinya. Jadi kamu bisa memahami kompetisi itu apa dan bisa memilah penempatannya dimana. Bukik Setiawan : Oke, jadi yang pertama itu bertahap, kemudian yang kedua melakukan kegiatan yang bersifat kolaboratif. Kalau sepanjang tahun acaranya adalah lomba, lomba, lomba. Anak-anak juga nggak punya kesempatan untuk berkolaborasi. Tapi kalau nggak ada kita bikin kegiatan yang kolaboratif meskipun skalanya masih kecil dulu sehingga murid tahu kapan menggunakan kompetisi dan kapan menggunakan kolaborasi, Bu Unun? Chusnul Chotimah : Saya sih nggak ada yang nggak setuju sama yang disampaikan oleh Bu Boki dan Bu Wilma. Semuanya sih setuju, cuma kalau saya dikasih kesempatan untuk terjun ke sekolah yang seperti gitu hal yang pertama saya ubah adalah cara mereka duduk. Jadi
46
kalau dulu posisi duduk menentukan prestasi gitu kan.. hahaha.. Kalau dalam 1 tahun posisi duduknya nggak pernah diubah, si anak selalu di depan. Secara ilmiah pun bisa dibuktikan bahwa dia pasti bisa mendengar penjelasan gurunya dengan lebih baik dibandingkan anak yang posisinya di belakang, sudah paling mungkin bahwa yang duduk di depan paling mendapatkan penjelasan yang jelas dibandingkan dengan yang duduk di belakang. Bukik Setiawan : Jadi diubah seperti apa? Chusnul Chotimah : Jadi itu bisa diubah, satu anak dalam 1 tahun ajaran, tidak duduk di posisi yang sama. Kedua, duduknya juga nggak dengan anak yang sama. Tapi yang paling penting, why-nya juga harus dijelaskan. “Menurut kamu gimana?” Kalau anak-anak ngerasa nggak penting atau nggak relate di awal juga nggak apaapa selama kita menjelaskan maksud dan tujuannya. Itu hal teknis yang perlu dilakukan, terus kedua duduknya seperti apa. Kalau masalahnya kompetisi, sudah pasti duduknya harus teamgroup. Jadi nggak ada yang salah dengan duduk sendiri-sendiri asal tujuannya jelas tapi kalau tujuannya itu jangan sampai nyontek dll, itu kan berarti gurunya sendiri udah punya prasangka. Jadi itu juga sudah punya tujuan untuk meningkatkan kompetisinya. Jadi kalau mau kolaborasi, duduknya harus berkelompok.. berkelompok juga bisa banyak strateginya. Jadi, kepentingannya guru nggak bisa selalu diutamakan. Jadi, duduk berkelompok itu juga harus ada alasannya gitu. Gimana ya kita menentukan duduk secara berkelompok, siapa yang duduk dengan siapa kira-kira kali ini kita duduknya berdasarkan apa.. apakah harus saling interest. Itu juga 1 hal yang harus dipikirkan. Minat, kepentingan Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
untuk menyerap informasi atau kerjasama dan itu boleh diputuskan nggak harus dari anak, guru juga boleh memutuskan pada saat tertentu, jadi jangan khawatir bahwa seolah-olah kita nggak punya kontrol gitu. Tadi kan kata kuncinya bahwa itu harus dibagi.. jadi, gurunya yang menentukan, lalu muridnya.. atau kombinasi dari keduanya selama tujuannya jelas.. kemudian kejelasan dalam pembagian peran.. hari ini mau ngapain, tugasnya apa.. kita harus ngapain supaya tujuannya tercapai.. kata-kata kita harus selalu diucapkan.. Bukik Setiawan : Jangan kalian.. kalian.. tapi sebelumnya kita ngomong tentang tempat duduk dulu karena ini menarik. jadi menurut Bu Unun ya.. untuk membangun semangat kolaborasi itu harus mengubah tempat duduk.. saya nggak tahu.. tapi sebaiknya di cek masing-masing, ada nggak sih ayat, undang-undang atau peraturan yang mengatur bagaimana tempat duduk di ruang kelas kita itu? Silahkan di cek entah di peraturan sekolah, dinas pemda, UU pendidikan.. tolong di cek apakah ada peraturan yang mengatur.. karena gini.. dulu terjajah sekarang sudah merdeka.. menteri-nya sudah ganti, kebijakan, kurikulumnya sudah ganti, tapi posisi tempat duduk belum merdeka.. dari dulu gitu, ada papan di depan, meja dan kursi guru daan kemudian murid berjajar menghadap ke guru.. artinya.. kalau memang nggak ada peraturannya, silakan bereksperimen.. sebenarnya ketiga tips tadi itu adalah sesuatu yang bisa kita eksperimenkan selama tidak melanggar.. legal semua kan? Hahaha.. jadi selama itu tidak melanggar, silakan bereksperimen mengubah tempat duduk tadi agar lebih kolaboratif.. seperti itu. Nah ada tips lagi nggak untuk memastikan manajemen kelas kita sudah siap memastikan mempersiapkan anakanak memasuki proses belajar? Boky Nur Astuty : Fleksibel dan reflektif, setelah semua sudah ditetapkan. Pembagian tanggung jawab sudah ada. Selanjutnya yang dilakukan adalah kita harus menjadi fleksibel dan reflektif karena itu kan proses yang berkembang. Kita tidak boleh begitu selesai ditetapkan itu sudah.. tapi kita harus juga melihat perkembangan situasi.
jelek sih. Cuma 2 kondisi tadi tidak mencerminkan kondisi yang reflektif dan fleksibel itu tadi. Kalau balik lagi ke memanusiakan hubungan, kita menjalani sesuatu berdasarkan kondisi anak pada saat itu, jadi kita menyadari bahwa anak beda-beda. Nah dalam kasus yang underplanning di mana ada pembiaran tersebut, bisa jadi anak-anak kurang tantangan, yang overplanning, bisa jadi anak-anak kelebihan tantangan. Yang harus dipertimbangkan guru harus balance, jangan under atau overplanning. Bukik Setiawan: Jadi itu fungsinya refleksi ya.. untuk melihat apakah kita sudah ada di posisi yang tepat.. tidak under maupun over.. tidak kurang maupun berlebihan dalam perencanaan. Chusnul Chotimah: Betul. Bukik Setiawan: Kalau Bu Wilma? Wilma: Kalau dari saya sih tambahannya itu harus konsisten karena apapun kesepakatan yang kita buat, kita tunjukkan ke anak kalau kita bisa konsisten. Kesepakatan dan konsekuensinya kita tunjukkan konsistensi kita, jadi anak-anak tahu bahwa itu bisa diubah namun mereka juga harus tahu alasan diubahnya itu apa, agar mereka tahu itu harus kita tunjukkan dulu bahwa kita konsisten, nggak bisa diubah sembarangan loh karena gini gini gini. Bukik Setiawan: Susah konsisten.. Chusnul Chotimah: Konsisten menjadi tidak konsisten hahaha Tapi cerita-cerita di awal tadi selain muridnya manusia, gurunya juga kan manusia.. selain tadi berbagi tanggung jawab, berbagi kesepakatan, memahami dan membantu selama prisip itu dikerjakan, kita akan tetap bisa tumbuh dan berkembang sebagai guru..
Bukik Setiawan: Jadi proses manajemen kelas itu bukan proses di awal semester saja tapi berkelanjutan sampai selesai akhir semester dan selama proses itu, Bu Boki punya tips untuk fleksibel dan reflektif.. kesepakatan itu sesuatu yang bisa diubah berdasarkan refleksi tadi, entah itu refleksi gurunya sendiri atau refleksi guru dengan murid. Chusnul Chotimah: Saya mau menambahkan sedikit boleh ya.. kecenderungannya kasus ekstrimnya selama saya sekian tahun ini ketemu guru dari berbagai daerah.. ada 2 tipe.. tipe yang underplanning atau over planning.. jadi yang kaitannya sama manajemen kelas itu ada 2. Yang underplanning itu yang ya udahlah, nanti anak-anak biarkan dia tumbuh, kita kasih kesempatan untuk bereksplorasi dengan tidak merencanakan banyak hal. Ada lagi di sisi yang lain itu, over planning, jadi semua harus teratur tersusun, terstruktur dan terencana. Dengan harapan semua rencananya itu berjalan sesuai dan hasilnya mungkin juga baik. Kalau saya liat dua-duanya nggak ada niat yang Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua
47
undangan menulis Memahami Murid Tulis dan bagikan pengalaman Anda, jadi lah guru yang menginspirasi guru di seluruh penjuru nusantara. Topik manajemen kelas ini mencakup: 1. Asesmen awal sebelum mengajar 2. Memahami profil orangtua murid 3. Mengenali disposisi/profil belajar murid 3. Berkenalan yang bermakna di kelas Kirimkan tulisan Anda ke Surat Kabar Guru Belajar agar bisa dipelajari oleh guru di seluruh Nusantara. Cara mengirimkan tulisan: Unduh panduan Penulisan #PraktikCerdas di http://bit.ly/MenulisKGB
Mengajar bukan sekadar perkara menyampaikan pelajaran atau memandu pengalaman belajar anak. Mengajar adalah membangun relasi antara guru dengan murid. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk memahami murid-muridnya sebelum pengajaran dilakukan. Pemahaman terhadap murid yang akan membantu guru untuk memulai perkenalan, membangun hubungan hingga mengatur strategi pengajaran yang tepat. Kami mengundang rekan-rekan guru untuk menulis pengalaman dalam memahami murid sebelum atau di awal proses mengajar.
Tuliskan sesuai panduan dan simpan dalam file dengan nama #PraktikCerdas “Nama Penulis” Emailkan file beserta foto diri dan foto aktivitas dengan subyek email #PraktikCerdas “Nama Penulis” ke
[email protected] paling lambat kami terima tanggal 10 Februari 2018. Karena tulisan di Surat Kabar ini mempunyai format yang unik, silahkan baca juga Tips Menulis di Surat Kabar Guru Belajar di http://bit.ly/TipsMenulis1 Kami juga menerima tulisan Anda mengenai pengalaman mengajar atau membuat kegiatan belajar di luar topik utama. Silahan ikuti panduan penulisan yang telah dicantumkan di bagian atas.
Buku-buku Kampus Guru Cikal Kini hadir di
48
http://bit.ly/TokopediaKGC
Surat Kabar Guru Belajar - Edisi VII Tahun Kedua