Stoke Kelompok 4.docx

  • Uploaded by: Linawati DL
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Stoke Kelompok 4.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,911
  • Pages: 25
PAPER STROKE PERDARAHAN DI LOBUS FRONTAL Mata kuliah : kegawatdaruratan II Dosen Koordinator : Ns.Kiki Hardiansyah .,S.Kep.,M.Kep.,Sp.KMB

Disusun Oleh :

Kelompok 4 (Empat) 1. Azhar azis

: 15.0222.557.01

2. Evalina prastika putri

: 15.0230.565.01

3. Herlina

: 15.0236.571.01

4. Khairul rahman

: 15.0180.515.01

Petrisia febriani

: 15.0198.533.01

5.

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA SAMARINDA 2018

BAB I PENDAHULUAN Stroke merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia. Stroke membunuh lebih dari 137.000 orang per tahun. 1 dari setiap 18 kematian disebabkan oleh stroke. Rata-rata setiap 4 menit seseorang meninggal karena stroke. Stroke berada di peringkat 3 di antara semua penyebab kematian, setelah penyakit jantung dan kanker (Murpy SL et al.2013). Stroke merupakan suatu serangan tiba-tiba pada jaringan otak yang disebabkan oleh perdarahan atau adanya sumbatan pembuluh darah. Penyakit stroke ini adalah salah satu penyakit yang bertanggung jawab pada angka kesakitan dan kematian di seluruh dunia. Di seluruh dunia, pada tahun 2010 terdapat 16.9 juta penderita stroke serangan pertama, 33 juta penderita selamat, setengah dari penderita selamat mengalami kelumpuhan permanen, dan 5.9 juta penderita meninggal akibat stroke. Diperkirakan pada tahun 2030, tambahan 3,4 juta orang berusia ≥ 18 tahun akan terkena stroke, prevalensinya meningkat 20,5% dari tahun 2012 (Feigin VL et al. 2011 ; Heidenreich PA et al. 2013). Selain sebagai penyakit yang mematikan setelah penyakit jantung dan kanker, berdasarkan data statistik dari seluruh dunia diketahui bahwa stroke juga merupakan penyebab terbanyak dari seluruh kecacatan di dunia. Penyakit ini adalah penyebab utama kecacatan yang terjadi pada usia dewasa saat ini. Tercatat 50 juta orang mengalami kecacatan akibat stroke pada tahun 1999, yaitu sebesar 3,5% dari seluruh penderita cacat. Jumlah ini diproyeksikan akan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2020 nanti, dimana diperkirakan 61 juta orang akan mengalami kecacatan akibat stroke. Di Amerika Serikat stroke merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan semua bentuk kanker. Setiap tahun 750.000 warga Amerika akan mengalami stroke yang baru atau berulang. Stroke juga merupakan penyebab medis disabilitas tersering. Keadaan ini merupakan insiden tertinggi dan kondisi neurologis yang sering ditangani di rumah sakit (Alway, 2011). Kasus stroke menjadi urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian setelah penyakit jantung koroner dan kanker di negara-negara berkembang. Negara berkembang juga menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke di seluruh dunia. Dua pertiga penderita

stroke terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Terdapat sekitar 13 juta korban stroke baru setiap tahun dimana 4,4 juta di antaranya meninggal dalam 12 bulan (WHO, 2006). Secara garis besar stroke dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Dari keseluruhan kejadian stroke didapatkan sekitar 85% pasien mengalami stroke iskemik dan 15% stroke hemoragik (perdarahan intraserebral 10% dan perdarahan subaraknoid 5%). Penyebab terjadinya stroke iskemik adalah pengerasan dinding pembuluh darah (aterosklerosis) 50%, stroke lakunar 25%, kardioemboli 20%, serta diseksi arteri dan paten foramen ovale 5% (American Stroke Association, 2015). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa kejadian stroke iskemik lebih tinggi dibandingkan stroke hemoragik. Ada banyak faktor yang dapat menimbulkan stroke. Secara garis besar, faktor-faktor risiko stroke tersebut dibedakan menjadi faktor risiko yang tidak dapat diubah atau tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat diubah atau dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, jenis kelamin, riwayat stroke dalam keluarga, dan adanya riwayat stroke sebelumnya. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, riwayat penyakit jantung, obesitas, dan merokok (National Stroke Association, 2009). Faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada stroke yaitu tekanan darah tinggi (hipertensi) memberikan kontribusi sekitar 50% dari semua kejadian stroke, diabetes melitus yang meningkatkan risiko terserang stroke menjadi dua kali lipat, penyakit jantung seperti fibrilasi atrium sudah diderita pada 25% pasien stroke serangan pertama, dan kadar kolesterol darah tinggi (American Stroke Association, 2015). Salah satu faktor risiko yang penting untuk terjadinya stroke adalah hipertensi (Hariyono, 2002). Hasil penelitian Ramadhanis (2012) menyatakan bahwa pasien hipertensi mempunyai peluang sebesar 4,117 kali menderita stroke dibandingkan pasien non hipertensi. Adanya faktor risiko stroke, membuktikan bahwa stroke adalah suatu penyakit yang dapat diramalkan sebelumnya dan bukan merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja, sehingga istilah cerebrovascular accident telah ditinggalkan (Rambe, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Stroke A. Definisi Stroke Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer et al., 2007). Menurut Hankey (2002) stroke adalah suatu sindrom klinis dengan karakteristik kehilangan fungsi otak fokal akut yang mengarah ke kematian, dimungkingkan karena perdarahan spontan pada substansi otak (perdarahan intracerebral primer atau perdarahan subarachnoid yang secara berurutan menjadi stroke hemoragik) atau tidak tercukupinya suplai darah yang menuju bagian dari otak sebagai akibat dari aliran darah yang lambat atau rendah, trombosis, atau emboli yang berhubungan dengan penyakit pembuluh darah , jantung, atau darah (stroke iskemik atau infark cerebal). B. Klasifikasi Secara umum stroke dibagi berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya yaitu: 1. Stroke Hemoragik (perdarahan) Stroke hemoragik dibagi menjadi dua bagian yaitu: a. Perdarahan intraserebral (terjadi di dalam otak atau intraserebral), perdarahan ini biasanya timbul akibat hipertensi maligna atau sebab lain misalnya tumor otak yang berdarah, kelainan (malformasi) pembuluh darah otak yang pecah (Karyadib ,2002). b. Perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah masuknya darah ke ruang subarachnoid baik dari tempat lain (perdarahan subarakhnoid sekunder) atau sumber perdarahan berasal dari rongga subarakhnoid itu sendiri ( perdarahan subarakhnoid primer) (Iskandar, 2003). 2. Stroke Iskemik ( Sumbatan ) Iskemik otak adalah suatu keadaan dimana terdapat gagaguan pemasokan darah ke otak yang membahayakan fungsi neuron. Infark otak terjadi jika ada daerah otak yang iskemik menjadi nekrosis akibat berkurangnya

suplai darah sampai pada tingkat lebih rendah dari titik kritis yang diperlukan untuk kehidupan sel sehingga disertai gangguan fungsional dan struktural yang menetap. Keadaan iskemik dapat berlanjut menjadi kematian sel-sel otak yang disebut infark otak (cerebral infarction) (Bustan, 2007).

C. Gejala Gejala yang khas adalah kelumpuhan mendadak sebelah anggota tubuh atau hanya berkurangnya kekuatan, bicara pelo, hilang penglihatan sebelah dan ber-kurangnya sensasi di kulit wajah, lengan atau tungkai. Penderita stroke hemoragik dapat disertai sakit kepala hebat, kepala seperti berputar, gangguan daya ingat, penurunan kesadaran serta kejang mendadak .

D. Diagnosa Diagnosa stroke ditegakkan oleh dokter berdasarkan wawancara riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Untuk membedakan antara stroke hemoragik dan stroke iskemik adalah hal yang penting dalam manajemen stroke serta prognosis dan pencegahannya. Pada orang kulit putih, sekitar 80% dari pertama pernah stroke iskemik metode yang pembeda jenis stroke ini menggunakan CT-scan. Dalam banyak negara, ini sebaiknya dilakukan oleh CT. Lumbal pungsi berguna dalam menyakinkan perdarahan subarachnoid, namun jika hasil pencitraan otak samar, maka tidak dapat membedakan iskemik dan stroke hemoragik (Davenport & Dennis, 2000).

E. Faktor Resiko Faktor resiko stroke diklasifikasikan menjadi 2 bagian : 1) Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi, anatara lain: usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, berat badan. 2) Faktor utama yang dapat di modifikasi, anatara lain: hipertesi (hipertensi penyebab utama stroke di dunia), atrial fibrilasi, penyakit kardiovaskular yang laian seperti diabetes, dislipemi, paparan rokok, alcohol, sickle cell disease, stenosis arteri cartitiod, terapi hormone postmenopause, faktor gaya hidup yang berhubungan dengan faktor gaya hidup yang berhubungan dengan resiko stroke (obesitas, kurang gerak, kurang konsumsi makanan dan kurang baiaknya distribusi lemak tubuh).

2. Hipertensi A. Definisi Hipertensi Seseorang dikatakan hipertensi bila secara konsisten menunjukkan tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih tinggi, dan tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih tinggi. Angka tekanan darah orang dewasa dinyatakan normal adalah <120/80 mmHg.

B. Klasifikasi Klasifikasi hipertensi berdasarkan tingginya tekanan darah menurut The Join National on Detection, Evaluation, and The Treatment of High Blood Pressure.

C. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu: 1) Hipertensi Primer (esensial) Hipertensi esensial atau hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi esensial. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik dan lingkungan. 2) Hipertensi Sekunder Meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan dan lain-lain. Obatobatan penyebab hipertensi antara lain kontrasepsi oral, kortikosteroid, siklosporin, eritropoetin, kokain, dan penyalahgunaan alkohol. Penyebab lainnya berupa penyakit koarktasioaorta, preeklamsia pada kehamilan dan keracunan timbal akut.

D. Gejala Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah mempunyai faktor risiko tambahan, tetapi kebanyakan asimptomatik (Depkes RI, 2006). Hipertensi tidak memberikan gejala khas, baru setelah beberapa tahun adakalanya pasien merasakan nyeri kepala pagi hari ssebelum bangun tidur; nyeri ini biasanya hilang setelah bangun. Gangguan hanya dapat dikenali dengan pengukuran tensi dan adakalanya melaluipemeriksaan tambahan terhadap ginjal dan pembuluh darah.

E. Diagnosa Hipertensi Seringkali disebut sebagai “silent killer” karena pasien dengan hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali control ditentukan untuk mendiagnosa hipertensi. Tekanan darah ini digunakan untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatannya (Depkes RI, 2006)

F. Faktor Resiko Pengendalian berbagai faktor risiko pada hipertensi sangat penting untuk mencegah komplikasi kardiovaskular. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain tekanan darah, kelainan metabolik (diabetes mellitus, lipid darah, asam urat dan obesitas), merokok, alkohol dan inaktifitas, sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, dan faktor genetic.

3. Hubungan Stroke dan Hipertensi Stroke adalah komplikasi dari hipertensi, dimana kebanyakan dihubungankan secara langsung dengan tingkat tekanan darah. Tekanan darah terdiri dari 2 komponen : sistolik dan diastolik. Bila tekanan sistolik di atas 160mmHg dan tekanan diastolic lebih dari 90mmHg, maka dapat berpotensi menimbulkan serangan CVD, terlebih bila telah berjalan selama bertahuntahun. Hipertensi merupakan faktor resiko utama yang dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak (Sweileh et al., 2009). Pemberian obat hipertensi biasa menjadi suatu masalah penurunan tekanan darah secara cepat, yang sangat berbahaya terhadap perfusi (aliran darah) ke otak. Oleh karena itu, obat antihipertensi tidak diberikan untuk menormalkan tekanan darah, tetapi hanya mengurangi tekanan darah sampai batas tertentu sesuai protocol pengobatan. Tekanan darah seringkali meningkat pada periode post stroke dan merupakan beberapa kompensasi respon fisiologi untuk mengubah perfusi serebral menjadi iskemik pada lapisan otak. Hasilnya terapi tekanan darah mengurangi atau menghalangi kerusakan otak akut hingga kondisi klinis stabil.

A. Patofisiologi Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian.

B. Sasaran terapi Tekanan darah pada fase akut diturunkan perlahan-lahan sebab hipertensi tersebut timbulnya secara reaktif dan sebagian besar akan turun sendiri pada hari ke 3 hingga 7 (Iskandar, 2003). Penurunan tekanan darah pada stroke iskemik dapat dipertimbangkan bila tekanan darah sistolik >220 mmHg atau diastolik >120 mmHg, penurunan tekanan darah sebaiknya sekitar 10-15% dengan monitoring tekanan darah tersebut (Adams et al, 2003), sedangkan pada stroke perdarahan boleh diturunkan apabila tekanan darah sistolik pasien ≥180mmHg dan atau tekanan darah diastolik >130mmHg.

C. Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke Iskemik Penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik adalah dengan obatobatAntihipertensi golongan penyekat alfa beta (labetalol), penghambat ACE (kaptopril atau sejenisnya) atau antagonis kalsium yang bekerja perifer (nifedipin atau sejenisnya) penurunan tekanan darah pada stroke iskemik akut hanya boleh maksimal 20% dari tekanan darah sebelumnya. Nifedipin sublingual harus diberikan dengan hati-hati dan dengan pemantauan tekanan darah ketat setiap 15 menit atau dengan alat monitor kontinyu sebab dapat terjadi penurunan darah yang drastis, oleh sebab itu sebaiknya dimulai dengan dosis 5mg sublingual dan dapat dinaikkan menjadi 10mg tergantung respon sebelumnya. Tekanan darah yang sulit diturunkan dengan obat diatas atau bila diastolik >140mmHg secara persisten maka harus diberikan natrium nitroprusid intravena 50mg/250ml dekstrosa 5% dalam air (200mg/ml) dengan kecepatan 3ml/jam (10mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang diinginkan. Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drips 10- 20µg/menit. Tekanan darah yang rendah pada stroke

akut adalah tidak lazim. Bila dijumpai maka tekanan darah harus dinaikkan dengan dopamin atau dobutamin drips serta mengobati penyebab yang mendasarinya.

D. Penatalaksanaan hipertensi pada stroke perdarahan Penatalaksanaan hipertensi pada stroke hemoragik berlawanan dengan infark serebri akut, pendekatan pengendalian tekanan darah yang lebih agresif pada pasien dengan perdarahan intraserebral akut, karena tekanan yang tinggi dapat menyebabkan perburukan edema perihematom serta meningkatkan kemungkinan perdarahan ulang. Tekanan darah >180mmHg harus diturunkan sampai 150-180mmHg dengan labetalol (20mg intravena dalam menit), di ulangi pemberian labetalol 40-80mg intravena dalam interval 10 menit sampai tekanan yang diinginkan, kemudian infus 2 mg/menit (120 ml/menit) dan dititrasi atau penghambat ACE (misalnya kaptopril 12,5-25mg, 2-3 kali sehari) atau antagonis kalsium (misalnya nifedipin oral 3 kali 10mg).

4. Sirkulus Wilisi Merupakan sistem anastomose yang terpenting di antara sistem karotid dan verte brobasilar. Sirkulus ini juga meng hubungkan sirkulasi hemisfer kiri dan kanan karena itu memberikan meka nisme yang memungkinkan untuk kompensasi hemodinamik pada kasus-kasus stenosis berat atau oklusi ICA dan/atau arteri basilar. Pada bentuk sempurna yang terjadi pada 20% kasus, sirkulus Wilisi dibentuk oleh dua ICA, kedua traktus ACA, AcoA,kedua PcoA, dan kedua segmen P1 dari PCA Bagian otak yang mendapat vaskularisasi dari sirkulus Wilisi antara lain lamina terminalis, khiasma optikus, infundibulum, tubercinereum, korpora mamilaria, dan substansia perforata posterior. Tiga cabang bersama mensuplai masing-masing hemisfer otak yang berasal dari arteri sirkulus Wilisi. Cabang anterior bercabang menjadi dua, mensuplai dua serebri anterior, dari pars antero-lateral serebri media dan dari pars posterior serebri posterior. Tiap arteri tersebut memberikan cabang ke dua sistem arteri yang berbeda. Pertama adalah sistem ganglionic dimana arteri ini mensuplai thalamus dan korpora striata. Kedua adalah sistem kortikalyang berperan dalam mensuplai piamatter, korteks dan jaringan otak sekitar. Dua sistem tersebut tidak beranastomose pada sirkulasi perifer.

Semua pembuluh darah sistem ganglionik ini berasal dari sirkulus Wilisi. Sistem ini membentuk enam kelompok cabang utama, yaitu kelompok antero-medial, berasal dari serebri anterior dan komunikans anterior; kelompok postero-medial dari serebri posterior dan komunikans posterior; kelompok antero-lateral kiri dan kanan, dari serebri media; dan kelompok postero-lateral kiri dan kanan, dari serebri posterior, setelah menembus pedunculus serebri. Pembuluh darah sistem ini lebih besar dari sistem kortikal dan disebut sebagai arteri terminalis (Gray, 1918). Sistem arteri kortikal merupakan akhir cabang arteri serebri anterior, media, dan posterior. Sistem ini terbagi dan membentuk anyaman di substansia piamater, memberikan percabangan yang menembus korteks serebri secara vertikal (Gray, 1918). Arteri karotis interna mensuplai otak bagian anterior, mata dan sekitarnya, dan bercabang ke dahi dan hidung. Pada orang dewasa, ukurannya sama dengan arteri karotis eksternal. Namun demikian, arteri karotis eksternal pada anak lebih besar daripada arteri karotis interna itu sendiri. Arteri ini terkadang memiliki satu atau dua lekukan dekat pangkal tengkorak, sementara dalam perjalanannya melalui kanal karotis dan di sepanjang sisi korpus tulang sphenoid mempunyai dua lengkungan dan menyerupai huruf miring S. Dalam perjalanannya ke otak, arteri ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu pars servikal, pars petrosus, pars kavernosa, dan pars serebri. Pars servikal, merupakan bagian dari arteri karotis interna dimulai pada percabangan dari karotis komunis, berlawanan dengan batas atas kartilago tiroid, dan berjalan tegak lurus ke atas, di depan prosesus transversus dari vertebra servikalis ketiga atas, ke kanalis karotis di pars petrosus os temporal. Arteri ini terletak superfisial, di mana ia termasuk dalam segitiga karotis. Pars servikal terletak di belakang dan lateral dari arteri karotis eksternal, tumpang tindih dengan sternocleido mastoideusdan dilindungi oleh fasia, platisma, dan integumen. Setelah

itu,

lewat

di

bawah

kelenjar

parotis,

yang

dilintasi

oleh

nervus

hypoglossus,digastricus danstylo hyoideus, dan arteri aurikularis posterior dan oksipital. Lebih lanjut lagi, arteri karotis interna dipisahkan dari karotis eksternal oleh m. Styloglossus dan m.Stylopharyngeus, ujung dari prosesus styloid dan ligamentum styloid, nervus glossopharingeus dan cabang faring dari nervus vagus. Dalam hubungannya, di belakang berhubungan dengan nervus capitis longus, ganglion servikalis superior dari trunkus simpatikus, dan N. laringeus superior; di lateral berhubungan dengan vena

jugularis interna dan n. vagus, saraf terletak di belakang arteri; di medial sejalan dengan faring, n. laringeus superior, dan arteri faringeus asendens. Di dasar tengkorak tersebut, n. glossopharingeus, n. vagus, n. aksesorius, dan n. hypoglossus terletak antara arteri dan vena jugularis interna (Gray, 1918). Sirkulus Wilisi dapat memberikan variasi anatomi yang luas, baik karena hipoplasia atau agenesis satu atau lebih komponennya. Tempat terjadinya hipoplasia atau agenesis yang paling sering adalah PCoA (34%) dan traktus A1 (25%) dimana secara embrionik PCA berasal dari ICA. Hipoplasia atau tidak adanya segmen P1 juga relatif sering ditemukan (sekitar 17%) Anastomose di antara sirkulasi arteri intrakranial dan ekstrakranial disediakan oleh OA dan arteri leptomeningeal. Pada kondisi patologis dimana ICA mengalami obstruksi, anastomose ini memungkinkan revaskularisasi spontan arteri serebri (Nitz W., 2006; Rohkamm, 2004).

BAB III KASUS 1. Factor resiko apa yang didapatkan pada kasus ini, gejala dan tanda klinis yang didapatkan ? 2. Terangkan patogenesisnya (mind concept) 3. Faktor anatomi Lipohyallio nulis Mikroaneu risma Amyloid angiopati Aneurisma sakuler

Faktor hemodina mik Hipertensi arterial

Faktor hemostatik

Faktor lain

Antikoagulan

Tumor

Antiplatelet

Alkohol

Terapi trombolitik

Ampheta min

thrombositop enia

Obat simptom atik

Mikroangi oma Fistula karotikore nesia

Kombinasi dari beberapa faktor

Hiperkolest erolemia

Perdarahan intraserebral Stroke pendarahan di lobus frontal

Stroke pendarahan di lobus frontal

Factor yang paling dominan pada kasus adalah hipertensi (Faktor hemodinamik)

Pasien mengalami kejang karena perdarahan lobaris

Lesi dilobus frontalis

Hipertensi menyebabkan perubahan degenerative pada lumen pembuluh darah

Perdarahan menyebabkan cortex dan subcorteks terpisah

Lesi menyebabkan Pasien mengalami gangguan kognitif

Pembuluh darah yang degenerative menyebabkan Lipohialinosis dan Mikroaneurisma (factor anatomi)

Perubahan ini menyebabkan induksi pecahnya pembuluh darah apabila ada kenaikan darah yang mencolok

Korteks yang teraktivasi menghasilkan aktivitas paroksimal

Aktivitas paroksimal ( aktivitas keadaan yang sering dalam waktu singkat dan mempunyai gejala yang sama)

4. Pemeriksaan penunjang a) Ultrasonografi Transcranial Color Doppler (TCD) merupakan pemeriksaan untuk mengukur blood flow velocity yang ditimbulkan oleh pembuluh darah basal intraserebral. Keuntungan utama TCD adalah non invasif, murah, dapat dikerjakan dengan mesin yang portable, dan dapat digunakan untuk monitoring jangka panjang, serta mempunyai resolusi yang tinggi sehingga sangat ideal untuk memantau respon dinamik serebrovaskular. Di samping itu, TCD saat ini telah dinyatakan dapat digunakan untuk mendeteksi circulating cerebral emboli, yang tidak dapat terdeteksi dengan modalitas imaginglainnya (Markus, H.S. et al, 2010). Pemeriksaan TCD dikerjakan pada pasien dalam posisi supine. Posisi ini memungkinkan akses window transtemporal, transorbital, dan submandibular, sedangkan posisi lain digunakan untuk pendekatan window suboccipital. Pemeriksaan suboccipital dapat juga dikerjakan pada posisi supine dan kepala dihadapkan ke satu sisi, dengan pasien posisi duduk dan kepala ditundukkan ringan ke depan dada atau dengan pasien tidur miring ke satu sisi dengan kepala menekuk ringan sehingga dagu menyentuh dada. Pemeriksaan dengan window suboccipital dikatakan lebih mudah bila pasien dapat bertahan pada posisi tidur miring (Katz M.L., 2003; Rasulo FA, 2008)

b) TTE Tidak berbeda dengan USG pada umumnya, TTE menggunakan sensor elektroda alat probe yang ditempelkan dan digerakkan di atas dada pasien, dengan hasil yang langsung terlihat pada monitor. Tes ini kerap menjadi pilihan untuk memeriksa struktur dan fungsi jantung, juga untuk mendeteksi jika terdapat penyakit atau kelainan jantung. Pasien akan diminta untuk berbaring di atas tempat tidur dan membuka bagian dada untuk dipasang elektroda di beberapa titik.. Dokter jantung akan mengoleskan gel pelumas di sekeliling dada dan menggerakkan probe yang tersambung ke monitor. Gelombang suara dari elektroda dan probe akan terekam dan terlihat pada monitor yang diletakkan tidak jauh dari posisi pasien.

Pasien mungkin akan mendengar suara bising saat pemindaian dilakukan. Hal tersebut adalah normal dikarenakan probe akan menangkap suara aliran darah. Pasien dapat diminta untuk menarik napas panjang dan menahan napas, atau berbalik ke arah kiri sambil dokter menekan probe pada area dada untuk menangkap gambar secara jelas. Hal ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman untuk sementara waktu. c) TEE adalah Tes ini menggunakan alat endoskopi yang dimasukkan melalui mulut menuju kerongkongan (esofagus) untuk menangkap gambar struktur jantung secara rinci, tanpa terhalang gambar dada dan paru-paru. TEE umumnya disarankan ketika gelombang TTE tidak dapat menangkap gambar secara jelas, khususnya ketika pasien akan menjalani operasi jantung. TEE merupakan cara pendekatan pencitraan jantung dengan menggunakan sebuah transducer khusus yang digunakan yang diletakkan pada esophagus dengan cara dimasukkan melalui mulut pasien. Transducer khusus tadi dengan frekuensi berkisar 5-7 MHz, pada ujung gastroskop yang ditempatkan dari arah kerongkongan atau esophagus. Pendekatan ini menghasilkan pencitraan interior dari struktur jantung yang lebih sempurna oleh karena hantaran suara ultra dari dank e-transducer TEE terhindar dari bayangan dinding dada atau jaringan paru. Untuk TEE , pasien akan diminta berpuasa beberapa jam sebelum tindakan, guna menghindari mual, muntah, dan masuknya isi lambung ke dalam paru-paru. Dokter akan menyuntikkan obat sedatif sebagai penenang dan menyemprotkan obat bius lokal ke dalam tenggorokan, agar pasien tidak merasa nyeri saat alat endoskopi dimasukkan. Pasien akan diminta untuk melepas gigi palsu, apabila ada, sebelum tindakan. d) Tes EKG (Ecokardiografi) adalah sebuah metode pemeriksaan dengan menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi untuk menangkap gambar struktur organ jantung. Ekokardiografi biasanya dibantu oleh teknologi Doppler di mana teknologi ini dapat membantu mengukur kecepatan dan arah aliran darah. EKG merupakan suatu alat penting untuk mengevaluasi struktur dan fungsi dari

jantung dan pembuluh darah yang terkait. Tindakan ini menggunakan gelombang ultrasonic untuk menghasilkan gambar jantung. Ekokardiografi digunakan untuk memeriksa adanya kelainan pada struktur jantung, pembuluh darah, aliran darah, serta kemampuan otot jantung dalam memompa darah. Metode pencitraan ini sering digunakan untuk mendeteksi potensi penyakit jantung sehingga dapat diputuskan pengobatan yang tepat, dan juga digunakan untuk mengevaluasi pengobatan. e) Magnetic resonance imaging (MRI) adalah suatu teknik penggambaran penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen. Tehnik penggambaran MRI relatif kompleks karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Alat tersebut memiliki kemampuan membuat gambaran potongan koronal, sagital, aksial, dan oblik tanpa banyak memanipulasi tubuh pasien. Bila pemilihan parameternya tepat, kualitas gambaran detil tubuh manusia akan tampak jelas sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara lebih teliti (Notosiswoyo, M, Susy Suswati, 2004). Mesin MRI adalah sebuah mesin magnet berdaya tinggi. Dengan memanfaatkan

radio

frequency

pulses(gelombang

radio),

mesin

MRI

mendapatkan gambaran anatomik secara detail dengan mengacu proton atom hidrogen pada setiap jaringan tubuh. Struktur atom hidrogen dalam tubuh manusia saat di luar medan magnet mempunyai arah yang acak dan tidak membentuk keseimbangan. Kemudian saat diletakkan dalam alat MRI (gantry) maka atom H akan sejajar dengan arah medan magnet. Demikian juga arah spinning dan processing akan sejajar dengan arah medan magnet. Saat diberikan frekuensi radio dengan panjang gelombang tertentu maka atom H akan mengabsorpsi energi dari frekuensi radio tersebut. Akibatnya, dengan bertambahnya energi, atom H akan mengalami pembelokan, sedangkan besarnya pembelokan arah, dipengaruhi oleh besar dan lamanya energi radio frekuensi yang diberikan. Sewaktu radio frekuensi dihentikan maka atom H akan sejajar kembali dengan arah medan magnet. Pada saat kembali inilah, atom H akan memancarkan energi yang dimilikinya. Kemudian energi yang berupa sinyal tersebut dideteksi dengan detektor yang khusus dan diperkuat. Selanjutnya, komputer akan mengolah dan

merekonstruksi citra berdasarkan sinyal yang diperoleh dari berbagai irisan (Rasad, 2006). Dengan MRI dapat dibedakan bagian otak yang abu-abu dengan bagian otak yang putih. Bagian otak yang putih mengandung 12% lebih sedikit air dibandingkan dengan otak yang abu-abu. Akan tetapi, bagian yang putih mempunyai lebih banyak lemak daripada bagian otak yang abu-abu. Karena banyak mengandung lemak, bagian otak yang putih mempunyai waktu T1 yang pendek dan T2 yang pendek (Rasad, 2006). f) Magnetic

Resonance

Angiography

(MRA)

merupakan

suatu

metode

menciptakan gambaran pembuluh darah dengan MRI. MRA telah mengalami revolusi lebih dari beberapa dekade, menggantikan angiografi kateter sebagai alat diagnostik utama untuk mengevaluasi hampir semua teritorial pembuluh darah khususnya pada teknik yang menggunakan kontras (Rubin et al 2009). MR angiografi (MRA) menggunakan medan magnet yang kuat, gelombang radio dan komputer untuk mengevaluasi pembuluh darah dan membantu mengidentifikasi kelainan atau mendiagnosis aterosklerosis (plak) penyakit. Pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi pengion dan memerlukan suntikan bahan kontras yaitu gadolinium yang mungkin kurang menyebabkan reaksi alergi daripada bahan kontras iodinasi. Angiografi merupakan tes medis yang membantu dokter untuk mendiagnosis dan mengobati kondisi medis dan penyakit pembuluh darah. Pemeriksaan angiografi menghasilkan gambar pembuluh darah utama di seluruh tubuh dan dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga teknologi pencitraan

dan

dalam

beberapa

kasus

bahan

kontras

yang diberikan

(RadiologyInfo, 2015). MRA merupakan teknik pencitraan non-invasif yang tidak melibatkan paparan radiasi pengion. Detail gambar pada beberapa pembuluh darah dan aliran darah dapat diperoleh tanpa harus memasukkan kateter IV ke dalam pembuluh darah. Jika diperlukan, kateter IV ukuran kecil dimasukkan ke dalam vena kecil di lengan sehingga tidak ada risiko merusak pembuluh darah utama karena merupakan prosedur yang kurang invasif (RadiologyInfo, 2015).

4) Pemeriksaan laboraturium 1. Tes darah a)

CBC (complete blood count) atau pemeriksaan darah lengkap. Tes CBC dapat

membantu mengukur apakah ada masalah pada sel-sel darah, elektrolit tubuh, atau apakah ada peradangan atau infeksi. b)

Tes waktu PT/PTT

Prothrombin/thromboplastin partisial. Tes darah ini mengukur waktu yang dibutuhkan darah untuk membeku. Tes ini sangat penting dalam memonitor pengobatan dengan cara pengenceran darah secara darurat yang kadang-kadang digunakan untuk pengobatan stroke. c)

Tes kolesterol/lipid

Sebuah analisis yang cermat dari kadar lemak dan kolestrol dapat membantu menilai risiko penyakit pembuluh darah. 2. Tes darah khusus a) Tes gula darah dapat menentukan apakah seseorang memiliki diabetes yang tidak diobati, yang merupakan faktor risiko stroke b) Tes hemoglobin A1C dapat mengungkapkan apakah penderita stroke telah memiliki gula darah tinggi selama beberapa bulan terakhirTes gas arteri darah mengukur oksigen dan karbon dioksida dalam darah yang dapat membantu menilai fungsi jantung dan paru-paru. 3. Analisis urine a) Tes glukosa dalam urin. Jika ditemukan glukosa dalam urin, ini merupakan tanda diabetes. b) Toksisitas obat. Banyak penggunaan obat-obatan terlarang dapat menyebabkan stroke terutama kokain dan methamphetamine. Beberapa obat tidak selalu menyebabkan stroke, tetapi dapat menggangu penilaian terhadap orang lain dan caravberpikir, membuat perilaku pasien seolah-olah dia mengalami stroke.

5) Monitoring dan evaluasi harian pasien stroke secara intens terhadap perkembangan neurologis yang dapat memburuk, adanya komplikasi atau efek samping a) Monitor hemodinamik pasien

b) Monitoring perpanjangan iskemi di otak c) Monitoring tromboemboli vena (trombosispena dan emboli paru) serta kelainan elektrolit, gangguan irama jantung yang dikaitkan dengan cedera otak

6) Manajemen komprehensif , preventif, kuratif, rehabilitatif dan manajemen emergency serta kerja sama / konsultasi dengan departemen a) Kuratif : obat antihipertensi , obat antikejang, heparin (antikoagulan) b) Komprehensif : yang dilakukan di rumah sakit adalah untuk meminimalkan jumlah sel yang mengalami kerusakan melalui perbaikan jaringan panumbra dan pencegahan terjadinya pendarahan lebih lanjut pada pendarahan intraserebral. c) Preventif : edukasi keluarga pasien agar tetap memonitoring tekanan darah pasien d) Rehabilitatif : pemberian latihan yang sesuai dan penegakan tujuan terapi yang realistik misalnya ROM. e) Emegency IGD : (1 jam evaluasi 1 jam infus) 10 menit triase, 25 menit tim medikal, CT labs 45 menit, terapi 60 menit. f) Ruang rawat intensif ICU : dipantau secara ketat dan dilakukan total care. Pemantauan dilakukan ketat dan berkelanjutan pada keluhan atau gejala pasien, tanda-tanda vital, saturasi oksigen, keseimbangan cairan tubuh dan lain-lain.

7) Pemeriksaan NIHSS pada pada pasien stroke National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) adalah alat penilaian sistematis yang mengukur kuantitatif stroke yang terkait dengan defisit neurologik. NIHSS tidak hanya digunakan untuk menilai derajat defisit neurologik saja, tetapi juga untuk memfasilitasi komunikasi antara pasien dengan tenaga medik, mengevaluasi, menentukan perawatan yang tepat dan memrediksi hasil dari pasien stroke, menentukan prognosis awal dan komplikasi serta intervensi yang diperlukan. NIHSS juga banyak digunakan untuk menilai tingkat keparahan pada pasien yang mengalami stroke iskemik akut. Pada saat ini NIHSS banyak digunakan secara rutin untuk menilai keparahan stroke pada pusat-pusat pelayanan stroke. Terdapat 11 item dalam penilaian NIHSS meliputi:level of consciousness, best gaze, visual field testing, facial paresis, arm and leg motor function, limb ataxia, sensory,

language, dysarthria, extinction, andinattention. NIHSS memiliki skormaksimum 42 dan skor minimum 0. Interpretasi dari NIHSS yaitu: skor >25 sangat berat, 14-25berat, 5-14 sedang, dan < 5 ringan.

8) Peran perawat kritis terhadap kasus Sebagai pelaksana : 1. Monitor gcs dan kesadaran pasien 2. Observasi intgritas kulit pasien 3. Melakukan ROM 4. Monitor pemasukan pasien 5. Lakukan pemasangan NGT sesuai kebutuhan Sebagai edukator : 1. Berikan pendidikan kesehatan kepada keluarga pasien mengenai pencegahan kekambuhan stroke

BAB IV PEMBAHASAN KASUS Stroke pendarahan di lobus frontalis disebabkan oleh pendarahan diintraserebral. Pendarahan diintraserebral terjadi karena dari beberapa faktor antara lain : 1. Faktor anatomi a) Lipohyallionulis b) Mikroaneurisma c) Amyloid angiopati d) Aneurisma sakuler e) Mikroangioma f) Fistula karotikorenesia

2. Faktor hemodinamik a) Hipertensi arterial

3. Faktor hemostatik a) Antikoagulan b) Antiplatelet c) Terapi trombolitik d) Thrombositopenia

4. Faktor lain a) Tumor b) Alkohol c) Amphetamin d) Obat simptomatik

5. Hiperkolesterolemia

Pada kasus ini faktor yang paling dominan hipertensi (faktor hemodinamik). Pasien mengalami hipertensi kronik sehingga menyebabkan perubahan degeneratif pada lumen pembuluh darah berupa lipohyalinosis dan mikro auneurisma perubahan ini akan menginduksi pecahnya pembuluh darah apabila kenaikan darah yang mencolok. Pada kasus ini pasien mengeluh kejang setelah kejang pasien tidak sadarkan diri dan tertidur serta mengompol. Kejang terjadi karena perdarahan lobaris yang menyebabkan diantara lapisan abu-abu dan putih sehingga korteks dan sub korteks terpisah. Korteks yang teraktifasi akan menghasilkan aktifitas paroksimal yaitu suatu keadaan dalam waktu singkat serta mempunyai gejala yang sama. Pada kasus ini pasien juga mengalami gangguan kognitif yang terjadi karena adanya lesi di lobus frontalis yang mengenai nervus 7 dan 12.

GLOSARIUM Kata

Arti

Apatis

Sikap menarik diri dan seakan-akan pasrah pada

keadaan.

Ketidakpedulian

suatu

individu dimana mereka tidak memiliki perhatian atau minat khusus terhadap aspekaspek tertentu seperti fisik, emosional dan kehidupan sosial. Disfasia

Gangguan

perkembangan

mempengaruhi

bahasa

kemampuan

yang

seseorang

memahami dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. paresis N.7 dan 12

Nervus 7 : kelumpuhan pada wajah Nervus 12 : hipoglosus

Hemostasis

Upaya tubuh untuk mencegah terjadinya perdarahan dan mempertahankan keenceran darah di dalam sirkulasi supaya tetap bisa mengalir dengan baik.

lipohyalinosis

Penyakit pembuluh darah kecil serebral yang mempengaruhi arteri kecil, arteriol atau kapiler diotak.

Mikroaneurisma

Tonjolan kecil yang ada dipembuluh darah yang akhirnya akan menyumbat pembuluh darah vena sehingga pembuluh darah vena menjadi menggembung dan berbentuk tidak rata.

DAFTAR PUSTAKA Adam, Andy, E. Jane Adam, Judith E. Adam, et al.2008. Adam: Grainger & Allison’s,Diagnostic Radiology, 5th ed.Churchill Livingstone, Elsevier.

Adamczyk P. & Liebeskind D.S., 2012. Neuroimaging Vascular Imaging: Computed Tomographic Angiography, Magnetic Resonance Angiography, and Ultrasound. Elsevier.

Almandoz, J. E. D. R. J. E., 2011. Advanced CT Imaging in the Evaluation of Hemorrhagic Stroke. Neuroimag Clin N Am, Volume 21, pp. 197–200.

Related Documents


More Documents from ""