Arial untuk judul, informasi penulis, dan judul bagian utama
Sunnah dalam Kitab al-Sunnah al-Rasuliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah Pendahuluan Akademisi Barat yang mendukung pemikirannya antara lain Wael B. Hallaq, Charlez Kurzman dan bahkan Eickelman sampai menyebut Syahrur sebagai Immanuel Kant bangsa Arab. Dari kalangan yang kontra pun tidak sedikit, kelompok ini didominasi oleh para ulama dari dunia Arab, seperti Said Ramadhan al-Buti,10 Yusuf al-Shaidawi,11 bahkan tokoh yang disandingkan dengannya dalam hal dekonstrusi pembacaan nas agama, Nasr Hamid Abu Zaid juga mengkritiknya (Qaem Aulasyahied, 2015: 128)
Bigorafi Syaharur Metode dan Pendekatan Metode lingusitik: anti sinonimitas Ibnu Farisi Di antara prinsip hermeneutika yang Syahrur yakini adalah; pertama, pembaca sangat mungkin mengetahui maksud penulis dengan membaca teks saja, tanpa harus merujuk pada penulis teks. Kedua, tidak seorang pun yang berhak mengklaim keabsolutan pemahaman atas apa yang dia baca. Ketiga, ketiadaan seorang Nabi pasca Nabi Muhammad SAW, meniscayakan bahwa pemahaman terhadap teks-teks keagamaan akan selalu relatif. Keempat, fleksibilitas makna dapat diterapkan sesuai kondisi sosial yang berubah. Kelima, al-Qur’an dan teks keagamaan lainnya -termasuk sunnah- tidak mengalami redudansi, semantik dan sinonimitas (persamaan makna suatu kata) absolut. (Qaem Assyahied, 2015: 133) Tajfif Manabi’ al-Irhab
Oleh Sibawaih dikatakan pula pendekatan yang digunakan Syahrur dalam mengonstruksikan pemikiran keislamannya dalam menentukan suatu hukum syara’, menggunakan pendekatan hermeneutik dengan penekanan pada aspek filologi. Sibawaihi, “Pembacaan Qur’an Muhammad Syahrur”, dalam Jurnal Tas}wi>r al-Afkar, Lapesdam NU, edisi No, 12, 2002, 130.
Kritik Pemahaman Sunnah Klasik Pemahamam Kontemporer terhadap Sunnah Anti Sinonimitas dalam al-Qur’an Ada tiga kata dalam al-tanzil al-hakim yang ikut bersama dengan kata sunnah menggambarkan bentuk segiempat yang menjelaskan kata ta’at di tengahnya, yaitu kata alittiba’, al-qudwah, dan al-uswah. Keempat kata ini dilihat maknanya dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah karya Ibnu Farisi: 1. Kata ittiba’ berarti tidak menyimpang dari suatu topik, atau mengikuti. Kata ini bisa bermakna terpuji, seperti mengikuti para Nabi dalam ilmunya dan para Rasul dalam petunjukknya (Q.S. Ali Imran: 31) dan juga bisa bermakna tercelah, seperti mengikuti nenek moyang secara membabi-buta (Q.S. Luqman: 21)
2. Kata qudwah berarti mengadopsi/menyesuaikan, dan menyamakan dengan yang lain. Kata ini disebut di dalam dua surah, yaitu surah al-An’am: 90 dan surah al-Zukhruf: 23. Makna qudwah terkadang berupa keyakinan dan metode dalam berpikir dan terkadang berupa perkataan dan perbuatan dalam berprilaku. Makna qudwah juga mencakup hal positif dan negatif sesuai dengan tempat dan masalahnya. Dalam makna positif misalnya, mengikuti petunjuk para Nabi sebagaimana dijelaskan dalam surah al-An’am: 90 dan dalam makna negatif seperti mengikuti keburukan nenek moyang sebagaimana dijelaskan dalam surah alZukhruf: 23. 3. Kata uswah memiliki makna keteladanan dan keshalihan. Kata uswah disebut sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an, yaitu Akhirnya, kita tegaskan di sini bahwa kata al-uswah mesti dalam kapasitas Muhammad sebagai Rasul karena risalah tidak ada di dalamnya paksaan. Begitujuga dalam kapasitas Muhammad sebagai Nabi, karena ia bisa menjadi pemimpin, politikus, dan panglima perang. 4. Kata sunnah berasal dari kata bahasa Arab, sanna, yang berarti kemudahan dan mengalir dengan lancar, seperti dalam kalimat ma’nun masnun, yang berarti air yang mengalir dengan dengan lancar (549/167/93). Sunnah adalah metode dalam mengaplikasikan hukum-hukum umm al-kitab secara mudah tanpa keluar dari hukum-hukum Allah dalam masalah-masalah yang terkait dengan hudud atau menetapkan batasan-batasan yang bersifat lokal-temporal dalam masalah-masalah di luar hudud (549/167) Oleh karenanya, apa yang telah diperbuat oleh Nabi di semenanjung Arab pada abad ke-7 M. merupakan model pertama bagaimana berinteraksi dengan Islam pada rentang ruang dan waktu tertentu (549/167). Klasifikasi Sunnah: Sunnah Rasuliyyah dan Sunnah Nabawiyyah Setelah menjelaskan hubungan keempat kata di atas dengan kata ta’at, Syahrur mengelaborasi konsep sunnah dengan mengklafikasikannya ke dalam dua kategori, yaitu sunnah rasuliyyah dan sunnah nabawiyyah. Adapun sunnah nabawiyyah terdiri dari ilmu-ilmu yang mengandung pembenaran dan pendustaan dan sedangkan sunnah rasuliyyah terdiri dari berbagai hukum dan ajaran yang mengandung kepatuhan dan kedurhakaan (193). Oleh karenanya, dalam kapasitas Muhammad sebagai Rasul, ia memiliki peran umum yang sangat pokok, yaitu menyampaikan risalah yang diwahyukan kepada manusia dengan segala bentuk perintah dan larangan untuk dipatuhi dan dalam kapasitas Muhammad sebagai Nabi, ia berperan menyampaikan kepada manusia ayat-ayat al-Kauniyyah (tentang alam semesta), dan memberitahu mereka tentang penciptaan awal yang dapat menjelaskan
bahwasanya ia adalah seorang Nabi, di bawah pengetahuan umatnya tentang sifat kejujuran dan ke-ummi-annya (193). Sunnah rasuliyyah memuat tiga macam ajaran, yaitu al-sya’air (ritual-ritual keimanan), akhlak, dan perundang-undangan (tasyri’) atau teori hudud. Ajaran-ajaran ini tidak mengalami perubahan dan pergantian karena tidak tunduk pada perubahan-perubahan yang bersifat lokaltemporal (117). Ketiga ajaran tersebut merupakan ranah uswah, ta’at, qudwah, dan ittiba’. a. Ritual-ritual keimanan (sya’ir). Kata sya’ir adalah jamak dari kata sya’irah. Kata sya’ir disebutkan empat kali dalam altanzil al-hakim, yaitu al-Baqarah: 158; al-Maidah: 2; al-Hajj: 32; dan al-Hajj 36. Syahrur mendifinikan kata ini sebagai apa yang diperintahkan oleh Allah dan diberi taklif kepada Muhammad untuk menjelaskannya sebagai bentuk aplikasi surah al-Nur: 56. Dengan demikian, sholat, zakat, puasa, dan haji termasuk dalam definisi ini. b. Akhlak Akhlak adalah norma-norma kemasyarakatan (manzumat al-qiyam) dan teladan-teladan utama (al-muthul al-ulya) yang tunduk pada fase-fase historis sejak Nabi Nuh dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw. yang pada awalnya datang dengan bentuk wasiat-wasiat. c. Perundang-undangan (al-Tasyri’) Cabang ketiga ini merupakan wilayah-wilayah ijtihad yang di dalamnya terbentuk risalah penutup Nabi Muhammad Saw yang menegaskan batas-batas Allah dalam dua wilayah yang pasti: yakni wilayah ‘if’al (kerjakan) dan wilayah la taf’al (jangan dikerjakan). Wilayahwilayah ijtihad ini tidak mungkin ditemui pada cabang kedua dan ketiga, karena tidak ada ruang sama sekali dalam kedua cabang tersebut (212).
Dalam sunnah risalah ini, kita juga perlu memilah dua bentuk ketaatan, yaitu ketaatan yang tersambung dan ketaatan yang terputus. 1. Ketaatan tersambung (al-ta’at al-muttasilah) Bentuk ketaatan ini memadukan antara ketaatan kepada Rasul dan ketaatan kepada Allah, sebagaimana firaman Allah: “Dan ta’atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Q.S. Ali Imran: 132). Ritual sholat, zakat, puasa, dan haji termasuk dalam bentuk ini dan dua ritual pertama bersifat individu. Dalam sholat misalnya, kewajiban sholat tertuang dalam Q.S. alNisa’: 103. Pada ayat ini masih umum dan tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cara sholat itu dipraktekkan. Maka dalam hal ini, seperti dalam firman Allah: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ta’atlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat” (Q.S. al-Nur: 56), kita merujuk kepada praktek sholat Rasul, sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
mempratekkannya”. Dari ayat al-Nur tadi, perlu digaribawahi bahwa kepada Rasul hanya pada shalat dan zakat dan tidak dimaksudkan dalam segala hal secara mutlak (194). 2. Ketaatan terputus (al-ta’at al-munfasilah) Ini adalah bentuk ketaatan yang dijelaskan dalam firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. al-Nisa’: 59). Ketaatan kepada Rasul ini diposisikan secara terpisah dari ketaatan kepada Allah, yaitu ketaatan yang berlaku pada masa Rasulullah hidup dan gugur setelah beliau wafat. Bentuk ketaatan ini antara lain dalam masalah-masalh sehari-hari dan hukum-hukum yang bersifat temporal.
Sunnah nabawiyyah terdapat dalam dua hal, yaitu kisah-kisah Muhammad dan berbagai ijtihadnya. Tiga Kedudukan Muhammad Saw. Ada tiga kedudukan Muhammad Saw. yang disebutkan dalam Q.S. al-Ahzab: 40: 1. Muhammad sebagai seorang laki-laki Tidak ada kemaksuman struktural dalam kedudukan Rasul (?) Muhammad secara struktural adalah (rijal min rijalikum). Ini merupakan kedudukan khusus dalam kehidupan Muhammad secara persolan seperti manusia. 2. Muhammad sebagai Nabi 3. Muhammad sebagai Rasul Kesimpulan