LAPORAN STUDI EKSKURSI ARSITEKTUR “DESA ADAT PENGLIPURAN”
DISUSUN OLEH: 1. Lailatul Khikmiyah 2. Indra Rano Dwi P. 3. Chintya Dinni A. 4. Fina Sobbiyati 5. Joko Prasetyo Utomo 6. Alfian Sukma Adi P. 7. M. Mauluddin H. 8. Moch. Panji S. 9. Bilqis Addawiyah 10. Moh. Fikri Ghozali
(1651010010) (1651010012) (1651010013) (1651010021) (1651010030) (1651010048) (1651010052) (1651010054) (1651010055) (1651010060)
DOSEN PEMBIMBING : Dyan Agustin, S.T., M.T.
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS ARSITEKTUR DAN DESAIN UPN “VETERAN” JAWA TIMUR 2018
KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada kita. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya, Amin. Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan laporan studi ekskursi yang dilaksanakan pada tanggal 14 November 2018 sampai 18 November 2018 yang di laksanakan di Bali, dengan salah satu tujuannya yaitu Desa Adat Penglipuran. Adapun tujuan pembuatan laporan studi ekskursi ini sebagai bentuk evaluasi dan dokumentasi daripada kegiatan Studi Ekskursi. Ucapan terimakasih kepada bapak Ir. Lily Syahrial, M.T. dan ibu Dyan Agustin, S.T., M.T. selaku dosen pembimbing studi ekskursi yang telah membimbing dan mengawasi kami selama pelaksanaan kegiatan Studi Ekskursi. Orang tua yang telah menjadi pendukung utama kegiatan studi ekskursi, serta teman-teman yang sudah mengikuti kegiatan Studi Ekskursi. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis berharap laporan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca. Penulis juga mengharapkan adanya masukan berupa kritik dan saran dari pembaca demi kemajuan penulisan.
Surabaya, 29 Desember 2018
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 1 BAB I ..................................................................................................................................... 4 PENDAHULUAN ................................................................................................................. 4 1.1
Latar Belakang ....................................................................................................... 4
1.2
Rumusan Masalah ................................................................................................. 6
1.3
Tujuan Penelitian ................................................................................................... 6
1.4
Manfaat Penelitian ................................................................................................. 6
BAB II .................................................................................................................................... 7 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 7 2.1 Permasalahan Lingkungan ........................................................................................ 7 2.2 Material Ramah Lingkungan .................................................................................... 7 2.3 Sosial dan Budaya Bali ............................................................................................... 8 BAB III ................................................................................................................................ 10 PEMBAHASAN .................................................................................................................. 10 3.1 Letak Geografis ......................................................................................................... 10 3.2
Deskripsi Desa Adat Penglipuran ...................................................................... 11
3.3
Sejarah Desa Adat Penglipuran ......................................................................... 11
3.4
Sistem Lansekap Desa Adat Penglipuran .......................................................... 13
3.4.1 Tata Guna Lahan .................................................................................................. 13 3.4.2 Pola Tata Ruang ................................................................................................... 14 3.5
Material dan Struktur Kontruksi Desa Adat Penglipuran .............................. 16
3.5.1 Material ................................................................................................................ 16 3.5.2 Struktur dan Konstruksi Per-ruang ....................................................................... 20 3.6
Filosofi Kondisi Sosisal Budaya Yang Mempengaruhi Arsitektur ................. 25
3.7
Mengenal Unsur Regionalisme Di Desa Adat Penglipuran ............................. 29
BAB IV ................................................................................................................................ 32 PENUTUP ........................................................................................................................... 32
2
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 32 4.2 Saran .......................................................................................................................... 32 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 33
3
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa adat penglipuran merupakan satu kawasan pedesaan yang memiliki tatanan spesifik dari struktur desa tradisional. sehingga mampu menampilkan wajah pedesaan yang asri. Penataan fisik dan struktur desa, tidak terlepas dari budaya masyarakatnya yang sudah berlaku turun temurun. Areal pemukiman serta jalan utama desa adat penglipuran adalah areal bebas kendaraan terutama roda empat. Keadaan ini, semakin memberikan kesan nyaman bagi para wisatawan yang datang. Kata penglipuran berasal dari kata penglipur yang artinya penghibur, karena semenjak jaman kerajaan , tempat ini adalah salah satu tempat yang bagus untuk peristirahatan.
Selain itu, menurut masyarakat kata penglipuran juga dipercaya berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti sebagai tempat yang suci untuk mengingat para leluhur. Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani dan kini mereka mulai beralih ke usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga.Dengan memanfaatkan bamboo sebagai bahan bakunya/ menjadikan desa penglipuran sebagai komunitas yang unik diantara kemajuan pulau dewata yang semakin pesat. Sesuai dengan kosep yang ada, desa adat penglipuran dibagi menjadi tiga bagian yaitu bangunan suci yang terletak di hulu/ perumahan di tengah, dan lahan usaha tani di pinggir atau hilir.
Desa Tradisional Penglipuran memiliki potensi budaya yang sampai saat ini tetap terpelihara dengan baik. Potensi paling unik yang dimiliki adalah pola tata ruang dan arsitektur bangunan tradisional Bali khas Penglipuran. Pola tata ruang simetris dengan open space linier di tengah disertai pintu gerbang (angkulangkul) seragam serta tata letak bangunannya merupakan pemandangan suasana pedesaan yang sangat unik, khas dan menarik untuk dinikmati. Adat istiadat yang menyertainya juga cukup unik dan beberapa hal
4
berbeda dengan kebanyakan adat pedesaan di Bali. Pola penataan ruang dan tata letak bangunan tradisional di Penglipuran menggunakan Pola Dasar Nawa Sanga, yaitu penggabungan orientasi antara gunung dan laut serta terhadap peredaran matahari.
Sangat unik mungkin itu kata yang paling tepat untuk desa adat penglipuran. Corak pintu gerbangnya atau yang disebut dengan “angkul angkul” terlihat seragam satu sama lainnya. Penampilan fisik desa adat juga sangat khas dan indah. Jalan utama desa adat berupa jalan sempit yang lurus dan berundag undag. Potensi pariwisata yang dimiliki oleh desa adat penglipuran adalah adatnya yang unik serta tingginya frekuensi upacara adat dan keagamaan.
Meski desa adat penglipuran saat ini sudah tersentuh modernisasi yakni perubahan kearah kemajuan namun tata letak perumahan di masing masing keluarga tetap menganut falsafah Tri Hita Karana.
Sebuah falsafah dalam agama Hindu yang selalu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, serta manusia dengan Tuhan.
Rumah masing masing keluarga hampir seragam mulai dari pintu gerbang, bangunan suci(merajan) dapur, tempat tidur, ruangan tamu, serta lumbung untuk menyimpan padi. Antara satu rumah dengan rumah lainnya, terdapat sebuah lorong yang menghubungkannya sebagai tanda keharmonisan mereka hidup bermasyarakat. Pintu gerbang yang memiliki bentuk yang seragam terletak di sisi timur dan barat serta berhadap hadapan satu sama lainnya. Tembok pekarangan tepatnya dibuat dari tanah liat dengan bentuk dan warna seragam. Sangatlah tepat jika desa adat penglipuran dijadikan sebagai desa tujuan wisata. Desa wisata semakin populer belakangan ini sebagai alternatif dari pariwisata konvensional.
5
1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah Desa Adat Penglipuran? 2. Bagaimana kondisi sosial penduduk Desa Adat Penglipuran? 3. Bagaimana unsur regionalism terhadap Desa Adat Penglipuran? 1.3 Tujuan Penelitian 1. 2. 3. 4. 5.
Mengenal dan mempelajari sistem penataan lansekap Desa Adat Penglipuran Menganalisa sistem struktur bangunan Mengeksplorasi ruang dan bentuk bangunan Mempelajari filosofi kondisi sosial budaya yang mempengaruhi arsitektur Menganalisa unsur regionalism di lingkungan Desa Adat Penglipuran dan pengaruhnya terhadap arsitektur
1.4 Manfaat Penelitian 1. Semakin luas nya pengetahuan mahasiswa akan Desa Adat Penglipuran 2. Mahasiswa dapat menganalisa Desa Adat Penglipuran dalam segi arsitekturnya 3. Mahasiswa dapat menganalisa unsur regionalism yang terdapat pada Desa Adat Penglipuran
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Lingkungan Aspek lingkungan yang mendasari terciptanya suatu kondisi pada lingkungan masyarakat agar memiliki daya tarik tersendiri melalui pengembangan-pengembangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan hasilnya akan dinikmati warga sendiri serta sebagai objek wisata dapat meningkatkan pemanfaatan daerah yang dikelola dengan baik akan menjadikan kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Permasalahan lingkungan juga dapat diselesaikan dengan beberapa kriteria sebagai konser tujuan utama yang dilakukan oleh warga yaitu melalui bentuk konservasi. Konservasi merupakan proses pengolahan suatu tempat atau ruang atau objek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik di desa adat Penglipuran meminimalkan lahan yang terbangun agar berguna untuk konservasi lahan dan mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Telajakan adalah sepenggal atau sebagian jalan kampung yang ada di depan atau di samping pekarangan rumah sehingga hasilnya penataan membuat desa berudara sejuk, karena letaknya 700 meter di atas permukaan laut, menjadi indah da sedap dipandang mata. Menjaga konservasi sebuah desa adata tidaklah mudah, perlu kebijakan dan dukungan dari pemerintah dalam proses pengelolaan dibantu dengan warga atau tetua adat setempat. Setiap kavling rumah di desa adat Penglipuran menerapkan pola yang diatur dalam peraturan awig-awig dimana area yang terbuka/hijau lebih luas daripada yang terbangun. Kriteria yang lain yaitu heat island reduction yang memiliki persyaratan , yaitu penggunaan material di area terbuka terbangun (pedestrian, parkir, jalan) memilki SRI maksimal 29 atau menempatkan fasilitas parkir di daerah ternaungi permasalahan lingkungan setempat juga dipengaruhi oleh awig-awig agar lebih menyatu dengan alam dan peduli dengan lingkungan. Hal ini menunjukkan kondisi yang berkelanjutan terhadap kondisi soisal, ekonomi dan ekologi masyrakat setempat dengan itu, muncullah pendekatan desain ekologi (ecological design), desain berkelanjutan sevara ekologi (ecologically sustainable design),desain hijau (green design) yang menerapkanp prinsip berkelanjutandalam merancang bangunan maupun lansekap (Kibert 2008).
2.2 Material Ramah Lingkungan Sumber daya alam yang melimpah di desa pekarangan desa adat Penglipuran diantaranya terdapat hutan bamboo yang mudah ditemui dengan luas sekitar 45 Ha dengan jenis bamboo petung, jajng, dan bamboo tali yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan
7
atau material alam yang ramah lingkungan. Pengelolaan bamboo juga harus datur dan ijin terlebih dahulu ke petu adat/ pemimpin adat karena warga setempat menjadikan bamboo sebagai mata pencaharian untuk dikelola menjadi souvenir atau material alam. Perkembangan teknologi saat ini yang semakin maju menuntut banyak orang untuk hidup serba instan yang dapat dilihat pada teknologi material dan bahan bangunan maupun konstruksi saat ini, salah satunya yang sering diabaikan yaitu bamboo karena di desa adat Penglipuran bamboo merupakan alternatif material yang berkelanjutan sehingga perlu untuk menjaga kelestariannya dan memilki ciri yang lentur dan mudah untuk dimanfaatkan. Karakter masyarakat setempat yang jika dilihat mereka menjaga hutan bamboo yang menjadi kekhasan Penglipuran sebagai salah satu desa Bali Aga atau Bali Tua yang sinergis dalam memlihara keaslian dan memiliki keunikan daripada desa adat lainnya.
2.3 Sosial dan Budaya Bali Desa Penglipuran merupakan salah satu daerah di Bali terutama di Kabupaten Bangli yang memiliki banyak julukan, diantaranya: Desa Adat, Desa Budaya, dan Desa Wisata. Daerah yang juga termasuk Desa Bali Aga ini masih mempertahankan tradisi nenek moyang baik dalam hal kehidupan sosial maupun budayanya. Disamping itu,masyarakat dalam setiap kegiatannya baik dalam kegiatan sehari-hari maupun dalam menyambut hari besar keagamaan, masih menggunakan cara-cara tradisional. Sehubungan dengan dijulukinya desa ini sebagai Desa Adat, maka dalam setiap upacara keagamaan, seperti pernikahan dan upacara pengabenan memiliki ciri khas tersendiri. Dalam upacara pernikahan, biasanya masyarakat setempat mengadakan upacara tersebut di Bale Gede upacara pernikahan di Bale Dangin. Selain itu, dalam kehidupan berumah tangga, setiap pasangan dilarang untuk melakukan poligami atau poliandri. Jika ada masyarakat yang melanggar, maka pihak tersebut akan diasingkan ke suatu tempat yang disebut karang memadu dimana tempat tersebut disediakan oleh masyarakat setempat secara cuma-cuma, namun dengan satu syarat pihak yang melakukan poligami atau poliandri tersebut dilarang untuk mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan Desa Penglipuran, baik itu pertemuan-pertemuan di Balai Banjar, upacara-upacara keagamaan, kegiatan sosial, dll. Disamping upacara pernikahan, upacara pengabenannya pun berbeda, karena dalam upacara pengabenan, mayatnya tidak dibakar melainkan hanya dengan dikubur mengikuti tradisi masyarakat Bali Aga lainnya. Selain itu, salah satu syarat pengabenannya harus menggunakan sesajen sapi. Dimana jumlah sesajen sapi yang dipersembahkan tergantung pada jumlah orang yang meninggal. Selain dijuluki Desa Adat,
8
Desa Penglipuran juga dijuluki Desa Budaya. Hal itu bisa kita lihat dari susunan rumah yang dibuat berderet-deret serta angkul-angkul yang dibuat nampak sama, yaitu dari bahan bambu. Hal itulah yang menjadi ciri khas desa ini. Rumah yang disusun berderet-deret memang sudah menjadi tradisi sejak jaman nenek moyang dan sudah menjadi aturan masyarakat setempat. Namun, masyarakat masih bisa merubah bentuk rumah mereka menjadi lebih modern. Tapi dengan satu syarat mereka tidak boleh merubah bentuk maupun letak Bale Gede dan dapur yang saling berhadapan. Salah satu hal yang menunjukkan modernisasi di desa ini, yaitu semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan teknologi-teknologi canggih seperti yang dapat kita saksikan di kota-kota besar,diantaranya semakin banyak masyarakat yang memiliki sepeda motor, menggunakan kompor gas dalam memasak, memiliki televisi, bahkan beberapa penduduk sudah ada yang memiliki komputer (dalam hal ini internet). Desa Penglipuran itu sendiri. Sehubungan dengan itu, daerah yang banyak ditumbuhi pohon bambu ini, mendorong masyarakatnya untuk membuat kerajinan tangan dari bambu, seperti: bokor, kapar, dll, sehingga hal tersebut menjadi mata pencaharian sekaligus sebagai pekerjaan sampingan masyarakat yang rata-rata petani.
9
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Letak Geografis
https://www.google.com/maps/place/Desa+Penglipuran+Bangli/@8.3945654,114.8242622,10z/data=!4m5!3m4!1s0x0:0x8fd9e960d6257832!8m2!3d8.4222667!4d115.3595882 Desa Adat Penglipuran, terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Propinsi Bali, dengan ketinggian 500-600 m di atas pemukaan laut dan koordinat GPS 8,0292893° LS, 115,03036° BT. Yang berjarak 5 Km arah utara dari Kota Bangli dan 45 Km dari kota Denpasar. Luas Desa Penglipuran adalah 113 Ha, 9 Ha digunakan sebagai pemukiman warga dan sisanya adalah hutan dan tanah tegalan atau ladang.
10
Batas-batas fisik : Utara
: Desa Adat Kayang
Timur : Desa Adat Kubu Selatan : Desa Adat Gunaksa Barat
: Desa Adat Cekeng
3.2 Deskripsi Desa Adat Penglipuran
Desa Adat Penglipuran adalah salah satu desa tua di Bali atau sering disebut Bali Aga atau Bali Mula. Desa ini memiliki budaya dan tradisi khas yang tetap terpelihara dengan baik sampai saat ini. Budaya dan tradisi khas tersebut ialah pola tata ruang dan arsitektur bangunan. Budaya lain yang juga menonjol dari desa ini, yaitu awig-awig (peraturan adat) tentang pemeliharaan lingkungan, sistem pembuangan limbah, pemilihan material bangunan, juga tata lansekap. Material pada setiap rumah berupa tanah atau bambu untuk tembok dan bambu untuk atap.
3.3 Sejarah Desa Adat Penglipuran
11
Dari sudut pandang sejarah, kata panglipuran berasal dari kata “pengling pura” yang memiliki makna eling/ingat akan tempat suci/ pura untuk mengenang para leluhur. Desa ini sangat berarti bagi penduduk sejak leluhur mereka datang dari desa bayung gede, kecamatan kintamani yang jaraknya cukup jauh dari desa panglipuran, oleh karena itu masyarakat desa panglipuran mendirikan tempat suci/ pura yang sama sebagaimana yang ada di desa Bayung Gede. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat desa panglipuran masih mengenal asal-usul mereka. Pendapat lain mengatakan bahwa “penglipuran” diambil dari kata “penglipur” yang berarti “penghibur” dimana pada jaman kerajaan desa ini kerap kali dipakai raja untuk tempat peristirahatan.
Desa penglipuran sudah ada sejak 700 tahun yang lalu, yaitu pada zaman kerajaan Bangli. Menurut penuturan para sesepuh/ penglisir, desa penglipuran merupakan serpihan dari desa Bayung Gede, Kintamani. Kata penglipuran berasal dari kata “pengeling dan pura” pangeling = ingat/ mengingat, dan pura = tempat/ benteng/ tanah leluhur. Jadi penglipuran artinya ingat kepada tanah leluhur/ tempat asal mulanya. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa pendahulu/ leluhur desa penglipuran berasal dari desa Bayung Gede, Kintamani. Karena letak jarak antara antara Kota Raja Bangli dengan Desa Bayung Gede sangat jauh (sekitar 25 km) dan perjalanan jaman dulu dengan jalan kaki dan maksimal naik kuda, maka untuk memudahkan komunikasi dibuatlah semacam peristirahatan di daerah Kubu (4,5 km) dari kota Bangli. Dari waktu ke waktu akhirnya warga ini terus bertambah banyak karena sudah ada yang berkeluarga dan sudah layak untuk menjadi desa. Sebelum bernama Penglipuran, desa ini dulunya bernama desa Kubu Bayung yang artinya orang Bayung yang tinggal di wilayah Kubu
Desa Adat Penglipuran merupakan satu kawasan pedesaan yang memiliki tatanan spesifik dari struktur desa tradisional, sehingga mampu menampilkan wajah pedesaan yang asri. Penataan fisik dari struktur desa tersebut tidak terlepas dari budaya masyarakatnya yang 12
sudah berlaku turun temurun. Sehingga dengan demikian Desa Adat Penglipuran merupakan obyek wisata budaya. Keasrian Desa Adat Penglipuran dapat dirasakan mulai dari memasuki kawasan pradesa dengan hijau rerumputan pada pinggiran jalan dan pagar tanaman menepi sepanjang jalan, menambah kesejukan pada daerah prosesi desa.
3.4 Sistem Lansekap Desa Adat Penglipuran
3.4.1 Tata Guna Lahan Tata guna lahan di Desa Adat Penglipuran dilandasi oleh filosofi Tri Angga, yaitu Hulu (kepala), Antara (badan), Teben (kaki) yang sekaligus menjadi tata nilai utama, madya, dan nista (Tri Mandala).
Hulu
Antara
Teben
13
Penggunaan lahan pada zona Hulu secara dominan berupa tempat suci/laba pura dan hutan. Zona Antara berisikan permukiman, fasilitas umum, tegalan, dan hutan. Zona Teben secara dominan berupa pemakaman, tegalan, dan hutan.
Pola linier desa ini mendapat aksen dengan mengikuti arah gunung dan laut sehingga menjadikan Desa Adat Penglipuran memiliki tempat tertinggi pada bagian utara (gunung) dan terendah pada bagian selatan (laut). Pada ujung utara (kaja/hulu/utama) terdapat Pura Puseh Desa (tempat memuja Dewa Brahma.
3.4.2 Pola Tata Ruang Pola tata ruang dan letak bangunan di desa adat Panglipuran dikenal sebagai Tri Mandala, yang berasal dari istilah Tri artinya tiga, sedangkan Mandala yang artinya ruang. Ruang tersebut dibagi menjadi 3 zona berdasarkan tingkat status nilai kultural/peraturan adat sesuai fungsinya, sebagai berikut:
14
http://fariable.blogspot.com/2010/11/desa-adat-penglipuran-bali.html Utama Mandala: tempat tertinggi, paling dekat dengan gunung, zona utama di sebelah utara yang sebagai Pura yang suci untuk sembahyang kepada Sang Pencipta. Madya Mandala: terletak ditengah yang merupakan rumah tinggal penduduk desa Rumah utama berjumlah 76 dibagi menjadi jalan utama menjadi 32 rumah di tiap sisi jalan. Pada gerbang tiap rumah memiliki nomor genap(sisi barat), nomor ganjil(sisi timur), terdapat papan informasi jumlah anggota dan keterangan penghuni. Utara
: tempat tidur orangtua
Barat
: tempat tidur anak
Tengah
: ruang keluarga
Selatan
: tempat memotong gigi/metatah dan nagaben
Timur
: kamar mandi dan kandang
15
bagian nista
: jemuran, garasi dan penyimpanan kayu
Nista Mandala: nilai terendah yang paling dekat dengan laut di sisi Selatan sebagai kompleks tempat pemakaman.
3.5 Material dan Struktur Kontruksi Desa Adat Penglipuran
3.5.1 Material Bangunan tradisional Bali menganut prinsip Kepala-Badan-Kaki, maka bagianbagiannya adalah: a. Bebaturan Bebaturan bagian bawah atau kaki bangunan adalah bebaturan yang terdiri dari jongkok asu sebagai pondasi tiang, tapasujan sebagai perkerasan tepi bebaturan. Bebaturan merupakan lantai bangunan, undag atau tangga untuk lintasan naik turun lantai ke halaman.
Bahan bangunan yang dipakai untuk bebaturan sesuai dengan tingkatan sederhana, madya dan utama. Jongkok asu sebagai pondasi alas tiang disusun dari pasangan batu alam atau batu buatan perekat lempung pasir kapur atau pasir semen. Biasanya dipakai bahan-bahan lokal yang mudah didapat. Untuk Desa Penglipuran kemungkinan bahan batu alam dari batu lava karena terletak didaerah pegunungan.
16
b. Dinding
Kebanyakan dinding terbuat dari anyaman bambu. Dinding tradisional dibangun terlepas tanpa ikatan dengan konstruksi rangka bangunan. Dipertegas dengan celah antara kepala tembok dan sisi bawah atap sehingga tembok bebas tidak memikul. Dengan konstruksi tembok bebas beban, yang diharapkan terhindar dari bahaya gempa yang terjadi. c. Sesaka atau Kolom
Elemen konstruksi utama dalam bangunan tradisional adalah tiang modul dasar sesungguhnya adalah tiang yang disebut sesaka. Jarak tiang ke tiang ke arah panjang adalah sepanjang tiang ditambah pengurip atau bervariasi dari bawah lambing sampai ke atas slimar atau sunduk dawa sunduk bawak dan bagian-
17
bagiannya. (Pengurip=pelebih) Bahan yang dipakai sesaka adalah kayu-kayu dengan kualitas dari kelompok-kelompok tertentu raja kayu ketewel, patih kayu jati, selain itu digunakan pula raja kayu cendana, patih kayu menengen. Bangunan-bangunan tradisional yang dibangun dengan konstruksi rangka, sesaka dan bagian-bagian rangka lainnya hubungan elemen-elemen strukturnya dikerjakan dengan system lait, baji dan ikatan tali temali. Struktur dan konstruksi serupa itu merupakan struktur dan konstruksi yang tahan gempa, yang diperlukan untuk bangunan-bangunan di daerah yang sering terjadi gempa bumi. d. Pementang
Balok belandar sekeliling rangkaian tiang-tiang tepi, dalam bangunan tradisional disebut lambang. Lambing rangkap yang disatukan, balok rangkaian yang dibawah disebut lambing dan yang di atas disebut sineb. Balok Tarik yang membentang di tengah-tengah mengikat jajaran tiang tengah disebut pementang. e. Iga-iga
18
Usuk-usuk bangungan tradisional Bali disebut iga-iga. Pangkal iga-iga dirangkai dengan kolong atau dedalas yang merupakan bingkai luar atap. Ujung atasnya menyatu dengan puncak atap. Batang simpul menyatu di puncak disebut petaka untuk atap berpuncak satu titik dan dedeleg untuk puncak memanjang. Disebut lagit-langit untuk atap dengan konstruksi kampiyah yang bukan limasan.
f. Raab
19
Penutup atap tradisional disebut raab yang umumnya dibuat dari bahan-bahan alam, seperti alang-alang, sirap bamboo, sirap, dll. Alang-alang dihasilkan sekali dalam setahun untuk bahan yang cukup tua. Ikatan dengan tali ijuk dan ke bidang rangka atap diikatkan dengan tali bambu pada iga-iga yang juga terdapat dari bambu pilihan.
3.5.2 Struktur dan Konstruksi Per-ruang a. Angkul-angkul: Angkul-angkul merupaka pintu masuk utama ke pekarangan rumah adat penglipuran di bagian depan rumah menghadap ke arah rurung gede. Angku-angkul di daerah penglipuran sedikit ada perbedaan dengan angkul –anagkul di desa seluruh bali. Angkul – angkul di desa penglipuran tidak berisikan pintu, seperti apa yang kita jumpai dibeberapa angkul – angkul rumah tradisional Bali lainnya, dimana angkul – angkul rumah tradisional Bali lainnya tertutup dengan pintu kwadi dan aling – aling untuk menghindari sirkulasi langsung dan akses langsung menuju tempat tujuan. Hal tersebut terkait dengan kepercayaan masyarakat desa adat penglipuran bahwa orang yang masuk dan berkunjung tersebut selalu bermaksud baik dan dengan konsep kerbukaan terhadap siapapun yang berkunjung ke rumah mereka tanpa ada halangan dan terbuka kepada siapapun. Ajaran Keagamaan dan Kepercayaan masyarakat desa Adat Penglipuran adalah ajaran Tantris dimana mereka memuja Leluhur dengan menganut paham Politheisme dengan Monumen pemujaan . Dengan masuknya ajaran Bali Arya dan pengaruh Hindu Majapahit, mereka mengenal Kayangan Tiga dan Padmasana. Angkul –angkul di desa adat penglipuran merupakan orientasi utama pada tatanan ruang rumah adat desa penglipuran, dimana angkul – angkul juga merupakan pusat central komposisi rumah linier, dimana setiap pertemuan angkul – angkulnya terdapat halaman antara jalan besar ( rurung gede ) dengan rumah adat yang disebut
20
dengan Lebuh. Sebagai fungsi Utama sirkulasi dari rumah adat sisi Kauh ( Barat ) dengan sisi Kangin ( Timur ) dimana angkul – angkul sebagai penghubung menuju masuk pekarangan rumah adat dengan rumah adat yang lainnya dari sisi yang berbeda, tetapi tegak lurus dengan angkul – angkul dari rumah adat didepannya. Dan seterusnya pada seluruh angkul – angkul di pemukiman rumah adat di desa adat penglipuran.
Anyaman Bambu
Tanah liat Pada angkul-angkul bahan yang dipakai yaitu bambu dan tanah liat. Dengan atap menggunakan bahan berupa bambu Angkul-angkul
b. Ruang Berkumpul dan Ruang Tidur
21
Pada atap menggunakan atap genteng dan bentuk atap perisai
Dinding menggunakan dinding ½ bata dan di finishing dengan pewarnaan.
Lantai menggunakan keramik. Penggunaan pondasi juga pondasi seperti biasa (batu kali)
c. Denah Dapur dan Ruang Tidur Mertua
Kolom Kayu Jati
Anyaman Bambu
Beton 22
d. Bale-Saka Enem
Atap sirap
Struktur atap kayu
Pondasi Batu Kali Kolom Kayu
23
e. Pura
Atap untuk meletakkan sesaji menggunakan atap ijuk
f. Toilet Toilet sama dengan toilet pada umumnya, namun terpisah dengan bangunan ruang tidur. Karena ciri khas rumah adat Penglipuran yaitu setiap ruang berada pada tempat terpisah.
24
3.6 Filosofi Kondisi Sosisal Budaya Yang Mempengaruhi Arsitektur
25
Desa Adat Penglipuran merupakan desa yang sangat mengutamakan kebersamaan dengan wujud membangun bangunan rumah yang seragam dari bentuk gerbang hingga pembagian bangunan yang berada didalam rumah. Keramahan warga Desa Adat Penglipuran ini menjadikan para wisatawan lokal maupun mancanegara yang ke Bali tidak pernah enggan untuk berkunjung ke Desa Penglipuran yang terkenal dengan adat yang sangat kental. Masyarakat Desa Penglipuran yang mengutamakan keasrian desa adalah suatu bentuk keramahan juga terhadap lingkungan atau pun alam sekitar. Salah satu kondisi sosial yang mempengarui arsitektur. Di bali terdapat 3 bagian yang pertama masyarakat bali asli,
penduduk asli bali dan pendatang dari kerajaan majapahit, dan yang terakhir adalah masyarakat pendatang, dan masyarakat penglipuran sendiri adalah masyarakat bali asli Desa penglipuran sendiri memiliki ciri-ciri pure di setiap rumahnya dinamakan pure keluarga/sanggah pemerajan yang digunakan sebagai tempat sembayang keluaraga, namun ada pure umum untuk melaksanakan acara adat yg besar seperti upacara purnama, tilem, piodalan, kasada. Disini kita bisa mengambil salah satu contoh kondisi sosial yang berada di desa penglipuran yaitu salah satunya adalah pernikahan, disini saat dinikahkan terdapat tempat bernama bale dangin bentuknya seperti pendopo berukuran kecil, fungsinya sebagai
26
upacara pernikahan atau sebagai tempat upacara disaat salah satu anggota keluarga ada yang meninggal. Proses yang dilakukan itu seperti di jawa seperti akad nikahnya, saat proses pernikahan selesai dilaksanakan si wanita akan ikut si pria untuk tinggal, tempat bale dangin terdapat tepat disamping dapur keluarga bisa dilihat gambar dibawah ini.
BALE DANGIN
DAPUR
Dapur sendiri biasanya dibuat untuk tempat istirahat anggota keluarga yang lebih tua nenek/kakek dikarenakan di dapur/paon tempatnya hangat dan cocok untuk tempat singgah mereka namun menurut saya dapur bisa diberikan rak rak agar terlihat lebih rapi dan nyaman jika paon dihuni, lebih sering anggota keluarga tua yang sering menempati dikarenakan mereka dapat tidur dan masak untuk anggota keluarganya.
27
Disini juga terdapat pintu yang menghubungkan antara 1 rumah dengan yang lainnya, jika pintu ini di tutup berarti menandakan orang tersebut memutuskan tali persaudaraan.
Apabila ada masyarakat desa ini yang melanggar aturan atau adat yang berlaku maka akan mendapat sanksi besar berupa membuat sesajen di semua pura sebagai penebusnya. Sedangkan di penglipuran juga ada peraturan dimana jika ada kaum laki-laki yang poligami maka akan dikucilkan di suatu tempat sebagai sanksi sosial yang bernama Bale Banjar, disana mereka ditempatkan disebuah pendopo yang panjang disitu mereka akan tidur sebagai sanksi sosialnya. Melakukan poligami tidak diijinkan bagi penduduk desa ini, hal ini merupakan satusatunya tradisi yang masih tetap dipertahankan desa sejak dahulu. Selain merupakan sebuah peraturan adat desa setempat, hal tersebut juga bertujuan untuk mengendalikan perkembangan penduduk. Hukuman atau sangsi bagi yang melanggar peraturan adat tersebut akan dikucilkan ke sebuah area khusus yang disebut karang memadu , sampai saat ini area tersebut belum pernah dihuni oleh penduduk desa.
28
Jika masyarakatnya menikah maka biasanya yang laki-laki diajak orang tua sedangkan yang perempuan sudah dilepas oleh keluarganya. Sedangkan jika berbeda agama dan akhirnya pindah agama maka biasanya mengikuti yang laki-laki (Patokan Suami) karena tidak ditentukan seperti yang sudah dijelaskan diatas. Apabila ada warga yang terpaksa tidak memiliki rumah maka akan diberi oleh desa (Tidak ada ketentuan). Di desa ini juga memiliki cara yang berbeda dari desa desa lain, jika dari salah satu anggota ada yang meninggal dalam adat desa ini tidak boleh sampai menginap di rumah, sehingga harus segera di kuburkan. Dan bentuk kuburannya harus rata tidak boleh ada gundukan atau disebut sebagai “Biotanem” seperti gambar dibawah ini.
3.7 Mengenal Unsur Regionalisme Di Desa Adat Penglipuran
29
Masyarakat Desa Penglipuran seperti desa-desa adat Bali kebanyakan menginduk Desa Bayung Gede. . Dalam menjaga keberlanjutannya budaya masyarakat Desa Penglipuran masih menjaga Serat Kosala Kosali tetap diterapkan ketika menata dan membangun tempat bernaung maupun bangunan suci. Meskipun
dalam
penerapannya
masyarakat Desa Adat Penglipuran tidak memahami apa yang sedang ia kerjakan. Masyarakat desa hanya menerapkan dan mengaplikasi
buku
pedoman
dalam
membangun bangunan-bangunan mereka tanpa memaknai Serat Kosala Kosali. Contoh gapura pada tiap-tiap rumah keluarga memiliki ukuran tidak lebih dari 2 bahu. “ tujuan dari gapura tidak lebih dari 2 bahu adalah untuk menjegah hal-hal negative dari luar, seperti maling” menurut Pramuwisata Bali. Tidak diketahui apakah hal ini diterangkan pada Serat Kosala Kosali bahwasannya tiap-tiap penggunaan elemen, tipologi, dan dimensi memiliki alasan tersendiri sehingga dapat dinalar akal pikiran lalu dapat diterima selanjutnya dapat digunakan. Hal ini hanya diketahui oleh pemangku adat setempat dan segelintir orang saja yang tau. Perlukah hal ini diketahui oleh semua kalangan masyarakat Desa Penglipuran. Regionalisme sendiri dalam arsitektur menjadi alat pembeda bangunan arsitektur satu dengan lainnya. Regionalisme Desa Penglipuran sudah nampak oleh mata secara langsung dan tidak dipertanyakan lagi unsur regionalismenya. Dalam hal ini Desa Penglipuran telah memiliki sebagai mana maksud dari regionalisme adalah menciri apa yang ada didalam arsitektur tradisional. Karena arsitektur bukan hanya berbicara tentang bangunan. Namun pada era globalisasi saat ini isu arsitektur tidak ada hentinya bergulir, yaitu every where look`s like everywhere else. Isu banyak menggerogoti kota-kota modern didunia dan lagi di Indonesia. Kota-kota tidak dapat lagi 30
menunjukkan cirinya bahkan kehilangan cirinya akibat globalisasi. Untuk mempertahankan ciri kota sebaiknya masyarakat kota harus tanggap bahwa tidak ada hal lain lagi yang dapat memberikan ciri ini selain tetap mempertahankan kebudayaan yang ada. Semakin kita cermati lagi bahwa unsur kebudayaan terbentuk dari berbagai hal seperti agama, adat istiadat, dll. Menurut Koentjaraningrat (2000: 2) “… unsur universal dan sekaligus sebagai isi yang membentuk kebudayaan yaitu: system religi dan upacara keagamaan; system organisasi masyarakat; system pengetahuan; Bahasa; kesenian; system mata pencaharian; system teknologi dan peralatan. Sedangkan tida wujud kebudayaan yaitu: 1. Compels ide-ide; 2. Kompleks aktivitas / kelakuan berpola dan 3. Wujud benda”. Bagaikan mata rantai yang saling mengikat jika kebudayaan hilang dapat dibayangkan maka unsur pembentuknya juga akan hilang. Banyak hal akan hilang dari hilangnya kebudayaan, maka dari itu apresiasi dan pembinaan terhadap kota-kota di Indonesia agar tidak tergerus imbas dari globalisasi ini dapat dihindarkan.
31
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Desa Penglipuran salah satu desa adat yang masih terpelihara keasliannya. Berbagai tatanan sosial dan budaya masih terlihat di berbagai sudut desa ini sehingga nuansa Bali masa lalu tampak jelas. Perbedaan desa adat Penglipuran dengan desa adat lainnya di Bali adalah tata ruang yang sangat teratur berupa penataan rumah penduduk di kanan dan kiri jalan dengan bentuk rumah yang seragam dalam hal bentuk sehingga keseluruhan desa ini tampak rapi dan teratur. Desa adat penglipuran bali yang masih menjaga adat istiadat yang sudah ada secara turun temurun meskipun beberapa bangunan tempat tinggalnya mengalami modernisasi menjadikan unsur regionalism yang terdapat pada desa adat ini masih nampak dalam arsitektur tradisional.
4.2 Saran Dengan adanya pengaruh modernisasi desa adat penglipuran tetap menjaga keaslian budaya yang sudah ada sejak lama sehingga tidak hilang budaya tradisional pada bangunan maupum hubungan sosial antar masyarakatnya.
32
DAFTAR PUSTAKA
Dwijayasastra, N. (2013). Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali. Skripsi. Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koentjaraningrat, R. M. (1994). Kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan: bungarampai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
33