Studi Pustaka Faktor Budaya Dan Etos Kerja Dalam Perkembangan Modernisasi

  • Uploaded by: Adri Arief
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Studi Pustaka Faktor Budaya Dan Etos Kerja Dalam Perkembangan Modernisasi as PDF for free.

More details

  • Words: 2,043
  • Pages: 6
STUDI PUSTAKA FAKTOR BUDAYA DAN ETOS KERJA DALAM PERKEMBANGAN MODERNISASI By : A.Adri Arief 1 Perspektif budaya dan perspektif psikologi dalam teori modernisasi, berawal dari kajian Weber tentang hubungan antara etika Protestan dengan spirit kapitalisme dengan bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism dan need for achievement (nAch.) serta kajian McClelland mengenai hubungan motif berprestasi dengan perkembangan ekonomi. Weber (1985), menyatakan bahwa kerja keras sebagai wujud pengabdian kepada agama sebagaimana dianjurkan etika Protestan telah menjadi spirit bagi tumbuhnya kapitalisme berupa terciptanya rasionalitas instrumental dan organisasi produksi yang free-labor. Sedang agamaagama lain seperti Budhisme dan Hinduisme pada masyarakat India ataupun ajaran Taoisme dan Konfusianisme di Cina, afinitas elektif tidak dalam konteks itu sehingga kapitalisme yang terjadi dimana agama-agama tersebut dianut tidak dapat berkembang. Apa yang dimaksudkan oleh Weber (1985), dilustrasikan sebagai berikut The form of organization was in every respect capitalistic; the entrepreneur’s activity was a purely business character, the use of capital, turned over in the business, was indispensable, and finaly, the objective aspect of the economic process, the book keeping, was rational … All these dominated the conduct of the business, were at the basis, one may say, of the ethos of this group of business men.

Sementara McCleland (1987), menyimpulkan bahwa kebutuhan berprestasi atau (nAch.) merupakan faktor yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam suatu kebudayaan. Semakin banyak individu yang mengutamakan kepuasaan akan prestasi melalui kerja keras, produktivitas tinggi, disiplin waktu dan hidup berhemat, maka semakin banya tenaga wiraswasta dalam masyarakat yang berfungsi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Konteks ini dinyatakan oleh McClelland (1987) sebagai berikut : Kebudayaan-kebudayaan yang memiliki nAch yang tinggi lebih siap untuk menerima alat-alat pencari nafkah yang lebih efisien sekaligus lebih rumit, sementara kebudayaan yang memiliki nAch yang rendah mungkin lebih banyak mencurahkan perhatian pada pelestarian tradisi mereka, terutama dalam lingkungan keagamaan.

1

Contact Person : Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si. Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamalanrea, Makassar 90245. E-mail : [email protected]

Ketercapaian dari nAch, tentunya harus didukung oleh etos kerja yang diartikan sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipacarkan oleh hidup (Geertz, 1978). Etos kerja didefinisikan sebagai suatu aspek evaluatif yang bersifat menilai kerja atau usaha ekonomi yang dianggap sebagai suatu keharusan demi hidup, sesuatu yang imperatif dari diri, atau sesuatu yang terikat pada identitas diri yang sakral seperti agama (Abdullah, 1979). Sasarannya adalah apa yang menjadi sumber motivasi seseorang dalam bekerja dan sejauhmana sumber motivasi tersebut cukup kuat menciptakan prestasi kerja. Penelitian Bellah (1957), di Jepang mengenai hubungan religi Tokugawa dengan perkembangan industri, menemukan konteks yang hampir mirip dengan etika Protestan yang dikemukan oleh Weber. Etika tersebut menurut Bellah (1967), adalah : (1) ajaran untuk bekerja secara tekun dan sungguh-sungguh; (2) ajaran untuk memiliki sikap pertapa yang hemat dalam konsumsi barang; (3) usaha keras mengoptimalkan keuntungan yang diperoleh dari usaha yang normal. Seluruh ajaran ini mendapatkan legitimasinya dalam ajaran agama melalui doktrin spirit budhisattva. Selanjutnya oleh Wong (dalam Suwarsono dan So, 1991), meneliti hubungan familisme dan peternalisme dengan perkembangan ekonomi pengusaha Cina di Hongkong. Disimpulkan bahwa pranata keluarga tradisional Cina mampu membentuk etos ekonomi dinamik, yang bisa disebut sebagai etos usaha keluarga. Keluarga dijadikan sebagai unit dasar kompetisi ekonomi, yang memberikan landasan untuk terjadinya proses inovasi dan kemantapan pengambilan resiko. Tiga karakteristik etos ini adalah sebagai berikut : (1) konsentrasi yang tinggi dalam pengambilan keputusan dengan formalitas organisasi yang sangat rendah; (2) otonomi dihargai tinggi dan bekerja secara mandiri disukai; dan (3) usaha keluarga jarang berjangka panjang dan secara ajeg selalu berada dalam posisi yang tidak stabil. Konteks Indonesia, faktor budaya dalam perkembangan ekonomi pertama kali dibahas secara ilmiah dalam disertasi Boeke (1946). Boeke (1946), menyimpulkan bahwa sistem ekonomi Indonesia di masa lalu bersifat statis dan prakapitalis serta tidak mungkin beralih menjadi sistem ekonomi dinamik dan kapitalis, karena dalam sistem ekonomi rakyat orientasi mistik lebih kuat dari orientasi pengembangan ekonomi. Sifat statis inilah, menurutnya yang menyebabkan orang Indonesia miskin di zaman penjajahan. Namun, tesis ini dibantah oleh Geertz (1963), bahwa apa yang telah disimpulkan oleh Boeke adalah tidak tepat. Karena penjajahanlah maka sifat statis dan miskin muncul dan dialami oleh orang Indonesia. Di masa penjajahan Belanda bukan mendorong transformasi agraris-industrial, melainkan menghimpitkan sistem ekonomi dinamik di atas sistem ekonomi statis (jaman culturstelsel), sehingga pertumbuhan penduduk diserap ke dalam, orang Indonesia kemudian menjadi statis dan pesismistis melihat masa depan. Fenomena ini kemudian di istilahkan oleh Geertz sebagai

involusi pertanian, suatu defleksi negatif dari transformasi agraris industrial yang seharusnya take- off . Selanjutnya, temuan Geertz mengenai tanam paksa (culturstelsel) sebagai penyebab lemahnya orang Indonesia terbantahkan pula oleh Soewardi (1996), dengan fakta bahwa orang Indonesia telah lemah karsa sejak pertengahan abad 17. Karena lemahnya sehingga orang Indonesia diperbudak dalam sistem tanam paksa, bukan tanam paksa yang menimbulkan sifat lemah, melainkan karena kaum Islam yang masuk ke Indonesia sudah kehilangan elan-vitalnya. Mereka (pedagang Islam) awalnya adalah pedagang yang dinamik, tetapi karena sebagian besar kawin dengan puteri bangsawan, maka keturunan mereka dididik dalam tradisi kerajaan yang mengutamakan budi pekerti dan meninggalkan perdagangan, lalu berpadu dengan agama Hindu yang mengutamakan keluhuran, maka pada gilirannya melahirkan budaya keluhuran budi dengan nilai instrumental yang lemah. Kemudian dalam kajian selanjutnya Soewardi (1999), mengidentifikasi peninggalan sifat kelemahkarsaan (soft culture) masyarakat Indonesia yang masih membekas hingga saat ini yakni : (1) tidak adanya orientasi ke depan; (2) tidak dimilikinya growth philosophy; (3) sifat cepat menyerah; (4) berpaling ke akhirat (retreatism), dan (5) lamban (inertia). Sehingga perkembangan ekonomi atau trasformasi agrarisindustrial yang terjadi di Indonesia lebih ditandai oleh “pembagian pangan” dibanding “peningkatan pertumbuhan”. Masalah mentalitas juga dikaji para ahli, dalam konteks sejauhmana terdapat mentalitas yang bersifat menghambat transformasi industri termasuk modernisasi didalamnya atau pembangunan secara umum. Koentjaraningrat (1988), mengidentifikasi lima sifat mentalitas yakni; (1) meremehkan mutu atau kualitas kerja; (2) suka menerabas atau jalan pintas; (3) tidak percaya pada diri sendiri; (4) tidak berdisiplin murni; dan (5) suka mengabaikan tanggung jawab. Kemudian Soetrisno (1990), menyoroti lemahnya budaya egaliter dan kuatnya feodalisme, bahwa tanpa budaya egaliter dan pengahapusan feodalisme maka walaupun dapat membangun industri secara fisik namun tidak akan mampu mengangkat harkat hidup masyarakat secara utuh. Sosrodihardjo (1988), menambahkan pengaruh faktor pola asuh dalam keluarga sangat berperan untuk munculnya individu yang kondusif dengan budaya industri. Apa yang dikaji oleh para peneliti diatas kesemuanya mengacu kepada pendekatan Weber, yakni melihat sejauh mana keterhubungan etika dalam suatu masyarakat yang dapat mendukung perkembangan ekonomi. Kajian berbeda dilakukan oleh Davis (dalam Soewarsono dan So, 1991), dengan asumsi bahwa pada negara berkembang selalu terdapat nilai dan norma yang bersifat resisten terhadap nilai dan norma kapitalisme. Ketika kapitalisme berpenetrasi ke dalam masyarakat lokal, barikade nilai dan norma lokal berhasil ditembus, sehingga kapitalisme diterima dan dipraktekkan. Disimpulkan bahwa bukan karena dalam masyarakat terdapat etika yang mendukung kapitalisme sehingga ekonomi

berkembang, malainkan karena barikade nilai dan norma lokal ditembus oleh kapitalisme. Kesimpulan ini mirip dengan teori artikulasi yang dikembangkan Meillassoux dan Rey dalam Salman (2002), bahwa kegagalan kapitalisme pada negara berkembang disebabkan oleh kegagalan artikulasi yakni kegagalan mengkombinasikan unsur-unsur dalam formasi sosial. Formasi sosial itu merupakan koeksistensi antara cara produksi kapitalisme dengan cara produksi non-kapitalisme. Semakin dominan cara produksi kapitalisme dalam formasi sosial, maka akan semakin artikulatif perkembangan kapitalisme dan industrialisasi. Sebaliknya, semakin kuat cara produksi non-kapitalisme bertahan, maka akan semakin lama periode transisi dalam perkembangan kapitalisme dan industrialisasi, dan setiap masyarakat menurut teori ini memiliki ciri artikulasi yang berbeda-beda. Teori artikulasi juga dikembangkan oleh Hefner (1998). Hefner (1998) melihat bahwa perbedaan dalam budaya pasar akan selalu ada, karena aturan kemanusian memang menghendaki demikian. Pasar hanya bekerja karena ia berada dalam dunia sosial yang ia sendiri merupakan bagiannya. Kemudian untuk konteks Asia, dijelaskan bahwa kapitalisme di kawasan tersebut telah berkembang di tengah keragaman struktur sosial dan tradisi moral yang diartikulasikan oleh unsur lokal. Apakah dengan jaringan quanxi bagi akumulasi kapital di Taiwan, atau dukungan komunis terhadap perusahaan swasta di Vietnam, kapitalisme bekerja melalui artikulasi dengan politik, organisasi dan budaya lokal. Pada kasus industrialisasi di Korea Selatan, Kyong-Dong (1995), menyatakan bahwa keberhasilan industrialisasi dan perkembangan kapitalisme tidak harus dilihat hubungannya dengan spirit agama ataupun tradisi. Kyong-Dong berhipotesis bahwa kerja keras yang mendukung keberhasilan industrialisasi di Korea Selatan sulit dicari asosiasinya dengan etika Konfusianisme. Kalaupun berpengaruh, maka ia hanyalah salah satu dari berbagai faktor lain. Dengan munculnya pendekatan non-Weberian seperti yang dikembangkan oleh Davis, Meillassoux dan Rey, Hefner, serta Kyong-Dong sebagai alternatif dari pendekatan Weberian seperti yang dikembangkan oleh Bellah dan Wong, maka semakin bervariasi pendekatan untuk studi konteks budaya dalam artikulasi modernisasi. Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan Weberian dan non-Weberian untuk menemukan kemungkinan makna lain dari pengaruh konteks budaya dalam perkembangan modernisasi perikanan di Sulawesi Selatan. Selain menempatkan kebudayaan sebagai konteks perubahan, analisis juga dapat dilakukan terhadap kebudayaan sebagai substansi perubahan. Secara umum, teori tentang perubahan kebudayaan dapat dibagi dalam tiga pendekatan. Pertama, teori adaptasi budaya (cultural adaptation theory) dari Parson (dalam Wallace dan Wolf, 1980), yang menyatakan bahwa kebudayaan manusia berkembang dan mengalami perubahan karena adanya peningkatan kemampuan beradaptasi. Perubahan kebudayaan adalah proses generalisasi nilai yang diakibatkan

oleh peningkatan kompleksitas masyarakat. Peningkatan kompleksitas menuntut pola budaya baru, yang dengan itu kemampuan adaptasi lebih tinggi (adaptive up-grading) diperlukan, melalui pemahaman dan penafsiran ke tingkat abstraksi yang berlaku umum. Kedua, teori legitimasi kelas (class legitimation theory), yang menyatakan bahwa perubahan kebudayaan terjadi karena adanya pergeseran posisi kelas sosial dalam struktur masyarakat (Wuthnow, 1992). Menurut teori ini, kelas sosial baru membutuhkan legitimasi dalam hubungannya dengan kelas elit sebelumnya, ataupun untuk mensubordinasi kelas sosial lain dalam masyarakat pada saat itu. Ideologi baru diperlukan oleh elit baru untuk melegitimasi posisinya, ideologi tersebut minimal berisi ide dan simbol yang merefleksikan pengalaman sejarah kemunculan kelasnya dan bagaimana mengontrol cara produksi masyarakat, yang akhirnya bermuara pada doktrin kekuasaan baru. Ketiga, teori kelembagaan (institutional theory), yang menyatakan bahwa perubahan kebudayaan dipengaruhi oleh konfigurasi kelembagaan (Wuthnow, 1992). Tiga variabel dalam teori ini adalah konteks kelembagaan, kondisi lingkungan, dan sekuensi tindakan. Konteks kelembagaan adalah latar aktivitas kebudayaan itu diproduksi, mengatur bagaimana aktor memproduksi kebudayaan, hubungan dengan pelaku kebudayaan lain, dan hubungan dengan organisasi lebih besar seperti negara dan pasar. Kondisi lingkungan seperti kompleksitas sosial, pertumbuhan ekonomi, dan distribusi kekuasaan, dilihat pada sumber daya sosial yan disediakannya untuk mempengaruhi konfigurasi kelembagaan. Sekuensi tindakan berhubungan dengan aktivitas produsen kebudayaan yang mencakup responsnya terhadap keadaan kontigensi, formulasi ideologi diantara mereka, keterkaitan relasi sosial dengan teks ideologi, dan ketercerminan teks ideologi dalam relasi sosial. Wuthnow (1992), menekankan bahwa dengan kombinasi variabel kelembagaan, lingkungan dan tindakan, dapat dipertimbangkan variasi dari faktor tersebut dalam operasionalnya memproduksi aktivitas kebudayaan pada tempat dan waktu yang berbeda. Kajian Dhouadi (1995), melihat bahwa setelah modernisasi berlangsung, kebudayaan negara berkembang telah berubah sehingga terjadi keterbelakangan budaya dan keterbelakangan psikologis. Keterbelakangan budaya mencakup keterbelakangan bahasa asli dari bahasa asing; keterbelakangan pengetahuan dalam bentuk ketergantungan kepada sains Barat sementara pengetahuan asli tergusur, dan keterbelakangan nilai budaya dalam bentuk dominannya nilai Barat sementara nilai asli mengalami erosi. Keterbelakangan psikologis meliputi kompleks inferioritas dalam menghadapi Barat dan disorganisasi kepribadian akibat konflik akut nilai tradisional dengan nilai Barat. Sistem psiko-kultural masyarakat negara berkembang saat ini, menurut Dhouadi (1995), dicirikan oleh kombinasi berbagai keterbelakangan tersebut. Sedang kajian Szanton (2000), di Estancia sebuah kota nelayan di Filipina lebih melihat hubungan yang dinamis bentuk budaya dan perilaku

ekonomi yang saling penetrasi dalam modernisasi perikanan terhadap struktur hubungan sosial masyarakat. Penggunaan diskursus moral lokal sebagai pengganti “budaya” lokal menjadi efektif dalam relasi sosial. Masalah produksi, distribusi, akumulasi, diversifikasi usaha dan pemakaian aset ekonomi menjadi isu-isu moral yang penting dibanding isu-isu lain seperti identitas orang, status dan sebagainya. “Keterikatan” (embeddedness) peran yang saling mendukung antara kapitalis ekstraktif (masyarakat lokal) dan kapitalis pedagang (pedagang Cina) menpengaruhi konfigurasi kelembagaan lokal sehingga tumbuh menjadi kebudayaan baru yang mendukung tercipatanya perubahan. Dengan demikian maka, sedikitnya ada dua cara pandang yang dapat dilihat dalam interaksi kebudayaan Barat dengan kebudayaan negara berkembang saat ini. Pertama, cara pandang homogenisasi, bahwa modernisasi adalah proses yang di dalamnya budaya Barat berekspansi dan menundukkan budaya lain sehingga suatu saat dunia dihomogenkan dalam satu ciri budaya saja, yakni budaya Barat. Kedua, cara pandang hibridisasi, bahwa modernisasi global adalah proses yang di dalamnya heterogenitas budaya tetap bertahan dan berlangsung proses hibridisasi budaya, usur budaya Barat dan non-Barat bercampur dalam satu individu, dalam satu masyarakat. Pandangan ini didukung oleh kajian Robertson (1995), Pieterse (1995), dan Salman (2002). Melihat dua pandangan ini, maka konsep modernisasi perikanan pada masyarakat nelayan yang mengalami dinamika formasi sosial diduga akan dicirikan oleh pandangan kedua, yakni pandangan hibridisasi budaya........!!!!!!!!!!!

Related Documents


More Documents from "rini dwi astuti"