Suplemen SUPLEMEN
Newsletter Edisi 64/Agusutus/2003
Newsletter Edisi 64
Pengantar Redaksi: Newsletter Edisi 64 kali ini menampilkan hasil rumusan yang disusun oleh para redaktur pada workshop AIDS dan kesehatan Reproduksi untuk redaktur/Produser pada 22 Agustus lalu. Draft ini diharapkan nantinya dijadikan rekomendasi sebagai acuan bagi pers dalam meliput, menulis dan memberitakan tentang isu AIDS maupun Kesehatan reproduksi. Namun sebelum mencapai pada hasil rumusan yang dibuat masing-masing kelompok, tidak ada salahnya menyimak beberapa hasil diskusi dalam catatan kelompok mengenai topik bahasan Akses Obat ARV dan Perempuan dan KTD
HASIL DISKUSI
AKSES OBAT ARV KELOMPOK MEDIA CETAK I.
B. Jika ARV belum bisa diproduksi, maka langkah yang dilakukan:
A. Jika obat generik ARV sudah bisa diproduksi di dalam negeri:
●
Pasien berhak untuk tahu mengenai informasi tersebut dari dokter yang merawatnya, mengingat:
●
1. Tidak semua Odha sudah mengetahui apa ARV generik/ paten dengan sempurna 2. Dokter sendiri tidak tahu kondisi ekonomi pasien, dan 3. Mitos yang masih kuat bahwa obat generik berkualitas lebih rendah daripada obat paten
●
●
●
●
Oleh karena itu dokter wajib menginformasikan pada pasien bila obat generik tidak kalah dengan obat paten. Bahkan juga dapat dikatakan kualitas obat paten dan generik sama. Bahkan obat generik komposisinya sama dengan obat paten. Untuk itu pemerintah wajib melakukan sosialisasi seperti lewat IDI/Farmasi dengan memberi pengetahuan bahwa kemanjuran obat generik tidak kalah dengan obat paten. Sementara masyarakat diberi beberapa pilihan sekaligus pengetahuan mengenai obat generik dan obat paten.
●
Perlu adanya pengadaan obat paten dengan harga subsidi, mengingat ARV akan dikonsumsi seumur hidup. Upaya subsidi ini perlu dilakukan oleh pemerintah, perusahaan obat dengan pressure LSM dalam dan luar negeri. Tapi LSM juga dapat membantu Tetap perlu adanya kebijakan mengenai pengadaan obat tersebut pada institusi (RS/lainnya) yang mendapat kewenangan. Hanya jika telah diproduksi perlu adanya peningkatan akses pelayanan yang terpadu ke PUSKES (Pusat kesehatan). Kebijakan ini dapat disosialisasikan kepada dokter yang sudah terlatih/dirujukan oleh dokter yang merawat ke dokter yang terlatih. Sekalipun subsidi dapat diberikan untuk mendatangkan obat paten dari luar, kemandirian untuk memproduksi terus dilakukan.
Karena : obat impor bisa mengalami kesulitan (pajak, aturan-aturan internasional). Dan kita dapat harga yang lebih murah jika memproduksi sendiri.
Masalahnya: 1) Tidak bisa diingkari adanya ‘sindikat’ dalam perdagangan obat 2) Mitos pada diri sebagian kecil dokter bahwa obat paten lebih baik 3) Diduga ada ‘permainan’ dalam penulisan resep. Dokter bisa memberi informasi dan mempersilakan pasien memilih obat, tapi kendalanya terkadang dokter ‘asal’ saja dan menuliskan misal dari 4 obat hanya 1 yang generik. Karena itu adanya anjuran pemerintah pada dokter dalam memberikan resep kepada pasien, sedang masyarakat sendiri berhak meminta obat generik ke dokter.
KELOMPOK TELEVISI A. Jika ternyata obet generik ARV bisa diproduksi di dalam negeri: 1. Pasien sebagai pengguna berhak mendapat informasi tentang obat paten atau generik (komposisi, manfaat, harga, efek samping, daya kerja obat) menyangkut ekonomi 2. Wajib ; karena pasien berhak mendapat informasi secara terbuka (jujur) menyankut ekonomi
1
SUPLEMEN Newsletter Edisi 64/Agusutus/2003
3. -
3. Wajib, sosialisasi dan pengawasan obat oleh pemerintah maupun lembaga terkait. Karena tanpa sosialisasi, pasien tidak tahu produk yang akan digunakan. Tanpa pengawasan, pasien dikhawatirkan tidak mendapat informasi yang benar tentang obat paten dan generik.
Pemerintah perlu didorong untuk membuat kebijakan, karena: Untuk menekan harga Kemudahan memperoleh Penanggulangan lebih efektif.
B. Jika obat generik ARV belum bisa diproduksi di dalam negeri: 1. Diperlukan adanya upaya pengadaan obat paten dengan harga subsidi, karena harga obat mahal, sementara pasien sebagaian besar berasal dari kalangan kurang mampu. Upaya mengadakan obat subsidi melalui : a. Pemerintah (Depkes, Depdagri, Parlemen) b. Swasta (Perusahaan Farmasi, LSM, IDI) Bentuk kebijakan mengenai pengadaan obat, subsidi dilakukan secara medis dan sosial. 2. Perlu adanya kebijakan sosialisasi dan distribusi, caranya dengan: a. Memanfaatkan media (cetak, TV, radio) b. Kampanye, penyuluhan, brosur, striker, spanduk c. Pelatihan (pers, relawan, Odha, petugas medis)
HASIL DISKUSI
PEREMPUAN DAN KTD KELOMPOK MEDIA CETAK II
B. Kewajiban pihak-pihak terhadap perempuan dengan KTD: 1. Rumah Sakit/Klinik : ● Menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dan terjangkau untuk semua golongan ekonomi. ● Mengutamakan keselamatan pasien daripada birokrasi/ bisnis oriented 2. Dokter atau bidan atau tenaga medis lain : ● Memberi pelayanan setara dengan pasien lain atau tidak membedakan status ekonomi pasien dan atau rasialisme. ● Memberi informasi yang lengkap tentang kehamilan dan risiko-risikonya. ● Memberi informasi tentang obat-obatan. 3. Pemerintah ● Menjamin hak pasien dengan membuat kebijakan berupa perlindungan terhadap hak-hak pasien. ● Menjamin perlindungan terhadap kewajiban tenaga medis. ● Melakukan pengawasan dan penindakan/sanksi atas kebijakannya tersebut.
A. Perempuan dengan Kehamilan yang tidak dikehendaki: 1. BERHAK memeriksakan kehamilan, memperoleh pelayanan, dsb karena : ● Pada dasarnya pasien adalah konsumen yang harus mendapatkan pelayanan sebaik-baiknya. ● Kemampuan ekonomi, pengetahuan dan kondisi tubuh pasien berbeda-beda. 2. Pasien Berhak memperolah informasi tentang kehamilan dan risiko yang dihadapi, karena: ● Pasien berhak atas tubuhnya ● Dengan informasi yang dia peroleh, pasien dapat menetukan tindakan apa yang diambil terhadap kehamilannya. 3. Berhak memperoleh konseling. Untuk mendapatkan Second Opinion sebagai penyeimbang emosi pasien dan atau orang-orang yang terkait dengan kehamilannya. 4. Berhak memperoleh pelayanan yang setara karena apapun pilihannya, tenaga medis harus menghormati dan memberi pelayanan yang terbaik. 2
SUPLEMEN Newsletter Edisi 64/Agusutus/2003
1. RS/Klinik: Berkewajiban memberi pelayanan kesehatan yang memadai. Alasan: Sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang tertera dalam kode etik RS/Klinik 2. Dokter/Bidan: Berkewajiban memeriksa, menganalisa, merawat dan melakukan konseling. Alasan: Sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang tertera dalam kode etik profesi kedokteran atau bidan 3. Pemerintah Berkewajiban mengeluarkan PP/UU yang mengatur batas-batas dan hak serta kewajiban semua unsur terkait (Depkes, RS, Klinik, Dokter, Bidan, Pasien, Apotik, dll) Alasan: Pemerintah harus menciptakan iklim yang kondusif dan memberikan rasa nyaman bagi warga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya juga dalam mendapatkan hak-haknya.
KELOMPOK TELEVISI A. Perempuan dengan kehamilan yang tidak dikehendaki : Berhak memperoleh pelayanan yang standar sesuai dengan pasien lain karena: ●
●
● ●
Setiap manusia berhak mendapatkan pelayanan yang sama sesuai UUD 45; etika kedokteran dan agama Perempuan sebagai pasien siap menghadapi risiko yang akan ditanggungnya. Setiap alternatif adalah menjadi pilihan terbaik pasien Apapun keputusan pasien, dirinya wajib mendapatkan hak pelayanan yang setara
B. Sejak diketahui hasil pertama hingga keputusan meneruskan/menghentikan kehamilan, ada sejumlah kewajiban pihak tertentu terhadap perempuan dengan KTD:
HASIL RUMUSAN
REKOMENDASI Menghimbau pemerintah untuk tidak mendiskriminasi Odha dalam berbagai aturannya ● Mengimbau agar pemerintah/Depkes memberikan fasilitas dan kemudahan bagi Odha dalam berobat 5. Pemerintah/Depkes ● Membuat peraturan, surat keputusan menyamakan hakhak Odha sebagai warga negara ● Membenahi pelayanan kesehatan dan distribusi obat ● Mengupayakan subsidi obat murah ●
KELOMPOK TELEVISI Rekomendasi tayangan yang tepat tentang Odha melalui televisi. Program : Talkshow interaktif Durasi : 1 jam (6 segmen) Judul : Odha, Saudara Kita Design/Setting : 1. Presenter: Mengarahkan pembicara untuk menemukan dan membahas bahwa Odha adalah saudara kita juga. 2. Ulama : Menanamkan pentingnya nilai-nilai keagamaan sejak dini ● Menepis anggapan Odha sebagai sebuah kutukan ● Menekankan derajat manusia di hadapan Yang Maha Kuasa adalah sama 3. Dokter Ahli: ● Menjelaskan masih adanya pro dan kontra menghadapi pasien Odha ● Menerangkan Odha dan berbagai faktor penyebabnya ● Data terkini jumlah Odha dan 80% adalah dari kalangan pengguna narkoba dan masyarakat kelas bawah 4. Pejuang/Aktivis Odha ● Pengalaman menangani Odha ● Memberi masukan kepada seluruh lapisan Odha secara wajar (termasuk untuk tidak mengisolasi)
KELOMPOK RADIO 1. Meliput dan Menyiarkan : a Identitas disamarkan, kecuali atas kemauan yang bersangkutan b. Subjek tidak difokuskan pada kehidupan pribadi tetapi pada penyakitnya c. Gunakan pendekatan (jurnalisme) empati d. Gunakan referensi / ahli yang kompeten e. Menyajikan data yang akurat dan terbaru f. Menghindari penggunaan kosa kata maupun ungkapan yang bermakna ganda 2. Menyiarkan Program Talk Show a. Kualifikasi Presenter ● “Well informed” mengenai topik ● Mampu menerapkan jurnalisme empati
3
SUPLEMEN Newsletter Edisi 64/Agusutus/2003
Memiliki keterampilan berkomunikasi / berbahasa yang efektif ● Keterampilan dalam membagi waktu ● Tidak mudah terpancing dengan respon yang cenderung membelokkan b. Pemilihan Narasumber : ● Kompeten : memiliki pengetahuan berkaitan dengan topik ● Memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik ● Keterwakili pihak terkait ●
KELOMPOK MEDIA CETAK II 1. Wartawan membekali diri dengan pengetahuan dasar tentang Odha ● Melakukan Investigasi Terhadap : Pasien, keluarga Pasien, Konselor, Pihak-pihak berwenang ● Konfirmasi : Dokter yang langsung menangani Odha, Dokter ahli/pakar Odha, Organisasi kedokteran 2 Untuk menghindari kepentingan pihak tertentu : ● Dilakukan penggalian informasi kepada : Pakar, LSM, DPR yang betul-betul peduli terhadap persoalan Odha -● Mengarahkan sumber berita agar berita agar berbicara tentang hak-hak Odha. 3. Untuk menghindari kepentingan bisnis : Dilakukan pencarian informasi kepada : ● Lembaga yang peduli terhadap Odha, Instansi terkait, Pakar-pakar Odha, Legislatif 4. Mencari sumber-sumber berita yang berwenang terhadap persoalan kemanusiaan untuk : ● Mendorong agar Pemda melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusat.
KELOMPOK MEDIA CETAK I Perempuan dengan KTD (Kehamilan tidak diinginkan) seringkali menghadapi anggapan tertentu yang menyudutkan dirinya. Kenyataan ini bisa menjadi kendala bagi perempuan tersebut untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Padahal AKI (Angka Kematian Ibu) di Indonesia cukup tinggi di mana aborsi tidak aman memberi kontribusi cukup tinggi pula. Realita ini tidak bisa dibiarkan terus. Dalam hal ini perlu ada dukungan dan sosialisasi melalui media terhadap pengajuan RUU Kesehatan Reproduksi. Di sini selain LSM juga dari media massa. Dengan demikian kebijakan tidak sekadar menjadi wacana. Tentu saja dalam melakukan sosialisasi media massa juga punya norma dan etika agar tidak menyudutkan perempuan.
Sumber : Legislatif (Politik), Pakar (Sosial), Pengamat (Hukum), LSM (Spesialisasi), Tokoh masyarakat.
1. Di dalam melakukan peliputan, penulisan dan pemberitaan masalah KTD selain tetap memegang kode etik jurnalistik yang umum wartawan (dan juga redaktur) perlu membekali diri dengan bingkai sensitivitas jender. Hal ini dapat dilakukan melalui: ● Pelatihan-pelatihan bagi jurnalis dari seluruh tingkatan (reporter, jurnalis bahkan pemimpin redaksi) 2. Dalam meliput, menulis dan memberitakan wartawan hendaknya melakukan pilihan kata-kata yang justru tidak melecehkan perempuan KTD (tulisan tidak memojokkan perempuan) 3. Media massa tetap melakukan kontrol sosial terhadap kebijakan-kebijakan publik yang dirasakan tidak adil/tidak sensitif gender (di ujicobakan dan diterapkan dalam Perda (Peraturan daerah) dan Syariat Islam). Kontrol tetap harus dilakukan dengan bingkai sensitivitas gender. Mengingat tingginya angka kematian ibu (373/100.000 kelahiran) dan aborsi memberi kontribusi 11,1%, aturan/kebijakan bagi pelaksanaan aborsi yang aman yang dilindungi hukum perlu dengan syarat : 1. Dilakukan dokter terlatih dan tersertifikasi 2. Di tempat yang penuhi syarat minimal 3. Konseling pra/pasca oleh konseling terlatih 4. Tidak komersial
Dituangkan : Dalam bentuk tulisan feature dengan tetap mengedepankan kode etik jurnalis dan melindungi hak-hak Odha Tujuan : 1. Meluruskan anggapan yang keliru tentang Odha 2. Membuka wawasan mengenai obat ARV generik
Oleh karena itu perlu ada kelompok penekan baik media massa dan LSM, untuk mensoalkan masalah dan kebijakan ini agar tidak sekadar jadi wacana. Dalam hal ini media dan LSM tetap membarengi kebijakan dengan pengawasan serta sosialisasi ke masyarakat. 4