Sub Bab Revisi.docx

  • Uploaded by: Randi Mamola
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sub Bab Revisi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,551
  • Pages: 21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan isu permasalahan multidimensi dan sangat kompleks yang meliputi beberapa aspek yaitu aspek sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan. Aspek ekonomi seringkali menjadi faktor dominan dalam menentukan pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan ketahanan pangan. Mewujudkan ketahanan pangan yang mandiri sudah menjadi isu dan agenda prioritas untuk diterapkan di dalam sistem perekonomian agar dapat terciptanya keunggulan dalam meningkatkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Indonesia yang merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam kesejahteraan kehidupan penduduk di Indonesia. Pembangunan pertanian penting dalam memaksimalkan pemanfaatan geografi dan kekayaan alam di Indonesia, memadukannya dengan teknologi agar mampu memperoleh hasil sesuai dengan diharapkan. Sektor pertanian berperan penting dalam menyediakan bahan pangan bagi seluruh produk maupun menyediakan bahan baku bagi industri, dan untuk perdagangan ekspor (Suparta, 2010:10). Di Indonesia, permasalahan ketahanan pangan merupakan isu yang paling penting untuk dibahas. Apalagi munculnya era revolusi industri 4.0 saat ini, Indonesia dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam menghadapi krisis pangan. Menurut Tambunan, dengan semakin sempitnya lahan pertanian di Indonesia, maka sulit untuk mengharapkan petani kita berproduksi secara optimum serta adanya konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang semakin meningkat dengan rata-rata 30.000-50.000 ha per tahun (Tambunan, 2007). Salah satu daerah yang menjadi motor penggerak ketahanan pangan adalah daerah Kabupaten Pandeglang, dimana dalam hal ini selaras dengan isu mengenai ketahanan pangan di Indonesia yang menjadikan Kabupaten Pandeglang menjadi pusat dalam mengembangkan upaya kemandirian pangan di daerah Banten. Menurut laporan Dinas Pertanian Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Pandeglang memiliki potensi pertanian dengan lahan pertaniannya mencapai 69.583,67 Ha dari total lahan pertanian

di Banten. Potensi lahan yang tersedia di Kabupaten Pandeglang meliputi Pekarangan 9.492,81 Ha, Kebun/Tegalan 38.915,12 Ha, dan Ladang/Huma 21.175,74 Ha, dimana sebanyak 43.844 Ha telah dimanfaatkan dan 25.396,70 Ha yang belum dimanfaatkan. Pada tahun 2017 kontribusi padi sawah mencapai 8,28 persen, padi gogo mencapai 26,94 persen, dan kedelai mencapai 91,15 persen. Kurangnya SDM dan modal menjadi salah satu faktor yang menghambat produktivitas pertanian di Kabupaten Pandeglang. Selain itu, adanya alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lahan lain merupakan faktor penyebab timbulnya kerawanan pangan dan menyebabkan menurunya tingkat produktivitas pertanian sebesar 0,83 juta ton pada luas lahan pertanian di Kabupaten Pandeglang, sehingga diperlukan adanya lembaga keuangan khusus pangan seperti BPR (Bank Pangan Rakyat). Dengan adanya lembaga khusus pangan seperti Bank Pangan Rakyat (BPR) dapat memberikan kontribusi untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan inovasi kemandirian pangan di Kabupaten Pandeglang. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana peran BPR dalam meningkatkan kemandirian pangan di Kabupaten Pandeglang? 2. Bagaimana upaya dan sistem kebijakan BPR dalam meningkatkan perekonomian di Kabupaten Pandeglang pada sektor pertaniannya? 1.3 Tujuan dan Manfaat Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan karya tulis ini antara lain: 1. Untuk memberikan kontribusi ketahanan pangan dalam mewujudkan kemandirian pangan di Kabupaten Pandeglang. 2. Menjadikan lembaga BPR sebagai solusi untuk menanggulangi permasalahan pangan di Kabupaten Pandeglang Adapun manfaat yang diharapkan dalam pembuatan karya tulis ini antara lain: 1. Menanggulangi krisis pangan di kabupaten pandeglang. 2. Meningkatkan perekonomian melalui kebijakan BPR untuk mewujudkan inovasi kemandirian dan ketahanan pangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketahanan Pangan Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang mencanangkan adanya konsep secure, adequate and suitable supply of food for everyone. Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun pada umumnya lebih mengarah pada definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell (1992) yang mendefinisikan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu akses dimana semua orang setiap saat memiliki pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy life). Adapun menurut UU Pangan No.7 Tahun 1996 menyatakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi: 1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu. 2. Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses. 3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik itu ekonomi dan sosial. 4. Berorientasi pada pemenuhan gizi yang merata. 5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif. Sub-sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub-sistem utama yaitu sistem ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi merupakan hasil dari ketahanan pangan. Sistem ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan merupakan salah satu sub-sistem yang harus dipenuhi secara utuh untuk mendukung ketahanan pangan. Apabila salah satu sub-sistem tersebut tidak terpenuhi maka suatu negara belum dikatakan memiliki sistem ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangan belum tercukupi dan tidak merata, maka sistem ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.

Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan dari aspek input yaitu produksi dan penyediaan pangan baik itu secara nasional maupun global, adanya ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari krisis pangan dan gizi yang kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu kesejaahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development Goals (MDGs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan masalah kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan. Pada sistem Millenium Development Goals (MDGs) lebih menyarankan sistem ketahanan pangan dalam mensejahterakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta lebih menekankan pada dampak pada permasalahan krisis pangan yang terjadi di kalangan masyarakat.

2.2 Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) Kredit ketahanan pangan dan energi (KKP-E) merupakan suatu program pemerintah untuk mengatasi kesulitan aksessibilitas kredit bagi usaha petani kecil dengan memberikan kebijakan seperti pemberian subsidi bunga kredit ketahanan pangan dan energi yang berbentuk subsidi pupuk dan bibit serta alat-alat pertanian yang dibutuhkan oleh petani. Sasaran utama penerima kredit ini adalah petani tanaman pangan yang meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan sorgum dan petani holtikultura yang meliputi cabai, kentang, jahe, dan pisang serta koperasi dalam pengadaan gabah, jagung, dan kedelai (Kementan: 2015). Terbatasnya aksessibilitas kredit untuk usaha tani juga ditunjukkan dengan rendahnya jumlah kredit yang disalurkan kepada usaha tani secara nasional. Pada tahun 2013, total kredit yang disalurkan ke sektor pertanian hanya 5,5% dari total kredit yang dikucurkan oleh perbankan (Wiyanti 2013). Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa setiap tahun kredit kepada usaha tani kecil hanya berkisar antara 5 sampai 7% dari total penyaluran kredit, padahal untuk menggerakkan sektor pertanian agar lebih maju dan berkembang minimal 30% dari total kredit harus disalurkan kepada sektor pertanian. Usaha tani juga mengalami kesulitan dalam mengakses kredit formal karena mereka tidak bankable.

Untuk mengatasi kesulitan aksessibilitas kredit bagi usaha tani kecil, salah satu kebijakan yang telah dilaksanakan adalah kebijakan subsidi bunga KKP-E. Dalam kebijakan ini Pemerintah menanggung sebagian bunga kredit yang disalurkan kepada usaha tani yang mengakses KKP-E dari Bank pelaksana. KKP-E yang diperuntukkan bagi penyediaan modal untuk biaya produksi usaha tani. KKP-E bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan dana kredit yang disediakan oleh perbankan untuk petani/peternak/pekebun yang memerlukan pembiayaan usahanya secara efektif, efisien dan berkelanjutan serta mendukung peningkatan produksi dalam peningkatan ketahanan pangan nasional dan ketahanan energi lain melalui pengembangan tanaman bahan baku nabati.

2.3 Sistem Distribusi Pangan Selain adanya program KKP-E yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan, pemerintah pun turut untuk berperan dalam melakukan kebijakan pemerataan sistem distribusi pangan. Sistem distribusi yang efektif dan efisien dapat dijadikan sebagai suatu prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup dengan harga yang terjangkau. Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim memerlukan adanya kecermatan dalam pengelolaan sistem distribusi, agar stok pangan tersedia sepanjang waktu di suatu wilayah. Penyediaan sistem sarana dan prasarana sistem distribusi pangan merupakan bagian dari fungsi fasilitasi pemerintah yang pelaksanaanya harus mempertimbangkan aspek efektivitas distribusi pangan sekaligus aspek efisiensi secara ekonomi. Biaya distribusi yang paling efisien harus menjadi acuan utama, agar tidak membebani produsen maupun konsumen secara berlebihan. Adanya sistem distribusi yang memadai diharapkan ketersediaan pangan di suatu wilayah dapat dipenuhi. Ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: (1) produksi dalam negeri, (2) impor pangan dan (3) pengelolaan cadangan pangan. Cadangan pangan merupakan salah satu sumber pasokan untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan dalam negeri atau daerah. Stabilitas

pasokan pangan dapat dijaga dengan pengelolaan cadangan yang tepat. Cadangan pangan nasional diwujudkan dengan cadangan pangan masyarakat dan cadangan pangan pemerintah. Cadangan pangan pemerintah dibatasi pada pangan tertentu yang bersifat pokok, karena tidak mungkin pemerintah mencadangkan semua pangan yang dibutuhkan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah terdiri dari cadangan pangan Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah yang perwujudannya memerlukan inventarisasi cadangan pangan, memperkirakan kekurangan pangan dan keadaaan darurat, sehingga penyelenggaraan pengadaan dalam pengelolaan cadangan pangan dapat berhasil dengan baik.

2.4 Sistem Kredit Pangan Berbasis Fintech Fintech berasal dari istilah financial technology atau teknologi finansial. Menurut The National Digital Research Centre (NDRC), di Dublin, Irlandia, mendefinisikan fintech sebagai “innovation in financial services” atau “inovasi dalam layanan keuangan”. Fintech yang merupakan suatu inovasi pada sektor finansial yang mendapat sentuhan teknologi modern. Transaksi keuangan melalui fintech ini meliputi pembayaran, investasi, peminjaman uang, transfer, rencana keuangan dan pembanding produk keuangan. Di dalam sistem perkreditan, pemberian pinjaman memiliki suatu perjanjian/kesepakatan dalam meminjamkan suatu barang dan harus memenuhi beberapa persyaratan berupa bunga, agar menghindari adanya suatu resiko yang terjadi di dalam sistem pengkreditan. Sistem kredit pangan berbasis fintech lebih mengacu pada sistem pemberian kredit berbasis peer to peer lending yang mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam-meminjam dalam bibit dan pupuk secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Hal ini sama dengan sistem loan based crowdfunding yaitu urun dana untuk disalurkan dalam bentuk utang dan pengurun akan mendapatkan kompensasi berupa pengembalian atas pinjaman yang diberikan beserta bunganya.

2.5 Inovasi Kemandirian Pangan di Era Industri 4.0 Menurut Kagermann (2013), industri 4.0 merupakan integrase dari Cyber Physical System (CPS) dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS) ke dalam

proses industri meliputi manufaktur dan logistik serta proses lainnya. CPS adalah teknologi untuk menggabungkan antara dunia nyata dan dunia maya. Berkembangnya industri 4.0 sudah sangat memasuki bidang-bidang kehidupan lainnya. Fokus utama dalam menghadapi era ini yaitu adanya upaya dalam meningkatkan inovasi kemandirian pangan, seiring berkembangnya teknologi yang semakin pesat di sektor pertanian. Di tingkat nasional, kemandirian pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa atau negara dalam menjamin ketersediaan dan perolehan pangan yang cukup, mutu yang layak dan sehat (higienis), serta aman. Keterjaminan tersebut berbasis optimalisasi pemanfaatan dan keragaman sumber daya lokal. Terwujudnya kemandirian pangan antara lain dicerminkan oleh indikator mikro dan makro. Indikator mikro adalah keterjangkauan pangan secara langsung oleh masyarakat dan rumah tangga, sedangkan indikator makro adalah kontiniutas ketersediaan pangan, terdistribusi dan terkonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang, baik di tingkat wilayah maupun nasional. Terwujudnya kemandirian pangan secara mikro dicirikan oleh beberapa indikator dasar, seperti: 1. Ketersediaan energi minimal 2200kkal/kapita/hari, dan ketersediaan protein minimal 57 g/kapita/hari. 2. Peningkatan kemampuan pemanfaatan dan konsumsi pangan untuk memenuhi energi minimal 2200kkal/ kapita/hari dan protein sebesar 57 g/kapita/hari. 3. Peningkatan kualitas konsumsi pangan masyarakat dengan skor minimal 80 pola pangan harapan (PPH). 4. Peningkatan keamanan, mutu, dan higienis pangan yang dikonsumsi masyarakat. 5. Berkurangnya jumlah penduduk yang rawan pangan kronis (yang mengkonsumsi kurang dari 80% AKG) dan penduduk miskin minimal 1% per tahun. 6. Tertanganinya secara cepat dan tepat penduduk yang mengalami rawan pangan di suatu daerah (karena bencana alam dan bencana sosial); dan 7. Peningkatan rata-rata penguasaan lahan oleh petani.

Terwujudnya kemandirian pangan secara makro (nasional) dicirikan oleh beberapa indikator, seperti: 1. Meningkatnya produksi pangan domestik yang berbasis sumber daya lokal, guna mempertahankan penyediaan energi minimal 2200kkal/kapita/hari, dan penyediaan protein minimal 57 gr/kapita/ hari, yang diwujudkan melalui pemantapan swasembada beras berkelanjutan, swasembada jagung (2007), swasembada gula (2009), swasembada daging sapi (2010), dan membatasi impor pangan di bawah 10 persen dari kebutuhan pangan nasional. 2. Meningkatnya land-man ratio melalui penetapan lahan abadi beririgasi dan lahan kering masing-masing minimal 15 juta ha. 3. Meningkatnya kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. 4. Meningkatnya jangkauan jaringan distribusi dan pangan yang berkeadilan ke seluruh daerah bagi produsen dan konsumen; serta 5. Meningkatnya kemampuan pemerintah dalam mengenali, mengantisipasi, dan menangani secara dini tanggap darurat terhadap masalah kerawanan pangan dan gizi (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Dengan demikian, kemandirian pangan dapat didekati dari sudut pandang mikro atau individu konsumen dan sudut pandang makro atau agregat. Untuk analisis kebijakan ketahanan pangan, lebih menitikberatkan pada aspek makro. Dalam kebijakan makro, yang paling utama dari instrumen dalam ketahanan pangan yaitu adanya sistem kebijakan kredit dan distribusi pangan. Kebijakan tersebut dapat dipercaya untuk membangun sektor pertanian khusunya, ketahanan pangan dalam mewujudkan inovasi kemandirian pangan di Indonesia.

BAB III METODE PENULISAN

3.1 Teknik Pengumpulan Data Data penelitian ini menggunakan data sekunder, teknik pengumpulan data yang digunakan ialah teknik pencarian melalui kontak secara tidak langsung. Pencarian data melalui kontak secara tidak langsung adalah penelitian yang menggunakan terminal komputer dan dapat mencari data yang diperlukan berupa data laporan (Kuncoro, 2009). Sumber data dilakukan berupa data sekunder yang bersumber pada laporan Dinas Pertanian dan Kementerian Pertanian di Kabupaten Pandeglang.

3.2 Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan pola kuantitatif deskriptif. Kuantitatif deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang berdasarkan data yang dikumpulkan secara sistematis mengenai fakta-fakta dan sifat dari objek yang diteliti dan menggunakan deskripsi angka-angka yang telah diolah sesuai standarisasi tertentu (Sugiyono, 2017:2). Kemudian dapat diinterpretasikan berdasarkan teori-teori dan literatur-literatur yang berhubungan dengan kebijakan sistem kredit dan distribusi pangan di kabupaten pandeglang.

3.3 Metode Analisis Data Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif. Analisis ini diawali dengan mengkategori dan menyusun data secara keseluruhan berrdasarkan data laporan yang telah didapatkan yang kemudian dipaparkan secara deskriptif dengan mengutamakan pemaparan data yang bersifat kuantitatif serta dapat ditafsirkan dalam konteks penulisan.

3.4 Kerangka Pemikiran

Potensi lahan yang cukup luas

Potensi Pertanian dan perkebunan yang cukup subur

SDM dan modal yang kurang memadai dalam usaha tani

Diperoleh dari data sekunder berupa laporan dari dinas pertanian dan kementerian pertanian Kabupaten Pandeglang

Pembentukan lembaga BPR (Bank Pangan Rakyat) dalam optimalisasi ketahanan pangan dan inovasi kemandirian pangan

Pengelolaan kebijakan sistem KKP-E dan distribusi KKP-E berbasis Fintech pada sistem Big Data

Analisis sistem kebijakan KKP-E di usaha tani

Bentuk penerapan sistem kebijakan BPR dan manajemen pengelolaan

KESIMPULAN

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Sistem Kebijakan Distribusi Pada Ketahanan Pangan di Kabupaten Pandeglang Kabupaten Pandeglang merupakan wilayah yang memiliki potensi besar. Kabupaten Pandeglang memiliki potensi pertanian dengan lahan pertaniannya mencapai 69.583,67 Ha dari total lahan pertanian di Banten. Potensi lahan yang tersedia di Kabupaten Pandeglang meliputi Pekarangan 9.492,81 Ha, Kebun/Tegalan 38.915,12 Ha, dan Ladang/Huma 21.175,74 Ha yang meliputi 43.844 Ha telah dimanfaatkan dan 25.396,70 Ha yang belum dimanfaatkan. Pada tahun 2017 kontribusi padi sawah mencapai 8,28 persen, padi gogo mencapai 26,94 persen, dan kedelai mencapai 91,15 persen (Dinas Pertanian Kabupaten Pandeglang: 2017). BPS Provinsi Banten (2014) menjelaskan bahwa produksi padi di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2013 merupakan produksi yang tertinggi di Provinsi Banten yaitu sebesar 32,3 % dari total produksi. Produktivitas padi di Provinsi Banten pada tahun yang sama mencapai 5,16 ton kg/ha. Kabupaten Pandeglang merupakan lumbung pangan bagi Provinsi Banten dan sekitarnya. Terjadinya alih fungsi lahan menjadi salah satu permasalahan utama pada ketahanan pangan di Kabupaten Pandeglang. Alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lahan yang lain adalah masalah yang kompleks jika dilihat dari derajat pertumbuhan alih fungsi lahan, faktor topografi, kaitan dengan kehidupan sosial dan budaya pertambahan populasi, tingkat kesejahteraan petani, irigasi, perluasan kota, political will dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya (Kaputra 2013). Masifnya konversi lahan pertanian ini akan menimbulkan kerawanan pangan dan menyebabkan menurunya tingkat produktivitas pertanian sebesar 0,83 juta ton pada luas lahan pertanian di Kabupaten Pandeglang. Perlunya sistem distribusi pada ketahanan pangan di Kabupaten Pandeglang, dapat menjamin tersedianya kebutuhan pangan bagi Provinsi Banten. Sistem distribusi dilakukan untuk memenuhi ketersediaan pangan bagi setiap wilayah yang terjadi kerawanan pangan karena bervariasinya kemampuan produksi pangan disetiap wilayah Provinsi Banten. Pada sistem distribusi pangan perlu adanya penyediaan

sistem sarana-prasarana untuk memudahkan distribusi pangan kepada seluruh daerah pelosok/wilayah yang membutuhkan. Penyediaan sarana-prasarana merupakan bagian dari fungsi fasilitasi pemerintah yang pelaksanaannya harus mempertimbangkan efektivitas distribusi pangan sekaligus aspek efisiensi secara ekonomi. Biaya distribusi yang paling efisien harus menjadi acuan utama, agar tidak membebani produsen maupun konsumen secara berlebihan. Adapun dalam sistem pendistribusian terhadap wilayah yang terjadi kerawanan pangan di Provinsi Banten dapat dilihat dari peta kerawanan pangan komposit yang merupakan gabungan dari ketiga aspek/dimensi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan penyerapan pangan. Dalam perhitungan untuk pemetaanya, digunakan jumlah indeks dari keempat kelompok indikator tersebut. Adapun range indeks dari kerawanan pangan komposit adalah sebagai berikut: >0,8

= Sangat rawan pangan

0,64 - < 0,8

= Rawan pangan

0,48 - < 0,64

= Agak rawan pangan

0,32 - < 0,48

= Cukup tahan pangan

0,16 - < 0,32

= Tahan pangan

< 0,16

= Sangat tahan pangan

Gambar 1.1 Wilayah Distribusi Pangan di Provinsi Banten

4.2 Pola dan Alur Sistem Kebijakan KKP-E Pada Bank Pangan Rakyat (BPR) Bank yang merupakan sistem lembaga keuangan yang menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Selain sebagai lembaga yang menghimpun dan menyalurkan dana, bank juga berfungsi sebagai intermediasi/intermediary antara penabung dan investor. Sama halnya dengan Bank Pangan Rakyat (BPR), BPR juga mengimpun dana dari para pemilik modal berupa simpanan uang melalui kesepakatan yang dilakukan pada sistem bagi hasil antara BPR dan pemilik modal. Modal yang dikelola disalurkan kepada para petani dalam bentuk kredit ketahanan pangan (KKP-E) yang digunakan untuk pemenuhan alat penunjang pertanian berupa pupuk dan bibit ataupun dalam bentuk uang yang digunakan untuk pembelian produk-produk pertanian. Pembelian produk pertanian harus disertai perjanjian antara bank dengan petani/kreditur terkait jenis produk pertanian yang akan di beli. Setelah masa panen, para petani memberikan hasil panen dan kreditnya dalam bentuk uang dengan sistem bagi hasil antara BPR dan petani. Untuk petani yang mengambil kredit dalam bentuk barang (pupuk dan bibit) pengembaliannya di berlakukan harga pupuk ataupun bibit saat pembelian (saat pengajuan kredit). BPR memperoleh keuntungan dari perjanjian bagi hasil saat pengajuan kredit. Keuntungan yang diperoleh BPR dari pengembalian sistem kredit, diberikan kepada pemilik modal yang nantinya akan dikelola kembali oleh BPR untuk menyalurkan kredit ketahanan pangan dan energi (KKP-E) kepada para petani. Berikut ini merupakan pola dan alur sistem kebijakan Bank Pangan Rakyat (BPR).

Pemilik Modal memberikan simpanan berupa uang melalui kesepakatan bagi hasil antara BPR dan pemilik modal Modal yang dikelola oleh BPR disalurkan kepada petani untuk digunakan sebagai pemenuhan alat penunjang pertanian bisa dalam bentuk berupa pupuk dan bibit ataupun dalam bentuk uang yang digunakan untuk pembelian produkproduk pertanian. Pembelian produk pertanian harus disertai perjanjian antara bank dengan kreditur terkait jenis produk pertanian yang akan di beli.

Pemilik Modal/Supplier

Bank Pangan Rakyat (BPR)

Petani (Kreditur)

BPR memberikan bagi hasil simpanan kepada pemilik modal dengan berdasarkan keuntungan yang diperoleh bank. Petani mengembalikan kreditnya dalam bentuk uang dengan sistem bagi hasil antara BPR dan petani. Untuk petani yang mengambil kredit dalam bentuk barang (pupuk dan bibit) pengembaliannya di berlakukan harga pupuk ataupun bibit saat pembelian (saat pengajuan kredit). BPR memperoleh keuntungan dari perjanjian bagi hasil saat pengajuan kredit.

Gambar 1.2 Pola fungsi Intermediary pada BPR

Pemilik Modal/Supplier

Sistem bagi hasil dalam pengembalian kredit

BPR

Dana Simpanan

Pengelolaan keuangan KKP-E dalam sistem fintech (financial technology) berbasis “Big Data”

Usaha Petani

Dana yang diolah dalam KKP-E disalurkan berupa uang dan barang (pupuk & bibit)

Gambar 1.3 Diagram Alur Sistem Kebijakan KKP-E

Pada diagram alur sistem kebijakan KKP-E diatas, menunjukkan alur proses pendanaan yang dikelola oleh BPR untuk menyalurkan dana kredit pada usaha tani melalui pendanaan dari pemilik modal. Pemilik modal memberikan dana simpanan kepada BPR untuk dikelola melalui kesepakatan bagi hasil antara BPR dengan pemilik modal dari keuntungan yang diperoleh. Dana simpanan yang telah dikelola oleh BPR disimpan dalam bentuk sistem fintech (financial technology) yang digunakan untuk mendata keuangan dalam bentuk Big Data. Sistem Big Data digunakan untuk mendata para petani yang membutuhkan akses kredit dari berbagai jenis pinjaman, baik itu berupa uang maupun barang penunjang pertanian serta mengatur dalam penyaluran dana kredit yang digunakan petani untuk mengembangkan usaha taninya. Dana yang telah diolah dengan menggunakan sistem Big Data dapat disalurkan kepada petani yang ingin mengembangkan usaha taninya, baik itu berupa pemberian pupuk dan bibit maupun uang untuk memenuhi kebutuhan alat penunjang pertanian. Setelah selesai masa panen, petani

mengembalikan pokok kredit kepada BPR dalam bentuk uang ditambah dengan sistem bagi hasil antara petani dan BPR. Keuntungan yang diperoleh BPR dari pengembalian kredit pada usaha tani, diberikan kepada pemilik modal berupa simpanan yang berdasarkan kesepakatan bagi hasil antara BPR dengan pemilik modal.

4.3 Sistem Fintech Berbasis Big Data Dalam Penyaluran Dana KKP-E Pada Usaha Tani di Kabupaten Pandeglang Implementasi dalam penggunaan Big Data secara granular lebih banyak ditemukan di sektor bisnis. Para pelaku usaha khususnya lembaga perbankan lebih mengharapkan bahwa penggunaan Big Data dapat membantu dalam menjalankan suatu bisnis. Sistem keuangan berbasis fintech sudah banyak dipakai semua kalangan perbankan karena sangat berguna untuk memfasilitasi proses transaksi keuangan yang lebih praktis, modern yang meliputi layanan keuangan berbasis digital yang saat ini telah berkembang di Indonesia yaitu Payment Channel System, digital banking, online digital insurance, Peer to Peer (P2P) Lending, serta crowd funding. Penerapan teknologi finansial dapat meningkatkan efisiensi kegiatan operasional dan berkembangnya kebutuhan masyarakat akan layanan keuangan berbasis online dan penggunaan Big Data dalam mengakses data keuangan. Hal ini tentunya akan membantu proses percepatan dalam penyaluran dana kredit ketahanan pangan (KKP-E) di BPR dengan aplikasi yang murah, efisien, dan efektif dengan akses yang teratur pada penyaluran KKP-E kepada usaha tani di Kabupaten Pandeglang. Proses penyaluran dana KKP-E lebih cepat dan terukur dengan mitigasi risiko yang dapat dilakukan secara awal dengan sistem fintech.

Layanan Keuangan

Fintech

Big Data

Gambar 1.4 Implementasi Penggunaan fintech berbasis Big Data dalam layanan keuangan

Dengan adanya Big Data di dalam sistem penyaluran KKP-E pada BPR, dapat mengidentifikasi data-data para petani yang memiliki modal yang kurang

serta alat kebutuhan pertanian yang kurang memadai. Data analitik berupa sistem keuangan yang diatur oleh Big Data mengenai sistem penyaluran KKP-E pada usaha tani dapat dibagi menjadi 2 jenis kredit yaitu berupa uang dan barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan alat pertanian yang akan digunakan oleh petani untuk mengembangkan usaha taninya. Melalui Big Data, BPR dapat mengetahui tingkat pengembalian kredit yang harus dibayarkan oleh petani mengenai jumlah kredit yang akan dipinjam. Selain itu, dengan adanya bantuan Big Data BPR dapat menganalisis pencegahan dan memitigasi risiko keuangan dalam pengkreditan. Oleh karena itu, adanya sistem fintech berbasis Big Data diharapkan dapat membantu sistem keuangan BPR dan program penyaluran kredit kepada usaha tani agar dapat berkembang dan membentuk ketahanan pangan yang maksimal di Kabupaten Pandeglang.

4.4 Peran dan Kontribusi BPR Dalam Meningkatkan Inovasi Kemandirian Pangan di Kabupaten Pandeglang BPR (Bank Pangan Rakyat) merupakan suatu lembaga pangan yang membantu usaha rakyat dalam meningkatkan ketahanan pangan melalui kebijakan sistem kredit ketahanan pangan (KKP-E) dan sistem distribusi. Melalui dua kebijakan tersebut BPR dapat dipercaya untuk mewujudkan inovasi kemandirian pangan di Kabupaten Pandeglang. Peran BPR dalam mewujudkan suatu inovasi kemandirian pangan yaitu meningkatkan swasembada pangan di setiap wilayah Banten terutama Kabupaten Pandeglang yang merupakan suatu wilayah yang dapat dipercaya sebagai sentral dari ketahanan pangan, karena memiliki potensi lahan dan potensi pertanian yang sangat memadai. Selain itu, BPR dapat membantu meringankan para petani untuk mengembangkan usahanya dengan melalui sistem kebijakan kredit yang dapat mensejahterakan petani melalui hasil pangan yang meningkat serta dapat membantu wilayah lain untuk mendistribusikan pangan yang dihasilkan pada petani di Kabupaten Pandeglang. Perlunya suatu kemandirian pangan di suatu wilayah tidak terlepas dari adanya permasalahan seperti krisis pangan. Krisis pangan terjadi karena beberapa faktor yaitu terjadinya kelangkaan sumber daya, diversifikasi lahan, dan buruknya akses irigasi pada pertanian. Jika krisis pangan terjadi secara terus-menerus tentunya akan menurunkan daya

perekonomian di Indonesia, karena pangan merupakan suatu unsur yang harus dipenuhi oleh setiap masyarakat di suatu negara. Maka dari itu, pemerintah perlu untuk memantapkan ketahanan pangan melalui berbagai dukungan pembinaan yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi serta mutu, gizi dan keamanan pangan. Aspek ketersediaan dan distribusi sangat penting bagi negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan sentra-sentra produksi yang terpencarpencar. Produksi pangan secara nasional dalam jumlah yang cukup, perlu didistribusikan agar seluruh masyarakat di wilayah Provinsi Indonesia, khususnya di Provinsi Banten dapat terpenuhi kebutuhan pangannya. Mengingat pentingnya kemandirian pangan di Indonesia, tak terlepas dari kontribusi yang telah diberikan oleh BPR dalam memajukan perekonomian di sektor pertanian melalui kebijakan kredit dan distribusi yang meliputi aspek ketersediaan pangan, distribusi, dan konsumsi serta tingkat kesejahteraan bagi petani untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya.

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan Pentingnya kemandirian dan ketahanan pangan dalam tatanan ekonomi global dan nasional telah dipahami oleh berbagai kalangan, baik itu para kepala negara dan pemerintahan, pimpinan, organisasi internasional maupun lembaga kemasyarakatan. Perwujudan ketahanan pangan akan semakin sulit karena menghadapi berbagai kendala fisik, ekonomi dan lingkungan. Sementara permintaan pangan akan semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, dan dinamika lingkungan yang strategis. Mengingat terjadinya krisis pangan yang pernah melanda di Indonesia, pemerintah perlu kebijakan dalam meningkatkan perekonomiannya, terutama disektor ketahanan pangan. BPR (Bank Pangan Rakyat) merupakan suatu lembaga pangan yang dapat dipercaya untuk meningkatkan ketahanan pangan, khususnya di Kabupaten Pandeglang. Dua kebijakan BPR yaitu sistem kredit ketahanan pangan dan energi (KKP-E) dan sistem distribusi menjadi salah satu faktor dalam penentu inovasi kemandirian pangan. Selain dari kemandirian pangan, lembaga BPR dapat diharapkan untuk memajukan perekonomian di sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan bagi petani di Kabupaten Pandeglang.

5.2 Saran Penerapan sistem BPR termasuk pengembanganya diharapkan dapat mewujudkan inovasi kemandirian pangan serta ketahanan pangan di Kabupaten Pandeglang. Selain itu, BPR dapat memberikan kesejahteraan kepada petani melalui sistem kredit dan sistem distribusi pangan yang dibagikan ke wilayah lain untuk mengatasi krisis pangan guna memajukan ketahanan pangan dan dapat meningkatkan perekonomian di Indonesia melalui sektor pertanian.

DAFTAR PUSTAKA Akram W, Hussain Z, Sial MH, Hussain I. 2008. Agricultural credit constraints and borrowing behavior of farmers in Rural Punjab. European J of Scien Research. 23(2):294-304. Kementerian Pertanian. 2015. Pedoman teknis kredit ketahanan pangan dan energi (KKP- E). Direktorat Pembiayaan Pertanian, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.Pandula G. 2011. An empirical investigation of small and medium enterprise’s access to bank finance. ASBBS Annual Conference Procceding. 18(2). Sayaka B, Rivai RS. 2011. Peningkatan akses petani terhadap Kredit Ketahanan Pangan dan Energi. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian. Maxwell S. dan Slater R. 2003. Food Policy Old and New. Development Policy Review. Vol. 21(5-6). Dewan Ketahanan Pangan. 2005. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2005-2009, Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta. Anonim, 1996. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kantor Menteri Negara Pangan RI. Wiyanti S. 2013. Kucuran kredit perbankan ke sektor pertanian masih sangat rendah. Merdeka.com. Dinas Pertanian Kabupaten Pandeglang : 2017. Kagermann, H., Lukas, W.D., & Wahlster, W. (2013). Final report: Recommendations for implementing the strategic initiative INDUSTRIE 4.0. Industrie 4.0 Working Group. Suparta, Nyoman. 2010. Memaniapkan Strategi Pengelolaan Pertanian. Denpasar: Pustaka Nayottama. Tambunan, Tulus Tahi Hamongan (2007),”Role of Agriculture in Poverty Reduction. Some Evidence from Indonesia”, The Indian Economic Journal,

Saliem HP. Mardiyanto S. Simatupang P. 2003. Perkembangan dan Prospek Kemandirian Pangan Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian 55(2), Juni-Juli. Arrozi A M, Saptana. 2013. Implementasi Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dalam Mendukung Ketahanan Pangan Provinsi Banten. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-33 “Optimalisasi Sumberdaya Lokal Melalui Diversifikasi Pangan Menuju Kemandirian Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015” 2013. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Kuncoro, Mudrajad. 2009. Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi, Edisi Ketiga, Erlangga, Jakarta. Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung Alfabeta.

Related Documents

Sub Bab Revisi.docx
May 2020 15
Bab 4 Sub Netting
November 2019 18
Sub
May 2020 32
Sub
June 2020 22
Sub
May 2020 24
Sub
December 2019 55

More Documents from ""