Stbm 1.docx

  • Uploaded by: Rachmat Maulana
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Stbm 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,520
  • Pages: 19
A. Pengertian STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) STBM merupakan pendekatan dan paradigma pembangunan sanitasi di Indonesia yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat dan perubahan perilaku. STBM diadopsi dari hasil uji coba Community Led Total Sanitation (CLTS) yang telah sukses dilakukan di beberapa lokasi proyek air minum dan sanitasi di Indonesia, khususnya dalam mendorong kesadaran masyarakat untuk mengubah perilaku buang air besar sembarangan (BABS) menjadi buang air besar di jamban yang saniter dan layak. STBM ditetapkan sebagai kebijakan nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/MENKES/SK/IX/2008 untuk mempercepat pencapaian MDGs tujuan 7C, yaitu mengurangi hingga setengah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi pada tahun 2015. Selanjutnya, pada tahun 2025, diharapkan seluruh masyarakat Indonesia telah memiliki akses sanitasi dasar yang layak dan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat dalam kesehariannya, sebagaimana amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Indonesia 20052025.

Pendekatan STBM terdiri dari tiga komponen yang harus dilaksanakan secara seimbang dan komprehensif, yaitu: 1) peningkatan kebutuhan sanitasi, 2) peningkatan penyediaan sanitasi, dan 3) peningkatan lingkungan yang kondusif.

Penerapan STBM dilakukan dalam naungan 5 pilar STBM, yaitu 

Buang Air Besar Sembarangan (SBS),



Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS),



Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAMM-RT), 1



Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (PS-RT),



Pengelolaan Limbah Cair Rumah Tangga (PLC-RT).

Pengertian Lima Pilar STBM terdiri dari : 1. Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS) Suatu kondisi ketika setiap individu dalam komunitas tidak buang air besar sembarangan. 2. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) Perilaku cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir. 3. Pengelolaan Air Minum dan Makanan di Rumah Tangga (PAMMRT) Suatu proses pengolahan, penyimpanan dan pemanfaatan air minum dan air yang digunakan untuk produksi makanan dan keperluan oral lainnya, serta pengelolaan makanan yang aman di rumah tangga yang meliputi 6 prinsip Higiene Sanitasi Pangan: (1) Pemilihan bahan makanan, (2) Penyimpanan bahan makanan, (3) Pengolahan bahan makanan, (4) Penyimpanan makanan, (5)Pengangkutan makanan, (6) Penyajian makanan. 4. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Proses pengelolaan sampah yang aman pada tingkat rumah tangga dengan mengedepankan prinsip mengurangi, memakai ulang dan mendaur ulang. Pengelolaan sampah yang aman adalah pengumpulan, pengangkutan, pemprosesan, pendaurulangan atau pembuangan dari

2

material sampah dengan cara yang tidak membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan. 5. Pengelolaan Limbah Cair Rumah Tangga. Proses pengelolaan limbah cair yang aman pada tingkat rumah tangga untuk menghindari terjadinya genangan air limbah yang berpotensi menimbulkan penyakit berbasis lingkungan.

B. Penyelenggara Pelaksanaan 5 pilar STBM Penyelenggara pelaksanaan 5 pilar STBM adalah masyarakat, baik yang terdiri dari individu, rumah tangga maupun kelompok-kelompok masyarakat.

C. Manfaat pelaksanaan 5 pilar STBM Adanya lima pilar STBM akan membantu masyarakat untuk mencapai tingkat higiene yang paripurna, sehingga akan menghindarkan mereka dari kesakitan dan kematian akibat sanitasi yang tidak sehat. Perubahan perilaku pada pilar pertama, buang air besar pada tempat yang layak, merupakan pintu masuk bagi perilaku hidup bersih dan sehat lainnya yang ada pada pilar 2, 3, 4 dan 5.

D. Tujuan pelaksanaan 5 pilar STBM Dibaginya pelaksanaan STBM di bawah naungan lima pilar akan mempermudah upaya mencapai tujuan akhir STBM, tidak hanya untuk meningkatkan akses sanitasi masyarakat yang lebih baik tetapi juga merubah dan mempertahankan keberlanjutan praktik-praktik budaya hidup bersih dan sehat. Sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh sanitasi yang kurang baik, dan dapat mendorong tewujudnya masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan.

3

E. Sejarah Program Pembangunan Sanitasi Jauh sebelum Indonesia merdeka, program sanitasi sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan catatan pejabat VOC Dampier, pada tahun 1699 masyarakat Indonesia sudah terbiasa mandi ke sungaidan buang air besar di sungai dan di pinggir pantai, sedangkan pada masa itu, masyarakat di Eropa dan India masih menggunakan jalanjalan kota atau air tergenang untuk BAB.Di tahun 1892, HCC Clockener Brouson mencatat bahwa orang Indonesia terbiasa mandi 3 kali sehari, menggunakan bak, menyabun, membilas dan mengeringkan badannya. Pada akhir tahun 1800an, pemerintah Belanda sudah Membuat sambungan air ke rumah-rumah di kawasan komersial di Jakarta dan membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Bandung pada tahun 1916. Selanjutnya di tahun 1930, mantri higiene Belanda, Dr.Heydrick Melakukan kampanye untuk BAB di kakus. Dr. Heydrick sendiri dikenal Sebagai mantri kakus. Ditahun 1936, didirikanlah sekolah mantri higiene Di Banyumas. Siswa mendapatkan pendidikan 18 bulan sebelum mereka Diterjunkan ke kampung-kampung untuk mempromosikan hidup sehat Dan melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit. Setelah merdeka, pemerintah mencanangkan program Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga (SAMIJAGA) melalui Inpres No. 5/1974. Untuk mendapatkan sumber daya manusia dalam melaksanakan program-program tersebut, Kementerian Kesehatan mendirikan sekolah-sekolah kesehatan lingkungan, yang sekarang dikenal dengan

nama Politeknik Kesehatan

(Poltekes). Periode 1970-1997, pemerintah melakukan beragam program pembangunan sanitasi.

Program-program

tersebut umumnya dilakukan

dengan pendekatan keproyekan, sehingga faktor keberlanjutannya sangat rendah. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan rendahnya peningkatan akses sanitasi masyarakat. Hasil studi ISSDP mencatat hanya 53% dari 4

masyarakat Indonesia yang BAB di jamban yang layak pada tahun 2007, sedangkan sisanya BAB di sembarang tempat. Lebih jauh hal ini berkorelasi dengan tingginya angka diare dan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak bersih. Dengan mempertimbangkan kebutuhan keberlanjutan program dan tingkat keberhasilan yang ingin dicapai, pemerintah melakukan perubahan pendekatan pembangunan sanitasi, dari keproyekan menjadi keprograman. Pada tahun 2008, pemerintah mencanangkan program nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Secara ringkas, perbedaan pendekatan pembangunan sanitasi sebelum dan saat ini terlihat pada tabel di bawah ini:

5

F. Konsep STBM Konsep STBM diadopsi dari konsep Community Led Total Sanitation (CLTS) yang telah disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan di Indonesia. Sebelum memahami konsep dan prinsip STBM, berikut dijelaskan secara singkat konsep CLTS. CLTS adalah sebuah pendekatan dalam pembangunan sanitasi pedesaan dan mulai berkembang pada tahun 2001. Pendekatan ini awalnya diujicobakan di beberapa komunitas di Bangladesh dan saat ini sudah diadopsi secara luas di negara tersebut. Salah satu negara bagian di India yaitu Provinsi Maharasthra telah mengadopsi pendekatan CLTS ke dalam program pemerintah secara masal yang disebut dengan program Total Sanitation Campaign (TSC). Beberapa negara lain seperti Cambodia, Afrika, Nepal, dan Mongolia juga telah menerapkan CLTS. Pendekatan ini berawal dari sebuah penilaian dampak partisipatif air bersih dan sanitasi yang telah dijalankan selama 10 tahun oleh Water Aid. Salah

satu

rekomendasi

dari

penilaian

tersebut

adalah

perlunya

mengembangkan sebuah strategi untuk secara perlahan-lahan mencabut subsidi pembangunan toilet. Ciri utama pendekatan ini adalah tidak adanya subsidi terhadap infrastruktur (jamban keluarga), dan tidak menetapkan model standar jamban yang nantinya akan dibangun oleh masyarakat. Pada

dasarnya

membicarakan

CLTS

adalah

masalah subsidi”.

“pemberdayaan”

dan

“tidak

Artinya, masyarakat yang dijadikan

“guru” dengan tidak memberikan subsidi sama sekali. Gambaran tentang CLTS dapat diperoleh melalui film tentang implementasi CLTS di Propinsi Maharashtra di India dan pengembangan CLTS di Indonesia (Awakening).

6

Community Led (dipimpin masyarakat) tidak hanya dipakai dalam bidang sanitasi, tetapi dapat juga diterapkan dalam hal lain seperti dalam pendidikan, pertanian, dan lain-lain. Prinsip yang terpenting dari CLTS adalah: • Inisiatif masyarakat, • Total atau keseluruhan, keputusan masyarakat dan pelaksanaan secara olektif adalah kunci utama, • Solidaritas masyarakat (laki perempuan, kaya miskin) sangat terlihat dalam pendekatan ini. • Semua dibuat oleh masyarakat, tidak ada ikut campur pihak luar, dan biasanya akan muncul “natural leader”.

Dasar dari CLTS adalah tiga pilar utama Participatory Rural Appraisal (PRA), yaitu: 1. Attitude and Behaviour Change (perubahan perilaku dan kebiasaan) 2. Sharing (berbagi) 3. Method (metode)

Ketiganya merupakan pilar utama yang harus diperhatikan dalam pendekatan CLTS, namun dari ketiganya yang paling penting adalah “perubahan perilaku dan kebiasaan” (Attitude and Behavior Change)”, karena jika perilaku dan kebiasaan tidak berubah maka kita tidak akan pernah mencapai tahap “berbagi (sharing)” dan sangat sulit untuk menerapkan “metode” yang tepat. Perubahan perilaku dan kebiasaan tersebut harus total, dimana didalamnya meliputi perilaku personal atau individual, perilaku institusional atau kelembagaan dan perilaku profesional atau yang

berkaitan dengan

profesi. Salah satu perilaku dan kebiasaan yang harus berubah adalah perilaku fasilitator, diantaranya: 7

• Pandangan bahwa ada kelompok yang berada di tingkat atas (upper) dan kelompok yang berada di tingkat bawah (lower). Cara pandang “upperlower” harus dirubah menjadi “pembelajaran bersama”, bahkan menempatkan masyarakat sebagai “guru” karena masyarakat sendiri yang paling tahu apa yang terjadi dalam masyarakat itu. • Cara pikir bahwa kita datang bukan untuk “memberi” sesuatu tetapi “menolong” masyarakat untuk menemukan sesuatu. • Bahasa tubuh (gesture); sangat berkaitan dengan pandangan upper lower. Bahasa tubuh yang menunjukkan bahwa seorang fasilitator mempunyai pengetahuan atau keterampilan yang lebih dibandingkan masyarakat, harus dihindari. • Ketika perilaku dan kebiasaan (termasuk cara berpikir dan bahasa tubuh) dari fasilitator telah berubah maka “sharing” akan segera dimulai. Masyarakat akan merasa bebas untuk mengatakan tentang apa yang terjadi di komunitasnya dan mereka mulai merencanakan untuk melakukan sesuatu. Setelah masyarakat dapat berbagi, maka metode mulai dapat diterapkan. Masyarakat secara bersama-sama melakukan analisa terhadap kondisi dan masalah masyarakat tersebut. Dalam CLTS fasilitator tidak memberikan solusi. Namun ketika metode telah diterapkan (proses pemicuan telah dilakukan) dan masyarakat sudah terpicu sehingga diantara mereka sudah ada keinginan untuk berubah tetapi masih ada kendala yang mereka rasakan misalnya kendala teknis, ekonomi, budaya, dan lain-lain maka fasilitator mulai memotivasi mereka untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik, misalnya dengan cara

memberikan alternatif pemecahan masalah-

masalah tersebut. Tentang usaha atau alternatif mana yang akan digunakan, semuanya harus dikembalikan kepada masyarakat tersebut.

8

Konsep-konsep inilah yang kemudian diadopsi oleh STBM dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di Indonesia. Konsep STBM menekankan pada upaya perubahan perilaku yang berkelanjutan untuk mencapai kondisi sanitasi total melalui pemberdayaan masyarakat.

G. Tiga Komponen Pokok STBM Pendekatan STBM merupakan interaksi yang saling terkait antara ketiga komponen pokok sanitasi, yang dilaksanakan secara terpadu, sebagai berikut:

a. Peningkatan Kebutuhan dan Permintaan Sanitasi Komponen peningkatan kebutuhan dan permintaan sanitasi merupakan upaya sistematis untuk mendapatkan perubahan perilaku yang higienis dan saniter, berupa: • Pemicuan perubahan perilaku, • Promosi dan kampanye perubahan perilaku higiene dan sanitasi secara langsung, • Penyampaian pesan melalui media massa dan media komunikasi lainnya, • Mengembangkan

komitmen

masyarakat

dalam

perubahan

perilaku, • Memfasilitasi terbentuknya komite/ tim kerja masyarakat, • Mengembangkan mekanisme penghargaan terhadap masyarakat/ institusi melalui mekanisme kompetisi dan benchmark kinerja daerah.

9

b. Peningkatan Layanan Penyediaan/ Suplai Sanitasi Peningkatan penyediaan sanitasi yang secara khusus diprioritaskan untuk meningkatkan dan mengembangkan percepatan penyediaan akses dan layanan sanitasi yang layak dalam rangka membuka dan mengembangkan pasar sanitasi perdesaan, yaitu: • Mengembangkan opsi teknologi sarana sanitasi yang sesuai kebutuhan dan terjangkau, • Menciptakan dan memperkuat jejaring pasar sanitasi perdesaan, • Mengembangkan

kapasitas

pelaku

pasar sanitasi

termasuk

wirausaha sanitasi lokal, • Mempromosikan pelaku usaha sanitasi dalam rangka memberikan akses pelaku usaha sanitasi lokal ke potensi pasar (permintaan) sanitasi on site potensial. c. Penciptaan Lingkungan yang Kondusif. Komponen ini mencakup advokasi kepada para pemimpin pemerintah, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan dalam membangun komitmen bersama untuk melembagakan kegiatan pendekatan STBM yang diharapkan akan menghasilkan: • Komitmen pemerintah daerah menyediakan sumber daya untuk melaksanakan pendekatan STBM menyediakan anggaran untuk penguatan intitusi, • Kebijakan dan peraturan daerah mengenai program sanitasi seperti SK Bupati, Perda, RPJMD, Renstra, dan lain-lain, • Terbentuknya lembaga koordinasi yang mengarusutamakan sektor sanitasi, menghasilkan peningkatan anggaran sanitasi daerah, koordinasi sumber daya dari pemerintah maupun non-pemerintah, •

Adanya tenaga fasilitator, pelatih STBM dan kegiatan peningkatan kapasitas,

10

• Adanya sistem pemantauan hasil kinerja dan proses pengelolaan pembelajaran.

Komponen peningkatan kebutuhan dan permintaan sanitasi dapat dilaksanakan terlebih dulu untuk memberikan gambaran kepada masyarakat sasaran tentang resiko hidup di lingkungan yang kumuh, seperti mudah tertular penyakit yang disebabkan oleh makanan dan minuman yang tidak higienis, lingkungan yang kotor dan bau, pencemaran sumber air terutama air tanah dan sungai, daya belajar anak menurun, dan kemiskinan. Salah satu metode yang dikembangkan untuk peningkatan kebutuhan dan permintaan sanitasi adalah Community Led Total Sanitation (CLTS) yang mendorong perubahan perilaku masyarakat sasaran secara kolektif dan mampu membangun sarana sanitasi secara mandiri sesuai kemampuan.

Peningkatan layanan penyediaan sanitasi dilakukan untuk mendekatkan pelayanan jasa pembangunan sarana sanitasi dan memudahkan akses oleh masyarakat, menyediakan bebagai tipe sarana yang terjangkau oleh masyarakat dan opsi keuangan khususnya skema pembayaran sehingga masyarakat yang kurang mampu memiliki akses terhadap sarana sanitasi yang sehat. Pendekatan ini dapat dilakukan tidak hanya dengan melatih dan menciptakan para wirausaha sanitasi, namun juga memperkuat layanan melalui penyediaan berbagai variasi/ opsi jenis sarana yang dibangun, sehingga dapat memenuhi harapan dan kemampuan segmen pasar. Infomasi yang rinci, akurat dan mudah dipahami oleh masyarakat sangat diperlukan untuk mendukung promosi sarana sanitasi yang sehat yang dapat disediakan oleh wirausaha sanitasi dan hal ini dapat disebarluaskan melalui jejaring pemasaran untuk menjaring konsumen.

Kedua komponen tersebut dapat berinteraksi melalui mekanisme pasar bila mendapatkan dukungan dari pemerintah yang dituangkan dalam bentuk 11

regulasi, kebijakan, penganggaran dan pendekatan yang dikembangkan. Bentuk upaya tersebut adalah penciptaan lingkungan yang kondusif untuk mendukung kedua

komponen

berinteraksi.

Ada

beberapa

indikator

yang

dapat

menggambarkan lingkungan yang kondusif antara lain: •

Kebijakan,



Kelembagaan,



Metodologi pelaksanaan program,



Kapasitas pelaksanaan,



Produk dan perangkat,



Keuangan,



Pelaksanaan dengan biaya yang efektif,



Monitoring dan evaluasi.

H. KONSEP DASAR PEMICUAN a. Pengertian Pemicuan. Pemicuan adalah kegiatan bersama masyarakat untuk memfasilitasi masyarakat melakukan analisa terkait perilaku mereka dalam melakukan buang air besar. b. Maksud dan Tujuan Pemicuan Maksud pemicuan adalah masyarakat secara bersama-sama bisa menyadari bahaya kebiasaan buang air besar sembarangan dan merasa jijik melakukan kebiasaan BABS, meskipun mereka hanya melakukan BABS satu hari saja. Tujuannya adalah agar masyarakat mau berubah perilakunya dari buang air besar sembarangan menjadi buang air besar di jamban yang higienis dan layak. Sering kali dalam pemicuan, masyarakat berkomentar mengenai sulitnya mengubah kebiasaan BABS karena beberapa alasan klise seperti: Kita ini orang miskin dan tidak mampu untuk membangun 12

jamban. Apakah Anda bisa membantu untuk membangun jamban? kami akan berhenti melakukan BABS secepatnya dan

kami akan segera membangun

lubang, dll. Oleh karena itu pemicuan dilakukan bersama-sama sekelompok masyarakat agar masyarakat yang sudah terpicu dapat dengan cepat mengambil keputusan secara kolektif untuk menghentikan kebiasaan BABS.

c. Tahapan Kegiatan Pemicuan Kegiatan pemicuan dilakukan secara bertahap, yang terdiri dari tiga kegiatan utama yaitu kegiatan pra-pemicuan, saat pemicuan dan pasca pemicuan. Penjelasan lebih detail akan dijabarkan pada pokok bahasan berikutnya.

I. PRA PEMICUAN

a. Persiapan Teknis dan Logistik untuk Menciptakan Suasana Kondusif Sebelum Pemicuan Persiapan lapangan menjadi bagian yang terpisah dengan persiapan penyelenggaran pelatihan. Panitia/pelatih melakukan kunjungan kepada pemerintah daerah/desa/dusun yang akan digunakan sebagai lokasi praktek kerja lapangan dan menjelaskan secara rinci kegiatan yang akan dilaksanakan selama kunjungan lapangan Komponen yang perlu diketahui oleh pemerintah daerah/desa/ dusun antara lain: • Tanggal kunjungan lapangan dan jumlah peserta, • Kegiatan di lapangan yang meliputi pemberdayaan masyarakat melalui perubahan perilaku secara kolektif, keluaran yang diharapkan setelah praktik, produk yang akan diserah kepada pemerintah daerah/desa/ dusun untuk ditindaklanjuti, 13

• Peran dan tanggung jawab pemerintah daerah/desa/dusun pada waktu kegiatan dan tindak lanjutnya, Logistik yang disediakan. b. Observasi Kebiasaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Masyarakat Sebelum melakukan pemicuan di masyarakat, peserta hendaklah sudah memiliki informasi dan data-data dasar terkait perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat. Untuk itu peserta pelatihan sebaiknya sudah melakukan observasi (peninjauan) maupun diskusi dengan masyarakat di lokasi pemicuan untuk mendapatkan informasi. Beberapa informasi yang perlu dicari adalah: • Jumlah KK / kependudukan dibedakan kaya, sedang, miskin, • Pendidikan dan pekerjaan masyarakat setempat, • Kondisi geografis, • Kepemilikan jamban : cemplung terbuka, cemplung tertutup, leher angsa, • Ada tidaknya aliran sungai, kolam, rawa, • Tradisi/ budaya : karakter, tokoh masyarakat, • Ada tidaknya program sanitasi 3 tahun terakhir (proyek/pemberian subsidi jamban). c. Persiapan Pemicuan: Penyusunan Jadwal, Pemilihan Lokasi, dll. Pemicuan akan dilakukan secara berkelompok. Setiap kelompok akan terdiri dari minimal 6 orang peserta. Sebelum melakukan pemicuan kelompok hendaklah mempersiapkan diri dengan menyusun rencana kerja, menyusun panduan dan berlatih. Sebelum ke lapangan, kelompok bisa meminta wakil dari komunitas atau panitia untuk menjelaskan lokasi praktik lapang dan gambaran awal lokasi, dan rencana keberangkatan (waktu, perlengkapan yang harus dibawah, kendaraan, rute perjalanan, dll.).Setiap kelompok hendaknya memiliki anggota dan pembagian tugas sebagai berikut:  Fasilitator Utama; yang menjadi motor utama proses fasilitasi, 1 orang, 14

 Assisten Fasilitator: membantu fasilitator utama dalam memfasilitasi proses

sesuai

dengan

kesepakatan

awal

atau

tergantung

pada

perkembangan situasi,  Pencatat Proses; bertugas mencatat proses dan hasil untuk kepentingan dokumentasi /pelaporan program, • Penjaga Alur proses fasilitasi; bertugas mengontrol agar proses sesuai alur dan waktu, dengan cara mengingatkan fasilitator (dengan kode- kode yang disepakati) bilamana ada hal-hal yang perlu dikoreksi, • Penata Suasana/Pengaman; menjaga suasana ‘serius’ proses fasilitasi, misalnya dengan mengajak anak-anak bermain agar tidak mengganggu proses (sekaligus juga bisa mengajak mereka terlibat dalam kampanye sanitasi, misalnya dengan: menyanyi bersama, meneriakkan slogan, yelyel, dsb.), mengajak berdiskusi terpisah partisipan yang mendominasi atau mengganggu proses, dsb. d. Instrumen Pendukung untuk Melaksanakan Proses Pemicuan di Komunitas Urutan dalam fasilitasi sebenarnya tidak dibakukan, namun pemetaan sosial harus dilakukan pertama kali. Pemetaan sosial sebaiknya dilakukan di lahan (halaman) terbuka. Peta sosial yang dibuat masyarakat, kemudian digambarkan kembali di atas kertas plano. Pemicuan bisa dilakukan di ruang terbuka maupun tertutup, asal bisa mengoptimalkan rasa jijik, takut penyakit, berdosa, dll., yang bisa memicu masyarakat untuk berubah. Beberapa kegiatan bisa dilakukan pada proses pemicuan. Untuk pemicuan pilar 1 STBM, Stop Buang Air Besar Sembarangan, tim pemicu bisa mengajak masyarakat melakukan kegiatan mencari tinja, menghitung tinja, dan demonstrasi air yang terkena tinja. Untuk pilar 2 STBM, Cuci Tangan Pakai Sabun, tim pemicu bisa mengajak masyarakat bermain alur penularan penyakit (diagram F) dan simulasi cuci tangan pakai sabun. Tim pemicu bisa menyesuaikan kegiatan sesuai

15

dengan tujuan pemicuan yang akan dilakukan, baik untuk pilar 1, 2, 3, 4, ataupun 5. Sebelum melakukan pemicuan, tim pemicu perlu mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan, seperti tepung, dedak, botol air mineral,

puzzle simulasi

diagram F, sabun, ember, kertas metaplan, spidol, kertas potong, lem, dll. Peserta perlu mendiskusikan lebih detail dengan anggota kelompok mengenai alat yang diperlukan sesuai dengan kondisi dan rencana proses melakukan pemicuan di masyarakat.

J. LANGKAH-LANGKAH PEMICUAN a. Alur Penularan Penyakit (Diagram F) Laporan WHO tahun 2009 menyebutkan bahwa sekitar 1,1 juta anak usia di bawah lima tahun meninggal karena diare. Sementara UNICEF memperkirakan bahwa setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal karena diare. Kematian diare pada balita di negara-negara berkembang mencapai 1,5 juta jiwa. Data di Indonesia menunjukkan diare adalah pembunuh balita kedua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Di Indonesia setiap tahun 100.000 balita meninggal karena diare. Penyebab utama diare adalah bakteri Eschericia coli selanjutnya disingkat menjadi E. Coli. E. Coli adalah tipe bakteri fecal coliform yang biasanya terdapat pada alat pencernaan binatang dan manusia. Adanya E. Coli di dalam air adalah indikasi kuat adanya kontaminasi adanya kotoran manusia dan hewan.

16

b. Alat-Alat Utama Dalam Penerapan Penilaian Kondisi Desa Secara Partisipatif Implementasi STBM di masyarakat pada intinya adalah “pemicuan” setelah sebelumnya dilakukan analisa partisipatif oleh masyarakat itu sendiri. Untuk memfasilitasi masyarakat dalam menganalisa kondisinya, ada beberapa alat PRA yang diperlukan, seperti:  Pemetaan, yang bertujuan untuk mengetahui/melihat peta wilayah BAB masyarakat serta sebagai alat monitoring (pasca pemicuan, setelah ada mobilisasi masyarakat).  Transect Walk, bertujuan untuk melihat dan mengetahui tempat yang paling sering dijadikan tempat BAB. Dengan mengajak masyarakat berjalan ke sana dan berdiskusi di tempat tersebut, diharapkan masyarakat akan merasa jijik dan bagi orang yang biasa BAB di tempat tersebut diharapkan akan terpicu rasa malunya.  Alur Kontaminasi (Oral Fecal); mengajak masyarakat untuk melihat bagaimana kotoran manusia dapat dimakan oleh manusia yang lainnya.  Simulasi air yang telah terkontaminasi; mengajak masyarakat untuk melihat bagaimana kotoran manusia dapat dimakan oleh manusia yang lainnya.  Diskusi Kelompok Terfokus (FGD); bersama-sama dengan masyarakat melihat kondisi yang ada dan menganalisanya sehingga diharapkan dengan sendirinya masyarakat dapat merumuskan apa yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan. Pembahasannya meliputi:  FGD untuk menghitung jumlah tinja dari masyarakat yang BAB disembarang tempat selama 1 hari, 1 bulan, dan dalam 1 tahun.  FGD tentang privacy, agama, kemiskinan, dan lain-lain. Adapun alat PRA yang digunakan dalam proses monitoring, diantaranya:  Pemetaan dan skoring pemetaan, untuk melihat akses masyarakat terhadap tempat-tempat BAB (dengan cara membandingkan antara akses sebelum pemicuan dan akses yang terlihat pasca pemicuan dan tindak lanjut masyarakat).  Penilaian (rating scale) atau keyakinan (convenient), yang bertujuan untuk:

17

1. Melihat dan mengetahui apa yang dirasakan masyarakat (bandingkan antara yang dirasakan dulu ketika BAB di sembarang tempat dengan yang dirasakan sekarang ketika sudah BAB di tempat yang tetap dan tertutup). 2. Mengetahui apa yang masyarakat rasakan dengan sarana sanitasi yang dipunyai sekarang, dan hal lain yang ingin mereka lakukan Hal ini berkaitan dengan tangga sanitasi di masyarakat.

c. Elemen Pemicuan dan Faktor Penghambat Pemicuan Dalam pemicuan di masyarakat terdapat beberapa faktor yang harus dipicu sehingga target utama yang diharapkan dari pendekatan STBM yaitu: merubah perilaku sanitasi dari masyarakat yang masih melakukan kebiasaan BAB di sembarang tempat dapat tercapai. Secara umum faktor-faktor yang harus dipicu untuk menumbuhkan perubahan perilaku sanitasi dalam suatu komunitas, diantaranya:     

Perasaan jijik, Perasaan malu dan kaitannya dengan privacy seseorang, Perasaan takut sakit, Perasaan takut berdosa, Perasaan tidak mampu dan kaitannya dengan kemiskinan.

d. Yang Boleh Dan Tidak Boleh Dalam Pemicuan Dalam STBM, faktor penentu keberhasilan dan kegagalan (dapat diterapkan dan tidaknya) pendekatan ini sangat tergantung dari masyarakat. Meskipun bukan merupakan kesalahan fasilitator jika masyarakat “menolak” untuk mengimplementasikan pendekatan STBM dalam komunitas mereka, namun peran fasilitator sangat berpengaruh.Sehingga, ada beberapa hal yang harus dihindari oleh fasilitator dan beberapa hal yang sebaiknya dilakukan saat memfasilitasi masyarakat.

18

SUMBER : BUKU_KURMOD_PELATIHAN_DOSEN  Sejarah Sanitasi, Seri AMPL 23, www.ampl.or.i  Kemenkes RI, Film STBM, Jakarta: 2009. 

Kemenkes RI, Materi Advokasi STBM, Sekretariat STBM Nasional, Jakarta: 2012.

 Kemenkes RI, Buku Sisipan STBM: Kurikulum dan Modul Pelatihan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan, Jakarta: 2013.  Depkes RI, Film Tahapan Pemicuan CLTS, Kenongo, Jakarta: 2005,

19

Related Documents


More Documents from "Kevin Bran"