Suara Merdeka Edisi Cetak
1 of 2
http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detail...
WACANA 06 Februari 2009
Hak Reproduksi Perempuan Islam Oleh Sri Multi Fatmawati
DALAM peradaban Arab pra-Islam. perempuan adalah ”mata” (benda) yang bisa diwariskan atau digadaikan dan mut’ah (kesenangan) yang bisa diperebutkan laki-laki. Lebih dari itu, perempuan dianggap sumber malapetaka dan kesengsaraan. Karena itu, ia seringkali dianggap wajar untuk dikutuk seperti setan, dan pantas dibunuh bahkan hidup-hidup. Realitas kebudayaan seperti ini diungkapkan sejumlah ayat dalam Alquran (baca QS An-Nahl: 58 dan At-Takwir: 9). Wahb bin Munabbih —ahli tafsir Bibel terkemuka beragama Yahudi kemudian masuk Islam— seperti dikutip ahli tafsir klasik terkemuka, Ibnu Jarir At-Thabari, ketika mengomentari kejatuhan Adam dari surga mengatakan: ”Tuhan bertanya kepada Adam: mengapa kamu menentang perintah-Ku?”. Adam menjawab: ”Gara-gara Hawa. Tuhan kemudian mengatakan: ”Jika begitu, Aku akan jadikan dia (Hawa) berdarah-darah setiap bulan, Aku jadikan dia bodoh, dan Aku jadikan dia menderita ketika melahirkan. Padahal sebelumnya dia Aku jadikan bersih, cerdas, dan melahirkan dengan menyenangkan”. Salah seorang periwayat kisah ini mengomentari: ”Andaikata tidak karena Hawa, niscaya perempuan di seluruh muka bumi tak akan pernah haid, cerdas-cerdas, dan melahirkan tanpa susah payah”. (At-Thabari, Jami’ al Bayan ‘an Takwil Ay Al Qur-an, I/237). Pernyataan Alquran maupun perspektif Ibnu Munabbih itu dengan jelas menunjukkan betapa pandangan peradaban Arab pra-Islam dan wacana tafsir keagamaan telah menyudutkan dan merendahkan perempuan sedemikian jauh. Meski pandangan Ibnu Munabbih sulit dipahami oleh logika sehat, dan sangat berbau mitologis, ia memiliki implikasi-implikasi yang serius terhadap status perempuan di kemudian hari. Penghargaan sedikit lebih baik terhadap kaum perempuan dilakukan dengan memasukkan mereka ke dalam rumah, tidak boleh keluar kecuali melalui izin suami atau keluarga dekatnya, atau dengan pengawasan yang sangat ketat. Di rumah, tugas utama perempuan adalah melayani kebutuhan seks laki-laki (suami) dan melahirkan anak. Perempuan (istri) harus senantiasa siap menerima kebutuhan laki-laki kapan saja dan di mana saja: di dapur, atau di atas punggung unta! Penghapusan Diskriminasi Islam sebagai agama, seperti juga agama-agama lain, adalah otoritas yang selalu berfungsi menyelamatkan dan membebaskan manusia dari tirani-tirani manusia yang lain. Alquran menyebutkan fungsi ini sebagai yukhrijuhum min al zhulumat ila al nur (mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya). Islam hadir dalam peradaban patriarkhis yang menindas perempuan. Nabi Muhammad menyampaikan firman Tuhan mengenai penghapusan diskriminasi manusia di satu sisi, dan membangkitkan kesadaran baru tentang martabat manusia di sisi lain. Laki-laki dan perempuan, menurut teks suci Tuhan, lahir dari entitas yang sama. Karena itu, berkedudukan sejajar dan sama pula di hadapan Tuhan (baca QS An-Nisa: 1). Ini merupakan konsekuensi logis dari teologi monoteistik yang dibawa Islam. Beberapa ayat Alquran yang turun menyebutkan nama perempuan bersama nama laki-laki. Mereka memiliki hak-hak otonom yang tak bisa diintervensi laki-laki. Ini, kata Umar bin Khattab, adalah paradigma baru yang belum pernah terjadi sebelumnya (Al Bukhari, As-Shahih, V/2197). Bahkan ada surat yang diberi nama An-Nisa, yang berarti perempuan. Ada juga surat yang menggunakan nama perempuan, seperti Maryam, atau yang berkaitan dengan persoalan hak reproduksi perempuan seperti Al-Thalaq. Pandangan kesetaraan manusia (laki-laki dan perempuan) dalam Alquran meliputi aspek spiritualitas, intelektualitas, dan seksualitas, serta segala aktivitas kehidupan praktis yang lain. Tentang hubungan seksualitas, Alquran menyatakan: ”Dan mereka (perempuan) memiliki hak yang sebanding dengan kewajiban mereka” (QS Al-Baqarah: 228). Ibnu Abbas, sahabat Rasulullah, mengomentari ayat ini dengan mengatakan: ”Aku suka berdandan untuk istriku, seperti aku suka dia berdandan untukku” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, I/271). Ayat lain juga menyebutkan: ”Mereka (perempuan) adalah pakaian bagi kamu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka” (QS Al-Baqarah: 187). Ayat ini dikemukakan dalam konteks relasi seksual suami-istri. Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jubair, Al Hasan, Qatadah, As Siddi, dan Muqatil bin Hayyan menyatakan, ayat ini berarti bahwa mereka tempat ketenangan bagi laki-laki, dan laki-laki tempat ketenangan bagi mereka (perempuan). Atas dasar ayat ini, Ibnu Katsir menyimpulkan laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk menikmati kehidupan seksualnya. Pandangan egalitarianisme Islam di atas adalah salah satu dari sekian prinsip Islam yang diharapkan menjadi landasan bagi sistem dan pranata-pranata sosial yang harus dibangun masyarakat Islam untuk sebuah kehidupan yang adil. Sesudah Rasulullah wafat dan beberapa waktu sesudah itu, pandangan demikian mengalami proses perjalanan yang tak mulus. Bahkan ada kecenderungan stagnan atau malah mundur ke belakang. Dalam banyak hal yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi perempuan, misalnya, ada pandangan kaum muslimin yang belum memberikan respons
2/12/2009 4:06 PM
Suara Merdeka Edisi Cetak
2 of 2
http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detail... hak-hak reproduksi perempuan, misalnya, ada pandangan kaum muslimin yang belum memberikan respons transformatif-progresif. Mayoritas penafsir Alquran dan Hadits, seperti yang banyak kita baca dalam literatur klasik Islam, memperlihatkan kecenderungan memosisikan perempuan secara subordinat. Hampir semua penafsir klasik berpendirian, perempuan secara alamiah adalah makhluk inferior, sementara laki-laki superior. Pendirian mereka dibangun atas dasar argumen teks otoritatif, seperti Ayat 34 Surat An-Nisa. Pandangan ini pada akhirnya membawa implikasi-implikasi serius pada persoalan hak-hak reproduksi perempuan. Sejumlah masalah reproduksi perempuan dalam banyak literatur Islam klasik, dikemukakan dengan tetap memosisikan perempuan sebagai makhluk biologis untuk kenikmatan laki-laki Memuliakan Perempuan Padahal, Islam memuliakan perempuan dan menempatkan mereka pada posisi semestinya, sesuai dengan kodrat penciptaannya. Perempuan adalah ibu generasi, yang mana di pundaknya terletak tanggung jawab besar untuk melahirkan dan mendidik generasi berkualitas sebagai aset besar suatu bangsa. Menjadi ibu adalah tugas utama dan pertama bagi seorang perempuan. Agar fungsi dan peran penting perempuan tersebut terwujud, Islam menetapkan sejumlah aturan. Aturan tersebut mengatur pola relasi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, seperti pernikahan, kehamilan, kelahiran, penyusuan, jaminan nafkah, pendidikan anak, dan lain-lain. Pernikahan ditujukan untuk melahirkan keturunan dan melestarikan jenis manusia (QS An-Nisa: 1 dan An-Nahl: 72). Di sisi lain, Islam mengharamkan perzinahan dan menetapkan sanksi bagi pelakunya (QS An-Nur: 2). Hal ini dimaksudkan untuk memelihara kesucian, kebersihan, dan kejelasan keturunan. Bandingkan dengan sistem sekuler demokrasi yang memberi kebebasan pribadi, kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan seksual, homoseks, lesbian, dan sebagainya atas nama hak azasi manusia (HAM). Semua ini justru bermuara pada ketidakjelasan keturunan, perselingkuhan, putusnya hubungan keluarga, serta merajalelanya HIV/AIDS dan penyakit seks menular lainnya. Dengan pernikahan, perempuan diberi hak untuk diperlakukan secara hormat. Kehidupan fisiknya terjamin dengan adanya nafkah. Dengan ini, perempuan tidak harus menghidupi dirinya apalagi dengan cara-cara yang merusak kodratnya, seperti melacurkan diri yang dampaknya akan merusak organ-organ reproduksinya. Terkait dengan kehamilan, Alquran memberikan empati tinggi kepada seorang ibu yang menjalani proses kehamilan yang menjadi hak dirinya. Firman Allah: ”Dan Kami perintahkan manusia (berbuat baik) kepada ibu dan bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepadaKu-lah kembalimu” (QS Luqman: 14). Ayat ini sangat jelas! Sebagai konsekuensi bagi ibu yang mengandung anaknya dengan susah payah, Allah memberi wasiat kepada seluruh umat manusia untuk menghormati ibunya. Namun dalam kehidupan sehari-hari, kita masih melihat sebagian kecil kaum perempuan yang justru tak menghormati hak reproduksi yang diberikan secara istimewa oleh Sang Pencipta kepada mereka. Secara umum, pelanggaran terhadap hak reproduksi biasanya terjadi di kota-kota besar. Misalnya, pergaulan bebas yang luar biasa, sehingga hamil dan melahirkan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Bahkan, ada sebuah buku yang menggambarkan dengan sangat vulgar tentang kaum wanita yang merusak kodratnya (hak reproduksi) sendiri. Mereka berpenampilan seronok, sehingga mengundang hasrat kaum lelaki. Bagi mereka, perbuatan seronok dianggapnya sebagai salah satu kebebasan yang dibenarkan HAM. Mereka tak berpikir bagaimana menghormati hak reproduksi yang dimilikinya dengan baik. Fenomena umum di tengah masyarakat kota-kota besar itu, dengan atas nama HAM, sebenarnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM itu sendiri. Kita prihatin melihat fenomena tersebut. Bahkan, belakangan ini kita sering melihat kaum perempuan mau dieksploitasi orang lain. Kita harus cegah eksploitasi kaum perempuan ini. Apalagi orang yang mengekspoitasi ini meraup untung lebih banyak daripada kaum perempuan yang dieksploitasi. Kaum perempuan mestinya mengembalikan masalah hak reproduksinya sesuai dengan HAM pada koridor yang benar, yaitu koridor agama dan nilai-nilai moral. Sebab, agama (Islam) sangat menghargai hak asasi manusia. Dilihat dari maqaasid al-syari’ah (tujuan syariat), maka untuk menjaga dan melestarikan kelangsungan keturunan, seharusnya kita memberi perlindungan kepada perempuan untuk bisa menikah, mengandung (hamil), dan melahirkan dengan aman, tanpa dihantui dosa-dosa. Dalam pandangan Islam, pernikahan tidak hanya untuk melestarikan kelanjutan keturunan, tapi juga untuk menikmati hubungan seks. Pernikahan merupakan salah satu perintah suci yang dibenarkan Islam kepada setiap manusia. Hubungan seks untuk melestasikan keturunan dihalalkan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah menikah. Dengan kata lain, hak reproduksi selain sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, juga sejalan dengan HAM, yang tidak bertentangan dengan agama. (32) –– Sri Multi Fatmawati SSos, aktivis perempuan, PNS di Pemerintah Kota Semarang.
2/12/2009 4:06 PM