Sumber Daya Hutan 2.2.1 Fungsi hutan Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang didominasi oleh pohon-pohon dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu. Hutan merupakan sumber daya biologis yang terpenting di atas bumi dengan sifat-sifat sebagai berikut: a.
Hutan merupakan tipe tumbuhan yang terluas distribusinya dan mempunyai produktivitas biologis yang tertinggi dengan luas area seitar 22% dari luas daratan di bola bumi ini, walaupun ada kecenderungan untuk semakin berkurang.
b. Hutan mencangkup kehidupan seperti tumbuhan dan hewan, serta bukan kehidupan seperti sinar, air, panas, tanah dan sebagainya yang bersama-sama membentuk struktur biologis dan fungsi kehidupan. c.
Regenerasi hutan sangat cepat dan kuat disbanding dengan sumber daya alam lainnya. Pemudaan hutan dapat secara alammi maupun dengan campur tangan manusia.
d. Hutan disamping menyediakan bahan mentah bagi industry dan bangunan, juga melindungi dan memperbaiki kondisi lingkungan dan ekologi. Pohon-pohon tumbuh di tempat yang cukup basah, yang pada masa pertumbuhannya yang lama dan membutuhkan banyak air antara 380 sampai 500 milimeter per tahun. Musuh hutan utama adalah penyakit, hama dan kebakaran, yang kebakaran hutan disebabkan oleh manusia. Hutan dimanfaatkan oleh manusia sudah sejak zaman primitif, digunakan untuk mengumpulkan makanan, diambil kayunya untuk dijadikan bahan bangunan pokok di dunia, sebagai kayu bakar, dan juga untuk membuat kapal, senjata, ataupun alat-alat dapur. Jumlah penduduk yang semakin bertambah sehingga hasil hutan tidak bisa dipertahankan lagi, sehingga terjadi peralihan pola hidup dengan membuka hutan dijadikan lahan pertanian. Dalam proses selanjutnya pengolahan tanah dan lahan pertanian merupakan cara utama untuk produksi pangan. Hal ini berlangsung secara terus-menerus hingga mempercepat berkurangnya areal hutan. Dipihak lain kayu hutan terus dihasilkan untuk bahan mentah membuat kertas, papan, dan macam-macam barang kimia lainnya. Dengan semakin meningkatnya penggunaan hutan untuk tanah pertanian dan berkembangnya industry kayu, berakibat terasa kekurangan kayu untuk bahan mentah dan bahan pokok keperluan hidup. Kekurangan kayu di dunia terasa pada abad ke-14 karena kayu adalah bahan mentah yang sangat dominan, maka pembukaan hutan untuk tanah pertanian sangat mengurangi pasokan kayu sangat terasa pada awal revolusi industry (awal abad ke-17
di inggris) dan (abad ke-19 di amerika serikat), dan seja tahun 1980-an di Indonesia. Akibatnya segala macam yang berhubungan dengan penebangan kayu dimasukkan dalam permasalahan lingkungan di Indonesia. Perhatian yang lebih luas masalah hutan diwujudakan melalui ketentuan-ketentuan mengenai batas areal hutan Negara pada tahun 1891 yang ditangani departemen pertanian atau dinas kehutanan amerika serikat. Kemudian Giffort Pinchot dilaksanakan system pengelolaan hutan sebagai sumber daya alam. Kekhawatiran mengenai terancamnya kelestarian hutan diungkapkan oleh manatan menteri kehutanan Soejarwo yang mengatakan bahawa tingkkat gangguan hutan di Indonesia dewasa ini semakin hebat dan bila tidak dikendalikan maka akan mengancam kelestarian dan keutuhan hutan di Indonesia. Yang beralasan bahwa fungsi hutan yang penggunaan beragam (multifungsi) bukan hanya penghasil kayu tetapi juga tataguna tanah, tataguna air, penyerap karbon (CO2) yang mempengaruhi iklim sehingga fungsi hutan tidak hanya bermanfaat oleh manusia tapi hewan dan tumbuhan. Salah satu konsekuensi kurang perhatian terhadap hutan adalah adanya kebakaran di berbagai daerah sumatera dan Kalimantan, kebakaran di Kalimantan timur tahun 1983 yang menghabiskan 3,6 juta hektar areal hutan. Penggundulan hutan di jawa dan pulau-pulau lain, maupun ada pendangkalan danau, waduk dan sungaisungai di Indonesia yang khususunya pada orde barud, dan sesudahnya tidak hanya menuntut perhatian pemerintah Indonesia, tetapi juga perhatian pemerintah Negara tetangga, maupun masyaraakat internasional lainnya. 2.2.2 Pengelolaan Hutan Sebagaimana kita ketahui hutan mempunyai fungsi yang beraneka ragam antara lain sebagai penghasil kayu dan hasil hutan yang lain serta sebagai pelindung lingkungan serta penyangga kehidupan yang berfungsi mengatur tata air, melindungi kesuburan tanah, mencegah bajir dan longsor, mecegah erosi dan lain-lain. Prinsip kelestarian yang terkenal dengan konsep “Maximum Sustainable Yield” telah lama dikenal dalam bidang pengelolaan sumber daya hutan. Air merupakan produk penting dalam hutan, tanah merupakan busa raksasa yang mampu menahan air hujan hingga air meresap kedalam tanah. Banyak kota yang menggantungkan terhadapa persediaan air dari hutan dan sungai yang mengalir sepanjang tahun. Tapi bila pohon di hutan ditebang, maka tanah langsung terbuka sehingga bila turun hujan, air hujan langsung mengalir kesungai (water run off) dan menyebabkan erosi maupun banjir. Margasatwa dan keanekaragaman hayati juga merupakan sumber daya alam yang ada di hutan. Hutan memberikan makanan dan perlindungan bagi binatang, sedang untuk manusia menjadi sumber pangan dan tempat rekreasi.
Sifat hutan yang memiliki penggunaan ganda (multifungsi) berkaitan dengan sifat hutan yg cukup unik dibandingkan dengan SDA lainnya, secara rincinya sebagai berikut: a.
Menyediakan hasil hutan ( kayu dan nonkayu) untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan pada khususnya untuk keperluan pembangunan industry dan ekspor sehingga menunjang pembangunan ekonomi daerah dan pembangunan ekonomi nasional pada umumnya.
b. Mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi serta memelihara kesuburan tanah. c.
Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik, seperti udara bersih dan segar.
d. Membeerikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa,taman perburuan dan taman wisata, serta sebagai laboratorium untuk ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata. Berdasa fungsinya, hutan digolongkan dalam beberapa macam yaitu: hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam,ndan hutan wisata. a) Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang karena sifat alamnya diperuntukkan guna tata air dan pencegahan bencana banjir dan erosi serta untuk pemeliharaan kesuburan tanah. b) Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna memproduksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industry dan ekspor. Hutan produksi dapat dibagi lagi menjadi: 1. Hutan produksi dengan penebangan terbatas, yaitu hutan produksi yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih. 2. Hutan produksi dengan penebangan bebas yang diartikan sebagai hutan produksi yang dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih maupun dengan cara tebang habis disertai dengan pembibitan alam atau dengan pembibitan buatan. c) Hutan Suaka Alam adalah kawasan hutan yang kerana sifatnya yang khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati lainnya antara lain dapat dibagi dalam beberapa jenis yaitu: 1. Hutan suaka alam yang berhubungan dengan keadaan alamnya yang khas, termasuk alam hewani dan nabati yang perlu dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan kemudian disebut cagar alam. 2. Hutan suaka alam yang ditetapkan sebagai suatu tempat hidup margasatwa yang mempunyai nilai khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta merupakan kekayaan dan kebanggaan nasional yang kemudian disebut suaka margasatwa. d) Hutan Wisata adalah kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan pariwisata atau perburuan yaitu:
1. Hutan wisata yang memiliki keindahan alam baik keindahan nabati, keindahan hewani, maupun keindahan alamnya sendiri memiliki corak yang khas untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rekreasi dan kebudayaan. Hutan seperti ini dinamakan taman wisata. 2. Hutan wisata yang didalamnya terdapat satwa buru yang memungkinkan diselenggarakannya perburuan yang teratur bagi kepentingan rekreasi, yang selanjutnya disebut taman buru. Berdasarkan penggolongan hutan diatas dapat dilihat banyak sekali manfaat bagi masyarakat, hal tersebut tergantung kegunaan yang diinginkan. Bila dalam suatu kawasan hutan terdapat ciri dan sifat yang berbeda, segala tujuan di atas dapat saja dicapai dengan cara mengadakan pembagian kawasan hutan sesuai dengan sifat alamnya masing-masing seperti pembagian ini manfaat hutan dapat dinikmati secara optimal tanpa mengorbankan tujuan yang lain dan tanpa meninggalkan azas kelestariannya. Misal hutan ditujukan untuk produksi kayu, maka seringkali kurang sesuai dengan maksud penggunaan-penggunaan lainnya, kecuali bila diadakan pembatasan-pembatasan dalam cara penebangannya atau dalam modifikasi pengambilannya. Penggunaan lain dapat mempunyai tingkat kesesuaian satu sama lain seperti perlindungan air dan perlindungan margasatwa, pemeliharaan lingkungan dan lain penggunaan yang sifatnya tidak merusak areal hutan. Bila penggunaan hutan yang beragam tersebut diharapkan optimal, maka perlu diusahakan suatu kombinasi yang tepat sehingga akan menghasilkan nilai yang paling tinggi. Penggunaan hutan untuk produksi kayu cukup penting bagi pertumbuhan industri dan sebagai penghasil devisa bagi Negara. Hasil kayu yang diperoleh dapat berupa kayu untuk konstruksi bangunan, kayu lapis, papan tiruan dan sebagainya. Tapi pengelolaan untuk tujuan ini harus mengingat kelestarian hutan yang dikenal dengan istilah “Sustained Yield Principle” agar manfaat ganda dari hutan dapat senantiasa dinnikmati. Untuk itu kegiatan dalam pengelolaan hutan akan mencakup ekploitasi hutan, penggunaan dan pemasaran hasil hutan, pengelolaan hutan, reboisasi, dan reboisasi hutan. Pemanfaatan kayu hasil hutan sebagai komoditi baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun sebagai komoditi ekspor berkembang sangat pesat, sehingga menyebabkan menyusutnya kapasitas sumber daya hutan. Memang sangat mengherankan bahwa meskipun telah diciptakan bahan-bahan pengganti kayu seperti plastik dan logam, konsumsi kayu dunia tak kunjung berkurang bahkan meningkat terus. Sebagai akibat penggunaan hutan yang semakin intensif ini, maka pernah pula terjadi perdebatan antara pihak legislatif dan kaum profesional dalam bidang kehutanan. Perdebatan itu intinya memberikan perhatian terhadap beberapa hal yang berhubungan dengan:
a.
Dampak dari kebijaksanaan kehutanan terhadap masyarakat yang hidupnya sangat tergantung pada produksi hasil hutan
b. Dampak dari perdagangan internasional untuk jenis kayu gelondongan dan kayu gergajian terhadap perekonomian c.
Kekurangpekaan pengelola perkayuan terhadap perubahan-perubahan jangka pendek dalam pasaran kayu. Kebijaksanaan dalam mengelola hutan juga dipengaruhi oleh ciri-ciri hutan itu sendiri, yaitu hutan mempunyai ciri biologis yang berupa waktu yang relatif panjang untuk rotasi yaitu periode sejak menanam sampai sampai panen atau penebangan. Rotasi panen untuk kayu lunak sekitar 30-40 tahun, sedangkan untuk kayu keras memerlukan waktu 50-100 tahunatau lebih. Hal ini menyebabkan tidak ada pihak swasta yang mau menanam kayu hutan, karena hasilnya tidak dapat diharapkan dalam waktu dekat. Terdapat pula ciri ekonomis seperti biaya sewa tanah hutan yang relatif lebih murah dibandingkan dengan sewa tanah pertanian karena pohon-pohonan di hutan tumbuh di daerah-daerah yang submarjinal untuk pertanian. Dismaping itu, pengelolaan hutan dapat menyimpan produk hasil hutan dalam bentuk pohon atau tumbuh-tumbuhan dan baru menebangnya pada waktu diperlukan. Selanjutnya sumberdaya hutan harus dipandang sebagai barang ekonomis yaitu suatu sumber daya alam yang dibutuhkan tetapi langka adanya. Agar pengelolaan sumber daya hutan dapat dilaksanakan secara maksimal dengan berlandaskan asas kelestarian, maka hutan seharusnya diselenggarakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kepada pihak swasta diberikan hak pengusaha hutan (HPH) dengan pengertian bahwa pemegang HPH tersebut berkewajiban menjaga fungsi hutan dan melindunginya. Prinsip yang dipegang dalam mengeksploitasi hutan adalah menggunakan biaya yang seminimal munngkin untuk mendapatkan hasil tertentu tangpa merusak kelestarian umum (maximum sustainable yield = MSY) Masih berkaitan dengan uraian diatas adalah hal-hal yang perlu dan cukup penting untuk diperhatikan agar dalam setiap periode penebangan tidak terjadi penurunan atau kekosongan produksi (jenis-jenis kayu perdagangan tertentu) pada rotasi selanjutnya. Hal tersebut adalah perlunya perlindungan dan penyelamatan tanah dan air terutama pada perlindungan alam agar tidak terjadi kerusakan. Pengaturan penebangan tersebut meliputi pengaturan batas diameter minimum, rotasi tebang dan etat tebang pada setiap periode pengambilan.
Apabila kita memandang hutan secara secara keseluruhan maka fungsu hutan yang terpenting adalah dalam kaitannya mengatur tata air yaitu menahan curah hujan yang tinggi dan menyerapnya kedalam tanah. Fungsi penting ini sangat menunjang kegiatan penduduk di luar sektor kehutanan seperti sektor pertanian, perkebunan, perikanan, perternakan, pariwisata dan perhotelan, industri, trasportasi, dan pemukiman/transmigrasi. 2.2.2.1 Rotasi Optimaldalam Praktek Penebangan Hutan Masalah penting yanng dihadapi pengelola hutan adalah menentukan kapan hutan dapat ditebang dan beberapa lama rotasi hutan yang optimal. Pengelola berusahan melakukan penebangan hutan yang tepat pada waktunya agar tidak mennunda penghasilan dan tidak menutup alternatif pemanfaatan lahan. Praktek penebangan hutan dapat didekati dengan rotasi umum dan penebangan yang sibolehkan (allowable cut). Rotasi umum dapat ditentukan berdasarkan pedoman bahwa pohon dibiarkan tumbuh selama nilai marginal dari batang pohon tersebut [s(t)] masih melebihi biaya marginal yang dikeluarkan. Biaya marginal ini terdiri dari besarnya bunga dan sewa tanah
[a(t) + r.s(t)]. Secara garis metode rotasi
optimal ini dapat digambarkan pada gambar dibawah ini. Pada gambar tersebut kita dapat melihat bahwa garis : S (t)
= nilai tegakan per satuan luas tanah pada saat pohon-pohon berumur “t”
tahun s (t) a (t)
= perubahan nilai tegakan
= nilai sewa tahunan per satuan luas hutan dengan penanaman baru jika berikutnya direncanakan selam “t” tahun
rotasi
Titik tm, dari segi fisik, menghasilkan nilai kayu tertinggi pada masing-masing pemotongan dengan S(t) = 0, tetapi dari segi ekonomi tidak optimal karena tambahkan biaya [marginal cost = a(t)+S(t)] pemeliharan pohon sudah melebihi tambahan nilai tahunannya. Rotasi optimum dari segi ekonomi adalah pada t* dengan biaya total tahunan a(t) + r.S(t) = S(t) Adapun faktor-faktor penentu t* adalah : Biaya penanaman, Harga kayu yang dipotong, Tingkat diskonto penerimaan dan biaya pada waktu yang akan datang, Pola pertumbuhan kayu yang dihubungkan dengan variable usianya Secara materis rotasi optimum dapat dituliskan sebagai berikut : S(t*)= ps(t*)+p [s(t*)e – pt*- k] (l+e+pt*)
di mana : k
= biaya penanaman kembali
pt
= 1/(1+r)t = tingkat diskonto yang sifatnya kontinyu
e
= 2,7183
Rotasi optimum diperoleh pada keadaan dimana tembahan tegakan sama dengan bunga dari tegakan ditambah bunga dari nilai retetan penerimaan dikurangi biaya penanaman yang dinyatakan dalam nilai sekarang.
2.2.2.2 Analisi kepekaan (sensitivitas)
Akibat perubahaan pada parameter yang terdapat dalam fungsi S(t) di atas,metode rotasi optimal dapat dipelajari walaupun agak rumit dengan analisis sesitivitas. Analisis sesitivitas ini adalah untuk melihat dampak perubahan parameter terhadap rotasi optimum hutan. A. Tingkat diskonto Jika r naik maka faktor diskonto akan turun tetapi p = loge(1+r) akan iku naik. Kenaikan tingkat bunga akan menurunnkan (memperpendek) rotasi B. Kenaikan harga Pada model diatas diasumsikan bahwa harga sepanjang waktu tetap. Tetapi seandainya ada harga naik, rotasi akan diperpendek dan sebaliknya jika harga turun maka rotasi akan diperpanjang. C. Pemotongan pajak Seandainya pajak advalorem dikenakan pada setiap pemotongan kayu maka kita harus mendefinisikan kembalI S(t), dimana S(t) = (1-a) S(t). Jadi pendapatan penjualan kayu setelah pajak = (1 – tingkat pajak) dikalikan dengan pendapatan kayu sebelum dikenakan pajak. Berdasarkan persamaan S(t*) diatas maka jika kita meniadakan k, berarti pemotongan pajak tidak akan berpengaruh terhadap t* (jika k = 0). Tetapi jika k > 0 maka akibatnya S(t*) semakin tinggi, berarti memperpendek rotasi dan sebaliknya jika S(t*) turun maka rotasi akan bertambah panjang. D. Kenaikan dalam biaya penanaman dan biaya manajemen Dengan kenaikan biaya-biaya ini maka k akan bertambah besar dan dampaknya akan memperpanjang rotasi. Tetapi jika pada waktu yang sama karena meningkatnya aktivitas manajemen seperti penumpukan dan lain-lain yang menyebabkan hasil bertambah, maka S(t) akan meningkat dan akan cenderung semakin pendek rotasi optimumnya. E. Pajak kekayaan tahunan Kenaikan pajak kekayaan tahunan merupakan suatu fungsi dari kenaikan persediaan kayu. Sehingga jika nilai rata-rata persediaan kayu diturunkan selama periode rotasi berarti akan menurunkan pajak kekayaan pula. Hal ini berarti kayu-kayu tersebut akan ditebangi lebih cepat (yang lebih muda usianya). Dengan demikian pajak kekayaan akan memperpendek rotasi. F. Perbedaan jarak lokasi dengan pabri pengolahan kayu Katu gelondongan yang dihasilkan akan dibawa ke pusat penjualan kayu atau ketempat pengolahan kayu. Hal ini tentu akan menambah biaya. Makin jauh jaraknya, maka biaya
transport dan tenaga kerja akan semakin besar pula. Hal ini berarti akan menurunkan nilai kayu, akibatnya rotasi akan diperpanjang. 2.2.3 MACAM-MACAM PENGGUNAAN HUTAN Seperti telah disebutkan bahwa hutan memiliki berbagai macam penggunaan selain menghasilkan kayu (timber products) juga memberikan manfaat yang lain bagi masyarakat seperti sebagai penampung air, manahan air hujan, mencegah banjir, erosi, serta memelihara kesuburan tanah dan lain-lain. Di pegunungan eropa umpamanya, salju musim dingin yang tertinggal dihutan menguap dan air akan mencair lebih lambat daripada di daerah terbuka. Demikina pula air hujan yang jatuh dipegunungan yang berhutan akan ditahan oleh hutan dan meresap kedalam tanah dan akan dilepaskan sedikit demi sedikit di musim kemarau. Jika manfaat-manfaat tersebut (non-tember products) dimasukan dalam perhitungan, maka rotasi dan metode pemanenan serta pananaman, akan berbeda dari metode yang telah dibahas di atas yang didasarkan hanya pada manajemen kayu. Demikian pula niali-nila estetika dan reaksi dipengaruhi oleh usia kayu, metode pemotongan dan penanaman kembali. Dari metode yang dibahas didepan tentang rotasi dan penebangan serta penanaman kembali hutan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pula yaitu jika hutan itu tidak seragam umumnya, maka kta harus bertanya pula metode penebangan apa yang seharusnya dipergunakan. Apakah penebangan secara selektif dari pohon-pohon yang sudah dewasa (tebang pilih) ataukah ditebang semuanya (tebang habis). Masing-masing cara ini mempunyai keunggulan tersendiri. Demikian pula metode pembentukan persedian (restocking) apa yang seharusnya digunakan, apakah perlu pembibitan secara alamiah dari bibit pohon yang tertinggal atau dari pohon-pohon yang habis terpotong ataukah pembibitan baru dengan bibit yang baru? Semua metode itu masingmasing mempunya keuntungan baik dalam biaya, tingkat bertahaan hidup, dan dalam manfaat hasil hutan yang diperoleh. Dari metode diatas dapat diambil contohnya. Misalkan kita mengadakan pemotongan habis, maka mungin secara visual akan kelihatan sebagai suatu penghancuran terhadap areal yang luas dan hal itu adalah mungkin jika cara itu digunakan secara tidak tepat sehingga menyebabkan erosi tanah dan perusakan pertumbuhan kembali hutan secara alami. Sisa-sisa potongan yang tertinggal seperti cabang dan ranting dapat merusak nilai-nilai rekreasi. Pada sisi lain tebang habis ini menyebabkan tumbunhya rumput-rumput bagi pemngembala domba dan kehidupan satwa liar. Pohon-pohon muda dan belukar sangat baik sebagai tempat berlindung burung-burung. Begiru juga bahwa tepi hutan sepanjang area yang dipotong akan
meberikan suatu tanah lapang yang sangat baik bagi berbagai kegiatan. Karena itu keputusan yang berhubungan dengan manajemen berbagai macam penggunaan hutan sangat kompleks. Namun dalam pengambilan keputusan tentang macam penggunaan hutan ini perlu pula diingat bahwa sering dengan alasan penggunaan yang bermacam-macam tersebut kemudian diperlakukan dengan hal-hal berlebihan, padahal tidak semua area secara fisik baik untuk semua kegunaan, misalnya satu daerah yang dari segi tanah, kemiringan, dan curah hujan bagus untuk pertumbuhan dan produksi kayu, namun dibiarkan, tidak dipotong demi untuk tujuan-tujuan rekreasi, karena lokasinya dekat dengan daerah padat penduduk dan tidak bnyak alternatif rekreasi yang tersedia. 2.2.4 BEBERAPA KONSEP DALAM MANAJEMEN HUTAN Suatu konsep penelolaan hutan di antaranya adalah pengaturan sempurna (“fully regulated”) hutan sebagai tujuan dari manajemen hutan. Dalam konsep ini yang dimaksud dengan fully regulated adalah distribusi areal menurut kelas umur, dan umur pohon yang paling tua adalah umur rotasi; yaitu yang siap untuk dipanen dan kemudian digantikan oleh kelas umur di bawahnya dan seterusnya. Dari gambar dibawah kita dapat melihat distribusi jumbla pohon menurut kelas umu tergantung pada rotasi yang dipilih. Dengan total area hutan yang tetap, maka semakin panjang rotasi akan semakin sedikit pohon dan semakin kecil volume kayu yang dapat dihasilkan dalam setiap kelas umur. Ini berarti jika panjang suatu rotasi t1 diganti dengan t2, maka distribusi jumblah akan bergeser ke bawah dari p1 ke p2 dan meluas kekanan, dan jumlah pohon untuk setiap kelompok umur berurang. Hutan yang matang atau dewasa akan mempunya riap atau pertumbuhan neto = 0, karena kerusakan-kerusakan, kerugian akibat penyakit, pembusukan dan kerusakan karena angin sama dengan pertumbuhan yang lambat dari pohon yang tua. Hal ini dapat dilihat bahwa riap (pertumbuhan) produksi hutan merupakan fungsi waktu yaitu apabila umunya mencapai tahun tertentu, maka pertumbuhannya atau riapnya akan maksimum dan kemudian akan menurun lagi.
Dengan rotasi
yang ditetapkan menurut kriteria tertentu, konversi dengan pengaturan
penuh (fully regulated) dapat memberikan hasil panen tahunan sebesar ada setiap tahunnya. Pada akhir periode
dari volume yang
, hutan akan berada pada kondisi pengaturan penuh
dan mampu memberikan jumlah produksi/pengambilan yang menetap secara terus-menerus dan maksimumtanpa batas berkelanjutan. Dengan dasar inilah kita diarahkan untuk memakai kondisi pengaturan penuh dengan umur rotasi t tahun. Proses mencapai kondisi pengaturan penuh memakan biaya yang besar diukur dari tingkat bunga terhadap persediaan kayu tegakan dan pengorbanan pertumbuhan peneneman baru. Jumlah kayu yang diinginkan dalam masa transisi ke status teratur tergantung pada kondisi pasar kayu dan tujuan masyarakat pengolah kayu. Jika panen cukup besar dalam kaitannya dengan persediaan total, maka panen secara cepat akan membuat kelimpahan pasar dan akan menurunkan harga kayu. Dilain pihak, bila persediaan kayu volumenya relatif rendah, maka penebangan kayu yang lebih cepat akan menaikkan harga kayu. Agar hutan dapat menghasikan produksi secara terus-menerus, maka seharusnya kita tidak menebang hutan sekehendak hati kita. Keinginan kita menebang hutan dibatasi dengan apa yang disebut sebagai “penebangan yang dimungkinkan” (aloowable cut). Dimana setiap penebangan pohon harus didukung dengan tersedianya hutan lain yang sampai masa tebangberikutnya mampu memberikan produksi kayu paling tidak sama dengan volume kayu yang telah ditebang sebelumnya. 2.2.5 Masalah yang Sulit Dipecahkan dan Pembangunan Kegiatan penebangan kayu sangat peka terhadap p-erubahan keadaan dipasar kayu baik dalam negeri maupun luar negeri. Harga kayu bulat dan kayu lapis tidak stabil. Naik turunnya harga kayu bulat mendorong kita untuk merebut ppasar kayu diluar negeri dengan cara meningkatkan kualitas kayu ekspor dan membatasi volume kayu gelondongan. Dalam rangka meningkatkan industri kayu pemerintah mendorong para pemegang HPH agar dapat membangun industri kayu yang didukung degan terbitnya surat keputusan bersama tiga mentri pada tanggal 8 mei 1980 dan surat keputusan bersama empat jendral tanggal 22 april yang isinya menyangkut usaha penyediaan kayu gelondongan sebagaibahan mentah industri pengolahan kayu dalam negeri dalam hubungannya dengan usaha meningkatkan ekspor komoditi kayu itu sendiri. Sementara tujuan kebijakan ini dapat dicapai, pengaruh yangsegera tampak di Indonesia ialah berupa menurunnya volume ekspor kayu gelondong dan banyak pemegang HPH yang mengalami kesulitandalam usahanya serta banyak pengusaha penggergajian kayu yang cenderung gulung tikar. Penduduk yang menggantungkan kehidupannya pada perkayuan akan semakin terganggu juga tingkat pendapatannya. Pengaruh lain yang yang tampak pada perekonomian sebagai hasil dari peraturan tersebut adalah menurunnya hasil pendapatan daerah dan menurunnya pembangunan daerah
yang dikaitkan dengan dana yang berasal dari kayu disamping hilangnya kesempatan kerja yang cukup serius disektor perkayuan. Pada sisi penawaran tampak bahwa perlu adanya realokasi pengelolaan sumberdaya dan revisi kebijakan tebangan agar supaya dapat meningkatkan produk hasil hutan. Masalah pemborosan bahan baku yang dimulai sejak dari kegiatan penebangan sampai pengolahannya masih lebih dari 50% dan limbah sebanyak itu sebenarnya dapat digunakan sebagai suatu bentuk produk atau sebagai sumber energi yang menunjang industri kayu dan penawaran kayu olahan itu sendiri. Limbah tersebut sebagian besar berupa sisa batang atau batang cacat sebagai akibat dari penebangan kayu yang tidak tepat. Sementara itu cacat kayu tersebut tidak sedikit sebagai akibat penebangan yang kurang tepat. Pemanfaatan limbah kayu dengan aneka ragam produk dapat meningkatkan daya saing dipasaran melalui efisiensi. Semakin sedikit limbah dari suatu industri perkayuan, semakin tinggi efisiensi industri tersebut dan semakin kuat daya saing produknya dipasar kayu. Dari segi penawaran usaha yang dilakukan adalah melipat gandakan laju pertumbuhan pohon kayu melali perbaikan genetika. Tugas ini membutuhkanj waktu yang cukup lama, akan tetapi akan menghasilkan kayu dengan usia yang relatif pendek (sekitar 20 tahun) dibanding dengan umur sekarang rata-rata 35 tahun. Dari sisi permintaan, besarnya jumlah kayu yang diminta domestik maupun asing, tergantung pada harga kayu, harga produk subtitusi kayu, dan kemajuan teknologi. Selulose akan menjadi basis dalam kebanyakan kegiatn kayu seperti pada bahan bangunan, isolasi, persediaan hidrokarbon dan bahan bakar. Permasalahan yang menonjolsejak diberlakukannya sistem otonomi daerah (UU no.22 tahun 1999 dan diperbarui dengan UU no.34 tahun 2004) telah mendorong eksploitasi hutan secara besar-besaran. Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah didorong untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), sehingga akibat pada eksploitasi sumberdaya alam dan tidak terlewatkan adalah eksploitasi seumberdaya hutan sebagai modal pembangunan daerah dan bermunculah penebangan yang tanpa izizn (illegal loging). (Ngadiono, 2004, hal. 40-41). Berbagai pembahasan dimuka melengkapi kebijaksanaan mendorong pertumbuhan pohon kayu dan reboisasi serta untuk pengelolahan yang rasional terhadap hutan-hutan yang ada dalam menghadapi berbagai kepentingan serta harga kayu yang tampaknya kurang stabil di masa-masa mendatang.