Stemi Anterior.docx

  • Uploaded by: maria natalia
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Stemi Anterior.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,538
  • Pages: 37
PORTOFOLIO

ACUTE CORONARY SINDROM : STEMI ANTERIOR EXTENSIVE DAN HT EMERGENCY Diajukan guna melengkapi sebagian persyaratan Dokter Internship

Presentan : dr. Maria Natalia Putri

Pendamping : dr. Andari Retnowati

Pembimbing: dr. Sutowo, Sp PD

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOLOPO KAB. MADIUN 2018

No. ID dan Nama Peserta:

dr. Maria Natalia Putri

Tempat Presentasi

RSUD Dolopo, Kab. Madiun

Topik :

Acute Coronary Sindrom : STEMI Anterior Extensive dan HT Emergency

Tanggal Kasus :

24 September 2018

Nama Pasien :

Tn N

Nomor RM :

83945

Tanggal Presentasi :

2018

Pendamping :

dr. Andari Retnowati

Tempat Presentasi :

RSUD Dolopo, Kab. Madiun

Objektif Presentasi : 

Keilmuan



Keterampilan



Penyegaran



Tinjauan Pustaka



Diagnostik



Manajemen



Masalah



Istimewa

 Neonatus Deskripsi :



 Anak

Bayi

 Remaja

 Dewasa



Lansia

 Bumil

Pasien laki-laki, usia 60 tahun, datang ke IGD RSUD Dolopo dengan keluhan utama nyeri dada sejak 12 jam sebelum MRS, ketika pasien sedang bersantai. Nyeri dada dirasakan seperti ditimpa benda berat terutama di sisi tengah dan kiri tembus ke punggung, disertai keringat dingin. Nyeri dada dirasakan tidak menjalar. Pasien juga tidak mengeluhkan sesak. Riwayat nyeri dada sebelumnya disangkal, sesak ketika beraktivitas (-), riwayat terbangun di malam hari karena sesak (-), berdebar-debar (-), orthopnea (-),tungkai bengkak (-).Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 12 tahun yang lalu, tidak berobat ke dokter, hanya minum jamu-jamuan. Tekanan darah tertinggi pernah mencapai 180/… mmHg.

Pasien tidak

memiliki riwayat diabetes melitus maupun riwayat dirawat di rumah sakit sebelumnya. Tujuan :

Mengidentifikasi faktor resiko, perjalanan penyakit, gejala, diagnosis dan tata laksana dari ACS dan HT emergency dan penyulitnya

Bahan

 Tinjauan Pustaka



Riset



Kasus



Audit



Email



Pos

Bahasan : Cara

 Diskusi



Presentasi dan Diskusi

Membahas :

Data Pasien

Nama :

Tn N

Nama Klinik : RSUD Dolopo, Kab. Madiun

No. Reg: Telp :

83945 Terdaftar sejak :

Data Utama untuk bahan diskusi :

1

1. Diagnosis / Gambaran Klinis : Pasien laki-laki, usia 60 tahun, datang ke IGD RSUD Dolopo dengan keluhan utama nyeri dada sejak 12 jam sebelum MRS, ketika pasien sedang bersantai. Nyeri dada dirasakan seperti ditimpa benda berat terutama di sisi tengah dan kiri tembus ke punggung, disertai keringat dingin. Nyeri dada dirasakan tidak menjalar. Pasien juga tidak mengeluhkan sesak. Riwayat nyeri dada sebelumnya disangkal, sesak ketika beraktivitas (-), riwayat terbangun di malam hari karena sesak (), berdebar-debar (-), orthopnea (-),tungkai bengkak (-).

Pasien mengatakan tidak pernah

mengalami nyeri dada sebelumnya. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 12 tahun yang lalu, tidak berobat ke dokter, hanya minum jamu-jamuan. Tekanan darah tertinggi pernah mencapai 180/… mmHg. Pasien tidak memiliki riwayat diabetes melitus maupun riwayat dirawat di rumah sakit sebelumnya. 2. Riwayat Pengobatan : Tidak ada obat yang diminum rutin, hanya jamu-jamuan saja yang dibuat sendiri 3. Riwayat Kesehatan/Penyakit : Sebelum ini pasien tidak pernah mengalami sakit serupa 4. Riwayat keluarga : Tidak ada riwayat anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. Ibu pasien memiliki riwayat menderita hipertensi. Tidak ada riwayat DM pada keluarga. 5. Riwayat Lingkungan/Sosial : Pasien sudah menikah, bekerja sebagai seorang pekerja serabutan dan merupakan seorang perokok berat, menghabiskan 4 pak per hari sejak 30 tahun yang lalu (sudah berhenti 4 bulan yang lalu). 6. Riwayat Alergi : Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik obat maupun makanan.

Hasil Pembelajaran : 1. Definisi Acute Corononary Sindrom 2. Patogenesis terjadinya Acute Corononary Sindrom 3. Diagnosis Acute Corononary Sindrom a. Manifestasi Klinik dan Perjalanan Penyakit b. Pemeriksaan Penunjang c. Klasifikasi 4. Komplikasi Acute Corononary Sindrom 5. Penatalaksanaan Acute Corononary Sindrom

2

RANGKUMAN PEMBELAJARAN PORTOFOLIO Subjektif: 

Pasien laki-laki, usia 60 tahun, datang ke IGD RSUD Dolopo dengan keluhan utama nyeri dada sejak 12 jam sebelum MRS, ketika pasien sedang bersantai. Nyeri dada dirasakan seperti ditimpa benda berat terutama di sisi tengah dan kiri tembus ke punggung, disertai keringat dingin. Nyeri dada dirasakan tidak menjalar. Pasien juga tidak mengeluhkan sesak. Riwayat nyeri dada sebelumnya disangkal, sesak ketika beraktivitas (-), riwayat terbangun di malam hari karena sesak (-), berdebar-debar (-), orthopnea (-),tungkai bengkak (-). Pasien mengatakan tidak pernah mengalami nyeri dada sebelumnya. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 12 tahun yang lalu, tidak berobat ke dokter, hanya minum jamu-jamuan. Tekanan darah tertinggi pernah mencapai 180/… mmHg. Pasien tidak memiliki riwayat diabetes melitus maupun riwayat dirawat di rumah sakit sebelumnya.



Tidak ada riwayat anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. Ibu pasien memiliki riwayat menderita hipertensi. Tidak ada riwayat DM pada keluarga.



Pasien sudah menikah, bekerja sebagai seorang pekerja serabutan dan merupakan seorang perokok berat, menghabiskan 4 pak per hari sejak 30 tahun yang lalu (sudah berhenti 4 bulan yang lalu).

Objektif Keadaan Umum : GCS 456 Nafas spontan adekuat, tampak lemah Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah : 194/116 Nadi

: 80x/ menit, reguler kuat

Nafas

: 20x/ menit

Suhu

: 36,5º C

Kepala-Leher  Kepala 

Ukuran

: normosefal



Bentuk

: mesosefal



Rambut

: tekstur tipis, warna hitam, mudah dicabut (-)



Mata

: air mata (+), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), palpebra edema (-), mata cowong (-), perdarahan subkonjungtiva -/-,

3

strabismus -/-, reflek cahaya +/+, pupil bulat isokor 3mm/3mm 

Telinga

: bentuk normal, posisi normal, sekret (-), tumor (-)



Hidung

: sekret (-), pernafasan cuping hidung (-), perdarahan (-), hiperemi (-), septum nasi simetri



Mulut

: mukosa mulut basah (+), mukosa sianosis (-), gigi caries (-), lidah: atrofi (-), vasikulasi (-), gusi normal, faring hiperemi (-), pembesaran tonsil (-)

 Leher 

bentuk simetri



pembesaran kelenjar leher (-)



tumor (-)

Toraks : -

Inspeksi: bentuk dada dan gerakan nafas simetris, retraksi (-), deformitas (-), jaringan parut (-), areola sedikit menonjol

-

-

Jantung: o

inspeksi  ictus cordis tidak terlihat

o

palpasi  ictus cordis teraba di midclavicular line V sinistra

o

auskultasibunyi jantung S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru:  inspeksi  gerak nafas simetris pada kedua sisi dinding dada  Palpasi gerakan dinding dada saat bernafas simetris  Perkusi sonor di semua lapang paru Auskultasi vesikuler

vesikuler

vesikuler

vesikuler

vesikuler

vesikuler

Rhonki -

-

Wheezing

-

-

-

-

- -

-

-

-

-

4

Abdomen : 

Inspeksi : benjolan (-), dilatasi vena (-), umbilicus tidak ada kelainan



Auskultasi : bising usus (+) normal, Bruit (-)



Perkusi : meteorismus (-)



Palpasi : soefl, CRT < 2”

Ekstremitas : Atas

Bawah

Extremitas Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Akral

Hangat

Hangat

Hangat

Hangat

Anemis

-

-

-

-

Ikterik

-

-

-

-

Sianosis

-

-

-

-

Ptekiae

-

-

-

-

Edema

-

-

-

-

CRT

2 detik

2 detik

2detik

2 detik

Pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Haemoglobin

13.4 g/dl

11.0 – 17.0 g/dl

Hematokrit

40.0%

35.0 – 55.0%

Leukosit

8300

4000 – 12000

Limfosit

19,5%

25 – 50%

Monosit

5,2%

2 – 10 %

Neutrofil

75,3%

50 – 80%

Eosinofi

0,7%

0,0-5,0%

Basofil

0,8%

0,0-2,0%

Trombosit

295000

150000 – 400000

Gula darah acak

209

70-125 mg/dl

Kolesterol Total

167

<200 mg/dl

Trigliserida

140

<200 mg/dl

HDL Kolesterol

31

>35 mg/dl

5

LDL Kolesterol

108

<190 mg/dl

BUN

37

4,7-23 mg/dl

Kreatinin

2,23

0,7-1,2 mg/dl

Asam Urat

7,65

3,4-7,0 mg/dl

SGOT

59

<50 mg/dl

SGPT

25

<50 mg/dl

EKG

Kesimpulan : STEMI ANTERIOR EXTENSIVE Assesment : Acute Coronary Sindrom : STEMI Anterior Extensive HT emergency Planning : -

IVFD NS 15 tpm

-

O2 Nasal Canul 4 lpm

-

Drip Pantoprazole 1x1

-

Inj Mecobalamin 1x1

-

Inj Furosemide 1x1

-

Pasang DC

-

Inj Arixtra 2,5 mg / hari PO:

-

Loading ASA 320 mg

-

Loading CPG 300 mg

-

ISDN 5 mg SL dilanjutkan dengan ISDN 3x5 mg

-

Simvastatin 1x20 mg

6

Klasifikasi Killip

-

Skoring STEMI (TIMI SCORE)

-

GRACE (Global Registry Acute Coronary Events) SCORE

7

-

-

TOTAL SCORE = 109

-

8

Follow up : 25 September 2018 S : nyeri dada berkurang, sesak -, nyeri perut O : TD : 165/80, Nadi 80x/menit, RR 20x/menit A: Acute Coronary Sindrom : STEMI Anterior Extensive HT emergency P: -

Bed Rest semifowler position

-

O2 8-10 lpm via NRBM

-

IVFD NS 15 tpm

-

Drip Pantoprazole 1x1

-

Inj Mecobalamin 1x1

-

Inj Furosemide 1x1

-

Pasang DC

-

Inj Arixtra 2,5 mg / hari PO:

-

ASA 1x80 mg

-

CPG 1x75 mg

9

-

ISDN 3x5 mg

-

Simvastatin 1x20 mg

Planning Monitoring -

Subjective, vital sign, urine output

-

EKG serial

26 September 2018 S : nyeri dada berkurang, sesak -, nyeri perut O : TD : 150/80, Nadi 82x/menit, RR 20x/menit A: Acute Coronary Sindrom : STEMI Anterior Extensive HT emergency P: -

Bed Rest semifowler position

-

O2 8-10 lpm via NRBM

-

IVFD NS 15 tpm

-

Drip Pantoprazole 1x1

-

Inj Mecobalamin 1x1

-

Inj Furosemide 1x1

-

Pasang DC

-

Inj Arixtra 2,5 mg / hari PO:

-

ASA 1x80 mg

-

CPG 1x75 mg

-

ISDN 3x5 mg

-

Simvastatin 1x20 mg

Planning Monitoring -

Subjective, vital sign, urine output

-

EKG serial

10

27 September 2018 S : nyeri dada -, sesak -, nyeri perut O : TD : 162/75, Nadi 79x/menit, RR 20x/menit A: Acute Coronary Sindrom : STEMI Anterior Extensive HT emergency P: -

Bed Rest semifowler position

-

O2 8-10 lpm via NRBM

-

IVFD NS 15 tpm

-

Drip Pantoprazole 1x1

-

Inj Mecobalamin 1x1

-

Inj Furosemide 1x1

-

Pasang DC

-

Inj Arixtra 2,5 mg / hari PO:

-

ASA 1x80 mg

-

CPG 1x75 mg

-

ISDN 3x5 mg

-

Simvastatin 1x20 mg

Planning Monitoring -

Subjective, vital sign, urine output

-

EKG serial

11

TINJAUAN PUSTAKA Acute Coronary Syndrome (ACS) Definisi 1. Sindroma Koroner Akut (SKA) SKA merupakan kondisi ketidakseimbangan suplai oksigen dan kebutuhan oksigen pada miokard yang terjadi secara akut karena terbatasnya aliran darah ke koroner akibat stenosis koroner yang progresif atau tiba-tiba dan / atau keadaan output tinggi atau meningkat pada afterload. SKA meliputi angina tidak stabil (UA), non-ST elevasi infark miokard (NSTEMI), dan elevasi ST MI (STEMI) (Braunwald Eet al., 2013). 2. STEMI STEMI adalah sindrom klinis yang dikarakteristikan dengan adanya gejala iskemia miokard dengangambaran elektrokardiografi (EKG) ST elevasipersisten dan selanjutnya adanya pelepasan biomarker nekrosis dari miokard (O’gara et al., 2012).

Epidemiologi STEMI Pada tahun 2009, sekitar 683.000 pasien dipulangkan dari rumah sakit AS dengan diagnosis sindrom koroner akut (ACS).Tingkat insiden masyarakat untuk STEMI menurun selama dekade terakhir, sedangkan yang NSTEACS telah meningkat.Sekitar 30% pasien dengan STEMI adalah perempuan. Sekitar 23% pasien dengan STEMI di Inggris memiliki diabetes mellitus dan tiga perempat dari semua kematian di antara pasien dengan diabetes mellitus berhubungan dengan penyakit arteri koroner (O’garaet al., 2012).

Etiologi Lebih dari 90% dari infark miokard disebabkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, seperti merokok, dislipidemia, hipertensi, diabetes, obesitas abdominal, paparan polusi udara, faktor psikososial, dan insomnia (Laugsand LEet al., 2011; Nawrot TSet al., 2011; Yusuf S et al., 2004; Breton CVet al., 2012; Gold DRet al., 2013; Tonne CWP et al., 2013).Konsumsi buah-buahan, sayuran dan alkohol, serta kegiatan fisik secara teratur memiliki efek protektif terhadap SKA.Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa predisposisi genetik menyumbang 40-60% dari risiko penyakit arteri koroner (Schunkert et al., 2011). Identifikasi lokus grup ABO sebagai faktor risiko untuk infark miokard mungkin memberikan penjelasan tentang mengapa golongan darah O lebih protektif dari infark miokard dibandingkan dengangolongan darah A dan B (Reilly MPet al., 2011). Baru-baru ini, ditemukan bahwa adanya kromosom Y meningkatkan risiko penyakit koroner sebesar 50% (Charchar FJet al., 2012).Hal ini mungkin menjelaskan prevalensi lebih tinggi CAD pada pria.

12

Manifestasi Klinis Akut Miokard Infark Adanya rasa tertekan atau kompresi retrosternal yang berlangsung lebih dari 30 menit adalah tanda khas untuk miokard infark. Nyeri dada digambarkan seperti adanya kepalan tangan pada sternum (Levine sign).Rasa sakit mungkin menyebar ke seluruh bagian dada, dengan predileksi pada sisi kiri, rahang, atau lengan dan pergelangan tangan.Mungkin juga terdapat nyeri epigastrik yang sering menyebabkan salah diagnosis sebagai gangguan pencernaan. Diaforesis, mual, dan muntah mungkin muncul. 25% dari kasus infark mungkin tidak memberikan gejala. Hal ini terjadi terutama pada penderita diabetes, orang tua, dan penerima transplantasi hati. Sekitar 17% dari penderita diabetes memiliki gelombang Q patologis (Davis TMet al., 2013).

Patofisiologi STEMI Mekanisme yang paling sering dari ACS adalah pengurangan pasokan oksigen miokard akibat pecahnya atau erosidari plak aterosklerotik yang mengakibatkan cedera endotel, thrombosis, dan vasokonstriksi (Crea

Fet al., 2013; Libby PL, 2013).Secara

histologis, plak yang rentan pecah memiliki topi tipis fibrosa (fibrous cap) (<55 m) dengan inti lipid yang besar (Crea Fet al., 2013; Libby PL, 2013; Falk E et al., 2013). Perdarahan dapat terjadi dari pecahnya plak (fisura) ataudari neovaskularisasi (angiogenesis).Plak yang pecah membentuk subendotel yang trombogenik (kolagen dan tissue factor) terhadap trombosit dan

sel

darah

putih

di

dalam

sirkulasi.Adhesi

trombosit

yang

dihasilkan

menyebabkanaktivasi trombosit.Selain itu trombosit juga diaktifkan oleh vasokonstriktor, seperti tromboksan A2 dan adenosin difosfat (ADP) yang mengikat reseptor P2Y (Nawrot TSet al., 2011) yang menyebabkan peningkatan ekspresi glikoprotein IIb/IIIa yang mengikat fibrinogen atau faktor von Willebrand.Hal ini menyebabkan agregasi platelet dan terbentuknya pembentukan bekuan putih.Mediator yang diaktifkan oleh trombosit bersama dengan vasokonstriktor lainnya seperti trombin, radikal bebas, dan endotelin mengakibatkan vasokonstriksi dinamis dan trombosis transien.Kaskade koagulasi dapat diaktifkan, dan faktor X menyebabkan pembentukan trombin yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin (Mizuno K et al., 1992). Jika iskemia berkepanjangan dan cukup parah sehingga menyebabkan nekrosis miokard terbatas maka terjadilah NSTEMI.Kerusakan lebih lanjut, biasanya karena pembentukan trombus merah yang menyebabkan elevasi ST, menghasilkangambaran klinis dari STEMI.Dalam sebagian besar kasus, plak yang pecah atau tererosi berlangsung tanpa adanya gejala dan umumnya menyebabkan penyembuhan dan semakin memperburuk penyempitan arteri koroner (Arbab-Zadeh Aet al., 2012). Plak yang rentan ruptur, utuh atau sudah pecah, dapat ditemukan di sepanjang koroner, dan culprit lesi susah untuk ditemukan. Terdapat istilah 'calcified nodule'yang

13

digunakan untuk jenis trombosis koroner yang tidak disebabkan oleh pecahnya plak namun terkait dengan nodulkalsifikasi yang menonjol ke lumen, biasanya terjadi pada arteri orang tua walaupun jarang ditemukan (Libby PL. 2013). Trombus intrakoronerterutama terdiri dari fibrin (meningkat jumlahnya seiring dengan peningkatan waktu iskemik), trombosit, eritrosit, dan beberapa kristal kolesterol dan leukosit (Silvain

Jet al., 2011). Spasme koroner, emboli, atau diseksi spontan koroner arteri

penyebab infark tanpa adanya oklusiaterosklerosis dan dilaporkan dalam 5-10% dari pasien dengan STEMI (Mizuno K et al., 1992). Data angiografi juga menunjukkan bahwa mayoritas kejadian koroner terjadi pada pasien dengan lesi kompleks dan stenosis yang signifikan (Hulten EAet al., 2011; Alderman ELet al., 1993; Kaski JC et al. 1995). Lesi dengan ukuran tebal topi (fibrous cap) <85 μm dan> 75% luas penampang luminal stenosis adalah yang paling mungkin pecah (Narula Jet al.,2013). Pengecatan histokimia dapat mengidentifikasi zona nekrosis 2-3 jam setelah timbulnya nekrosis, sementara perubahan patologi yang tampak dapat diidentifikasi 6-12 jam setelah oklusi. Delapan sampai sepuluh hari setelah infark, ketebalandinding ventrikel yang terkena berkurang, otot nekrotik digantikan oleh sel mononuklear dan 2-3 bulan berikutnya terbentuk jaringan ikat.Infark yang meluas dan dilatasi ventrikel juga dapat terjadi dan

menyebabkan

remodeling

ventrikel.Perubahan

yang

terjadi

adalah

stunned

myocardium, yaituberkurangnya kontraktilitasdengan durasi singkatuntuk mempertahankan metabolisme miokard akibat penurunan perfusi arteri koroner. Terdapat pula keadaan hibernasi miokardium, yaitu miokardium viabel yang mengalami disfungsi tetapi dengan perubahan struktur seluler yang lebih parah.Stunned myocardiumlebih mungkin untuk kembali normaldibandingkan dengan hibernasi miokardium (Shah BN et al., 2013). Diagnosis SKA 1. Anamnesis Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat pada daerah retrosetrernal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,

bahu,

atau

epigastrium.Keluhan

ini

dapat

berlangsung

intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit).Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop (PERKI, 2014). Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan

14

angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK) (PERKI, 2014). 2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta, dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus, dan edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang, dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan ulang dalam memikirkan diagnosis banding SKA (PERKI, 2015). 3. Pemeriksaan laboratorium Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA (PERKI, 2015). 4. Pemeriksaan radiologi Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel.Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi, dan penyakit penyerta (PERKI, 2015). 5. Pemeriksaan elektrokardiogram

Gambar 1. Konsensus ESC/ACCF/AHA/WHF Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia

harus

menjalani

pemeriksaan

EKG

12

sadapan

sesegera

mungkin

sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta

15

V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik.Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam waktu 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali (PERKI, 2015). Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi,

yaitu

normal,

nondiagnostik,

LBBB

(Left

Bundle

Branch

Block)

baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥ 20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T (PERKI, 2015). Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnosis beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-V3 pada pria usia ≥40 tahun adalah 0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segen ST di lead V1-V3, tanpa memandang usia adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,05 mV. Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi.Oleh karena itu,pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia (PERKI, 2015). Tabel 1. Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1V3.Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.Adanya keluhan angina

16

akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP) (PERKI, 2015). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik (PERKI, 2015).

Tracing 1:left ventricular hypertrophy. Tracing 2:LBBB. Tracing3: acute pericarditis. Tracing 4: pseudoinfarction pattern in hyperkalaemia. The T wave in V3 is tall, narrow, pointed, and tented. Tracing 5: acute anteroseptal infarction. Tracing 6: acute anteroseptal infarction and RBBB (remaining R’ wave and distinct transition between the downstroke of R’ and the beginning of the ST segment). Tracing 7: Brugada syndrome type 1 (rSR’ and ST segment elevation limited to V1 and V2. The ST segment begins from the top of the R’ and is downsloping) (Wang K et al., 2003).

Gambar 2. Elevasi segmen ST pada berbagai kondisi. 6. Pemeriksaan Marka Jantung Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CKMB.Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,

17

miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA,pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama (PERKI, 2015). Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam).Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural (PERKI, 2015).

Gambar 3. Waktu Biomarker Setelah Miokard Infark (Kumar A, Cannon CP, 2009). Tabel 2.Penyebab Peningkatan Troponin Selain ACS (Mahajan VS, Jarolim P, 2011).

18

Penatalaksanaan

Cath=catheterization laboratory; EMS=emergency medical system; FMC=first medical contact; PCI= percutaneous coronary intervention;STEMI ST-segment elevation myocardial infarction.

Gambar 4.ESC 2012 GL on STEMI.Pre-hospital and in-hospital management of MI (first 24 hours).

1.Tatalaksana pra rumah sakit : 

Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.



Segera memanggil tim medis untuk memberikan resusitasi.



Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU yang mempunyai dokter dan perawat yang terlatih.



Melakukan terapi reperfusi.

19

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya dua kelompok komplikasi umum, yaitu komplikasi elektrik(aritmia) dan komplikasi mekanik(pump failure) (Alwi, 2009). 2. Tatalaksana umum  Oksigen Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikanoksigen selama 6 jam.  Nitrogliserin Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai infark ventrikel kanan. Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang mengkonsumsi phospodiesterase-5 inhibitor sidenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.  Morfin Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.  Aspirin Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg (Alwi, 2009).

20

AT: antithrombin; GP: glycoprotein; LMWH: low molecular weight heparin Gambar 5.

Target obat antitrombotik(ESC, 2011). 

Penyekat beta Jika pemberian morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekar beta selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang diberikan biasanya adalah metoprolol (Alwi, 2009). Tabel 3. Guideline STEMI ACCF/AHA 2013

 Terapi reperfusi Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi pada STEMI adalah door to needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai

21

dalam 30 menit dan door to ballon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit (Alwi, 2009).

Gambar 6.ACCF/AHA 2013 GuidelineTerapi Reperfusi pada STEMI 3. Terapi Jangka Panjang Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan jangka panjang ini peran dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan gaya hidup sebelum pasien dipulangkan. Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah: •

Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok dengan ketat.



Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan tanpa henti.



DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12 bulan setelah STEMI.



Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri.



Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera mungkin sejak datang.



Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi, tanpa memandang nilai kolesterol inisial.

22



ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior. Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (PERKI, 2015). Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKP) IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama (PERKI, 2015). Stentinglebih

disarankan

dibandingkan

angioplasti

balon

untuk

IKP

primer.Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis.Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet therapyDAPT)

dan

kemungkinan

dapat

patuh

terhadap

pengobatan,

drug-eluting

stents(DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS) (PERKI, 2015).

Farmakoterapi Periprosedural Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum

angiografi,

disertai

dengan

antikoagulan

intravena.

Aspirin

dapat

dikonsumsi secara oral (160-320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain: 1.

Ticagrelor (dosis loading180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari).

2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau dikontraindikasikan. Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain: 1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP IIb/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau enoksaparin. 2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP IIb/IIIa) dapat lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi. 3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer. 4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan untuk IKP primer (PERKI, 2015).

23

Terapi Fibrinolitik Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempattempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa kontraindikasi apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin(streptokinase).Aspirin oral atau intravena harus diberikan.Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin.Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:

1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi). 2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai beratbadan dan infus selama 3 hari. 3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, fondaparinuks intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jamkemudian. Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien. IKP “rescue” diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada. IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil.Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis inisial.Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil.Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam(PERKI, 2015). Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien STEMI: Langkah 1: Nilai waktu dan risiko

24



Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam dengan tanda dan gejala iskemik).



Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis.



Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang mampu melakukan IKP (<120 menit).

Langkah 2:Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk kasus tersebut. Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa penundaan, tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu. Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik: •

Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat halangan untuk strategi invasif.



Strategi invasif tidak dapat dilakukan. 

Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai



Kesulitan mendapatkan akses vascular



Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu melakukan IKP dalam waktu <120 menit



Halangan untuk strategi invasif  Transportasi bermasalah  Waktu antara Door-to-balloondanDoor-to-needlelebih dari 60 menit  Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloonlebih dari 90 menit.

Keadaan di mana strategi invasif lebih baik: •

Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan.  Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloonkurang dari 90 menit  Waktu antara Door-to-balloondan Door-to-needle kurang dari 1 jam



Risiko tinggi STEMI.  Syok kardiogenik  Kelas Killip ≥ 3



Kontra indikasi untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko perdarahan dan perdarahan intrakranial.



Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala.



Diagnosis STEMI masih ragu-ragu (PERKI, 2015).

25

Tabel 4. Kontra Indikasi Terapi Fibrinolitik

Tabel 5.Regimen Fibrinolitik untuk Akut Miokard Infark

Koterapi Antikogulan 1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced thrombocytopeniadengan terapi UFH berkepanjangan. 2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari pemberian. 3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH atau fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis. 4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut ini merupakan rekomendasi dosis: •

Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuaikebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah diberikan.

26



Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxaparin intravena 0,3 mg/kg.



Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/IIIa.

5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa (PERKI, 2015).

SUBBAGIAN KHUSUS Pria dan wanita harus mendapatkan penanganan yang sama. Namun demikian, wanita cenderung datang belakangan dan lebih sering memiliki gejala atipikal. Kecurigaan infark miokard yang tinggi harus dipertahankan untuk pasien wanita, diabetes, dan pasienpasien lanjut usia dengan gejala-gejala atipikal. Pasien lanjut usia sering datang dengan gejala ringan atau atipikal, yang sering menyebabkan diagnosis yang terlambat atau bahkan keliru(PERKI, 2015). Pasien lanjut usia juga memiliki risiko perdarahan yang lebih tinggi disertai komplikasi lainnya, mengingat kecenderungan fungsi ginjal yang menurun serta prevalensi komorbiditas yang tinggi pada kelompok ini. Pemberian dosis yang tepat perlu diperhatikan pada pemberian antitrombotik untuk pasien lanjut usia dan gagal ginjal. Disfungsi ginjal dapat ditemukan pada 30-40% pasien SKA dan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk serta peningkatan risiko perdarahan(PERKI, 2015). Keputusan pemberian reperfusi pada pasien STEMI seyogyanya dibuat sebelum tersedianya penilaianfungsi ginjal, namun laju filtrasi glomerulus perlu diperkirakan dari saat pasien datang, mengingat pasien SKA dengan PGK sering mengalami overdosis antitrombotik yang akan menyebabkan peningkatan risiko perdarahan. Untuk pasien-pasien dengan perkiraan klirens kreatinin <60 mL/menit, penyesuaian dosis aspirin, clopidogrel, ticagrelor,

fondaparinuks,

dan

heparin

yang

tidak

terfraksi

(dosis

bolus)

tidak

diperlukan.Sampai saat ini belum ada informasi mengenai dosis ticagrelor dan fondaparinuks untuk pasien yang menjalani dialisis.Untuk enoksaparin, dosis bolus tidak memerlukan penyesuaian, tetapi setelah trombolisis, pasien dengan klirens kreatinin <30 mL/menit hanya diberikan dosis subkutan sekali setiap 24 jam.Pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat (GFR 30-59 mL/menit), dosis infus inisial bivalirudin diturunkan menjadi 1,4 mg/kg/jam sedangkan dosis bolus tidak dirubah. Bivalirudin diindikasikontrakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal berat (GFR <30 mL/menit) dan pasien dialisis(PERKI, 2015).

27

Komplikasi STEMI  Disfungsi ventrikular Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non-infark. Proses ini disebut remodeling ventrikular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun.  Gangguan hemodinamik Pump failure merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada pasien STEMI. Perluasan nekrosis iskemik mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan mortilitas baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.  Syok kardiogenik Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk dan 90% terjadi selama perawatan.Biasanya pasien berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.  Infark ventrikel kanan Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferoposterior menunjukkan sekurangkurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan.  Aritmia pasca STEMI Insiden aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf otonom, gangguan elektrolit,iskemik, dan perlambatan konduksi di zona iskemik miokard.  Komplikasi mekanik Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, dan ruptur dinding ventrikel.  Perikarditis

Prognosis 1. Klasifikasi Killip, berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana: S3 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari. Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel dalam klasifikasi GRACE.

28

Tabel 6. Klasifikasi Killip

2. Klasifikasi Forrester, berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP). Tabel 7. Klasifikasi Forester

3. TIMI (Thrombolysis in Myocardial Infarction) risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien stemi yang mendapat terapi trombolitik (Alwi, 2006).

Tabel 8. TIMI Risk Score

4. GRACE (Global Registry of Acute Coronary Event) Klasifikasi GRACE mencantumkan beberapa variable, yaitu usia, kelas Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrestsaat tiba di ruang gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif, dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit.Untuk prediksi kematian di

29

rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%).Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%).Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi (>8%)(PERKI, 2015). Tabel 9.GRACE Risk Score

Gagal Jantung Gagal jantung adalah sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan kelainan struktur dan fungsi jantung. Berikut adalah kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantung : Kriteria mayor : 

Paroksismal nokturnal dispnea



Distensi vena leher



Ronki paru



Kardiomegali



Edema paru akut

30



Gallop S3



Peninggian tekanan vena jugularis



Refluks hepatojugular

Kriteria minor : 

Edema ekstremitas



Batuk malam hari



Dispnea d’effort



Hepatomegali



Efusi pleura



Penurunan kapasitas vital 1/3 dari orang normal



Takikardi(>120/menit)

Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Beratnya derajat gagal jantung dikategorikan dalam New York Heart Association (NYHA): NYHA 1 : Tidak ada keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari (tidak menyebabkan dispnea, kelelahan, atau palpitasi). NYHA 2 : Keterbatasan ringan dari aktivitas fisik : nyaman ketika beristirahat tetapi aktivitas fisik sehari-hari menyebabkan dispnea, kelelahan, ataupalpitasi. NYHA 3 : Keterbatasan berat dari aktivitas fisik : nyaman ketika istirahat tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari akan menimbulkan gejala. NYHA 4 : Tidak bisa melakukan aktivitas fisik tanpa ketidaknyamanan : gejala gagal

jantung

muncul

saat

istirahat

dan

meningkat

dengan

aktivitas

fisik apapun. Tingkatan gagal jantung berdasar pada struktur dan kjerusakan otot jantung berdasarkan American Heart Association (AHA): Stage A : Adanya resiko tinggi terjadinya gagal jantung, tidak teridentifikasi adanya kelainan struktur dan fungsi, tidak ada gejala dan tanda gagal jantung. Stage B : Terdapat perubahan strukturjantung yang berhubungan dengan perkembangan terjadinya gagal jantung, tetapi tanpa gejala dan tanda gagal jantung. Stage C : Terdapat gejala gagal jantung yang berhubungan dengan kelainan struktur penyakit jantung. Stage D : Kelainan struktur penyakit jantung lanjut dan terdapat gejala gagal jantung saat istirahat meskipun telah diberikan terapi yang maksimal. Hipertensi Saat ini hipertensi merupakan masalah kesehatan yang prevalensinya terus meningkat. Masih banyaknya pasien hipertensi yang belum mendapatkan pengobatan

31

maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi:

Gambar 7. Faktor yang Berpengaruh pada Pengendalian Tekanan Darah Pada umumnya penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Hipertensi adalah the silent killer. Penderita baru mempunyai keluhan setelah mengalami komplikasi. Diagnosis hipertensi : 1. Anamnesis 

Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah



Indikasi adanya hipertensi sekunder



Faktor-faktor resiko



Gejala kerusakan organ



Pengobatan antihipertensi sebelumnya



Faktor-faktor pribadi keluarga dan lingkungan

2. Pemeriksaan fisik Pengukuran tekanan darah dilakukan pada penderita yang dalam keadaan nyaman dan relaks dan dengan tidak tertutup/tertekan pakaian. 3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari: tes darah rutin, glukosa darah, kolesterol total serum, kolesterol LDL dan HDL serum, TG serum, asam urat serum, kreatinin serum, kalium serum, hemoglobin dan hematokrit, urinalisis dan EKG. 4. Pemeriksaan kerusakan target organ : jantung, pembuluh darah, otak, funduskopi retina, dan fungsi ginjal. Berikut adalah terapi farmakologis penderita hipertensi:

32

Tabel 10. Indikasi dan Kontraindikasi Obat Antihipertensi

Tabel 11.Tatalaksana Hipertensi menurut JNC 7

Tabel 12. Obat Antihipertensi Pada Kondisi Tertentu

33

DAFTAR PUSTAKA ACCF/AHA. 2013. Guideline on STEMI. Reperfusion Therapy for Patients with STEMI. ACCF/AHA. 2013. Guideline for The Management of ST-elevation Myocardial Infarction. J Am Coll Cardiol. 61:e78–140. Alderman EL et al. 1993. Five-year Angiographic Follow-up of Factors Associated with Progression of Coronary Artery Disease in the Coronary Artery Surgery Study (CASS). J Am Coll Cardiol. 22:1141–54. Alwi, Idrus. 2009. Infark Miokard dengan Elevasi segmen ST dalam Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, Interna Press Amsterdam EA, Wenger NK, Brindis RG, Casey Jr DE, Ganiats TG, Holmes Jr DR, Jaffe AS, Jneid H, Kelly RF, Kontos MC, Levine GN, Liebson PR, Mukherjee D, Peterson ED, Sabatine MS, Smalling RW, Zieman SJ. 2014. Journal of the American College of Cardiology. AHA/ACC Guideline for the Management of Patients With Non–ST-Elevation Acute Coronary Syndromes. Anderson JL et al. 2007. J Am Coll Cardiol 50 Arbab-Zadeh A et al. 2012. Acute Coronary Events. Circulation. 125:1147–56. Braunwald E et al. 2013. Unstable Angina: Is It Time for a Requiem?. Circulation;127:2452–2457. Breton CV et al. 2012. Childhood Air Pollutant Exposure and Carotid Artery Intima-media Thickness in Young Adults. Circulation. 26:1614–20. Burazerl G, Goda A, Sulo G, Stefa J, Roshi E, Kark J. 2007. Conventional Risk Factors and Acute Coronary Syndrome During a Period of Sosioeconomic Transition: Populationbased Case-control Study in Tirana, Albania. Croat Med J; 48:225 33. Casscells W et al. 2003. Vulnerable Atherosclerotic Plaque: a Multifocal Disease. Circulation. 107:2072–5. Charchar FJ et al. 2102. Inheritance of Coronary Artery Disease in Men: an Analysis of The Role of The Y Chromosome. Lancet. 379:915–22. Crea F et al. 2013. Pathogenesis of Acute Coronary Syndromes. J Am Coll Cardiol. 61:1– 11. Davis TM et al. 2013. Prognostic Significance of Silent Myocardial Infarction in Newly Diagnosed Type 2 Diabetes Mellitus: United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) 79. Circulation.;127:980–7. De Wood MA et al. 1980. Prevalence of Total Coronary Occlusion During The Early Hours of Transmural Myocardial Infarction. N Engl J Med. 303:897–902. ESC. 2012. Guidelines for The Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting without Persistent ST-segment Elevation. Eur Heart J. 32:2999–3054. ESC/ACCF/AHA/WHF. 2012. Expert Consensus Document. Third Universal Definition of Myocardial Infarction. European Heart Journal33 :2551–2567. Falk E et al. 2013. Update on Acute Coronary Syndromes: The Pathologists’ view. European Heart Journal. 34:719–28. Gold DR et al. 2013. New Insights Into Pollution and The Cardiovascular System: 2010 to 2012. Circulation. 127:1903–13. Grundy SM, Pasternak R, Greenland P, Smith S, Fuster V. 1999. Assessment of Cardiovascular Risk by Use of Multiple Risk Factor Assessment Equations. Circulation; 100: 1481-92.

34

Hulten EA et al. 2011. Prognostic Value of Cardiac Computed Tomography Angiography: a Systematic Review and Metaanalysis. J Am Coll Cardiol. 57:1237–47. Ivan Setiawan , Viera Wardhani , Djanggan Sargowo. 2011. Akurasi Fibrinogen dan Hs-CRP sebagai Biomarker pada Sindroma Koroner Akut. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 26, No. 4, Agustus Kaski JC et al. 1995. Rapid Angiographic Progression of Coronary Artery Disease in Patients with Angina Pectoris.Circulation. 92:2058–65. Kumar A, Cannon CP. 2009. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management, part I. Mayo Clin Proc. 84 :917–38. Laugsand LE, et al. 2011. Insomnia and The Risk of Acute Myocardial Infarction: a Population Study. Circulation. 124; 2073–81. Libby PL. 2013. Mechanisms of Acute Coronary Syndromes and Their Implications for Therapy. N Engl J Med. 268:2004–13. Mahajan VS, Jarolim P. 2011. How to Interpret Elevated Cardiac Troponin Levels. Circulation.; 124 :2350–4. Mizuno K et al. 1992. Angioscopic Evaluation of Coronary Artery Thrombi in Acute Coronary Syndromes. N Engl J Med. 326:287–91. Naik H, Sabatine MS, Lilly LS. 2011. Acute Coronary Syndrome. Dalam: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Narula J et al. 2013. Histopathologic Characteristics of Atherosclerotic Coronary Disease and Implications of The Findings for The Invasive and Noninvasive Detection of Vulnerable Plaques. J Am Coll Cardiol. 61:1–11. Nawrot TS et al. 2011. Public Health Importance of Triggers of Myocardial Infarction: a Comparative Risk Assessment. Lancet. 377:732–40. O’Gara, Patrick T et al. 2012. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of STElevation Myocardial Infarction: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association. Circulation. Pambudi D. 2011. Gambaran Profil Lipid dan Asam Urat pada Penderita Jantung Koroner di Poliklinik RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado Tahun 2006-2010. Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta : Centra Communications. Ramrakha P, Hill J. 2006. Oxford Handbook of Cardiology: Coronary Artery Disease. 1 st ed. Oxford : Oxford University Press. Reilly MP, et al. 2011. Identification of ADAMTS7 as a Novel Locus for Coronary Atherosclerosis and Association of ABO with Myocardial Infarction in The Presence of Coronary Atherosclerosis: Two Genome-wide association Studies. Lancet. 377:383–92. Schunkert H et al. 2011. Large-scale Association Analysis Identifies 13 New Susceptibility Loci for Coronary Artery Disease. Nat Genet. 43:333–8. Scirica BM et al. 2010. Relationship Between Non-sustained Ventricular Tachycardia After non-ST Elevation Acute Coronary Syndrome and Sudden Cardiac Death: Observations From The Metabolic Efficiency with Ranolazine for Less Ischaemia in Non-ST Elevation Acute Coronary Syndrome-thrombolysis In Myocardial Infarction 36 (MERLIN-TIMI 36) Randomized Controlled Trial. Circulation. 122:455–62. Shah BN et al. 2013. The Hibernating Myocardium: Current Concepts, Diagnostic Dilemmas, and Clinical Challenges in The post-STICH Era. Eur Heart J. 34:1323–36.

35

Shiel WC, Stoppler MC. 2008. Dalam: Webster’s New WorldTM Medical Dictionary, 3rd ed. New Jersey: Willey Publishing. Silvain J et al. 2011. Composition of Coronary Thrombus in Acute Myocardial Infarction. J Am Coll Cardiol. 57:1359–67. Tonne CWP et al. 2013. Long-term Exposure to Air Pollution is Associated with Survival Following Acute Coronary Syndrome. Eur Heart J. 34:1306–11. Torry, Stivano R. V., Panda, Lucia, Ongkowijaya, Jeffrey. 2014. Gambaran Faktor Risiko Penderita Sindrom Koroner Akut. Jurnal Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado, Vol. 2, No. 1 (2014). Tweet MSHS et al. 2012. Clinical Features, Management, and Prognosis of Spontaneous Coronary Artery Dissection. Circulation. 126:579–88. Wang K et al. 2003. ST-segment Elevation in Conditions Other Than Acute Myocardial Infarction. N Engl J Med. 349 :2128–35. World Health Organization. 2008. The Top Ten Causes of Death. Diakses dari: http://www.who.int/mediace ntre/factsheets/fs310_2008.pdf Vancraeynest D et al. 2011. Imaging The Vulnerable Plaque. J Am Coll Cardiol. 57:1961– 79. Yusuf S et al. 2004. Effect of Potentially Modifiable Risk Factors Associated with Myocardial Infarction in 52 Countries (The INTERHEART study): Case-control Study. Lancet. 364:937–52.

36

Related Documents

Stemi
April 2020 24
Stemi Anterior.docx
May 2020 17
Stemi Stuff
October 2019 24
Askep Stemi Kv.docx
November 2019 33
1 Page Notes : Stemi
October 2019 21

More Documents from "minci sensei"