STRATEGI PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENUNJANG PADA PENYAKIT AUTOIMUN DI ERA BPJS Eddy Mart Salim Divisi Alergi & Imunologi Klinik, Bag I. Penyakit Dalam FK Unsri, Palembang
PENDAHULUAN Penyakit Autoimun adalah penyakit yang disebabkan terbentuknya respon imun yang patologis (humoral atau seluler) terhadap sel atau jaringan sendiri (autoantigen). Respon imun humoral non spesifik melibatkan komplemen, CRP, berbagai sitokin, interferon dan mediator asal lipid (turunan asam arakidonat: prostaglandin, leukotrin, tromboksan). Respon imun humoral spesifik, berupa sel B auto-reaktif dengan autoantibodinya ( ANA, DsDNA, AMA, SMA, dll). Respon imun seluler melibatkan sel T auto-reaktif dengan berbagai sitokinnya. Masing masing penyakit menunjukkan gambaran kelainan reapon imun yang komplek. Adanya tumpang tindih autoantibodi pada penyakit tetentu, dapat menimbulkan kebingungan dalam me interpretasi hasil laboratorium. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang baik dalam patogenesis, dan diagnosis (klinis maupun laboratoris) penyakit autoimun. Pada makalah ini dibahas strategi pemeriksaan laboratorium dalam menunjang diagnosis penyakit autoimun. Saat ini, diera BPJS, masalah biaya menjadi perhatian khusus, sedangkan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian, diperlukan pemeriksaan yang terkini. Jangan dilupakan pula prinsip dasar, dalam membuat diagnosis suatu penyakit, anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisik yang baik, ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium yang sesuai, akan membuat diagnosis dan pengobatan jadi akurat, sehingga patient safety, makin tinggi. PATOGENESIS Autoimunitas adalah respon imun abnormal, terhadap antigen jaringan sendiri (autoantigen). Respon ini timbul akibat mekanisme imun yang normal gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya 1 . Akibatnya sel B atau sel T menganggap self antigen sebagai benda asing (autoantigen), yang harusnya ditoleransi, malah di serang (teori hilangnya tolerasi). Sel B dan sel T yang menyerang self antigen ini disebut juga Sel B dan Sel T Autoreaktif. Penelitian penelitian terbaru menunjukkan gagalnya Sel T Regulator dalam meregulasi sistem imun tersebut diatas (desease of T Regulator) . Berbagai mekanisme dikemukakan para ahli, mengapa terjadi respon imun yang abnormal tersebut. Peran faktor genetik (familial maupun didapat), lingkungan dan hormon, melatarbelakangi terjadinya penyakit autoimun. Sebagaimana terjadi juga pada penyakit kronis lainnya, interaksi antara faktor genetik dan lingkungan yang kritis serta penting, menimbulkan kelainan klinis penyakit ini. Keterlibatan genetik hampir selalu multipel, namun keterlibatan gen tunggal dapat juga menimbulkan autoimunitas. Studi ascending maupun descending paedegree, menunjukkan keterlibatan keluarga atau kembar dalam semua penyakit autoimun, baik klinis maupun subklinis.
Faktor lingkungan, antara lain infeksi (viral, bakteri, parasit mapun jamur), radiasi (sinar ultraviolet, kebocoran reaktor nuklir dll) dapat pula menyebabkan mutasi genetik atau terjadinya polimorfisme, sehingga timbul penyakit autoimun. Hal ini timbul karena molekul/ sel sendiri berobah sifat, mirip dengan molekul/ sel benda asing yang sebelumnya menyerang tubuh (teori mollecule mimicry), sehingga terjadi reaksi silang (teori cross reactie). Penelitian epidemiologi menunjukkan wanita lebih sering terkena penyakit autoimun dibanding pria. Diduga faktor hormon ikut berperan terhadap penyakit autoimun. Kehamilan sering memperburuk penyakit autoimun, terutama Artritis Rematik dan sering relaps setelah melahirkan. Studi terbaru mengungkapkan pula adanya kelainan seks kromosom (XXY, atau drumstick) pada pria SLE 2. DIAGNOSIS Dalam membuat diagnosis disamping gejala dan tanda klinis yang khas, diperlukan pula pemeriksaan penunjang laboratorium klinis maupun patologi anatomi. Secara anatomis penyakit autoimun dibagi atas Organ Spesifik dan Non Organ Spesifik. Penyakit autoimun Organ Spesifik melibatkan satu atau hanya beberapa organ saja, sedangkan Non Organ Spesifik, melibatkan banyak organ. Struma Hashimoto, merupakan contoh penyakit autoimun Organ Spesifik, sedangkan SLE merupakan Non Organ Spesifik. Masing masing menunjukkan gejala dan tanda klinis yang umumnya khas (kriteria ARA/ SLICC pada SLE), kadang pula tidak khas, terdapat tumpang tindih (Mix Connective Tissue Disease). Untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang, untuk membantu menegakkan diagnosis 3.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA PENYAKIT AUTOIMUN Berbagai pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis, dan memantau, penyakit autoimun, telah dapat dikerjakan 1. Namun, umumnya biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan tersebut, masih sangat tinggi, walaupun ada juga yang biayanya relatif murah. Diperlukan pemahaman yang baik dalam memilih pemeriksaan apa saja yang akan dilakukan, sehingga aspek klinis dan ekonomis, masih dapat menunjang kepentingan pendidikan maupun penelitian, di era BPJS ini. Tentu akan lebih baik pula kalau institusi pendidikan, mengalokasikan dana untuk kepentingan pendidikan maupun penelitian, untuk pemeriksaan penunjang laboratorium. Dalam memilih pemeriksaan mana yang akan dilakukan, perlu dipahami, apakan untuk kepentingan skrining, atau diagnosis suatu penyakit. Untuk skrining, diperlulan pemeriksaan rutin, sederhana, murah, dengan sensitifitas tinggi. Untuk diagnosis yang akurat, diperlukan pemeriksaan khusus, dengan spesifisitas tinggi. Contoh, pemeriksaan darah dan urin rutin, CRP, komplemen, dan ANA, dapat dipakai untuk skrining, sedangkan Ds-DNA, Scl 70, dan ACA, dipakai untuk diagnosis yang lebih akurat, suatu penyakit autoimun. Pemeriksaansel LE, saat ini tidak populer lagi dilakukan, karena dikerjakan secara manual, pada hal ditangan analis laboratorium yang handal, sensitifitas dan spesifisitasnya cukup tinggi, disamping itu biayanya relatif murah. Berikut ini dikemukakan pemeriksaan pemeriksaan laboratorium yang penting, untuk menunjang diagnosi penyakit autoimun 3-8.
I. Pemeriksaan Autoantibodi Anti Nuklir Antibodi (ANA), Anti-dsDNA dll Antibodi antinuklear (ANA , juga dikenal sebagai faktor anti nuklir atau ANF) adalah autoantibodi yang mengikat isi dari inti sel . Pada orang normal, sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi terhadap protein asing ( antigen ) tetapi tidak untuk protein manusia (autoantigens ). Pada beberapa individu, diproduksi antibodi terhadap antigen manusia. Ada banyak subtipe ANA seperti anti-Ro antibodi , anti-La antibodi , anti-Sm antibodi , antinRNP antibodi , anti SCL-70-antibodi , anti-dsDNA antibodi , antibodi anti-histon, antibodi kompleks pori nuklir , antibodi anti-sentromer dan antibodi anti-SP100. Masing-masing subtipe antibodi mengikat protein yang berbeda atau kompleks protein dalam inti. Autoantibodi tersebut ditemukan dalam banyak gangguan termasuk autoimunitas, kanker dan infeksi , dengan prevalensi yang berbeda dari antibodi tergantung pada kondisi. Hal ini memungkinkan penggunaan ANA dalam diagnosis beberapa gangguan autoimun, termasuk lupus eritematosus sistemik , sindrom Sjögren , skleroderma , penyakit jaringan ikat campuran , polymyositis , dermatomyositis , hepatitis autoimun dan obat diinduksi lupus . Kehadiran ANA dalam darah dapat dikonfirmasi dengan tes skrining. Meskipun ada banyak tes untuk mendeteksi ANA, tes yang paling umum digunakan untuk skrining yang imunofluoresensi tidak langsung dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Setelah deteksi ANA, berbagai subtipe ditentukan.
Gambar 1.Imunoflorescens ANA. Tipe homogen (kiri), tipe bercak-bercak (tengah), tipe nukleus (kanan) (diambil dari4.)
Sensitivitas Daftar tabel berikut prevalensi dari berbagai jenis ANA untuk penyakit yang berbeda, dalam hal ini berapa persen dari mereka, memiliki ANA yang positif. Sensitivitas (%) ObatSLE induced LE
Difus sclerosis sistemik
Scleroderma sistemik terbatas
sindrom Sjögren
> 95
70-90
70-90
50-80
40-60
95
4060
-
-
-
-
-
-
Protein inti snRNPs
2030
-
-
-
-
-
-
Anti-histone
histon
5070
90 - 95
-
-
-
-
-
Anti SCL-70
Tipe I topoisomerase
-
-
28-70
10-18
-
-
-
Antisentromer
centromeric protein
-
-
22-26
90
-
-
-
AntisnRNP70
snRNP70
30 40
-
15
10
-
15
90
SS-A (Ro)
RNPs
3050
-
-
-
70-95
10
-
SS-B (La)
RNPs
1015
-
-
-
60-90
-
-
Jo-1
Histidin-tRNA ligase
-
-
-
-
-
25
-
Jenis ANA
antigen Target
semua ANAs (oleh tidak langsung IF )
Berbagai
> 95
Anti-dsDNA
DNA
Anti-Sm
miopati MCTD inflamasi
- = Kurang dari 5% sensitivitas Kecuali lain yang ditentukan dalam kotak. Tabel 1. Sensitifitas beberapa pemeriksaan Autoantibodi pada berbagai penyakit autoimun (diambil dari 5.)
Tabel 2. Pola Autoantibodi pada beberapa penyakit Autoimun (diambil dari5.)
II. Pemeriksaan Komplemen Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun non spesifik, terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktifasi oleh antigen , komplek imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut 4,5,6,7 . Pemeriksaan komplemen dalam serum dimaksudkan untuk mengukur fungsi aktifasi sistem imun, baik opsonisasi, kemotaksis dan lisis. Komplemen dapat diaktifasi melalui 3 jalur yaitu klasik, lektin dan alternatif. Aktifasi komplemen terjadi secara berantai, produk yang dihasilkan menjadi katalisator reaksi berikutnya. Produk aktifasi komplemen, mempunyai sifat kemotaksis, opsonin dan sitolisis. Pada orang normal, aktifasi komplemen berakhir setelah kuman dimusnahkan. Aktifasi komplemen di inhibisi oleh enzim esterase (C1 inhibitor esterase dst nya). Pada penderita penyakit autoimun, inhibitor esterase ini tidak berfungsi (defisiensi), sehingga komplemen diaktifasi terus menerus, menyebabkan inflamasi kronik. Pemeriksaan komplemen dapat memonitor hasil pengobatan disamping menilai aktifasi penyakit autoimun. Kadar komplemen yang rendah (menurun) menunjukkan aktifnya penyakit. Setelah pengobatan minimal 3 minggu, kadar komplemen diperiksa ulang ,biasanya C3 (jalur alternatif) dan C4 (jalur klasik).
III. Pemeriksaan sel LE. Bukti pertama untuk antibodi antinuclear muncul pada tahun 1948 ketika Hargraves, Richmond dan Morton menemukan sel LE . Sel-sel yang abnormal, yang ditemukan di sumsum tulang penderitadikategorikan sebagai leukosit PMN (polimorfonuklear) yang memfagosit seluruh inti sel lekosit lain 4. Pemeriksaan ini, tidak memerlukan alat yang canggih, tapi memerlukan keterampilan dan ketekunan dalam memproses dan memeriksa adanya sel LE, dalam darah pendera yang dicurigai SLE.
Gambar 2. Sel LE (diambil dari4.)
Peran pemeriksaan laboratorium autoimun SLE Antibodi anti-dsDNA, mempunyai spesifisitas yang tinggi hampir 100%, dan karena itu digunakan dalam diagnosis SLE, sedangkan sensitifitasnya 60 %, sehingga titer rendah dapat ditemukan pada orang tanpa penyakit. Oleh karena itu, antibodi anti-dsDNA yang positif, sugestif SLE, namun tidak adanya antibodi tidak mengesampingkan penyakit. ANA memiliki sensitifitas 80 %, tapi spesifisitas 60 %. Tingkat antibodi anti-dsDNA berfluktuasi dengan aktivitas penyakit pada SLE. Peningkatan titer antibodi dapat bertepatan dengan, atau bahkan mendahului peningkatan aktivitas penyakit. Untuk alasan ini titer secara serial dipantau oleh dokter untuk menilai perkembangan penyakit. Titer dipantau lebih sering dalam kasus-kasus lupus lebih aktif daripada lupus kurang aktif pada interval 1-3 bulan dan 6-12 bulan, masing-masing. Antibodi anti-dsDNA sangat terkait dengan glomerulonefritis pada SLE, meskipun beberapa pasien dengan titer tinggi antibodi anti-dsDNA tidak berkembang jadi kelainan
ginjal. Hal ini kemungkinan besar karena fakta bahwa anti-dsDNA heterogen, beberapa di antaranya telah ditemukan tidak menjadi patogen. Antibodi anti-dsDNA dapat positif pada individu normal, namun antibodi ini biasanya aviditas rendah IgM isotype. Sebaliknya, patogen antibodi anti-dsDNA ditemukan pada SLE biasanya dari IgG isotype dan menunjukkan aviditas tinggi untuk dsDNA.
Rheumatoid arthritis Pasien dengan rheumatoid arthritis dapat ditemukan antibodi anti-dsDNA positif, namun mereka biasanya akibat pengobatan. Anti-TNF, yang merupakan terapi biologis, seperti Adalimumab , Infliximab dan Etanercept , sering dapat memicu produksi antibodi anti-dsDNA. Mereka biasanya dengan aviditas rendah dan hanya terdeteksi sementara setelah perawatan. Kehadiran antibodi ini dapat menyebabkan sindrom lupus seperti dalam beberapa kasus 3. RINGKASAN Dalam memilih pemeriksaan apa yang akan dilakukan, hendaklah dipertimbangkan masalah sensitifitas dan spesifisitas. Untuk skrining penyakit, dipilih pemeriksaan dengan senstifitas tinggi. Untuk diagnosis dipilih pemeriksaan dengan spesifisitas tinggi. Karena biaya pemeriksaan laboratorium untuk penyakit autoimun relatif mahal, perlu pula rumah sakit/ Fakultas Kedokteran, menganggarkan biaya pemeriksaan tersebut, terutama untuk kepentingan pendidikan/ penelitian. Di era BPJS dan JCI, kita dituntut menegakkan diagnosis yang akurat, keselamatan pasien yang tinggi, tapi biaya murah. Untuk itu perlu pandai pandai membuat strategi, mendapatkan dana lain untuk keperluan pemeriksaan laboratorium penyakir autoimun.
KEPUSTAKAAN 1. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Pemeriksaan Penunjang Imunologi. Dalam Imunologi Dasar, edisi ke 8, 2009: 621 - 653. 2. Hewagama A, Gorelik G, Patel D, Liyanarachchi P, McCune WJ, Somers E, Gonzalez-Rivera T; Michigan Lupus Cohort, Strickland F, Richardson B. Overexpression of X-linked genes in T cells from women with lupus. J Autoimmun. 2013 Mar;41:60-71. doi: 10.1016/j.jaut.2012.12.006. Epub 2013 Feb 19. 3. Bertolaccini ML, Hughes GRV. Systemic Lupus Erythematosus, in Diagnosis Criteria in Autoimmune Diseases, editors : Shoenfeld Y, Cervera R, Gershwin M, Humana Press, 2008: 3 - 8. 4. Wikipedia. Anti Nuclear Antibody, from : https://en.wikipedia.org/wiki/Antinuclear_antibody. Accessed 3/24/2016. 5. Salamunic I. Laboratory diagnosis of autoimmune diseases – new technologies, old dilemmas. Biochemia Medica 2010;20(1):45-56. http://dx.doi.org/10.11613/BM.2010.006. Accessed 3/24/2016. 6. Salim EM, Sukmana N. Penyakit Komplek imun. Dalam Bukun Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi VI, 2014. Hal 525 - 31. 7. Arnadi, Suryadhana NG, Kasymir YI. Pemeriksaan CRP, Faktor Reumatoid, Autoantibodi dan Komplemen. . Dalam Bukun Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi VI, 2014: 3105 - 3114. 8. Giles I, Isenbarg D. Antinuclear Antibodies: An Overview in Dubois' Lupus Erythematosus, 7th ed, Editors Wallace DJ, Hahn BH. Lippincott Willams & Wilkins, 2007: 432 - 44.