Studi Literatur (sl).docx

  • Uploaded by: Widi Widayanti
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Studi Literatur (sl).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,809
  • Pages: 68
MODEL SIMULASI INFLUENZA A-H1N1 DENGAN KONTROL PENCEGAHAN DAN PENYEMBUHAN BERUPA VAKSINASI STUDI LITERATUR Disusun untuk memenuhi syarat kelulusan pada mata kuliah studi literatur di Jurusan Matematika

Oleh: Widi Widayanti 1147010070

JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2017

LEMBAR PENGESAHAN MODEL SIMULASI INFLUENZA A-H1N1 DENGAN KONTROL PENCEGAHAN DAN PENYEMBUHAN BERUPA VAKSINASI

STUDI LITERATUR JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Oleh: Widi Widayanti 1147010070

Bandung, 12 Desember 2017 Menyetujui, Dosen Pembimbing SL,

Dosen Penguji SL,

Fadilah Ilahi, M.Si

Fadilah Ilahi, M.Si

NIP. 198807202015032005

NIP. 198807202015032005 Mengetahui, a.n. Ketua

Sekretaris Jurusan Matematika,

Dr. Rismawati Ramdani, M.Si NIP. 198605182009122004

i

ABSTRAK Nama

: Widi Widayanti (1147010070)

Jurusan

: Matematika

Judul

: Model simulasi influenza A-H1N1 dengan kontrol pencegahan dan penyembuhan berupa vaksinasi

Infeksi virus influenza A-H1N1 dapat menyebabkan wabah di seluruh negara di dunia. Wabah virus influenza H1N1 terjadi di Indonesia pada bulan April 2009. Pada bulan April hingga Desember 2009, dilaporkan bahwa 1892 kasus diduga terinfeksi virus tersebut. Namun, setelah dikonfirmasi sebanyak 809 kasus terinfeksi virus tersebut. Untuk menanggulangi hal tersebut, saat ini jejaring laboratorium WHO masih terus mengembangkan virus kandidat vaksin influenza pandemi A-H1N1. Dalam kajian studi literatur ini populasi terbagi menjadi 3 kompartemen, yakni individu yang rentan terhadap penyakit (susceptible), individu yang terinfeksi (infected), dan individu yang kebal terhadap penyakit (immune). Model yang terbentuk merupakan model SIR dan memiliki dua titik kesetimbangan, yaitu titik kesetimbangan saat dalam populasi tidak terdapat individu yang terinfeksi dan titik kesetimbangan saat dalam populasi terdapat individu yang terinfeksi. Setelah melakukan analisis kestabilan untuk masing-masing titik kesetimbangan, diperoleh bahwa titik kesetimbangan pertama (eq1) bersifat tidak stabil dan titik kesetimbangan kedua (eq2) bersifat stabil. Model yang terbentuk dianalisa dengan menggunakan simulasi beberapa kasus, sehingga dapat diketahui kondisi-kondisi yang menyebabkan infeksi virus influnza A-H1N1 ini mewabah atau tidak. Kondisi ini dapat diketahui dengan meninjau nilai ambang batas epidemi (๐‘…0 ). Pada simulasi 1-6 populasi bebas dari penyakit influenza A-H1N1, pada simulasi 7 dan 8 penyakit influenza A-H1N1 mewabah pada populasi, sedangkan pada simulasi 9 penyakit influenza A-H1N1 bersifat stabil karena penyakit tersebut tidak mewabah namun tidak pula hilang pada populasi. Kata kunci: model SIR, populasi variabel, ambang epidemi

ii

ABSTRACT Name

: Widi Widayanti (1147010070)

Departement : Matematika Title

: Simulation model of influenza A-H1N1 prevention and control with the healing in the form of vaccinations

Infection with the influenza virus A-H1N1 can cause outbreaks throughout the country in the world. H1N1 influenza virus outbreak occurred in Indonesia in April 2009. In April through December 2009, it was reported that the suspected virus-infected case of 1892. However, once confirmed as many as 809 cases infected with the virus. To overcome this, the WHO laboratory network is currently still continue to develop pandemic influenza vaccine candidate's virus A-H1N1. In this literature, population was divided into 3 compartments, i.e. susceptible people, infected people, and immune people. The model formed is a model of SIR and have a two-point equilibrium, i.e., the point of equilibrium when there is no individual in the population is infected and the point of equilibrium when there are populations in infected individuals. After doing the analysis of stability for each point of equilibrium, we know that the first equilibrium point (eq1) is unstable and second equilibrium point (eq2) is stable. The models formed were analyzed by using a simulation of some cases, so the conditions known to cause infections of the virus A-H1N1 influnza these epidemic or not. This condition can be found by reviewing the epidemic threshold value (๐‘…0 ). On the simulation of 1-6 the population is disease free from influenza A-H1N1, on simulation of 7 and 8 the influenza AH1N1 is epidemic on the population, while in simulation 9 influenza A-H1N1 are stable because the disease not epidemic but is not also lost on a population. Keywords: model SIR, population variables, the threshold of epidemic

iii

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahiim. Assalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi literatur ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, juga kepada keluarga, sahabat, tabiin-tabiat, dan juga para pengikutnya hingga saat ini. Studi literatur yang berjudul โ€œModel Simulasi Influenza A-H1N1 dengan Kontrol Pencegahan dan Penyembuhan Berupa Vaksinasiโ€ ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan pada mata kuliah Studi Literatur di Jurusan Matematika. Adapun penulisan studi literatur ini tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal tanpa adanya dorongan, motivasi, bimbingan, bantuan, kritik, dan saran serta doโ€™a dari berbagai pihak, sehingga penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. 2. Dr. Opik Taufik Kurahman, M.Ag selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. 3. Siti Julaeha, M.Si selaku Ketua Jurusan Matematika Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung 4. Fadilah Ilahi, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang turut membantu dalam proses penyelesaian studi literatur ini dengan bimbingan, kritik, saran, serta nasihat yang diberikan. 5. Staf Pengajar di Jurusan Matematika yang telah menyampaikan ilmunya sehingga mempermudah penulis untuk menyelesaikan studi literatur ini. 6. Keluarga, terutama kedua orang tua yang senantiasa memberikan dukungan materiil dan spiritual juga motivasi dan nasihat kepada penulis. 7. Sahabat dan teman-teman seperjuangan yang senantiasa memberikan dorongan, bantuan, dan doโ€™a agar terselesaikannya studi literatur ini.

iv

Studi literatur ini memungkinkan masih adanya yang harus diperbaiki dalam beberapa hal, misalnya dalam penulisan, bahasa, kerapian, dan lain-lain. Oleh sebab itu, penulis berharap kritik dan saran dari pembaca untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Semoga studi literatur ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Wassalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh.

Bandung, 12 Desember 2017

Penulis

v

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i ABSTRAK ............................................................................................................. ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2 1.3 Batasan Masalah ............................................................................................ 2 1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 2 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 3 1.6 Sistematika Penulisan .................................................................................... 4 BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................... 5 2.1 Persamaan Diferensial ................................................................................... 5 2.2 Sistem Persamaan Diferensial ....................................................................... 7 2.3 Titik Kesetimbangan Sistem Persamaan Diferensial ..................................... 8 2.4 Linearisasi, Nilai Eigen, dan Vektor Eigen ................................................... 8 2.5 Jenis-jenis Kestabilan .................................................................................. 10 2.6 Pemodelan Matematika ............................................................................... 11 2.7 Influenza A-H1N1 ....................................................................................... 13 BAB III MODEL SIMULASI INFLUENZA A-H1N1 DENGAN KONTROL PENCEGAHAN DAN PENYEMBUHAN BERUPA VAKSINASI ............... 16 3.1 Pembentukan Model .................................................................................... 16 3.2 Titik Kesetimbangan .................................................................................... 18 3.3 Analisis Eksistensi ....................................................................................... 20 3.4 Analisis Kestabilan ...................................................................................... 21 3.5 Angka Reproduksi Dasar (๐‘…0 ) ..................................................................... 25

vi

3.6 Simulasi Numerik ........................................................................................ 28 3.7 Interpretasi Hasil .......................................................................................... 33 BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 37 4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 37 4.2 Saran ............................................................................................................ 38 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 39 LAMPIRAN ......................................................................................................... 40

vii

DAFTAR GAMBAR Gambar 2. 1 Klasifikasi persamaan diferensial....................................................... 5 Gambar 2. 2 Diagram alur proses pemodelan ....................................................... 12 <<<<<<<<<<<<<<<<,

Gambar 3. 1 Diagram interaksi model .................................................................. 17 Gambar 3. 2 Potret fase solusi-solusi x, y, z terhadap t untuk simulasi 1-9 ........ 30 Gambar 3. 3 Potret fase di bidang x, y, z untuk simulasi 1-9 ............................... 32

viii

DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Daftar parameter yang digunakan untuk membangun model ............... 16 Tabel 3.2 Simulasi numerik untuk sistem ............................................................. 28 Tabel 3.3 Perhitungan untuk masing-masing simulasi ......................................... 32

ix

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง terhadap ๐‘ก dan potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง pada simulasi 1 ............................................... 40 Lampiran 2. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง terhadap ๐‘ก dan potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง pada simulasi 2 ............................................... 42 Lampiran 3. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง terhadap ๐‘ก dan potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง pada simulasi 3 ............................................... 44 Lampiran 4. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง terhadap ๐‘ก dan potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง pada simulasi 4 ............................................... 46 Lampiran 5. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง terhadap ๐‘ก dan potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง pada simulasi 5 ............................................... 48 Lampiran 6. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง terhadap ๐‘ก dan potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง pada simulasi 6 ............................................... 50 Lampiran 7. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง terhadap ๐‘ก dan potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง pada simulasi 7 ............................................... 52 Lampiran 8. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง terhadap ๐‘ก dan potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง pada simulasi 8 ............................................... 54 Lampiran 9. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง terhadap ๐‘ก dan potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง pada simulasi 9 ............................................... 56

x

BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai beberapa pendahuluan yang mendukung dalam penulisan studi literatur ini. Pendahuluam tersebut berupa latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan dari masalah yang dikaji.

1.1 Latar Belakang Masalah Flu A-H1N1 adalah penyakit pernafasan parah yang disebabkan oleh beberapa dari tiga virus influenza yang diketahui: A, B, dan C. Tipe A memiliki sub klasifikasi berdasarkan protein permukaannya, yakni hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (N). Bentuk penyakit yang parah dari influenza tergantung kapasitas keduanya. Dari sudut pandang perawatan kesehatan masyarakat, virus yang paling penting adalah tipe A. Tipe ini memungkinkan mengarah pada pandemi terkait dengan mobilitas tinggi, tingginya jumlah kematian akibat virus, dan gangguan sosial dan ekonomi. Infeksi ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang mendasar di seluruh dunia. Selain itu, sangat sulit mencari solusi yang tidak terbatas pada pencegahan dengan vaksinasi atau pengobatan untuk mengendalikan gejala. Untuk profilaksis digunakan beberapa antivirus dan vaksinasi tahunan, yang disesuaikan setiap tahun, dengan virus yang beredar [1]. Dalam keadaan khusus, antiviral diresepkan untuk meningkatkan khasiat vaksinasi. OMS merekomendasikan vaksin trivalent (bervalensi tiga) atau inactivated (penonaktifkan) yang dibentuk oleh antigen superfisial yang dimurnikan. Ini adalah metode pencegahan yang paling penting untuk virus influenza, yang sangat penting untuk infeksi dengan risiko komplikasi tertinggi. Vaksin yang melawan virus influenza merupakan komponen penting dari respons yang memadai terhadap pandemi. Ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi dalam pembuatan vaksin memotivasi untuk menetapkan dan memodelkan dinamika

1

transmisi A-H1N1. Model ini diterapkan pada populasi yang rentan dan divaksinasi sebagai ukuran optimal untuk pengendalian penyakit [1].

1.2 Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam kajian studi literatur ini adalah sebagai berikut. a. Bagaimana mengkonstruksi model simulasi influenza A-H1N1 dengan kontrol pencegahan dan penyembuhan berupa vaksinasi? b. Bagaimana kestabilan dari model simulasi influenza A-H1N1 dengan kontrol pencegahan dan penyembuhan berupa vaksinasi? c. Bagaimana pengaruh adanya variabel penyembuhan dan pencegahan terhadap populasi tersebut? d. Bagaimana simulasi dinamik dari model model simulasi influenza A-H1N1 dengan kontrol pencegahan dan penyembuhan berupa vaksinasi?

1.3 Batasan Masalah Dalam pembahasan masalah tersebut, terdapat beberapa batasan di antaranya adalah sebagai berikut. a. Populasi yang dikaji tertutup. b. Pada model yang akan dibentuk hanya terdiri dari 3 kompartemen, yaitu variabel ๐‘ฅ (rata-rata jumlah individu yang rentan), ๐‘ฆ (rata-rata jumlah individu yang terinfeksi), dan ๐‘ง (rata-rata jumlah individu yang kebal). c. Pada model yang akan dibentuk terdapat variabel pencegahan dan penyembuhan terhadap penyakit influenza A-H1N1.

1.4 Tujuan Penelitian Kajian studi literatur ini memiliki beberapa tujuan di antaranya adalah sebagai berikut. a. Untuk mengetahui bagaimana model simulasi influenza A-H1N1 dengan kontrol pencegahan dan penyembuhan berupa vaksinasi.

2

b. Untuk mengetahui bagaimana kestabilan dari model simulasi influenza AH1N1 dengan kontrol pencegahan dan penyembuhan berupa vaksinasi. c. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh adanya variabel penyembuhan dan pencegahan terhadap populasi tersebut. d. Untuk mengetahui bagaimana simulasi dinamik dari model model simulasi influenza A-H1N1 dengan kontrol pencegahan dan penyembuhan berupa vaksinasi tersebut.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian Studi literatur ini mengkaji ulang masalah influenza A-H1N1 yang sebelumnya telah dikaji oleh Maria E. Cardenas P., Irma Perez C., dan C.L.V. Perez dengan judul โ€œA Simulation Model Including Vaccination and Seasonality for Influenza A-H1N1 Virusโ€. Dalam jurnal ini mendeskripsikan model simulasi SIR untuk virus influenza A-H1N1 termasuk populasi variabel, koefisien transmisi berkala, tingkat vaksinasi konstan untuk semua umur dan waktu, serta tingkat kematian yang disebabkan juga oleh kematian alami karena infeksi. Model yang terbentuk dianalisa dengan menggunakan simulasi beberapa kasus. Adapun beberapa penelitian yang mendukung kajian studi literatur ini di antaranya adalah sebagai berikut. a. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Andrijanto Hauferson Angi dengan judul โ€œTinjauan Struktur Genetik serta Tingkat Keganasan Virus Influenza H1N1โ€. Penelitian tersebut membahas mengenai tinjauan struktur genetik dan tingkat keganasan virus influenza H1N1, gejala influenza H1N1, serta langkahlangkah cara pencegahan flu khususnya influenza A-H1N1 b. Hasil penelitian yang telah dilakukan Endang R, Sedyaningsih, dan Vivi Setiawaty pada tahun 2009 dengan judul โ€œAwal Pandemi Influenza A (H1N1) 2009: Sebuah Tinjauanโ€. Penelitian tersebut membahas mengenai penyebaran virus pandemi influenza A (H1N1) 2009, gambaran klinis pasien influenza A (H1N1) 2009, dan strategi menghadapi pandemi influenza di Indonesia.

3

1.6 Sistematika Penulisan BAB I

PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai beberapa pendahuluan yang mendukung dalam penulisan studi literatur ini. Pendahuluam tersebut berupa latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan dari masalah yang dikaji.

BAB II

LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai hal-hal yang menjadi landasan dalam mendukung kajian studi literatur ini. Hal-hal tersebut berkaitan dengan beberapa teori yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.

BAB III

MODEL

SIMULASI

INFLUENZA

A-H1N1

DENGAN

KONTROL PENCEGAHAN DAN PENYEMBUHAN BERUPA VAKSINASI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai hasil dari masalah yang dikaji meliputi pembentukan model, pencarian titik kesetimbangan, analisis eksistensi dan kestabilan, pencarian angka reproduksi dasar (๐‘…0 ), dan simulasi numerik beserta interpretasinya. BAB IV

PENUTUP Pada bab ini akan dijelaskan mengenai beberapa hal yang dapat disimpulkan untuk jawaban dari rumusan masalah yang diajukan serta beberapa saran untuk pengembangan tulisan dan analisis dari masalah yang dikaji dalam studi literatur ini.

4

BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai hal-hal yang menjadi landasan dalam mendukung kajian studi literatur ini. Hal-hal tersebut berkaitan dengan beberapa teori yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Adapun beberapa teori tersebut adalah sebagai berikut.

2.1 Persamaan Diferensial Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat satu atau lebih variabel terikat dan turunannya yang kontinu terhadap satu atau lebih variabel bebas. Secara umum, persamaan diferensial dapat diklasifikasikan sebagai berikut [2]. Persamaan diferensial biasa Tipe Persamaan diferensial parsial Orde 1 Orde

Persamaan diferensial

Orde 2 Orde n Linear

Kelinearan Non linear Homogen Kehomogenan Non homogen Gambar 2. 1 Klasifikasi persamaan diferensial

Menurut banyaknya peubah bebas, persamaan diferensial dibedakan menjadi dua macam, yaitu persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Jika persamaan diferensial memiliki satu peubah tak bebas, maka persamaan itu disebut persamaan diferensial biasa. Tetapi jika persamaan diferensial tersebut memiliki lebih dari satu peubah tak bebas, maka persamaan itu disebut persamaan

5

diferensial parsial. Adapun yang disebut dengan orde adalah turunan tertinggi pada persamaan diferensial [3]. Contoh: 1. 2. 3. 4.

๐‘‘2 ๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ 2 ๐‘‘3 ๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ 3 ๐œ•๐‘ข ๐œ•๐‘ฅ ๐œ•๐‘ข ๐œ•๐‘ฅ

๐‘‘๐‘ฆ

+ 4๐‘ฅ ๐‘‘๐‘ฅ = 5๐‘ฅ๐‘ฆ + 2๐‘ฅ๐‘ฆ = ๐‘’ ๐‘ฅ ๐œ•๐‘ข

+ ๐œ•๐‘ก = ๐‘ข ๐œ•๐‘ข

+ ๐œ•๐‘ก โˆ’ 2๐‘ข = 0

Persamaan 1 dan 2 adalah persamaan diferensial biasa, ๐‘ฅ merupakan variabel bebas dan ๐‘ฆ merupakan variabel terikat. Sedangkan persamaan 3 dan 4 adalah persamaan diferensial parsial, ๐‘ฅ dan ๐‘ก merupakan variabel bebas dan ๐‘ข merupakan variabel terikat. Dilihat dari bentuk fungsi atau pangkatnya, persamaan diferensial dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok, yaitu persamaan diferensial linier dan persamaan diferensial non linier. Sebuah persamaan diferensial termasuk persamaan linier jika memenuhi dua hal berikut. 1. Variabel-variabel terikat dan turunannya paling tinggi berpangkat satu. 2. Tidak mengandung bentuk perkalian antara sebuah variabel terikat dengan variabel terikat lainnya, atau turunan yang satu dengan turunan yang lainnya, atau variabel terikat dengan sebuah turunan. Bentuk umum persamaan diferensial linier orde-n adalah sebagai berikut. ๐‘Ž๐‘› (๐‘ฅ)๐‘ฆ (๐‘›) + โ‹ฏ + ๐‘Ž1 (๐‘ฅ)๐‘ฆ โ€ฒ = ๐‘“(๐‘ฅ)

(2.1)

Berdasarkan persamaan diatas, jika ๐‘“(๐‘ฅ) = 0, maka persamaan diferensial tersebut termasuk persamaan diferensial homogen. Sebaliknya, jika ๐‘“(๐‘ฅ) โ‰  0, maka persamaan diferensial tersebut termasuk persamaan diferensial non homogen. Adapun persamaan diferensial yang bukan persamaan diferensial linier disebut persamaan diferensial non linier [3]. Contoh: 1.

๐‘‘2 ๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ 2

๐‘‘๐‘ฆ

+ 3 ๐‘‘๐‘ฅ + 2๐‘ฆ = 0

2. ๐‘ฆ โ€ฒโ€ฒ + 3๐‘ฆ + 2๐‘ฆ 2 = 0

(persamaan diferensial linier) (persamaan diferensial non linier)

6

3.

๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ

โˆ’ 3๐‘ฆ = 0

(persamaan diferensial homogen)

๐‘‘๐‘ฆ

4. ๐‘ฅ ๐‘‘๐‘ฅ โˆ’ ๐‘ฆ = ๐‘ฅ 2 ๐‘ ๐‘–๐‘›๐‘ฅ

(persamaan diferensial non homogen)

2.2 Sistem Persamaan Diferensial Sistem persamaan diferensial adalah suatu sistem yang memuat ๐‘› buah persamaan diferensial, dengan ๐‘› merupakan bilangan bulat positif lebih besar sama dengan 2. Antara persamaan diferensial yang satu dengan yang lain saling keterkaitan dan konsisten. Bentuk umum dari suatu sistem ๐‘› persamaan orde pertama mempunyai bentuk sebagai berikut. ๐‘‘๐‘ฅ1 = ๐‘”1 (๐‘ก, ๐‘ฅ1 , ๐‘ฅ2 , โ€ฆ , ๐‘ฅ๐‘› ) ๐‘‘๐‘ก ๐‘‘๐‘ฅ2 = ๐‘”2 (๐‘ก, ๐‘ฅ1 , ๐‘ฅ2 , โ€ฆ , ๐‘ฅ๐‘› ) ๐‘‘๐‘ก

(2.2)

โ‹ฎ ๐‘‘๐‘ฅ๐‘› = ๐‘”๐‘› (๐‘ก, ๐‘ฅ1 , ๐‘ฅ2 , โ€ฆ , ๐‘ฅ๐‘› ) ๐‘‘๐‘ก dengan ๐‘ฅ1 , ๐‘ฅ2 , โ€ฆ , ๐‘ฅ๐‘› adalah variabel bebas dan ๐‘ก adalah variabel bebas dan ๐‘ก adalah variabel terikat, sehingga ๐‘ฅ1 = ๐‘ฅ1 (๐‘ก), ๐‘ฅ2 = ๐‘ฅ2 (๐‘ก), โ€ฆ, ๐‘ฅ๐‘› = ๐‘ฅ๐‘› (๐‘ก), dimana

๐‘‘๐‘ฅ๐‘› ๐‘‘๐‘ก

merupakan turunan fungsi ๐‘ฅ๐‘› terhadap ๐‘ก, dan ๐‘”๐‘– adalah fungsi yang tergantung pada variabel ๐‘ฅ1 , ๐‘ฅ2 , โ€ฆ , ๐‘ฅ๐‘› dan ๐‘ก [4]. Pandang sistem persamaan diferensial berikut. ๐‘‘๐‘ฅ = ๐‘ƒ(๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) ๐‘‘๐‘ก ๐‘‘๐‘ฆ = ๐‘„(๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) ๐‘‘๐‘ก ๐‘‘๐‘ง = ๐‘†(๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) ๐‘‘๐‘ก

(2.3)

๐‘ƒ, ๐‘„, dan ๐‘† adalah fungsi kontinu bernilai real dari ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง, dan mempunyai turunan parsial kontinu. Sistem persamaan diferensial diatas disebut sistem persamaan diferensial autonomous, karena secara eksplisit ๐‘ƒ, ๐‘„, dan ๐‘† tidak mengandung ๐‘ก didalamnya [5].

7

2.3 Titik Kesetimbangan Sistem Persamaan Diferensial Titik kesetimbangan untuk suatu sistem persamaan diferensial adalah suatu titik tetap yang tidak berubah terhadap waktu. Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial berikut. ๐‘‘๐‘ฅ = ๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ฆ) ๐‘‘๐‘ก { ๐‘‘๐‘ฆ = ๐‘”(๐‘ฅ, ๐‘ฆ) ๐‘‘๐‘ก

(2.4)

Titik (๐‘ฅฬ…0 , ๐‘ฆฬ…0 ) adalah titik kesetimbangan dari persamaan (2.4) jika memenuhi ๐‘“(๐‘ฅฬ…0 , ๐‘ฆฬ…0 ) = 0 dan ๐‘”(๐‘ฅฬ…0 , ๐‘ฆฬ…0 ) = 0. Turunan suatu konstanta adalah nol, sehingga sepasang

fungsi

konstan

๐‘ฅ(๐‘ก) โ‰ก ๐‘ฅฬ…0

๐‘ฆ(๐‘ก) โ‰ก ๐‘ฆฬ…0

dan

merupakan

solusi

kesetimbangan dari persamaan (2.1) untuk semua ๐‘ก [6]. Contoh: ๐‘‘๐‘ฅ ๐‘ฅ = ๐‘ฅ (1 โˆ’ ) ๐‘‘๐‘ก ๐พ Untuk memperoleh titik kesetimbangan diatas, maka: ๐‘‘๐‘ฅ ๐‘ฅ = ๐‘ฅ (1 โˆ’ ) = 0 ๐‘‘๐‘ก ๐พ sehingga diperoleh titik kesetimbagannya adalah ๐‘ฅ = 0 atau ๐‘ฅ = ๐พ.

2.4 Linearisasi, Nilai Eigen, dan Vektor Eigen Linearisasi adalah proses transformasi sistem persamaan nonlinear menjadi sistem persamaan linear. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perilaku dari sistem persamaan nonlinear di sekitar titik kesetimbangannya. Linearisasi dapat dilakukan dengan menggunakan matriks Jacobian. Adapun secara umum bentuk umum dari matriks Jacobian adalah sebagai berikut. ๐œ•๐‘“1 ๐œ•๐‘ฅ1 ๐œ•๐‘“ ๐ฝ= = โ‹ฎ ๐œ•๐‘ฅ ๐œ•๐‘“๐‘› (๐œ•๐‘ฅ1

โ‹ฏ โ‹ฑ โ‹ฏ

๐œ•๐‘“1 ๐œ•๐‘ฅ๐‘› โ‹ฎ ๐œ•๐‘“๐‘› ๐œ•๐‘ฅ๐‘› )

(2.5)

Contoh: ๐‘“(๐‘ฅ1 , ๐‘ฅ2 , ๐‘ฅ3 ) = (๐‘ฅ12 โˆ’ 6๐‘ฅ2 , 2๐‘ฅ12 + 3๐‘ฅ33 , ๐‘ฅ12 ๐‘ฅ2 + 9๐‘ฅ2 ๐‘ฅ32 ) maka diperoleh matriks jacobiannya adalah sebagai berikut. 8

๐œ•๐‘“1 ๐œ•๐‘ฅ1 ๐œ•๐‘“2 ๐ฝ= ๐œ•๐‘ฅ1 ๐œ•๐‘“3 [๐œ•๐‘ฅ1

๐œ•๐‘“1 ๐œ•๐‘ฅ2 ๐œ•๐‘“2 ๐œ•๐‘ฅ2 ๐œ•๐‘“3 ๐œ•๐‘ฅ2

๐œ•๐‘“1 ๐œ•๐‘ฅ3 2๐‘ฅ1 ๐œ•๐‘“2 = [ 4๐‘ฅ1 ๐œ•๐‘ฅ3 2๐‘ฅ1 ๐‘ฅ2 ๐œ•๐‘“3 ๐œ•๐‘ฅ3 ]

โˆ’6 0 2 ๐‘ฅ1 + 9๐‘ฅ32

0 9๐‘ฅ32 ] 18๐‘ฅ2 ๐‘ฅ3

Misalkan ๐ด adalah suatu matriks ๐‘› ร— ๐‘›. Skalar ๐œ† disebut sebagai suatu nilai eigen atau nilai karakteristik (characteristic value) dari ๐ด jikaterdapat suatu vektor taknol ๐‘ฅ, sehingga ๐ด๐’™ = ๐œ†๐’™. Vektor ๐’™ disebut vektor eigen atau vektor karakteristik dari ๐œ†. Contoh: Misalkan diketahui 5 โˆ’2 ) โˆ’3 4

๐ด=(

dan

2 ๐’™=( ) 3

maka ๐ด๐’™ = (

4 2 5 โˆ’2 2 ) ( ) = ( ) = 2 ( ) = 2๐’™ 3 6 3 โˆ’3 4

dari persamaan diatas diperoleh bahwa nilai eigen dari ๐ด adalah ๐œ† = 2 dan vektor eigen dari ๐œ† tersebut adalah ๐‘ฅ = (2 3)๐‘‡ . Setiap kelipatan taknol dari ๐‘ฅ akan menjadi vektor eigen. Hal ini dikarenakan ๐ด(๐›ผ๐’™) = ๐›ผ๐ด๐’™ = ๐›ผ๐œ†๐’™ = ๐œ†(๐›ผ๐’™) sehingga untuk (8 12)๐‘‡ juga memiliki nilai eigen ๐œ† = 2 untuk ๐ด, yakni ๐ด๐’™ = (

5 โˆ’2 8 16 8 ) ( ) = ( ) = 2 ( ) = 2๐’™ 12 24 12 โˆ’3 4 Persamaan ๐ด๐’™ = ๐œ†๐’™ dapat dituliskan dalam bentuk (๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ)๐’™ = ๐ŸŽ

(2.6)

Oleh karena itu, ๐œ† adalah nilai eigen dari ๐ด jika dan hanya jika persamaan (2.6) memiliki suatu penyelesaian taktrivial. Himpunan penyelesaian terhadap persamaan (2.6) adalah ๐‘(๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ) yang merupakan ruang bagian dari ๐‘… ๐‘› . Jika ๐œ† adalah nilai eigen dari ๐ด, maka ๐‘(๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ) โ‰  {0} dan sembarang vektor taknol dalam ๐‘(๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ) adalah vektor eigen dari ๐œ†. Ruang bagian ๐‘(๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ) dinamakan ruang eigen (eigenspace) yang berhubungan dengan nilai eigen ๐œ†.

9

Persamaan (2.6) akan mempunyai penyelesaian taktrivial jika dan hanya jika ๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ singular, yakni det(๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ) = 0

(2.7)

Jika determinan pada persamaan (2.7) diuraikan, akan didapatkan suatu polinom berderajat ke-๐‘› dalam peubah ๐œ†. ๐‘(๐œ†) = det(๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ)

(2.8)

Polinom ini disebut polinom karakteristik (characteristic polynomial) dan persamaan (2.8) disebut persamaan karakteristik (characteristic equation) untuk matriks ๐ด. Akar dari polinom karakteristik merupakan nilai eigen dari ๐ด, yang dapat berupa akar dengan bilangan yang berbeda-beda, bilangan yang berulang (akar kembar), bahkan bilangan kompleks. Misalkan ๐ด adalah matriks ๐‘› ร— ๐‘› dan ๐œ† adalah suatu skalar. Berikut ini beberapa kondisi yang ekuivalen dengan ๐ด, yakni (a) ๐œ† adalah nilai eigen dari ๐ด (b) (๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ)๐’™ = ๐ŸŽ mempunyai penyelesaian taktrivial (c) ๐‘(๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ) โ‰  {0} (d) ๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ adalah singular (e) det(๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ) = 0

2.5 Jenis-jenis Kestabilan Suatu titik kesetimbangan dikatakan stabil jika untuk sebarang nilai awal yang cukup dekat dengan titik kesetimbangan, maka trayektori dari penyelesaian tetap dekat dengan penyelesaian di titik kesetimbangannya. Sifat stabilitas titik kesetimbangan berdasarkan tanda bagian real dibagi menjadi tiga, yaitu [7]: a. Stabil Titik kesetimbangan dikatakan stabil jika dan hanya jika akar karkteristik (nilai eigen) adalah real dan negatif atau mempunyai bagian real tak positif. Contoh: ๐œ†2 + 4๐œ† = 0 ๐œ†(๐œ† + 4) = 0

10

Dari persamaan diatas diperoleh ๐œ†1 = 0 dan ๐œ†2 = โˆ’4. sehingga kestabilannya bersifat stabil karena nilai eigennya rel dan negatif serta mempunyai real tak positif (nol). b. Stabil asimtotik Titik kesetimbangan dikatakan stabil asimtotis jika dan hanya jika akar karakteristik (nilai eigen) adalah real dan negatif. Contoh: ๐œ†2 + 5๐œ† + 6 = 0 (๐œ† + 3)(๐œ† + 2) = 0 Dari persamaan diatas diperoleh ๐œ†1 = โˆ’3 dan ๐œ†2 = โˆ’2. sehingga kestabilannya bersifat stabil asimtotik karena nilai eigennya real dan negatif. c. Tidak stabil Titik kesetimbangan dikatakan tidak stabil jika dan hanya jika akar karakteristik (nilai eigen) adalah real dan positif atau mempunyai paling sedikit satu nilai eigen dengan bagian real positif. Contoh: ๐œ†2 + 3๐œ† โˆ’ 18 = 0 (๐œ† โˆ’ 3)(๐œ† + 6) = 0 Dari persamaan diatas diperoleh ๐œ†1 = 3 dan ๐œ†2 = โˆ’6. sehingga kestabilannya bersifat tidak stabil karena ada nilai eigennya yang bernilai positif.

2.6 Pemodelan Matematika Pemodelan matematika adalah suatu studi yang mempelajari tentang konsep bagaimana matematika dapat merepresentasikan dan menjelaskan permasalahan di kehidupan nyata ke dalam pernyataan matematika. Adapun langkah-langkah dalam pemodelan matematika di antaranya adalah sebagai berikut [8].

11

Kehidupan Nyata

Bagian Matematika

Masalah di kehidupan nyata

Masalah dalam matematika

Pembuatan asumsi

Merumuskan persamaan/ pertidaksamaan

Solusi untuk kehidupan nyata

Interpretasi solusi

Menyelesaikan persamaan/ pertidaksamaan

Membandingkan dengan data yang ada Gambar 2. 2 Diagram alur proses pemodelan

Berdasarkan gambar diatas, dapat diketahui bahwa langkah-langkah dalam pemodelan matematika adalah sebagai berikut. a. Memodelkan masalah-masalah di kehidupan nyata ke bentuk matematika. Pada langkah ini, dilakukan proses pemahaman mengenai karakteristik dari masalah yang akan dimodelkan sehingga masalah yang dikaji dapat ditentukan batasan-batasannya. Hal ini dilakukan agar pengkajian masalah tersebut tidak terlalu luas cakupannya sehingga menimbulkan banyak kemungkinan yang akan terjadi. Setelah itu, dari batasan masalah tersebut akan menghasilkan variabel-variabel yang saling berhubungan sehingga dapat dibentuk menjadi sebuah model. b. Membuat asumsi-asumsi. Pada langkah ini, dilakukan proses pembuatan asumsi-asumsi yang berkenaan dengan masalah yang dikaji. Pembuatan asumsi digunakan sebagai pembentukan kerangka dasar model untuk membantu proses berpikir agar model dapat berjalan. Oleh sebab itu, hasil yang akan diperoleh dari model yang

12

terbentuk hanya sevalid asumsi. Namun, pada dasarnya membuat beberapa asumsi dilakukan agar mengarah pada situasi fisik yang kompleks menjadi masalah yang dapat diselesaikan. c. Merumuskan persamaan/pertidaksamaan. Pada langkah ini, dilakukan proses perumusan persamaan atau pertidaksamaan dari masalah yang dikaji. Hal ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana hubungan antar variabel yang ada sehingga dapat diselesaikan dan realistis. d. Menyelesaikan persamaan/pertidaksamaan. Pada langkah ini, dilakukan proses pencarian solusi dari persamaan/ pertidaksamaan yang terbentuk secara matematis. e. Interpretasi solusi terhadap kehidupannya nyata. Pada langkah ini, dilakukan proses analisis terhadap hasil yang diperoleh dalam pencarian solusi. Hal ini dilakukan untuk menghubungkan antara solusi yang diperoleh secara matematis dengan kehidupan nyata. f. Membandingkan dengan data yang ada. Pada langkah ini, dilakukan proses membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan data yang telah ada sehingga memungkinkan bahwa model dapat diperbaiki. Oleh sebab itu, pada langkah ini seseorang boleh memutuskan untuk tetap menggunakan model yang telah dibuat atau memodifikasi model tersebut dalam usaha untuk memperbaikinya. Salah satu cara yang umum adalah kembali lagi ke langkah pemodelan matematika yaitu menguji kembali asumsiasumsi dan kemungkinan perubahannya, kemudian langkah selanjutnya mengikuti proses pemodelan matematika. Proses ini sering diistilahkan sebagai perbaikan model dan dijalankan sebagai bagian terpadu dari pengembangan model matematika sehingga sesuai dalam penerapannya dengan kehidupan nyata.

2.7 Influenza A-H1N1 Influenza adalah penyakit infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus influenza. Gejala klinis yang terjadi mulai dari infeksi ringan sampai berat

13

dan bahkan dapat mengakibatkan komplikasi dan kematian. Influenza sering dialami oleh penduduk Indonesia dan sering dikenal flu. Influenza yang terjadi di Indonesia (selain flu burung) umumnya memberikan gejala yangn ringan hingga sedang. Di negara dengan empat musim misalnya Amerika, infeksi influenza yang dikenal dengan Seasonal influenza sering mengakibatkan infeksi berat [9]. Influenza A-H1N1 atau Flu Meksiko merupakan strain baru virus influenza A yang menginfeksi manusia. Influenza A โ€“ H1N1 berbeda dengan strain virus influenza lainnya yang selama ini sering menginfeksi manusia dan sebagian besar manusia tidak mempunyai kekebalan terhadap virus tersebut. Oleh sebab itu, virus tersebut dapat dengan mudah menyebar dari manusia ke manusia. Penularan terjadi melalui udara (batuk, bersin) atau kontak langsung dengan penderita atau benda yang sudah terkontaminasi. Penularan virus tersebut dapat terjadi dengan cepat terutama pada orang muda (usia 10-45 tahun). Gejala influenza A-H1N1 adalah demam, batuk, sakit kepala, mialgia nyeri otot), nyeri sendi, radang tenggorokan, pilek dan kadang disertai dengan muntah dan diare. Gejala tersebut dikenal sebagai Influenza-Like Illness (ILI) atau Flu-like syndrome karena menyerupai gejala flu atau infeksi saluran pernapasan lainnya yang sering dialami manusia. Influenza AH1N1 sulit dibedakan dengan flu atau infeksi saluran pernapasan lainnya apabila hanya berdasarkan pada gejala penyakit [9]. Jumlah kasus terinfeksi virus pandemi influenza A-H1N1 2009 yang terdeteksi di Meksiko dan AS terus bertambah dalam waktu yang singkat. Pada tanggal 22 Mei 2009, 42 negara melaporkan adanya kasus virus influenza A-H1N1 2009 dengan jumlah kasus lebih dari 11.000 kematian dengan kematian 86 orang (case fatality proportion: 0,8%). Tanggal 10 Juni 2009, 74 negara melaporkan adanya kasus dengan jumlah total lebih dari 27.000 dan dengan kematian 141 orang (case fatality proportion: 0,5%). Menurut WHO, arti pandemi disini adalah telah muncul virus influenza baru yang menginfeksi manusia dan menyebar ke banyak tempat di dunia. Data tanggal 15 Juli 2009 memperlihatkan telah lebih dari 100.000 orang dikabarkan telah tertular virus influenza pandemi A-H1N1 di 124 negara dengan jumlah kematian 460 pasien (case fatality proportion <0,5%) [10].

14

Gambaran klinis pasien yang terinfeksi virus pandemi influeza A-H1N1 2009 ini mulai dari gejala infeksi saluran pernapasan atas ringan tanpa demam hingga pneumonia berat dan kematian. WHO merekomendasikan terapi dengan neuraminidase inhibitor (Tamiflu). Awalnya diprioritaskan pada pasien yang dirawat diduga terinfeksi virus influenza A-H1N1 dan untuk pasien terinfeksi seasonal influenza yang berisiko menderita komplikasi. Namun dalam situasi pandemi saat ini dimana jumlah pasien terus bertambah, Tamiflu hanya diberikan kepada pasien yang benar-benar memerlukannya berdasarkan pertimbangan klinis, misalnya pasien dengan kondisi klinis berat, dengan penyakit penyerta, dan wanita hamil. Pasien yang perlu dirawat sebaiknya dimasukkan ke dalam kamar isolasi yang selalu tertutup. Bila akan dilakukan tindakan yang kemungkinan menyebabkan aerosol, harus dilakukan di ruang bertekanan negatif. Alat pelindung diri seperti masker N95, apron, dan sarung tagan wajib dipakai oleh orang-orang yang merawat pasien tersebut. Profilaksis hanya dibenarkan diberikan kepada petugas kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien, seperti dokter, perawat,petugasa laboratorium, petugas investigasi kasus, dan keluarga kontak dekat (kebijakan profilaksis ini berbeda-beda di tiap-tiap negara). Vaksinasi influenza yang bereddar saat ini hanya efektif untuk mencegah infeksi virus AH1N1 seasonal influenza, dan tidak protektif terhadap strain yang baru ini [10]. Adapun strategi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi influenza A-H1N1, yakni meningkatkan kesadaran masyarakat untuk sering-sering mencuci tangan, menutup mulut bila batuk/bersin dengan tisu atau sapu tangan, tidak keluar rumah bila menderita gejala flu, mengurangi bersalaman dan berciuman, dan membatasi bepergian ke tempat ramai. Apabila terjadi kasus klaster berjumlah banyak di sekolah, perlu dipertimbangkan untuk meliburkan sementara siswa-siswanya. Persiapan lain yang harus dilakukan pemerintah Indonesia masalah menyediakan vaksin influenza pandemi A-H1N1. Saat ini jejaring laboratorium WHO masih terus mengembangkan virus kandidat vaksin influenza pandemi A-H1N1. Sambil menunggu datangnya vaksin, seluruh masyarakat Indonesia perlu terus waspada dan menjalani perilaku hidup yang bersih dan sehat [10].

15

BAB III MODEL SIMULASI INFLUENZA A-H1N1 DENGAN KONTROL PENCEGAHAN DAN PENYEMBUHAN BERUPA VAKSINASI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai hasil dari masalah yang dikaji meliputi pembentukan model, pencarian titik kesetimbangan, analisis eksistensi dan kestabilan, pencarian angka reproduksi dasar (๐‘…0 ), dan simulasi numerik beserta interpretasinya. Model ini merupakan sistem persamaan diferensial non linier. Oleh sebab itu, untuk menganalisis sifat kestabilan di masing-masing titik kesetimbangan, maka dilakukan linearisasi untuk model tersebut dengan menggunakan matriks Jacobian. 3.1 Pembentukan Model Model yang diusulkan pada studi literatur ini merupakan model simulasi SIR untuk influenza A-H1N1 dengan kontrol pencegahan dan penyembuhan berupa vaksinasi. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan antara lain: a. Semua parameter bernilai positif. b. Populasinya bersifat tertutup. c. Setiap individu yang lahir memiliki peluang untuk dapat terinfeksi penyakit. d. Tingkat kelahiran bersifat konstan. e. Tingkat kematian selain disebabkan oleh kematian alami juga dipengaruhi oleh kematian akibat terinfeksi penyakit influenza A-H1N1. f. Kontrol pencegahan berupa vaksinasi bersifat konstan. g. Tingkat penyembuhan oleh vaksinasi bersifat konstan. Adapun beberapa parameter yang digunakan adalah sebagai berikut. Tabel 3.1 Daftar parameter yang digunakan untuk membangun model

Parameter

Keterangan

๐‘ฅ

Rata-rata jumlah individu yang rentan terhadap penyakit (susceptible)

Satuan

Nilai interval ๐‘ฅ โ‰ฅ 0 dengan

๐‘‚๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘”

๐‘ฅโˆˆโ„ค

16

๐‘ฆ

๐‘ฆ โ‰ฅ 0 dengan

Rata-rata jumlah individu yang ๐‘‚๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘”

ter-infeksi (infected) ๐‘ง

Rata-rata jumlah individu yang

๐‘ง โ‰ฅ 0 dengan

kebal terhadap penyakit

๐‘‚๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘”

(immune) ๐‘

Rata-rata jumlah individu ๐‘‚๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘”

secara keseluruhan pada waktu ๐‘ก ๐›ฟ

Mobilitas individu yang rentan terhadap penyakit

๐œ‡

๐œŽ

Tingkat kematian alami

Tingkat vaksinasi individu

๐œ”

Koefisien transmisi periodik

๐œƒ

Tingkat sembuhnya individu

0โ‰ค๐œ‡โ‰ค1

1 ๐‘ค๐‘Ž๐‘˜๐‘ก๐‘ข

yang terinfeksi

๐‘โˆˆโ„ค

1 ๐‘ค๐‘Ž๐‘˜๐‘ก๐‘ข

1 ๐‘ค๐‘Ž๐‘˜๐‘ก๐‘ข

terinfeksi

๐‘ โ‰ฅ 0 dengan

๐›ฟ โ‰ฅ 0 dengan

1 1 โˆ™ ๐‘œ๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘ค๐‘Ž๐‘˜๐‘ก๐‘ข

Tingkat kematian akibat

๐‘งโˆˆโ„ค

๐‘‚๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘ค๐‘Ž๐‘˜๐‘ก๐‘ข

1 ๐‘ค๐‘Ž๐‘˜๐‘ก๐‘ข

pada setiap usia dan waktu ๐›ฝ

๐‘ฆโˆˆโ„ค

๐›ฟโˆˆโ„ค

dengan ๐œ‡ โˆˆ โ„ 0โ‰ค๐œŽโ‰ค1 dengan ๐œŽ โˆˆ โ„ 0โ‰ค๐›ฝโ‰ค1 dengan ๐›ฝ โˆˆ โ„ 0โ‰ค๐œ”โ‰ค1 dengan ๐œ” โˆˆ โ„ 0โ‰ค๐œƒโ‰ค1 dengan ๐œƒ โˆˆ โ„

Berdasarkan asumsi yang telah dibuat, maka diagram interaksi yang terbentuk adalah sebagai berikut. ๐๐’™

๐œน

๐๐’š

๐œท๐’™๐’š

๐’™

๐’š

๐Ž๐’š ๐œฝ๐’š

๐ˆ๐’™ ๐’›

๐๐’›

Gambar 3. 1 Diagram interaksi model

17

Model interaksi yang terbentuk berdasarkan diagram diatas adalah sebagai berikut. ๐‘‘๐‘ฅ = ๐›ฟ โˆ’ ๐œ‡๐‘ฅ โˆ’ ๐œŽ๐‘ฅ โˆ’ ๐›ฝ๐‘ฅ๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก ๐‘‘๐‘ฆ = ๐›ฝ๐‘ฅ๐‘ฆ โˆ’ ๐œƒ๐‘ฆ โˆ’ (๐œ‡ + ๐œ”)๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก ๐‘‘๐‘ง = ๐œŽ๐‘ฅ + ๐œƒ๐‘ฆ โˆ’ ๐œ‡๐‘ง ๐‘‘๐‘ก ๐‘‘๐‘ = ๐›ฟ โˆ’ ๐œ‡๐‘ โˆ’ ๐œ”๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก

(3.1)

dengan ๐‘ = ๐‘ฅ + ๐‘ฆ + ๐‘ง.

3.2 Titik Kesetimbangan Titik kesetimbangan model ini diperoleh ketika memenuhi populasi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง adalah konstan. Artinya, ๐‘‘๐‘ฅ ๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ง = = =0 ๐‘‘๐‘ก ๐‘‘๐‘ก ๐‘‘๐‘ก sehingga, ๐‘‘๐‘ฅ = ๐›ฟ โˆ’ ๐œ‡๐‘ฅ โˆ’ ๐œŽ๐‘ฅ โˆ’ ๐›ฝ๐‘ฅ๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก 0 = ๐›ฟ โˆ’ ๐œ‡๐‘ฅ โˆ’ ๐œŽ๐‘ฅ โˆ’ ๐›ฝ๐‘ฅ๐‘ฆ ๐‘ฅ(๐œ‡ + ๐œŽ + ๐›ฝ๐‘ฆ) = ๐›ฟ ๐’™= ๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก

๐œน ๐ + ๐ˆ + ๐œท๐’š

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.2)

= ๐›ฝ๐‘ฅ๐‘ฆ โˆ’ ๐œƒ๐‘ฆ โˆ’ (๐œ‡ + ๐œ”)๐‘ฆ

๐ŸŽ = ๐’š(๐œท๐’™ โˆ’ ๐œฝ โˆ’ ๐ โˆ’ ๐Ž)

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.3)

๐‘‘๐‘ง = ๐œŽ๐‘ฅ + ๐œƒ๐‘ฆ โˆ’ ๐œ‡๐‘ง ๐‘‘๐‘ก 0 = ๐œŽ๐‘ฅ + ๐œƒ๐‘ฆ โˆ’ ๐œ‡๐‘ง ๐œ‡๐‘ง = ๐œŽ๐‘ฅ + ๐œƒ๐‘ฆ ๐’›=

๐ˆ๐’™ + ๐œฝ๐’š ๐

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.4)

18

Titik kesetimbangan untuk model ini hanya memiliki dua kemungkinan, kemungkinan pertama adalah ketika dalam populasi tidak terdapat individu yang terinfeksi dan kemungkinan kedua adalah dalam populasi memiliki individuindividu yang terinfeksi. Kemungkinan pertama (ketika ๐’š = ๐ŸŽ): Tinjau persamaan (3.2): ๐‘ฅ=

๐›ฟ ๐œ‡ + ๐œŽ + ๐›ฝ๐‘ฆ

๐‘ฅ=

๐›ฟ ๐œ‡ + ๐œŽ + ๐›ฝ(0)

Tinjau persamaan (3.4): ๐‘ง=

๐‘ง=

๐›ฟ ๐‘ฅ= ๐œ‡+๐œŽ

๐œŽ๐‘ฅ + ๐œƒ๐‘ฆ ๐œ‡ ๐›ฟ ๐œŽ (๐œ‡ + ๐œŽ) + ๐œƒ(0) ๐œ‡

๐œŽ๐›ฟ ๐œ‡+๐œŽ ๐‘ง= ๐œ‡ ๐‘ง=

๐œŽ๐›ฟ ๐œ‡(๐œ‡ + ๐œŽ)

Jadi, titik kesetimbangan pertama (eq1) adalah ๐›ฟ ๐œŽ๐›ฟ (๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) = ( , 0, ) ๐œ‡ + ๐œŽ ๐œ‡(๐œ‡ + ๐œŽ)

Kemungkinan kedua: Tinjau persamaan (3.3): 0 = ๐‘ฆ(๐›ฝ๐‘ฅ โˆ’ ๐œƒ โˆ’ ๐œ‡ โˆ’ ๐œ”) 0 = ๐›ฝ๐‘ฅ โˆ’ ๐œƒ โˆ’ ๐œ‡ โˆ’ ๐œ” ๐›ฝ๐‘ฅ = ๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ” ๐œƒ+๐œ‡+๐œ” ๐‘ฅ= ๐›ฝ Tinjau persamaan (3.2): ๐‘ฅ=

๐›ฟ ๐œ‡ + ๐œŽ + ๐›ฝ๐‘ฆ

๐œƒ+๐œ‡+๐œ” ๐›ฟ = ๐›ฝ ๐œ‡ + ๐œŽ + ๐›ฝ๐‘ฆ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ + ๐›ฝ๐‘ฆ) = ๐›ฝ๐›ฟ

19

(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) + ๐›ฝ๐‘ฆ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) = ๐›ฝ๐›ฟ ๐›ฝ๐‘ฆ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) = ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐‘ฆ=

๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐›ฝ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)

Tinjau persamaan (3.4): ๐‘ง=

๐œŽ๐‘ฅ + ๐œƒ๐‘ฆ ๐œ‡

๐œƒ+๐œ‡+๐œ” ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐œŽ( )+๐œƒ( ) ๐›ฝ ๐›ฝ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐‘ง= ๐œ‡ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐œŽ( )+๐œƒ( ) ๐›ฝ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐›ฝ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐‘ง= ๐œ‡ ๐œŽ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 + ๐œƒ(๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)) ๐›ฝ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐‘ง= ๐œ‡ ๐œŽ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 + ๐œƒ(๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)) ๐‘ง= ๐›ฝ๐œ‡(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) Jadi, titik kesetimbangan kedua (eq2) adalah (๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) = (

๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ” ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐œŽ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 + ๐œƒ(๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)) , , ) ๐›ฝ ๐›ฝ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐›ฝ๐œ‡(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)

3.3 Analisis Eksistensi Suatu persamaan dikatakan eksis jika dan hanya jika nilai ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง berlaku untuk sistem persamaan (3.1). Berikut ini akan dijelaskan analisis eksistensi untuk masing-masing titik kesetimbangan. Untuk titik kesetimbangan pertama (eq1): ๐›ฟ ๐œŽ๐›ฟ (๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) = ( , 0, ) ๐œ‡ + ๐œŽ ๐œ‡(๐œ‡ + ๐œŽ) Syarat keberadaan: tidak ada Analisis: ๏‚ท

Berdasarkan asumsi yang telah dibuat, yaitu semua parameter bernilai positif, maka titik kesetimbangan ini tidak memiliki syarat keberadaan. Hal

20

ini dikarenakan nilai dari setiap variabel (๐‘ฅ, ๐‘ฆ, atau ๐‘ง) selalu bernilai non negatif atau positif, sehingga akan selalu berlaku untuk sistem.

Untuk titik kesetimbangan kedua (eq2): (๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) = (

๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ” ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐œŽ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 + ๐œƒ(๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œ”)) , , ) ๐›ฝ ๐›ฝ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐›ฝ๐œ‡(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)

Syarat keberadaan: ๐›ฝ๐›ฟ > (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) Analisis: ๏‚ท

Ketika ๐›ฝ๐›ฟ = (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) maka populasi ๐‘ฆ = 0, sedangkan untuk titik kesetimbangan kedua ini diasumsikan bahwa populasi ๐‘ฆ itu ada sehingga ๐›ฝ๐›ฟ โ‰  (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ).

๏‚ท

Ketika ๐›ฝ๐›ฟ < (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) maka populasi ๐‘ฆ < 0, sedangkan populasi suatu spesies tidak mungkin bernilai negatif.

3.4 Analisis Kestabilan Model yang digunakan pada kajian studi literatur ini termasuk sistem persamaan diferensial non linier. Oleh sebab itu, untuk menentukan sifat kestabilan pada setiap titik kritis maka dilakukan linearisasi Jacobian agar diperoleh nilai-nilai eigen untuk masing-masing titik kritis. Adapun matriks Jacobian untuk model tersebut adalah sebagai berikut. ๐ฝ=[

โˆ’๐œ‡ โˆ’ ๐œŽ โˆ’ ๐›ฝ๐‘ฆ ๐›ฝ๐‘ฆ ๐œŽ

โˆ’๐›ฝ๐‘ฅ ๐›ฝ๐‘ฅ โˆ’ ๐œƒ โˆ’ ๐œ‡ โˆ’ ๐œ” ๐œƒ

0 0] โˆ’๐œ‡

(3.5)

Berdasarkan matriks Jacobian diatas, akan ditentukan matriks Jacobian untuk masing-masing titik kritis. Setelah penentuan matriks Jacobian, langkah selanjutnya adalah mencari nilai eigen dengan menggunakan determinan dari matriks Jacobian tersebut untuk menentukan sifat kestabilannya. Berikut akan diuraikan mengenai penentuan sifat kestabilan untuk masing-masing titik kritis. Menentukan sifat kestabilan untuk eq1: Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan matriks Jacobian untuk titik ekuilibrium pertama (eq1), yakni:

21

โˆ’(๐œ‡ + ๐œŽ) โˆ’ ๐›ฝ(0) ๐ฝ1 =

๐›ฝ(0) [

๐œŽ โˆ’(๐œ‡ + ๐œŽ)

๐ฝ1 =

0 [

๐œŽ

๐›ฟ โˆ’๐›ฝ ( ) ๐œ‡+๐œŽ ๐›ฟ ๐›ฝ( )โˆ’๐œƒโˆ’๐œ‡โˆ’๐œ” ๐œ‡+๐œŽ ๐œƒ

๐›ฝ๐›ฟ ๐œ‡+๐œŽ ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐œ‡+๐œŽ ๐œƒ โˆ’

0 0 โˆ’๐œ‡]

0 0 โˆ’๐œ‡]

Berdasarkan matriks Jacobian diatas, maka determinannya adalah sebagai berikut. |๐ฝ1 โˆ’ ๐œ†๐ผ| = 0 โˆ’(๐œ‡ + ๐œŽ) โˆ’ ๐œ† | 0 | ๐œŽ

๐›ฟ ) ๐œ‡+๐œŽ ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) โˆ’๐œ† ๐œ‡+๐œŽ ๐œƒ โˆ’๐›ฝ (

0 0

| =0 |

โˆ’๐œ‡ โˆ’ ๐œ†

๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) (โˆ’(๐œ‡ + ๐œŽ) โˆ’ ๐œ†) ( โˆ’ ๐œ†) (โˆ’๐œ‡ โˆ’ ๐œ†) = 0 ๐œ‡+๐œŽ sehingga, ๐œ†1 = โˆ’(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐œ†2 =

๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐œ‡+๐œŽ

๐œ†3 = โˆ’๐œ‡ karena ๐œ†1 dan ๐œ†3 bernilai negatif sedangkan ๐œ†2 bernilai positif maka titik euilibrium pertama (eq1) bersifat tidak stabil.

Menentukan kestabilan untuk eq2: Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan matriks Jacobian untuk titik ekuilibrium kedua (eq2), yakni: ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐œƒ+๐œ‡+๐œ” โˆ’๐›ฝ ( ) ) ๐›ฝ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐›ฝ ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐œƒ+๐œ‡+๐œ” ๐›ฝ( ๐›ฝ( )โˆ’๐œƒโˆ’๐œ‡โˆ’๐œ” ) ๐›ฝ(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐›ฝ ๐œŽ ๐œƒ

โˆ’(๐œ‡ + ๐œŽ) โˆ’ ๐›ฝ ( ๐ฝ2 = [

0 0 โˆ’๐œ‡]

22

โˆ’(๐œ‡ + ๐œŽ)(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) โˆ’ ( ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)) โˆ’(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐ฝ2 = ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) โˆ’ ๐œƒ โˆ’ ๐œ‡ โˆ’ ๐œ” (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) [ ๐œŽ ๐œƒ โˆ’(๐œ‡ + ๐œŽ)(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) โˆ’ ๐›ฝ๐›ฟ + (๐œ‡ + ๐œŽ)(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) โˆ’(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐ฝ2 = ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) ๐œƒ+๐œ‡+๐œ”โˆ’๐œƒโˆ’๐œ‡โˆ’๐œ” (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) [ ๐œŽ ๐œƒ

0 0 โˆ’๐œ‡]

๐›ฝ๐›ฟ โˆ’(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) 0 (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐ฝ2 = ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) 0 0 (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) [ ๐œŽ ๐œƒ โˆ’๐œ‡] โˆ’

Berdasarkan matriks Jacobian diatas, maka determinannya adalah sebagai berikut. 0 = |๐ฝ2 โˆ’ ๐œ†๐ผ| ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’๐œ† โˆ’(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) 0 (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) | | 0 = ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) โˆ’๐œ† 0 | | (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐œŽ ๐œƒ โˆ’๐œ‡ โˆ’ ๐œ† โˆ’

๐›ฝ๐›ฟ

๐›ฝ๐›ฟโˆ’(๐œƒ+๐œ‡+๐œ”)(๐œ‡+๐œŽ) ) (โˆ’๐œ‡ (๐œƒ+๐œ‡+๐œ”)

0 = [(โˆ’ (๐œƒ+๐œ‡+๐œ”) โˆ’ ๐œ†) (โˆ’๐œ†)(โˆ’๐œ‡ โˆ’ ๐œ†)] โˆ’ [โˆ’(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) (

โˆ’ ๐œ†)]

๐›ฝ๐›ฟ

0 = [(โˆ’ (๐œƒ+๐œ‡+๐œ”) โˆ’ ๐œ†) (๐œ‡๐œ† + ๐œ†2 )] + [(๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ))(โˆ’๐œ‡ โˆ’ ๐œ†)] ๐›ฝ๐›ฟ๐œ‡

๐›ฝ๐›ฟ

0 = [โˆ’ (๐œƒ+๐œ‡+๐œ”) ๐œ† โˆ’ (๐œƒ+๐œ‡+๐œ”) ๐œ†2 โˆ’ ๐œ‡๐œ†2 โˆ’ ๐œ†3 ] + [โˆ’๐›ฝ๐›ฟ๐œ‡ โˆ’ ๐›ฝ๐›ฟ๐œ† + ๐œ‡(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) + (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)๐œ†] ๐›ฝ๐›ฟ๐œ‡

๐›ฝ๐›ฟ

0 = โˆ’ (๐œƒ+๐œ‡+๐œ”) ๐œ† โˆ’ (๐œƒ+๐œ‡+๐œ”) ๐œ†2 โˆ’ ๐œ‡๐œ†2 โˆ’ ๐œ†3 โˆ’ ๐›ฝ๐›ฟ๐œ‡ โˆ’ ๐›ฝ๐›ฟ๐œ† + ๐œ‡(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) + (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)๐œ† ๐›ฝ๐›ฟ

๐›ฝ๐›ฟ๐œ‡

0 = โˆ’๐œ†3 โˆ’ (๐œƒ+๐œ‡+๐œ”) ๐œ†2 โˆ’ ๐œ‡๐œ†2 โˆ’ (๐œƒ+๐œ‡+๐œ”) ๐œ† โˆ’ ๐›ฝ๐›ฟ๐œ† + (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)๐œ† โˆ’ ๐œ‡(๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)) ..................................................................................(3.6)

Untuk mencari nilai eigen dari persamaan (3.6), caranya adalah dengan menggunakan aturan Hรถrner untuk mencari faktor-faktor dari persamaan tersebut, yakni:

23

0 0 โˆ’๐œ‡]

Berdasarkan aturan Hรถrner diatas, diperoleh salah satu faktornya adalah ๐œ† + ๐œ‡, sehingga ๐œ†1 = โˆ’๐œ‡. Langkah selanjutnya adalah mencari faktor lainnya dengan sisa dari aturan Hรถrner yakni persamaan berikut. โˆ’๐œ†2 โˆ’

๐›ฝ๐›ฟ ๐œ† โˆ’ (๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)) = 0 ๐œƒ+๐œ‡+๐œ”

(3.7)

dengan menggunakan rumus abc, diperoleh: ๐œ†2,3 = โˆ’

๐‘ ยฑ โˆš๐‘ 2 โˆ’ 4๐‘Ž๐‘ 2๐‘Ž 2 ๐›ฝ๐›ฟ ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ ๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ” ยฑ โˆš(โˆ’ ๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) โˆ’ 4(โˆ’1)(โˆ’[๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)])

๐œ†2,3 = โˆ’

2(โˆ’1)

๐›ฝ๐›ฟ ๐›ฝ2๐›ฟ 2 โˆš ยฑ โˆ’ 4(๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)) ๐œƒ+๐œ‡+๐œ” (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 ๐œ†2,3 =

โˆ’2

1 ๐›ฝ๐›ฟ ๐›ฝ2๐›ฟ 2 ๐œ†2,3 = โˆ’ [ ยฑโˆš โˆ’ 4(๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ))] (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 2 ๐œƒ+๐œ‡+๐œ” 1 ๐›ฝ๐›ฟ ๐›ฝ 2 ๐›ฟ 2 โˆ’ 4(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 (๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)) ๐œ†2,3 = โˆ’ [ ยฑโˆš ] (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 2 ๐œƒ+๐œ‡+๐œ”

๐œ†2,3

2 2 2 1 ๐›ฝ๐›ฟ ยฑ โˆš๐›ฝ ๐›ฟ โˆ’ 4(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) (๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)) =โˆ’ 2 ๐œƒ+๐œ‡+๐œ” [ ]

๐œ†2,3 = โˆ’

1 [๐›ฝ๐›ฟ ยฑ โˆš๐›ฝ 2 ๐›ฟ 2 โˆ’ 4(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 (๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ))] 2(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)

Jadi, ๐œ†1 = โˆ’๐œ‡ ๐œ†2 = โˆ’

1 [๐›ฝ๐›ฟ + โˆš๐›ฝ 2 ๐›ฟ 2 โˆ’ 4(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 (๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ))] 2(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)

๐œ†3 = โˆ’

1 [๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ โˆš๐›ฝ 2 ๐›ฟ 2 โˆ’ 4(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 (๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ))] 2(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)

Berdasarkan persamaaan (3.6) diatas, diperoleh nilai ๐œ†1 bernilai negatif sedangkan untuk ๐œ†2 dan ๐œ†3 belum diketahui nilainya. Agar persamaan menjadi stabil, maka harus dipastikan bahwa nilai ๐œ†2 dan ๐œ†3 juga bernilai negatif. Nilai ๐œ†2

24

dan ๐œ†3 diperoleh dari persamaan (3.7), sehingga jika ๐œ†2 < 0 dan ๐œ†3 < 0 maka dengan menggunakan aturan jumlah dan kali pada persamaan berorde dua harus diperoleh ๐œ†2 + ๐œ†3 < 0

dan

Akan dibuktikan bahwa ๐€๐Ÿ + ๐€๐Ÿ‘ < ๐ŸŽ:

๐œ†2 ร— ๐œ†3 > 0 Akan dibuktikan bahwa ๐€๐Ÿ ร— ๐€๐Ÿ‘ > ๐ŸŽ:

๐œ†2 + ๐œ†3 < 0 ๐‘ โˆ’ <0 ๐‘Ž โˆ’

โˆ’(๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)) <0 โˆ’1 โˆ’[๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)] < 0

Jadi terbukti bahwa ๐€

๐’— ๐’— ๐’—๐’—๐’—๐’— ๐Ÿ‘,.๐Ÿ

+

๐€๐Ÿ‘ < ๐ŸŽ

๐œ†2 ร— ๐œ†3 > 0 ๐‘ >0 ๐‘Ž ๐›ฝ๐›ฟ โˆ’๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”

>0 โˆ’1 ๐›ฝ๐›ฟ >0 ๐œƒ+๐œ‡+๐œ”

Jadi terbukti bahwa ๐€๐Ÿ ร— ๐€๐Ÿ‘ > ๐ŸŽ

Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa: ๐œ†2 = โˆ’

1 [๐›ฝ๐›ฟ + โˆš๐›ฝ 2 ๐›ฟ 2 โˆ’ 4(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 (๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ))] < 0 2(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)

๐œ†3 = โˆ’

1 [๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ โˆš๐›ฝ 2 ๐›ฟ 2 โˆ’ 4(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 (๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ))] < 0 2(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)

dengan ๐›ฝ๐›ฟ > โˆš๐›ฝ 2 ๐›ฟ 2 โˆ’ 4(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)2 (๐›ฝ๐›ฟ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ)) Jadi, ๐œ†1 , ๐œ†2 dan ๐œ†3 bernilai negatif sehingga eq2 bersifat stabil.

3.5 Angka Reproduksi Dasar (๐‘น๐ŸŽ ) Angka reproduksi dasar (R 0 ) mewakili jumlah rata-rata kasus dimana orang yang terinfeksi pada periode infeksius menghasilkan populasi yang rentan [11]. Jika ๐‘…0 < 1, virus A-H1N1 hilang sehingga populasi mengalami bebas penyakit karena populasi individu terinfeksi menuju nol. Ketika ๐‘…0 > 1, hal ini menunjukkan adanya virus A-H1N1 dalam populasi sehingga menimbulkan penyakit menjadi mewabah karena populasi individu terinfeksi lebih dari nol. Untuk mencari angka

25

reproduksi dasar (R 0 ), bisa menggunakan cara yang sederhana. Cara untuk mencari ๐‘…0 ini akan diperiksa mengenai peningkatan dan penurunan pada infeksi, oleh sebab itu dapat diketahui bahwa [12]: Jika ๐‘‘๐‘ฆ >0 ๐‘‘๐‘ก ๐›ฝ๐‘ฅ๐‘ฆ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)๐‘ฆ > 0 ๐‘ฆ(๐›ฝ๐‘ฅ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)) > 0 ๐›ฝ๐‘ฅ โˆ’ (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) > 0 maka ๐›ฝ๐‘ฅ > (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) ๐›ฝ๐‘ฅ >1 ๐œƒ+๐œ‡+๐œ” ๐›ฟ ๐›ฝ (๐œ‡ + ๐œŽ) ๐œƒ+๐œ‡+๐œ”

>1

๐›ฝ๐›ฟ >1 (๐œ‡ + ๐œŽ)(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”) Oleh sebab itu dapat ditentukan ๐‘…0 =

๐›ฝ๐›ฟ (๐œ‡ + ๐œŽ)(๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)

(3.8)

menyebabkan, jika

๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก

> 0 maka akan diperoleh ๐‘…0 > 1, yaitu kondisi ketika penyakit influenza

A-H1N1 mewabah dalam populasi tersebut. jika

๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก

= 0 maka akan diperoleh ๐‘…0 = 1, yaitu kondisi ketika populasi dalam

keadaan stabil. jika

๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก

< 0 maka akan diperoleh ๐‘…0 < 1, yaitu kondisi ketika populasi bebas dari

penyakit influenza A-H1N1. Berdasarkan persamaan (3.8) diatas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suatu penyakit dapat dikatakan bebas dari penyakit, mewabah, ataupun stabil di antaranya:

26

1. ๐›ฝ (koefisien transmisi periodik), yaitu suatu nilai yang menunjukkan banyaknya kejadian perpindahan dari individu yang rentan terhadap penyakit menjadi individu yang terinfeksi penyakit influenza A-H1N1 pada interaksi yang terjadi dalam populasi tersebut (jumlah orang) dan pada interval waktu tertentu. 2. ๐›ฟ (mobilitas individu yang rentan terhadap penyakit), yaitu suatu nilai yang menunjukkan banyaknya orang yang dilahirkan pada interval waktu tertentu. 3. ๐œ‡ (tingkat kematian alami), yaitu suatu nilai yang menunjukkan proporsi kematian alami yang terjadi pada interval waktu tertentu. 4. ๐œŽ (tingkat vaksinasi individu pada setiap usia dan waktu), yaitu suatu nilai yang menunjukkan proporsi vaksinasi yang sukses terhadap individu rentan pada interval waktu tertentu. 5. ๐œƒ (tingkat sembuhnya individu yang terinfeksi), yaitu suatu nilai yang menunjukkan proporsi penyembuhan dengan cara vaksinasi terhadap individuindividu yang terinfeksi penyakit influenza A-H1N1 pada interval waktu tertentu. 6. ๐œ” (tingkat kematian akibat terinfeksi), yaitu suatu nilai yang menunjukkan proporsi kematian akibat terinfeksi penyakit influenza A-H1N1 yang terjadi pada interval waktu tertentu.

Dari faktor-faktor tersebut maka dapat diketahui 3 hal, yakni: 1. Jika nilai ๐›ฟ dan ๐›ฝ lebih besar daripada ๐œ‡, ๐œŽ, ๐œƒ, dan ๐œ”, maka penyakit influenza A-H1N1 akan mewabah dalam populasi tersebut. Secara biologis, hal ini berarti bahwa banyaknya individu yang dilahirkan dan jumlah kejadian individu menjadi terinfeksi lebih besar dibandingkan dengan banyaknya kematian serta pencegahan dan penyembuhan oleh vaksinasi terhadap penyakit tersebut. Oleh karena itu, kondisi penyebaran penyakit influenza A-H1N1 dalam populasi tersebut menjadi menjadi mewabah (epidemik). 2. Jika nilai ๐›ฟ dan ๐›ฝ lebih kecil daripada ๐œ‡, ๐œŽ, ๐œƒ, dan ๐œ”, maka populasi tersebut akan bebas dari penyakit influenza A-H1N1. Secara biologis, hal ini berarti bahwa banyaknya individu yang dilahirkan dan jumlah kejadian individu menjadi terinfeksi lebih kecil dibandingkan dengan banyaknya kematian serta

27

pencegahan dan penyembuhan oleh vaksinasi terhadap penyakit tersebut. Oleh karena itu, dalam populasi tersebut kondisi yang terjadi adalah menuju bebas dari penyakit influenza A-H1N1 (dissease free). 3. Jika nilai ๐›ฟ dan ๐›ฝ sama besarnya dengan ๐œ‡, ๐œŽ, ๐œƒ, dan ๐œ”, maka kondisi populasi tersebut akan stabil. Secara biologis, hal ini berarti bahwa banyaknya individu yang dilahirkan dan jumlah kejadian individu menjadi terinfeksi sebanding dengan banyaknya kematian serta pencegahan dan penyembuhan oleh vaksinasi terhadap penyakit tersebut. Oleh karena itu, kondisi penyebaran penyakit influenza A-H1N1 dalam populasi tersebut menjadi stabil.

3.6 Simulasi Numerik Untuk mengilustrasikan hasil analisis model yang diberikan, dilakukan simulasi numerik dengan menggunakan nilai parameter seperti yang diberikan pada tabel 2. Setiap simulasi diuji untuk tiga nilai awal masing-masing ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง yaitu NA1 = (45, 5, 10), NA2 = (20, 7, 38), dan NA3 = (35, 5, 20). Tabel 3.2 Simulasi numerik untuk sistem

Parameter Simulasi

๐œน

๐

๐ˆ

๐œท

๐œฝ

๐Ž

1

2

0,05

0,1

0

0,5

0,1

2

4

0,4

0,1

0

0,2

0,6

3

4

0,4

0,1

0

0,9

0,7

4

1

0,1

0,2

0,1

0,3

0,2

5

0

0,05

0,1

0,5

0,5

0,1

6

0

0,05

0,1

0

0,5

0,1

7

2

0,05

0,1

0,75

0,5

0,1

8

5

0,5

0,2

0,4

0,3

0,1

9

1

0,1

0,1

0,06

0,05

0,15

Berdasarkan simulasi-simulasi diatas, akan ditunjukkan potret fase solusisolusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง terhadap ๐‘ก untuk masing-masing simulasi, yakni:

28

Gambar 1. Potret Fase Simulasi 1

Gambar 2. Potret Fase Simulasi 2

Gambar 3. Potret Fase Simulasi 3

Gambar 4. Potret Fase Simulasi 4

Gambar 5. Potret Fase Simulasi 5

Gambar 6. Potret Fase Simulasi 6

29

Gambar 7. Potret Fase Simulasi 7

Gambar 8. Potret Fase Simulasi 8

Gambar 9. Potret Fase Simulasi 9 Gambar 3. 2 Potret fase solusi-solusi x, y, z terhadap t untuk simulasi 1-9

Adapun potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง untuk masing-masing simulasi adalah sebagai berikut.

30

Gambar 1. Potret Fase Simulasi 1

Gambar 2. Potret Fase Simulasi 2

Gambar 3. Potret Fase Simulasi 3

Gambar 4. Potret Fase Simulasi 4

Gambar 5. Potret Fase Simulasi 5

Gambar 6. Potret Fase Simulasi 6

31

Gambar 7. Potret Fase Simulasi 7

Gambar 8. Potret Fase Simulasi 8

Gambar 9. Potret Fase Simulasi 9

Gambar 3. 3 Potret fase di bidang x, y, z untuk simulasi 1-9

Berikut akan ditampilkan beberapa hasil dari perhitungan untuk masingmasing simulasi. Tabel 3.3 Perhitungan untuk masing-masing simulasi

32

3.7 Interpretasi Hasil Berdasarkan hasil simulasi numerik tersebut, dapat diketahui beberapa hal di antaranya: a. Pada simulasi 1, 2, dan 3 besarnya interaksi antara variabel ๐‘ฅ dan ๐‘ฆ adalah nol, artinya tidak adanya interaksi antara individu yang rentan (susceptible) dengan individu yang terinfeksi (infected). Oleh sebab itu, dapat dipastikan bahwa populasi individu yang terinfeksi akan menuju nol (tidak terdapat populasi individu yang terinfeksi) yang merupakan ciri dari eq1. Pada potret fase solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก terlihat bahwa seiring dengan berjalannya waktu grafik ratarata jumlah individu yang terinfeksi (๐‘ฆ) selalu berada dibawah grafik rata-rata jumlah individu yang rentan (๐‘ฅ) dan rata-rata jumlah individu yang kebal terhadap penyakit (๐‘ง). Dalam kasus ini, berapapun nilai awal yang diberikan populasi akan stabil menuju eq1. Hal ini diperlihatkan pada potret fase di bidang x, y, z untuk simulasi 1, 2, dan 3 yang menunjukkan bahwa berapa pun nilai awal yang diberikan akan menghasilkan nilai akhir yang sama, yaitu menuju nilai titik kesetimbangan pertama (eq1). Selain itu, kasus untuk simulasi 1, 2, dan 3 ini memiliki nilai ambang epidemi ๐‘…0 = 0. Artinya, pada kasus ini populasi bebas dari penyakit influenza A-H1N1. b. Pada simulasi 4 terjadi interaksi antara variabel ๐‘ฅ dan ๐‘ฆ, namun tidak memenuhi syarat eksis untuk eq2. Ini menunjukkan bahwa meskipun adanya interaksi antara individu yang rentan (susceptible) dengan individu yang terinfeksi (infected), tidak terlalu berpengaruh pada populasi. Oleh sebab itu, dapat dipastikan bahwa individu yang terinfeksi pernah ada dalam populasi, namun seiring berjalannya waktu akan mengalami penurunan menuju nol (tidak terdapat populasi individu yang terinfeksi) yang merupakan ciri dari eq1. Pada potret fase solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก terlihat bahwa grafik rata-rata jumlah individu terinfeksi (๐‘ฆ) yang pernah naik namun seiring berjalannya waktu turun dibawah grafik rata-rata jumlah individu yang rentan (๐‘ฅ) dan rata-rata jumlah individu yang kebal terhadap penyakit (๐‘ง). Dalam kasus ini, berapapun nilai awal yang diberikan populasi akan stabil menuju eq1. Hal ini diperlihatkan pada potret fase di bidang x, y, z simulasi 4 yang menunjukkan bahwa berapa pun

33

nilai awal yang diberikan akan menghasilkan nilai akhir yang sama, yaitu menuju nilai titik kesetimbangan yang pertama (eq1). Selain itu, kasus untuk simulasi 4 ini memiliki nilai ambang epidemi ๐‘…0 = 0,555556. Artinya, pada kasus ini populasi bebas dari penyakit influenza A-H1N1. c. Pada simulasi 5, terjadi interaksi antara variabel ๐‘ฅ dan variabel ๐‘ฆ namun tidak memenuhi syarat eksis untuk eq2. Pada kasus ini, dengan diberikannya nilai ๐›ฟ = 0 menunjukkan bahwa dengan adanya interaksi antara individu yang rentan (susceptible) dengan individu yang terinfeksi (infected) mengakibatkan ratarata jumlah individu yang rentan (๐‘ฅ) dan rata-rata jumlah individu yang kebal terhadap penyakit (๐‘ง) akan terus mengalami penurunan menuju nol karena terjadinya kematian alami namun tidak adanya kelahiran dalam populasi tersebut. Individu yang terinfeksi (๐‘ฆ) meskipun pernah ada dalam populasi, namun seiring berjalannya waktu akan mengalami penurunan menuju nol (tidak terdapat populasi individu yang terinfeksi). Hal ini ditunjukkan dalam potret fase solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก yang ditandai dengan semakin bertambahnya ๐‘ก, grafik rata-rata jumlah individu terinfeksi (๐‘ฆ) pernah naik namun terus menurun menuju nol, sedangkan grafik rata-rata jumlah individu yang rentan (๐‘ฅ) terus turun menuju nol dan rata-rata jumlah individu yang kebal terhadap penyakit (๐‘ง) juga terus turun menuju nol. Dalam kasus ini, berapapun nilai awal yang diberikan populasi akan stabil menuju eq1. Hal ini diperlihatkan pada potret fase di bidang x, y, z simulasi 5 yang menunjukkan bahwa berapa pun nilai awal yang diberikan akan menghasilkan nilai akhir yang sama, yaitu menuju nilai titik kesetimbangan yang pertama (eq1). Selain itu, kasus untuk simulasi 5 ini memiliki nilai ambang epidemi ๐‘…0 = 0. Artinya, pada kasus ini populasi bebas dari penyakit influenza A-H1N1. d. Pada simulasi 6 besarnya interaksi antara variabel ๐‘ฅ dan ๐‘ฆ adalah nol, artinya tidak adanya interaksi antara individu yang rentan (susceptible) dengan individu yang terinfeksi (infected). Oleh sebab itu, dapat dipastikan bahwa populasi individu yang terinfeksi akan menuju nol (tidak terdapat populasi individu yang terinfeksi) yang merupakan ciri dari eq1. Pada kasus ini juga, dengan diberikannya nilai ๐›ฟ = 0 menunjukkan bahwa dengan adanya interaksi antara

34

individu yang rentan (susceptible) dengan individu yang terinfeksi (infected) mengakibatkan rata-rata jumlah individu yang rentan (๐‘ฅ) dan rata-rata jumlah individu yang kebal terhadap penyakit (๐‘ง) akan terus mengalami penurunan menuju nol karena terjadinya kematian alami namun tidak adanya kelahiran dalam populasi tersebut. Pada potret fase solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก terlihat bahwa seiring dengan bertambahnya waktu, grafik rata-rata jumlah individu yang rentan (๐‘ฅ), rata-rata jumlah individu terinfeksi (๐‘ฆ), dan rata-rata jumlah individu yang kebal terhadap penyakit (๐‘ง) akan terus menurun menuju nol. Dalam kasus ini, berapapun nilai awal yang diberikan populasi akan stabil menuju eq1. Hal ini diperlihatkan pada potret fase di bidang x, y, z simulasi 6 yang menunjukkan bahwa berapa pun nilai awal yang diberikan akan menghasilkan nilai akhir yang sama, yaitu menuju nilai titik kesetimbangan yang pertama (eq1). Selain itu, kasus untuk simulasi 6 ini memiliki nilai ambang epidemi ๐‘…0 = 0. Artinya, pada kasus ini populasi bebas dari penyakit influenza A-H1N1. e. Pada simulasi 7 dan 8, terjadi interaksi antara variabel ๐‘ฅ dan variabel ๐‘ฆ dengan kondisi memenuhi syarat eksis untuk eq2. Ini menunjukkan bahwa dalam populasi tersebut akan selalu terdapat beberapa individu yang terinfeksi (๐‘ฆ โ‰  0) yang merupakan ciri dari eq2. Hal ini diperlihatkan pada potret fase di bidang x, y, z terhadap ๐‘ก yang ditandai dengan seiring bertambahnya ๐‘ก, grafik rata-rata jumlah individu terinfeksi (๐‘ฆ) akan selalu berada diatas grafik rata-rata jumlah individu yang rentan (๐‘ฅ) atau berada diatas grafik rata-rata jumlah individu yang rentan (๐‘ฅ) dan grafik rata-rata jumlah individu yang kebal terhadap penyakit (๐‘ง). Dalam kasus ini, berapapun nilai awal yang diberikan populasi akan stabil menuju eq2. Hal ini diperlihatkan pada potret fase di bidang x, y, z simulasi 7 dan 8 yang menunjukkan bahwa berapa pun nilai awal yang diberikan akan menghasilkan nilai akhir yang sama, yaitu nilai pada titik kesetimbangan yang kedua (eq2). Selain itu, kasus untuk simulasi 7 dan 8 ini memiliki nilai ambang epidemi masing-masing ๐‘…0 = 15,38462 dan ๐‘…0 = 3,174603. Artinya, pada kasus ini penyakit influenza A-H1N1 mewabah pada populasi. Hal ini dikarenakan pada kasus simulasi 7, saat satu individu yang terinfeksi masuk ke populasi individu yang rentan terhadap penyakit dan saling berinteraksi maka

35

akan menghasilkan 15 individu yang rentan terhadap penyakit menjadi terinfeksi. Sedangkan pada kasus simulasi 8, saat satu individu yang terinfeksi masuk ke populasi individu yang rentan terhadap penyakit dan saling berinteraksi maka akan menghasilkan 3 individu yang rentan terhadap penyakit menjadi terinfeksi. Hal ini terjadi disebabkan karena banyaknya individu yang terinfeksi lebih cepat penyebarannya dibandingkan banyaknya kematian alami, kematian karena terinfeksi, atau vaksinasi yang dilakukan. f. Pada simulasi 9, terjadi interaksi antara variabel ๐‘ฅ dan variabel ๐‘ฆ dengan kondisi ๐›ฝ๐›ฟ = (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) untuk eq2. Hal ini mengakibatkan rata-rata jumlah individu terinfeksi (๐‘ฆ) sama dengan nol sehingga eq1=eq2. Hal ini ditunjukkan dalam potret fase solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก yang ditandai dengan seiring bertambahnya ๐‘ก, grafik rata-rata jumlah individu terinfeksi (๐‘ฆ) terus menurun menuju nol serta grafik rata-rata jumlah individu yang rentan (๐‘ฅ) dan grafik rata-rata jumlah individu yang kebal terhadap penyakit (๐‘ง) menuju pada titik yang sama. Dalam kasus ini, berapapun nilai awal yang diberikan populasi akan stabil menuju eq1=eq2. Hal ini diperlihatkan pada potret fase di bidang x, y, z simulasi 9 yang menunjukkan bahwa berapa pun nilai awal yang diberikan akan menghasilkan nilai akhir yang sama, yaitu menuju nilai eq1=eq2. Selain itu, kasus untuk simulasi 9 ini memiliki nilai ambang epidemi ๐‘…0 = 1. Artinya, pada kasus ini penyakit influenza A-H1N1 tidak mewabah namun tidak pula hilang pada populasi karena banyaknya interaksi yang terjadi antara individu yang terinfeksi dengan individu yang rentan terhadap penyakit sebanding dengan kematian alami, kematian karena terinfeksi, atau vaksinasi yang dilakukan.

36

BAB IV PENUTUP Pada bab ini akan dijelaskan mengenai beberapa hal yang dapat disimpulkan untuk jawaban dari rumusan masalah yang diajukan serta beberapa saran untuk pengembangan tulisan dan analisis dari masalah yang dikaji dalam studi literatur ini.

4.1 Kesimpulan Model simulasi termasuk vaksinasi dan musiman untuk virus influenza AH1N1 adalah sebagai berikut. ๐‘‘๐‘ฅ = ๐›ฟ โˆ’ ๐œ‡๐‘ฅ โˆ’ ๐œŽ๐‘ฅ โˆ’ ๐›ฝ๐‘ฅ๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก ๐‘‘๐‘ฆ = ๐›ฝ๐‘ฅ๐‘ฆ โˆ’ ๐œƒ๐‘ฆ โˆ’ (๐œ‡ + ๐œ”)๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก ๐‘‘๐‘ง = ๐œŽ๐‘ฅ + ๐œƒ๐‘ฆ โˆ’ ๐œ‡๐‘ง ๐‘‘๐‘ก ๐›ฟ

๐œŽ๐›ฟ

Model tersebut memiliki dua titik kesetimbangan, yakni ๐‘’๐‘ž1 = (๐œ‡+๐œŽ , 0, ๐œ‡(๐œ‡+๐œŽ)) dan ๐‘’๐‘ž2 = (

๐œƒ+๐œ‡+๐œ” ๐›ฝ๐›ฟโˆ’(๐œƒ+๐œ‡+๐œ”)(๐œ‡+๐œŽ) ๐œŽ(๐œƒ+๐œ‡+๐œ”)2 +๐œƒ(๐›ฝ๐›ฟโˆ’(๐œƒ+๐œ‡+๐œ”)(๐œ‡+๐œŽ)) ๐›ฝ

,

๐›ฝ(๐œƒ+๐œ‡+๐œ”)

,

๐›ฝ๐œ‡(๐œƒ+๐œ‡+๐œ”)

) yang me-

miliki syarat keberadaan ๐›ฝ๐›ฟ > (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ). Pada model tersebut, populasi akan stabil menuju titik eq1 jika syarat eksis ๐›ฝ๐›ฟ > (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) untuk eq2 tidak terpenuhi. Ada beberapa sebab yang membuat syarat eksis tersebut tidak terpenuhi, misalnya tidak adanya koefisien transmisi berkala (๐›ฝ = 0), tidak adanya mobilitas individu yang rentan terhadap penyakit (๐›ฟ = 0), atau ๐›ฝ๐›ฟ < (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ). Kondisi ini terjadi pada simulasi 1-6. Jika syarat eksis ๐›ฝ๐›ฟ > (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ) terpenuhi, maka populasi akan stabil menuju eq2. Kondisi ini terjadi pada simulasi 7 dan simulasi 8. Namun apabila yang terjadi adalah ๐›ฝ๐›ฟ = (๐œƒ + ๐œ‡ + ๐œ”)(๐œ‡ + ๐œŽ), populasi akan stabil menuju ๐‘’๐‘ž1 = ๐‘’๐‘ž2.

37

4.2 Saran Studi literatur ini hanya membahas tentang model simulasi termasuk vaksinasi dan musiman untuk virus influenza A-H1N1, tanpa ada faktor dan asumsi lainnya selain yang digunakan penulis. Penulis berharap model ini dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya dengan penambahan asumsi atau faktor-faktor lainnya yang berhubungan dengan interaksi dari model ini.

38

DAFTAR PUSTAKA [1]

M. E. C. P and P. Irma, โ€œA Simulation Model Including Vaccination and Seasonality for Influenza A-H1N1 Virus,โ€ vol. 10, no. 26, pp. 1269โ€“1276, 2016.

[2]

D. G. Zill, A First Course in Differential Equations with Modelling Applications. 2009.

[3]

Pamuntjak and Dkk, Persamaan Diferensial Biasa. Bandung: Institut Teknologi Bandung, 1990.

[4]

V. A. Fitria, โ€œAnalisis Sistem Persamaan Diferensial Model Predator-Prey dengan Perlambatan,โ€ 1992.

[5]

W. E. Boyce and R. C. DiPrima, Elementary Differential Equations and Boundary Value Problems. New York: John Wiley & Sons, Inc, 1992.

[6]

D. Rahmalia, โ€œPemodelan Matematika dan Analisis Stabilitas dari Penyakit Flu Burung,โ€ UJMC, no. 1, pp. 11โ€“19, 2007.

[7]

N. Finizio and G. Ladas, Persamaan diferensial biasa dengan penerapan modern. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1988.

[8]

W. dan Sutimin, Buku Ajar Pemodelan Matematika. Semarang: Fakultas MIPA Universitas Diponegoro, 2007.

[9]

A. H. Angi, โ€œTinjauan Struktur Genetik Serta Tingkat Keganasan Virus Influenza H1N1,โ€ J. Partn., vol. 17, no. 2, pp. 181โ€“187, 2009.

[10] E. . Sedyaningsih and S. Vivi, โ€œAwal Pandemi Influenza A (H1N1) 2009: Sebuah Tinjauan,โ€ Jurnal Peny Mlr Indo, vol. 1, no. 1. pp. 29โ€“41, 2009. [11] H. Heesterbeek, R0, Centrum Voor Wiskunde en Informatica. Amnsterdam, 1992. [12] S. Eduafo, โ€œAn SIA Model of HIV Transmission in Ghana,โ€ vol. 10, no. 2, pp. 95โ€“104, 2015.

39

LAMPIRAN Lampiran 1. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi x, y, dan z terhadap t dan potret fase di bidang x, y, z pada simulasi 1 > Potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > > >

>

>

>

40

Potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > >

41

Lampiran 2. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi x, y, dan z terhadap t dan potret fase di bidang x, y, z pada simulasi 2 > Potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > > >

>

>

>

42

Potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > >

43

Lampiran 3. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi x, y, dan z terhadap t dan potret fase di bidang x, y, z pada simulasi 3 > Potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > > >

>

>

>

44

Potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > >

45

Lampiran 4. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi x, y, dan z terhadap t dan potret fase di bidang x, y, z pada simulasi 4 > Potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > > >

>

>

>

46

Potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > >

47

Lampiran 5. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi x, y, dan z terhadap t dan potret fase di bidang x, y, z pada simulasi 5 > Potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > > >

>

>

>

48

Potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > >

49

Lampiran 6. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi x, y, dan z terhadap t dan potret fase di bidang x, y, z pada simulasi 6 > Potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > > >

>

>

>

50

Potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง dengan ๐‘…0 < 1: > > > > >

> > > > >

51

Lampiran 7. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi x, y, dan z terhadap t dan potret fase di bidang x, y, z pada simulasi 7 > Potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก dengan ๐‘…0 > 1: > > > > > >

> > > > > >

>

>

>

52

Potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง dengan ๐‘…0 > 1: > > > > >

> > > > >

53

Lampiran 8. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi x, y, dan z terhadap t dan potret fase di bidang x, y, z pada simulasi 8 > Potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก dengan ๐‘…0 > 1: > > > > >

> > > > > >

>

>

>

54

Potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง dengan ๐‘…0 > 1: > > > > >

> > > > >

55

Lampiran 9. Program komputer untuk potret fase solusi-solusi x, y, dan z terhadap t dan potret fase di bidang x, y, z pada simulasi 9 > Potret fase solusi-solusi ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง terhadap ๐‘ก dengan ๐‘…0 = 1: > > > > >

> > > > > >

>

>

>

56

Potret fase di bidang ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง dengan ๐‘…0 = 1: > > > > >

> > > > >

57

Related Documents


More Documents from "Wolfy Flutter"

Studi Literatur (sl).docx
December 2019 12
Diktat Asli.pdf
December 2019 49
Seminar Sl.pptx
December 2019 9
1252-2358-1-sm
October 2019 10