STRUKTUR BETON TULANGAN I 1. Pendahuluan 1.1 Konsep Struktur Beton Bertulang 1.1.1 Material Beton Bertulang Material beton bertulang pada dasarnya merupakan gabungan material beton dan baja bertulang. Penggabungan ini bertujuan untuk mengatasi kelemahan beton dalam menahan tarik. Jika penggabungan ini berhasil bila baja tulangan yang digunakan memiliki karakteristik lekatan yang baik pada material beton dan diberi panjang pengangkuran yang memadai di dalam beton. Material ini memiliki banyak kelebihan, diantaranya : 1. Lebih murah 2. Mudah dibentuk (terkait dengan fungsi arsitektur) 3. Ketahanan terhadap api yang tinggi 4. Mempunyai kekakuan yang tinggi 5. Biaya perawatan yang rendah 6. Material pembentuknya mudah diperoleh Namun terdapat kekurangan pada material beton ini, yaitu dalam hal : 1. Kekuatan tariknya rendah 2. Membutuhkan bekisting atau cetakan serta penumpu sementara selama konstruksi 3. Rasio kekuatan terhadap berat yang rendah 4. Stabilitas volumenya yang rendah 1.1.2 Prinsip Dasar Struktur Beton Bertulang Beton merupakan material yang kuat dalam menahan hal tekan, namun lemah dalam menahan tarik. Oleh karena itu, beton dapat mengalami retak jika beban yang dipikul menimbulkan tegangan tarik yang melebihi kuat tarik materialnya. Pada struktur balok beton tanpa tulangan yang tergambar dibawah ini, momen yang timbul akibat beban luar pada dasarnya ditahan oleh kopel gaya-gaya dalam tarik dan tekan. Balok dapat runtuh secara tiba-tiba dan total jika retak terbentuk pada zona tarik penampang (Gambar 1.2) Pada balok beton bertulang, tulangan baja ditanam dalam beton sehingga gaya tarik yang dibutuhkan untuk menahan momen pada penampang retak dapat dikembangkan. (Gambar 1.3)
1.1.3 Konsep Perancangan Struktur yang didesain pada dasarnya harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a. b. c. d. e. f.
Kuat menahan beban yang direncanakan Memenuhi persyaratan kemampuan layanan Memiliki durabilitas yang tinggi Kesesuaian dengan lingkungan sekitar Ekonomis Mudah perawatannya
Langkah-langkah perancangan struktur dapat diuraikan pada gambar 1.4 Terdapat 2 metode dasar untuk merancang elemen struktur beton bertulang, yaitu : 1. Metode Tegangan Kerja Unsur struktur didesain terhadap beban kerja sedemikian rupa tegangan yang terjadi lebih kecil dari pada tegangan yang diizinkan, yaitu :
2. Metode Kuat Ultimit Unsur struktur didesain terfaktor sedemikian rupa sehinggan unsur tersebut mempunyai kuat rencana (øRn) yang lebih besar dar kuat perlu (Su) akibat beban terfaktor yaitu :
Su ≤ øRn
1.1.3.1 Perencanaan Batas Dalam desain elemen beton bertulang ada beberapa kondisi batas yang dapat dijadikan pembatas desain yaitu : 1. Kondisi batas ultimit, yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : - Hilangnya keseimbangan lokal atau global - Rupture, hilangnya ketahanan lentur dan geser elemen-elemen struktur - Keruntuhan progressive akibat adanya keruntuhan lokal di daerah sekitar 2. Kondisi batas kemampuan layanan, yang menyangkut berkurangnya fungsi struktur seperti : - Defleksi yang berlebihan pada kondisi layan - Lebar retak yang berlebih - Vibrasi yang mengganggu 3. Kondisi batas khusus, yang menyangkut kerusakan/keruntuhan akibat beban abnormal, berupa : - Keruntuhan pada kondisi gempa kuat - Kebakaran, ledakan atau tabrakan kendaraan - Korosi atau jenis kerusakan lainnya akibat lingkungan 1.1.4 Prosedur Desain Berdasarkan SNI Beton Elemen struktur dan struktur didesain untuk dapat memikul beban berlebihan dengan besaran tertentu, diluar beban yang diharapkan dalam kondisi normal. Kapasitas cadangan dibutuhkan untuk mengantisipasi adanya faktor overload (beban berlebih) dan faktor undercapacity. Overload dapat terjadi akibat : 1. Perubahan fungsi struktur 2. Underestimate pengaruh beban karena penyederhanaan perhitungan 3. Urutan dan metode konstruksi
Undercapacity dapat terjadi akibat : 1. Variasi kekuatan material 2. Workmanship yang kurang baik 3. Tingkat pengawasan yang lemah Kekuatan (resistance) elemen struktur harus lebih besar dari pengaruh beban, sehingga: Resistance ≥ Pengaruh Beban Mengantisipasi kemungkinan rendahnya resistance (kekuatan) elemen struktur dari pada yang diperhitungkan dan mungkin lebih besar pengaruh beban dari yang direncanakan maka diperkenalkan faktor reduksi kekuatan, yang nilainya < 1, dan faktor beban yang nilainya > 1, sehingga : øRn ≥ α1S1 + α2S2 + … dimana :
Rn S1 Ø α1
= kuat nominal = pengaruh beban-beban kerja = faktor reduksi = faktor-faktor beban
Prosedur desain yang memperhitungkan adanya faktor beban dan resistance seperti diatas disebut sebagai metode desain kuat ultimit (batas). Filosofi dasar desain ini terdapat pada SNI Beton Pasal 9.1.1 dan 9.1.2, yang berbunyi : 9.1.1 Struktur dan komponen struktur harus direncanakan hingga semua penampang mempunyai kuat rencana minimun sama dengan kuat perlu, yang dihitung berdasarkan kombinasi beban dan gaya terfaktor yang sesuai dengan ketentuan tata cara ini. Di pasal 9.1.1 ini, kuat rencana identik dengan øRn , sedangkan kuat perlu mengacu pada pengaruh beban terfaktor, α1S1 + α2S2 + … 9.1.2
Komponen struktur harus memenuhi ketentuan lain yang tercantum dalam tata cara ini untuk menjamin tercapainya perilaku struktur yang cukup baik pada tingkat beban layan.
Pasal 9.1.2 mengharuskan pengontrolan lendutan dan lebar retak pada komponen struktur yang sudah didesain. 1.1.4.1 Beban Terfaktor dan Kuat Perlu SNI Beton Pasal 9.2 mengurai tentang faktor beban dan kombinasi beban terfaktor untuk perhitungan pengaruh beban.
Kombinasi beban terfaktor tersebut ialah :
Kombinasi beban mati:
U = 1,4D
(Pers. (9-1) SNI Beton)
Kombinasi beban mati dan beban hidup
U = 1,2D + 1,6L + 0,5(A atau R)
(Pers. (9-2) SNI Beton)
Jika pengaruh angin ikut diperhitungkan
U = 1,2D + 1,6(L atau R) + (L atau 0,5W)
(Pers. (9-3) SNI Beton)
U = 1,2D + W + L + 0,5(A atau R)
(Pers. (9-4) SNI Beton)
U = 0,9D + W diambil pengaruh terbesar
(Pers. (9-6) SNI Beton)
dimana:
D L A R W E
= beban mati = beban hidup = beban hidup atap = beban hujan = beban angin = beban gempa
Kombinasi beban terfaktor lainnya meliputi:
Pengaruh impak (SNI Beton Pasal 9.2.2) Bila tahanan terhadap pngaruh impak harus diperhitungkan dalam desain, beban impak disertakan dalam kombinasi pembebanan dengan beban hidup (L).
Pengaruh regangan sendiri (SNI Beton Pasal 9.2.3) Bila memungkinkan, efek struktur pada pengaruh suhu, T harus dikombinasikan dengan beban lainnya. Faktor beban untuk T harus memperhatikan : - Ketidakpastian besarnya T - Kemungkinan efek maksimun struktur akibat T dan beban lainnya akan terjadi secara simutan pada saat bersamaan - Potensi kerusakan yang dialami bila efek dari T lebih besar dari yang diasumsikan. Faktor beban untuk T tidak boleh diambil dari 1,0
Pengaruh fluida (SNI Beton Pasal 9.2.4) Bila terdapat fluida pada struktur, beban akibat fluida, F, harus diikutsertakan dalam kombinasi pembebanan diatas dengan beban faktor seperti beban untuk D dalam persamaan (9-1), (9-5), dan (9-7).
Pengaruh beban lateral tanah (SNI Beton Pasal 9.2.5) Apabila struktur bekerjan beban akibat tekanan lateral tanah, H, beban ini diikutsertakan dalam kombinasi pembebanan diatas, dengan ketentuan:
-
Bila H bekerja sendiri atau bekerja bersama-sama dengan beban lainnya, H harus diperhitungkan dengan faktor beban 1,6. Bila efek H bekerja permanen pada struktur dan saling mengurangi efek akibat beban lainnya, H harus diperhitungkan dengan faktor beban 0,9 Bila efek H tidak permanen, tapi bila saat bekerja pada struktur saling mengurangi efek akibat beban lainnya, maka H tidak perlu diperhitungkan.
Pengaruh gaya jeking (jacking) baja prategang (SNI Beton Pasal 9.27)
Untuk perencanaan zona pengangkuran pasca tarik, gaya jeking prategang diberi faktor beban 1,2. Kuat perlu atau pengaruh beban terfaktor (momen, geser, torsi dan gaya aksial) dihitung berdasarkan kombinasi beban terfaktor U diatas. Kuat perlu atau pengaruh beban terfaktor ditulis dengan simbol Mu (momen), Vu (geser), Tu (torsi) dan Pu (aksial), subscript u menunjukan nilai M, V, T dan P didapat dari beban terfaktor U. 1.1.4.2 Kuat Rencana Kuat rencana komponen struktur (øRn) didapat dengan mengalikan kuat nominal Rn dengan faktor reduksi kekuatan ø. Berdasarkan SNI Beton pasal 9.3 nilai faktor reduksi kekuatan ø sebagai berikut: 1. Penampang terkendali tarik…………………………………………………0,90 Penampang dinamakan terkendali tarik jika regangan netto pada baja tarik terjauh dari serat tekan terluar, ε1, lebih besar dari 0,005, pada saat serat tekan terluar beton mencapai batas regangannya, diasumsikan = 0,003 (Gambar 1.5). 2. Penampang terkendali tekan Dinamakan terkendali tekan jika regangan netto pada baja tarik terjauh dari serat tekan terluar, ε1, lebih kecil dari batas regangan terkendali tekan, saat serat tekan terluar beton mencapai batas regangannya, diasumsikan = 0,003. Batas regangan terkendali tekan adalah regangan tarik netto pada baja tulangan pada kondisi regangan seimbang, dimana baja tulangan mutu 400 MPa dan semua baja tulangan prategang, dapat ditetapkan = 0,002.
-
a. Komponen struktur dengan tulangan pengekang spiral ……. 0,75 hanya bila, Rasio volumetrik tulangan spiral, ρs1 tidak kurang dari
Dimana
Ag = luas penampang kotor beton Ach = luas penampang inti yang dilingkupi oleh serat
terluar baja tulangan pengekang spiral fcʹ = kuat tekan beton fyt = kuat leleh baja tulangan pengekang spiral (≤ 700 MPa)
b.
Komponen struktur dengan tulangan pengekang lainnya ……… 0,65
3. Untuk penampang regangan tarik netto pada baja tarik terjauh dari serat tekan terluar beton, ε1, berada diantara regangan penampang terkendali tekan dan batas regangan penampang terkendali tarik (zona transisi, pada gambar 1.6), Ø boleh ditingkatkan secara linier dari nilia Ø untuk penampang terkendali tekan hingga 0,9 seiring peningkatan ε1 dari batas regangan penampang terkendali tekan (= 0,002 untuk baja mutu 400 MPa) hingga 0,005 (gambar 1.6). 4. Alternatif lain, -
Bila lampiran B pada SNI Beton digunakan untuk komponen struktur dimana fy ≤ 400 MPa, konfigurasi penulangan bersifat simetris, dan ( d – d’ )/h ≥ 0,7, maka nilai Ø boleh ditingkatkan secara linier hingga 0,9 seiring berkurangnya nilai øPn dari 0,1 Ag fcʹ ke nol.
Untuk komponen struktur bertulang, nilai ø boleh ditingkatkan secara linier hingga 0,9 seiring berkurangnya nilai øPn dari 0,1 Ag fc’ atau Pb ke nol. 5. Geser dan torsi ……………………………………………………………….. 0,75 6. Tumpuan pada beton …………………………………………………………. 0,65 Kecuali untuk daerah pengangkuran pasca tarik dan model “ Strut dan Tie”. Catatan: dʹ d h Pn Pb
= jarak dari serat tekan terluar ke centroid tulangan tekan, = jarak dari serat tekan terluar ke centroid tulangan tarik, = tinggi total penampang = kuat aksial nominal untuk nilai eksentrisitas tertentu, = kuat aksial nominal pada kondisi balance
1.2 Material Beton 1.2.1 Hubungan Tegangan-Regangan Beton Beton merupakan material komposit terbuat dari kumpulan agregat (halus dan kasar) yang terikat secara kimiawi oleh semen Portland. Bahan dasar beton adalah pasta semen dan agregat, yang mempunyai sifat tegangan-regangan yang linier dan getas dalam menahan gaya tekan. Material yang getas cenderung mengalami retak tarik tegak lurus terhadap arah regangan tarik maksimun. Pada saat menahan beban uniaksial tekan, beton mengalami retak yang arahnya pararel terhadap arah tegangan tekan maksimun. Namun kenyataannya, saat sampel silinder beton dibebani gaya tekan uniaksial saat pengujian tekan dilaboratorium, keruntuhan terjadi cenderung membentuk pola kerucut (Gambar 1.7). Ini disebabkan karena adanya pengaruh friksi yang timbul di permukaan beton yang dibebani. Walaupun beton terbuat dari bahan bersifat linier elastik, kenyataannya hubungan tegangan-regangan cenderung bersifat non-linier, bahkan saat menahan beban kecil sekalipun (Gambar 1.8). Karakteristik non-linier dapat ditimbulkan oleh faktor lainnya seperti riwayat pembebanan, efek jangka panjang, perilaku plastisitas akibat friksi internal. (ASCE 1982). Kuat Tekan Beton
Silinder standar 150mm dia. x 300mm tinggi. Ditekan dengan laju terkontrol hingga runtuh. Satuan kekuatan dinyatakan dalam MPa. Keragaman mutu dapat terjadi pada hasil tes, sehingga jumlah sampel ≥ 3. Kuat karakteristik silinder dapat dinyatakan sebagai : fcʹ = mean – 1,34 SD
Perilaku beton saat dikenakan beban uniaksial tekan dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 1.9); 1. Pada saat beban tekan mencapai 30%-40% fcʹ, perilaku tegangan regangan beton masih linier. Retak lekatan (bond crack) sebelum pembebanan sudah terbentuk, tetap stabil dan tidak berubah selama tegangan tekan bekerja dibawah 30% fcʹ (fcʹ kekuatan batas tekan beton).
2. Jika beban tekan melebihi 30%-40% fcʹ retak lekatan mulai terbentuk. Mulai terjadi deviasi pada hubungan tegangan-regangan dari kondisi linier. 3. Saat tegangan mencapai 75%-90% kekuatan batas, retak lekatan merambat ke mortar hingga terbentuk pola retak yang kontinu. Hubungan tegangan-regangan beton semakin menyimpang dari kondisi linier. Hubungan tegangan-regangan beton dinyatakan melalui persamaan Hognestad, yaitu:
Dimana
εc
= regangan tekan beton
εcʹ 𝜎
= regangan tekan beton pada tegangan fcʹ = tegangan tekan beton pada regangan εc
fc ʹ
= kuat tekan uniaksial beton
Gambar 1.10 memperlihatkan rangkuman hasil penelitian terkait respons material beton mutu normal hingga tinggi (rentang fcʹ = 21-73 MPa) terhadap kondisi tegangan tekan uniaksial dan triaksial simetris (Imran 1994, Imran and Pantazopoulou 1996). Terdapat 2 plot di Gambar 1.10, yaitu plot tegangan aksial versus regangan aksial dan plot regangan volu metrik versus regangan aksial.
Perilaku tekan beton akan menyimpang dari kondisi linier seiring terjadinya retak pada beton, pada awalnya untuk beton normal, timbul didaerah interface antara agregat dan pasta semen. Keretakan terjadi pada regangan tekan aksial sebesar –εcr / υ1, dimana εcr regangan retak beton akibat tegangan tarik uniaksial. Akibat laju pengembangan lateral yang meningkat, volume beton yang mulanya mengalami penyusutan berubah kembali seperti sebelum dibebani (tanpa perubahan volume), bahka dapat menjadi ekspansif.
Material beton menunjukan perilaku mekanik yang lebih baik jika diberi kekangan (confinement), sehingga menyebabkan termobilisasinya tegangan lateral pada saat beton menahan beban aksial, yang menimbulkan kondisi tegangan tekan tiga arah atau tegangan tekan triaksial simetris.
Plot pada Gambar1.10 dapat disimpulkan beton mengalami peningkatan kekuatan dan deformability (kemampuan berdeformasi) seiring meningkatnya beban lateral yang dikenakan beton. Ini disebabkan oleh kenyataan laju dan besarnya proses pengembangan deformasi lateral akibat retak yang terjadi pada mircostruktur beton terhambat oleh adanya aplikasi tegangan laterak pada permukaan beton. Dengan adanya tegangan lateral yang bekerja, penjalaran retak yang menyebabkan adanya dilatasi volume menjadi terhambat. Bila tegangan lateral akibat kekangan yang diaplikasikan telah melebihi nilai tertentu, material beton tidak akan mengalami penurunan kekuatan setelah mencapai beban puncak. Nilai tertentu tersebut yaitu “titik transisi” dari respons getas ke daktail. Plot pertumbuhan volume yang terlihat pada Gambar 1.10, bahwa derajat ekspansi pada beton untuk level regangan tekan aksial menurun dengan meningkatnya tegangan kekangan yang bekerja. Hubungan tegangan-regangan tarik beton umumnya bersifat linier sampai terjadi retak yang langsung diikuti oleh keruntuhan beton (Gambar 1.11). Batas elastisitas beton dikenakan gaya tarik berkisar 60 hingga 80% kuat tariknya. Keretakan akan terbentuk dengan arah tegak lurus terhadap arah beban yang bekerja, jika retak telah terbentuk maka material akan mengalami degradasi kekuatan yang signifikan. Kuat tarik beton diperoleh melalui: Pengujian tarik langsung (Gambar 1.12) Pengujian tarik tidak langsung: - Uji lentur (Gambar 1.12b) - Uji belah (Gambar 1.12c) - Uji “double punch” (Gambar 1.12d)
Dalam SNI Beton, hubungan kuat tarik langsung, fcr, terhadap kuat tekan beton, fcʹ, adalah sebagai berikut: (lihat butir 11.3.3.2 SNI Beton) (1.5) Sedangkan hubungan modulus keruntuhan lentur, fr, terhadap kuat tekan beton, ada 2 jenis: Untuk perhitungan defleksi (persamaan 9-10 pada butir 9.5.2.3 SNI Beton) (1.6 )
Untuk perhitungan kuat geser balok prategang (persamaan 11-11 pada butir 11.3.3.1 SNI Beton) (1.7 )
Modulus Elastisitas Beton Berdasarkan SNI Beton butir 8.5, modulus elastisitas beton dapat ditentukan dengan persamaan berikut: (1.8) Dimana Wc
= 1500 – 2500 kg/m3 (berat satuan beton berat normal)
Untuk beton normal, modulus elastisitas boleh diambil sebagai berikut: (1.9) Modulus elastisitas didefinisikan sebagai slope dari garis lurus yang ditarik, kondisi tegangan 0 ke kondisi tegangan tekan 0,45 fcʹ pada kurva tegangan-regangan beton. Perhitugan tegangan-regangan dengan menggunakan persamaan nonlinier σc – εc (persamaan Hognestad), modulus yang digunakan yaitu modulus tangent awal: (1.10)
1.2.2 Susut, Rangkak, dan Pengaruh Temperatur Susut
Susut adalah pemendekan beton selaman proses pengerasan dan pengeringan pada temperature konstan. Nilai susut bertambah seiring dengan bertambahnya umur beton (Gambar 1.13)
Susut dipengaruhi oleh: - Rasio volume terhadap luas permukaan beton - Ada tidaknya tulangan pada beton
-
Komposisi beton Humiditas lingkungan, dll
Regangan susut aksial pada beton antara waktu ta sampai t dapat diperikarakan dari rumus berikut:
(1.1 1) Dimana:
εcso = εs (fcm)βRH (1.12)
εs (fcm) = (1.13)
fcm = fcʹ + 1,34 Sd
Sd = Standar Deviasi
(1.14)
βsc = 50 untuk semen tipe I, = 80 untuk semen tipe III, fcmo = 10 MPa
βRH =
, untuk 40% < RH < 99% (1.15)
RH = Relative Humidity dalam persem, RHo = 100% Persamaan εcs diatas, βs dapat dinyatakan sebagai berikut.
(1.1 6)
Dimana: he
=
(1.17) Ac u ho t
= luas penampang = keliling penampang yang terpapar atmosfer = 100 mm = umur beton dalam hari
ta
tl Rangkak
= umur beton dalam hari pada saat susut mulai terjadi (biasanya diambil sebagai umur beton setelah selesainya masa perawatan) = 1 hari
Saat beton dibebani terjadi regangan elastik. Jika beban bekerjan dalam waktu yang lama, akan terjadi regangan rangkak yang meningkat dengan bertambahnya waktu atau umur beton (Gambar 1.14) Koefisien rangkak, ø, didefinisikan sebagai nilai rasio regangan rangkak terhadap regangan elastik, yaitu:
(1.18)
Besarnya koefisien rangkak tergantung pada: - Rasio tegangan yang bekerja terhadap kekuatan beton - Humiditas lingkungan - Ukuran elemen struktur - Komposisi beton - Umur beton saat mulai dibebani Jika tegangan σc yang bekerja pada beton pada waktu to tetap konstan sampai waktu t, maka regangan rangkak yang terjadi antara t - to adalah:
(1.19)
Dimana: Ec (28) = modulus elastisitas beton pada umur 28hari Ø(t, to) = Øoβc (t, to) (1.20)
Koefisien Øo pada persamaan diatas diberikan oleh:
Øo
= ØRH β (fcm) β (to) (1.21)
dimana:
(1.22)
(1.2 3)
(1.2 4) Sedangkan βc (t, to) didefinisikan sebagai berikut.
(1.25)
(1.26)
Pemendekan total komponen struktur beton polos pada waktu t akibat regangan elastik dan rangkak dengan tegangan konstan σc yang bekerja pada waktu to adalah:
εcσ (t) = εcf (to) + εCR (t)
(1.27)
Jika tegangan berubah secara perlahan dengan bertambahnya waktu, maka perhitungan regangan rangkak dilakukan dengan menggunakan modulus efktif, Ecaa (t, to), yaitu:
(1.28)
Dimana χ (t, to) adalah koefisien penambahan umur, yaitu:
(1.29)
Regangan aksial t pada kolom dibebani gaya konstan P pada umur to adalah:
(1.3 0)
Pengaruh Temperatur Koefisien pemuaian beton αc dipengaruhi komposisi beton, kandungan moisture dan umur beton. Nilai α beton dipengaruhi oleh jenis agregat yang digunakan dan nilainya berkisar 6 x 10-6/oC batu kapur sampai 13 x 10-6/oC. Regangan perubahan suhu dihitung sebagai berikut.
εCT = αcΔT Regangan Total pada Beton Regangan total saat t pada beton dibebani secara uniaksial dengan beban konstan σc(to) pada to adalah: (1.32)
1.3 Material Baja Tulangan Dalam SNI Beton, baja tulangan yang digunakan pada elemen beton bertulang dibatasi pada baja tulangan atau kawat baja. Ada 2 jenis tulangan baja di pasaran, yaitu tulangan polos (BJTP) dan tulangan ulir/sirip (BJTS). Tulangan polos mempunyai tegangan leleh minimun 240 MPa sedangkan tulangan ulir mempunyai tegangan leleh minimun 400 MPa. Spesifikasi baja tulangan umum yang digunakan antara lain, ASTM A 615M (1993a) dan ASTM A 706M (1993b).
Tulangan polos yang umum terdapat di pasaran yaitu ø6, ø8, ø10, ø12, ø14, dan ø16. Sedangkan tulangan ulir, hampir semua ukuran ada pada tabel diatas ada dipasaran. SNI Beton Pasal 3.5, baja tulangan yang boleh digunakan pada struktur beton harus tulangan ulir; tulangan polos digunakan hanya untuk tulangan spiral atau baja prategang. Sifat tegangan-regangan tulangan baja diidealisasikan dalam bentuk tegangan-regangan bilinier.
Menurut SNI Beton Pasal 8.5.2, modulus elastisitas tulangan non-pratekan Es boleh diambil sebesar 200.000 MPa. Koefisien thermal tulangan baja umumnya 11,5 x 10-6/oC. Nilai α baja di ambil sama dengan nilai α beton, αs = 10 x 10-6/oC. Pada elemen struktur plat atau dinding juga digunakan tulangan wiremesh (jarring kawat) terdiri atas kumpulan kawat polos atau ulir yang dilas hingga membentuk pola grid. Tulangan jaring kawat ini mempunyai tegangan leleh minimum 500 MPa dan untuk diameter kawat yang tersedia di pasaran adalah ø4, ø5, ø6, ø7, ø8, ø9, ø10 dan ukuran standar lembaran jaring kawat adalah 5,4 m x 2,1 m.