Strategi Dan Politik Kebudayaan

  • Uploaded by: Wahyudin
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Strategi Dan Politik Kebudayaan as PDF for free.

More details

  • Words: 949
  • Pages: 3
Strategi dan Politik Kebudayaan, Pemikiran Revitalisasi Mutlak, Awali dengan Rekonstruksi

dari

Bali

Menyongsong Kongres Kebudayaan V yang direncanakan berlangsung Oktober 2003, Balai Kajian Jarahnitra (BKJ) Denpasar menggelar temu budaya, Senin (3/9) lalu. Kegiatan yang dihadiri seniman Putu Wijaya itu menghadirkan sejumlah narasumber seperti Kadiparda Bali Prof. Dr. Ir. Pitana, sejarawan Drs. I Nyoman Wijaya, M.Hum., guru besar Unhi Prof. Dr. IB Yudha Triguna, M.S., Rektor Unhi Prof. Dr. I Gusti Ngurah Gorda, dosen Unud Ir. I Nyoman Gelebet, M.Si. dan Dra. S. Swarsi, staf peneliti BKJ. Apa saja pemikiran mereka dalam penyusunan konsep, strategi dan politik kebudayaan Indonesia ke depan? Berikut rangkumannya. Kongres Kebudayaan diselenggarakan terakhir Oktober 1991. Hajatan ''berbicara'' budaya itu kembali akan digelar Oktober 2003 untuk menemukenali wajah kebudayaan bangsa Indonesia saat ini. Kegiatan itu tampaknya penting guna merumuskan, menyusun dan merencanakan pembangunan kebudayaan bangsa di masa yang akan datang. Pemakaian kata kebudayaan nasional sudah mulai dihindari, diganti dengan kebudayaan Indonesia. Hal itu dilakukan, kata budayawan Putu Wijaya, karena di masa lalu -- entah salah siapa-- pada praktiknya dengan dalih nasional, berbagai hal yang berbau kedaerahan mendapat perlakuan yang tidak pada tempatnya, bahkan dipreteli. Lembaga-lembaga adat dan lembaga-lembaga tradisi karena dalih nasional, diseragamkan. Akibatnya, lembaga-lembaga itu menjadi timpang dan tidak sempurna lagi. Dalam menghadapi persoalan kekinian, tradisi yang sudah pincang itu akhirnya tidak mampu lagi. ''Berdasarkan realitas itulah kita upayakan pemakaian istilah budaya Indonesia, yang di dalamnya mencakup seluruh budaya daerah,'' kata sastrawan yang juga dramawan itu. Lalu bagaimana dengan Bali? Sejarawan Nyoman Wijaya mengatakan, dalam sistem sosial tampak terjadi beberapa perubahan seperti dalam stratifikasi sosial, pandangan hidup, sosialisasi, religi, mobilitas dan beberapa aktivitas sosial. Perubahan itu disebabkan oleh pengaruh dari berbagai perubahan dalam bidang politik, hukum, lembaga-lembaga, demografi, pendidikan, ekonomi dan teknologi. Walaupun dalam sistem sosal telah terjadi perubahan, kata dosen FS Unud itu, tampaknya dalam sistem budaya banyak orang Bali yang masih tertarik dengan budaya tradisional-patrimonial dan bahkan mencintai. Ilustrasi dari fenomena itu dapat dilihat pada perubahan gaya hidup. Walaupun begitu akrab dengan gaya masyarakat modern, mereka tidak dapat mengabaikan sistem kepercayaannya. Misalnya, rasa malu terhadap tetangga jika tidak menyiapkan persembahan pada hari raya.

Gaya hidup modern juga tidak menjadi jaminan bahwa mereka bisa terbebas dari klenik. Sebagai contoh, kata Wijaya, ada intelektual Bali modern yang mengendarai mobil mewah, membawa HP dan kartu kredit sebagai simbol masyarakat modern. Akan tetapi pada malam hari mereka takut pada leak dan siang hari pergi ke balian. Dalam tataran yang lebih luas, terjadi transformasi budaya dalam skala besar dan sangat cepat. Sementara itu antara perubahan struktur dan perubahan budaya tidak sejalan, sehingga terjadi anomie pada tingkat nilai. Selain terjadi erosi nilai-nilai tradisional ada juga gejala retradisionalisasi. Di Bali banyak orang yang tertarik menggunakan simbol-simbol tradisional terutama dalam upacara ritual. Di samping itu ada pembentukan lembaga kekeluargaan atau soroh. Saat ini telah terjadi kompetisi di antara mereka dalam berbagai aktivitas, terutama dalam upacara keagamaan dan tradisi. Dikatakan, karakter profesionalisme dalam budaya kapitalistik menyebabkan munculnya komersialisasi budaya. Sebagai contoh, kesenian Bali yang semula ekspresi dari impian kolektif, sekarang tidak lagi.'' Ia sudah menjadi seni individu dan bahkan ada seni yang disebut sebagai seni bandar udara.'' Di daerah pedesaan, sambungnya, tak ada lagi sifat partisipatif dalam berkesenian seperti zaman dulu karena mereka lebih tertarik menonton acara telivisi dan mendegarkan radio yang bersifat umum. ''Ilustrasi di atas sekadar memperlihatkan salah satu biaya sosial yang harus dibayar oleh orang Bali yang sedang membangun perekonomian,'' kata Nyoman Wijaya. Oleh karena itu, lanjutnya, mereka melakukan rekonstruksi budaya, menyusun kembali budaya Bali agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bali pada masa kini. Pesta Kesenian Bali (PKB) salah satu rekonstruksi budaya yang dilakukan pemerintah Bali yang kemudian diikuti propinsi lain di Indonesia. Pada titik ini pemerintah berperan sebagai produsen budaya yang memiliki orientasi normatif pada modifikasi perilaku. PKB adalah contoh hasil budaya Bali masa kini. Budaya ini merupakan hasil produksi para produsen budaya yakni kaum profesional yang ahli di bidangnya.

Aset Andalan Kebudayaan memang harus disadari merupakan aset andalan dalam pengembangan pariwisata budaya. Eksistensi pariwisata diharapkan dapat memperkokoh pelestarian dan pengembangan kebudayaan. Fungsi kebudayaan dalam pengembangan pariwisata tidak hanya ditempatkan sebagai objek, juga subjek. Oleh karena itu, kebudayaan perlu direvitalisasi. Gede Pitana yang Kadiparda Bali mengatakan, strategi revitalisasi kebudayaan nasional menyangkut upaya membangkitkan kembali atau memberikan kekuatan dan kehidupan terhadap kebudayaan. Dalam membangkitkan kembali kebudayaan perlu dipertimbangkan agar dapat

memberikan manfaat kepada masyarakat. Dalam hal ini salah satu upaya yang dapat ditempuh dengan memanfaatkan kebudayaan tersebut untuk pariwisata seperti peninggalan sejarah dan purbakala dikemas sedemikian rupa menjadi objek dan daya tarik pariwisata. Ditambahkan, upaya yang perlu diperhatikan dalam revitalisasi adalah rekonstruksi kebudayaan yang hampir punah, konservasi dan pemeliharaan. Sedangkan Gelebet mengatakan keindahan pesona surgawi alam Bali dan pandangan hidup masyarakatnya telah melahirkan kebudayaan ekologis yang kosmis dan dinamis. Sejak awal sentuhan peradaban luar, Bali yang selektif akomodatif menyikapi perubahan dan memilih alkulturasi yang relevan untuk ditumbuhkembangkan. ''Pandangan hidup akan menyikapi resultan budaya antara kesepakatan bertahan dan kecenderungan berubah,'' katanya. Momen budaya yang dapat terjadi setiap saat, kata pengamat budaya itu, diantisipasi dengan kajian mendalam terhadap dampak positif dan negatifnya, terutama terhadap kelangsungan hidup berbudaya. ''Kebudayaan memang perubahan adanya. Tanpa adanya kemauan dan kemampuan berubah untuk penyesuaian peradaban yang berkembang, kebudayan akan punah-- ditinggalkan manakala dirasakan sebagai kendala.'' Masalahnya, kata dia, bukan pada keharusan untuk berubah, namun seberapa jauh perlunya suatu perubahan dan apa yang perlu dipertahankan. Setelah ada kesepahaman bahwa perubahan itu memang perlu sebatas penyesuaian, kendalanya adalah sulitnya mendapatkan kesepakatan berbagai pihak. Dari pihak pendukung suatu budaya umumnya cenderung bertahan, sedangkan dari luar cenderung mengubah sesuai tatanan perilaku yang dibawanya. Pertimbangan wawasan nusantara justru memberi peluang bagi penggusuran budaya lokal. Alasan vulgar yang juga sering dikedapankan adalah untuk kepentingan yang lebih besar maka budaya lokal harus mengalah atau dikalahkan. Menghadapi kenyatan demikian kinerja konservasi warisan budaya perlu dimantapkan.

Related Documents


More Documents from "dicky "