POLA PERESEPAN OBAT GASTRITIS DI PUSKESMAS PANDANWANGI MALANG
METODOLOGI PENMELITIAN
OLEH DICKI LUIS AFRIADO AKF 15229
AKADEMI FARMASI PUTRA INDONESIA MALANG
1
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Pada akhir-akhir ini, sudah banyak penyakit yang secara langsung dapat berpengaruh pada menurunnya derajat kesehatan masyarakat, salah satunya gangguan pada saluran pencernaan. Penyakit yang menyerang pada saluran pencernaan merupakan penyakit yang tingkat kejadiannya cukup tinggi, dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia maupun suku bangsa. Pada umumnya, ada berbagai hal yang dapat menjadi penyebab penyakit saluran pencernaan, misalnya tingkat stress yang tinggi, makan tidak teratur, minuman beralkohol, dan lain sebagainya (Nurheti, 2009). Gangguan pencernaan yang sering terjadi salah satunya adalah gastritis, atau biasa disebut dengan sakit maag. Bila menyebut sakit maag, organ dalam tubuh yang tertuju adalah lambung. Lambung adalah reservoir pertama makanan dalam tubuh. Sehingga resiko terjadinya gangguan pada lambung lebih besar dibandingkan dengan organorgan lain di dalam tubuh. Lambung merupakan organ dengan banyak penyakit, namun banyak kesulitan mendiagnosa karena gejala-gejala yang timbul kurang lebih sama (Hadi, S 2013). Gastritis terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor penyebab iritasi lambung atau disebut juga faktor agresif seperti HCl, pepsin, dan faktor pertahanan lambung atau faktor defensif yaitu adanya mukus bikarbonat. Penyebab ketidakseimbangan faktor agresif-defensif antara lain adanya infeksi Helicobacter pylori (H.pylori) yang merupakan penyebab yang paling sering (30– 60%), penggunaan obat-obatan yaitu obat golongan
3
Antiinflamasi Non-Steroid (OAINS), kortikosteroid, obat-obat anti tuberkulosa serta pola hidup dengan tingkat stres tinggi, minum alkohol, kopi, dan merokok (Ritias, dkk., 2000).
Dinegara barat seperti Amerika Serikat, tercatat kematian yang disebabkan gastritis mencapai 8-10 % setiap tahunnya dengan angka perbandingan 150 per 1000 populasi. Angka kejadian gastritis di Indonesia cukup tinggi, dari penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI angka kejadian gastritis di beberapa kota di Indonesia ada yang tinggi mencapai 91,6 % yaitu di kota Medan, lalu di beberapa kota lainnya seperti Jakarta 50 %, Denpasar 46 %, Palembang 35,5 %, Bandung 32,5 %, Aceh 31,7 %, Surabaya 31,2 % dan Pontianak 31,1 % (Sulastri dkk, 2012). Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2006 penyakit gastritis berada pada urutan kelima dari sepuluh penyakit terbanyak dengan jumlah kunjungan pasien terbanyak berobat ke rumah sakit dan puskesmas sebanyak 32,1% (44.971) kunjungan untuk semua umur Berdasarkan survei yang dilakukan pada masyarakat Jakarta tahun 2007 yang melibatkan 1.645 responden didapatkan bahwa pasien dengan masalah gastritis ini mencapai angka 60%. Dari data survei yang dilakukan oleh dinas kesehatan kota Malang didapatkan peningkatan jumlah penderita gastritis dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 didapatkan jumlah penderita gastritis dan tukak lambung sebesar 30.462 orang yang mencakup wilayah Malang dan sekitarnya. Rata-rata usia penderita gastritis yang terbayak pada usia 15 sampai 44 tahun. Bila di lihat secara garis besar insiden gastritis di kota Malang selalu menduduki peringkat 10 besar selama
4
5 tahun terakhir ini. Hal ini diperkuat dengan makin banyaknya penderita gastritis pada tahun 2009 (Dinkes Kota Malang, 2010). Pengobatan gastritis meliputi terapi konservatif dan medikamentosa. Terapi
konservatif meliputi perubahan pola hidup, mengatasi stres, tidak
merokok, berhenti minum alkohol, atau kopi. Terapi medikamentosa atau terapi farmakologis adalah terapi yang menggunakan obat – obatan. Terapi farmakologis meliputi obat – obatan yang menetralisir keasaman lambung seperti antasida, obat yang dapat mengurangi produksi asam lambung yaitu Antagonis Histamin-2 (AH2), Proton Pump Inhibitor (PPI), obat yang meningkatkan faktor defensif lambung yaitu Agonis Prostaglandin atau Sukralfat dan Antibiotik untuk eradikasi H.pylori (McQuaid, 2007). Pengobatan gastritis bertujuan untuk menghilangkan nyeri, menghilangkan inflamasi dan mencegah terjadinya ulkus lambung dan komplikasi. Berdasarkan patofisiologinya terapi farmakologi gastritis ditujukan untuk menekan faktor agresif dan memperkuat faktor defensif. Pada saat ini pengobatan ditujukan untuk mengurangi asam lambung. Selain itu pengobatan gastritis juga dilakukan dengan memperkuat
mekanisme
defensive
mukosa
lambung
dengan
obat-obat
sitoproteksi. Banyaknya pilihan obat yang digunakan untuk mengobati gastritis maka dalam hal ini kajian penggunan obat bertujuan untuk melihat golongan obat gastritis yang paling banyak digunakan. Dalam pengobatan gastritis biasanya juga digunakan terapi tunggal, namun ada beberapa yang menggunakan terapi kombinasi 2 jenis obat. Biasanya obat yang digunakan dalam terapi kombinasi diberikan berdasarkan derajat gastritisnya. Banyak penderita yang dapat
5
disembuhkan dengan pengobatan tersebut, tetapi banyak pula yang sukar disembuhkan (Irawati, 2012).
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah pola peresepan obat gastritis di puskesmas Mulyorejo Malang?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui pola peresepan obat gastritis di Puskesmas Mulyorejo Malang 1.3.2 Tujuan Khusus Mengetahui golongan obat, dosis obat, frekuensi penggunaan obat, aturan pakai obat, dan kombinasi obat yang digunakan pada pasien diagnosa gastritis
1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah mendriskripsikan pola peresepan obat gastritis berdasarkan data resep di puskesmas Mulyorejo Malang meliputi golongan/ kelas terapi obat, nama obat, dosis, frequensi, rute dan kombinasi obat.
1.5 Keterbatasan Penelitian 1.5.1 Penelitian ini dilakukan sebatas hanya melihat resep dan rekam medik pasien yang masuk ke puskesmas Mulyorejo Malang tanpa melihat pola hidup pasien.
6
1.6 Definisi Istilah 1.6.1 Pola peresepan adalah gambaran penggunaan obat secara umum atas permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dan dokter hewan kepada Apoteker untuk menyiapkan obat untuk pasien. 1.6.2 Eradikasi adalah pemusnahan total bagian tanaman yang terserang penyakit atau seluruh inang untuk membasmi suatu penyakit
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Gastritis Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung. Menurut Hirlan dalam Suyono (2006), gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain. Gastritis merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat akut, kronik difus atau lokal, dengan karakteristik anoreksia, perasaan penuh di perut (begah), tidak nyaman pada epigastrium, mual, dan muntah (Ardiansyah, 2010). Gastritis adalah inflamasi dari mukosa lambung ( Kapita Selecta Kedokteran,Edisi Ketiga hal 492).
Gastritis adalah segala radang mukosa
Ilmu Bedah,
Edisi
Gastritis
suatu
merupakan
Revisi keadaan
peradangan
lambung
( Buku Ajar
hal
749).
atau perdarahan mukosa
lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus atau local (Patofisiologi, Sylvia A Price hal 422). Gastritis adalah suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan sub mukosa lambung dan secara hispatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut. ( Imu Penyakit Dalam Jilid II). Jadi gastritis itu adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan erosi. Erosif karena perlukaan hanya pada bagian mukosa, bentuk berat dari gastritis ini adalah gastritis erosif atau gastritis
7
8
hemoragik. Pendarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan terjadi erosi yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa tempat.
2.2 Klasifikasi gastritis Secara garis besar, gastritis dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan pada manifestasi klinis, gambaran hispatologi yang khas, distribusi anatomi, dan kemungkinan patogenesis gastritis. Didasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Harus diingat, bahwa walaupun dilakukan pembagian menjadi akut dan kronik, tetapi keduanya tidak saling berhubungan. Gastritis kronik merupakan kelanjutan dari gastritis akut (Suyono, 2006). 2.2.1 Gastritis akut Gastritis akut merupakan peradangan pada mukosa lambung yang menyebabkan erosi dan perdarahan mukosa lambung akibat terpapar pada zat iritan. Erosi tidak mengenai lapisan otot lambung. Gastritis akut suatu penyakit yang sering ditemukan dan biasanya bersifat jinak dan sembuh sempurna (Suratum, 2010). Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar kasus merupakan penyakit yang ringan. Penyebab terberat dari gastritis akut adalah makanan yang bersifat asam atau alkali kuat, yang dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi. Pembentukan jaringan parut dapat terjadi akibat obstruksi pylorus (Brunner, 2006). Salah satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk penyakit yang berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik. Disebut gastritis hemoragik karena pada penyakit ini akan dijumpai perdarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan terjadi
9
erosi yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa tempat, menyertai inflamasi pada mukosa lambung tersebut (Suyono, 2006). a. Gastritis Akut Erosif Gastritis akut erosif adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan-kerusakan erosi. Disebut erosi apabila kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam dari pada mukosa muskularis. Penyakit ini dijumpai di klinik, sebagai akibat efek samping dari pemakaian obat, sebagai penyulit penyakit-penyakit lain atau karena sebab yang tidak diketahui. Perjalanan penyakit ini biasanya ringan, walaupun demikian kadang-kadang dapat menyebabkan kedaruratan medis, yakni perdarahan saluran cerna bagian atas. Penderita gastritis akut erosif yang tidak mengalami pendarahan sering diagnosisnya tidak tercapai. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus yang sering dirasakan tidak sesuai dengan keluhan penderita yang ringan saja. Diagnosis gastritis akut erosif, ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi biopsi mukosa lambung (Suyono, 2006). Penderita gastritis erosif yang disebabkan oleh bahan toksik atau korosif dengan etiologi yang dilakukan pada bahan kimia dan bahan korosif antara lain HCL, H2SO4, HNO3, Alkali, NaOH, KOH dan pemeriksaan klinis dapat ditemukan antara lain mulut, lidah nampak edema, dyspagia dan nyeri epigastrium,
juga
ditemukan
tanda
yaitu
mual,
muntah,
hipersalivasi,
hiperhidrosis dan diare sampai dehidrasi. Penatalaksanaan secara umum perhatiakan tanda-tanda vital, respirasi, turgor dan produksi urine serta tentukan jenis racun untuk mencari anekdote (Misnadiarly, 2009).
10
b. Gastritis Akut Hemoragik Ada dua penyebab utama gastritis akut hemoragik. Pertama diperkirakan karena minum alkohol atau obat lain yang menimbulkan iritasi pada mukosa gastrik secara berlebihan (aspirin atau NSAID lainnya). Meskipun pendarahan mungkin cukup berat, tapi pendarahan pada kebanyakan pasien akan berhenti sendiri secara spontan dan mortalitas cukup rendah. Kedua adalah stress gastritis yang dialami pasien di Rumah Sakit, stress gastritis dialami pasien yang mengalami trauma berat berkepanjangan, sepsis terus menerus atau penyakit berat lainnya (Suyono, 2006). Erosi stress merupakan lesi hemoragik majemuk pada lambung proksimal yang timbul dalam keadaan stress fisiologi parah dan tidak berkurang. Berbeda dengan ulserasi menahun yang biasa pada traktus gastrointestinalis atas, jarang menembus profunda kedalam mukosa dan tak disertai dengan infiltrasi sel radang menahun. Tanpa profilaksis efektif, erosi stress akan berlanjut dan bersatu dalam 20% kasus untuk membentuk beberapa ulserasi yang menyebabkan perdarahan gastrointestinalis atas, yang bisa menyebabkan keparahan dan mengancam nyawa. 2.2.2 Gastritis kronik Gastritis Kronik merupakan peradangan bagian mukosa lambung yang menahun. Gastritis kronik sering dihubungkan dengan ulkus peptik dan karsinoma lambung tetapi hubungan sebab akibat antara keduanya belum diketahui. Penyakit gastritis kronik menimpa kepada orang yang mempunyai penyakit gastritis yang tidak disembuhkan. Awalnya sudah mempunyai penyakit gastritis dan tidak disembuhkan, maka penyakit gastritis menjadi kronik dan susah untuk disembuhkan. Gastritis kronik terjadi infiltrasi sel-sel radang pada lamina propria
11
dan daerah intra epiteil terutama terdiri dari sel-sel radang kronik, yaitu limfosit dan sel plasma. Gastritis kronis didefenisikan secara histologis sebagai peningkatan jumlah limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung. Derajat ringan pada gastritis kronis adalah gastritis superfisial kronis, yang mengenai bagian sub epitel di sekitar cekungan lambung. Kasus yang lebih parah juga mengenai kelenjar-kelenjar pada mukosa yang lebih dalam, hal ini biasanya berhubungan dengan atrofi kelenjar (gastritis atrofi kronis) dan metaplasia intestinal. Sebagian besar kasus gastritis kronis merupakan salah satu dari dua tipe, yaitu: tipe A yang merupakan gastritis autoimun adanya antibody terhadap sel parietal yang pada akhirnya dapat menimbulkan atropi mukasa lambung, 95% pasien dengan anemia pernisiosa dan 60% pasien dengan gastritis atropik kronik. Biasanya kondisi ini merupakan tendensi terjadinya Ca Lambung pada fundus atau korpus dan tipe B merupakan gastritis yang terjadi akibat helicobacter pylory terdapat inflamasi yang difusi pada lapisan mukosa sampai muskularis, sehingga sering menyebabkan perdarahan dan erosi (Suratum, 2010). Klasifikasi histologi yang sering digunakan pada gastritis kronik yaitu: 1. Gastritis kronik superficial Gastritis kronik superfisial suatu inflamasi yang kronis pada permukaan mukosa lambung. Pada pemeriksaan hispatologis terlihat gambaran adanya penebalan mukosa sehingga terjadi perubahan yang timbul yaitu infiltrasi limfosit dan sel plasma dilamina propia juga ditemukan leukosit nukleir polimorf dilamina profia. Gastritis kronik superfisialis ini merupakan permulaan terjadinya gastritis kronik.
12
Seseorang diketahui menderita gastritis superficial setelah diketahui melalui PA antara lain: hiperemia, eksudasi, edema, penebalan mukosa, sel-sel limfosit, eosinofil dan sel plasma. Pemeriksaan klinis tidak jelas tetapi pasien mengalami mual, muntah, pain-foof-pain dan nafsu makan berkurang. Pasien gastritis superficial disarankan untuk istirahat total, mengkonsumsi makanan lunak dan simptomatis (Misnadiarly, 2009). 2. Gastritis kronik atrofik. Gastritik kronik atrofik yaitu sel-sel radang kronik yang menyebar lebih dalam disertai dengan distorsi dan destruksi sel kelenjar mukosa lebih nyata. Gastritis atrofik dianggap sebagai kelanjutan gastritis kronik superfisialis. Seseorang menderita atropi gastritis setelah menjalani PA dan diketahui, antara lain: mukosa tipis, muskularis atropi, kelanjar-kelenjar menurun dan adanya selsel limfosit. Pemeriksaan klinis, penderita mengalami epigastrik diskomfort, dyspepsia, lambung rasanya penuh, nafsu makan menurun, mual, muntah, anemia peniciosa, defisiensi Fe dan pellagra. Pengobatan yang harus dijalani adalah istirahat total, mengkonsumsi makan lunak dan mengkonsumsi vitamin B12, Fe, dan liver ekstrak (Misnadiarly, 2009). Menurut Misnadiarly (2009) gastritis diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk yaitu: a. Gastritis gastropati dengan keluhan umum nyeri pada ulu hati, mual, muntah dan diare. Penyebabnya obat-obatan seperti aspirin, alkohol, trauma pada lambung seperti pengobatan dengan laser, kelainan pembuluh darah pada lambung dan luka akibat operasi.
13
b. Gastritis spesifik yaitu nyeri pada ulu hati, mual dan muntah. Penyebabnya karena infeksi bakteri, virus, jamur, parasit, nematoda dan adanya penyakit pada saluran pencernaan. Bila disebabkan oleh toksin biasanya disertai dengan diare, nyeri perut, badan menjadi panas, menggigil, dan kejang otot. c. Gastritis kronis. Keluhan pada gastritis kronis pada umumnya tidak spesifik berupa perasaan tidak enak pada ulu hati yang disertai mual, muntah dan perasaan penuh dihati. Penyebabnya antara lain: infeksi C.Pylori, gastropati reaktif, autoimun, adanya tumor pada lambung dan faktor stress.
2.3 Patofisiologi Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan swasirna merupakan respons mukosa lambung terhadap berbagai
iritan
lokal.
Endotoksin
bakteri
(setelah
menelan
makanan
terkontaminasi), kafein, alkohol, dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi H. pylori lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme tersebut melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa pelindung, meninggalkan daerah epitel yang gundul. Obat lain juga terlibat, misalnya anti inflamasi nonsteroid (NSAID: misalnya indomestasin, ibuprofen, naproksen), sulfonamida, steroid, dan digitalis. Asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung. Apabila alkohol diminum bersama dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak dibandingkan dengan efek masing-masing agen tersebut bila diminum secara terpisah (Price & Wilson, 2002).
14
Menurut Dermawan dan Rahayuningsih (2010) patafisiologi gastritis yaitu mukosa barier lambung umumnya melindungi lambung dari pencernaan terhadap lambung itu sendiri, yang disebut proses autodigesti acid, prostaglandin yang memberikan perlindungan ini. Ketika mukosa barier ini rusak maka timbul gastritis. Setelah barier ini rusak terjadilah perlukaan mukosa dan kemudian diperburuk
oleh
histamin
dan
juga
stimulasi
saraf
colinergic. Kemudian HCL dapat berdifusi balik kedalam mucus dan menyebabkan luka pada pembuluh yang kecil, yang mengakibatkan tercadinya bengkak, perdarahan, dan erosi pada lambung. Alkohol, aspirin dan refluk isi duodenal diketahui sebagai penghambat difusi barier.
2.4 Epidemiologi Badan penelitian kesehatan WHO mengadakan tinjauan terhadap delapan negara dunia dan mendapatkan beberapa hasil persentase dari angka kejadian gastritis di dunia, dimulai dari negara yang angka kejadian gastritisnya paling tinggi yaitu Amerika dengan persentase mencapai 47% kemudian diikuti oleh India dengan persentase 43%, lalu beberapa negara lainnya seperti Inggris 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%, Perancis 29,5% dan Indonesia 40,8%. Penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh Depertemen Kesehatan RI angka kejadian gastritis di beberapa kota di Indonesia yang tertinggi mencapai 91,6% yaitu di kota Medan, lalu di beberapa kota lainnya seperti Surabaya 31,2%, Denpasar 46%, Jakarta 50%, Bandung 32,5%, Palembang 35,3%, Aceh 31,7% dan Pontianak 31,2%. Hal tersebut disebabkan oleh pola makan yang kurang sehat (Karwati, 2013). Berdasarkan laporan SP2TP tahun 2012 dengan kelengkapan
15
laporan sebesar 50% atau tujuh kabupaten kota yang melaporkan gastritis berada pada urutan kedua dengan jumlah kasus 134.989 jiwa (20,92% kasus) (Piero, 2014). Dari data survei yang dilakukan oleh dinas kesehatan kota Malang didapatkan peningkatan jumlah penderita gastritis dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 didapatkan jumlah penderita gastritis dan tukak lambung sebesar 30.462 orang yang mencakup wilayah Malang dan sekitarnya. Rata-rata usia penderita gastritis yang terbayak pada usia 15 sampai 44 tahun. Bila di lihat secara garis besar insiden gastritis di kota Malang selalu menduduki peringkat 10 besar selama 5 tahun terakhir ini. Hal ini diperkuat dengan makin banyaknya penderita gastritis pada tahun 2009 (Dinkes Kota Malang, 2010).
2.5 Etiologi Menurut Muttaqin(2011) Penyebab dari gastritis antara lain : 1. Obat-obatan, seperti obat antiinflamasi nonsteroid / OAINS (indometasin, ibuprofen, dan asam salisilat), sulfonamide, steroid, kokain, agen kemoterapi (mitomisin, 5-fluora-2-deoxyuriine), salisilat, dan digitalis bersifat mengiritasi mukosa lambung. 2. Minuman beralkohol ; seperti : whisky,vodka, dan gin. 3. Infeksi bakteri ; seperti H. pylor (paling sering), H. heilmanii, streptococci, staphylococci, proteus spesies, clostridium spesies, E. coli, tuberculosis, dan secondary syphilis. 4. Infeksi virus oleh Sitomegalovirus 5. Infeksi jamur ; candidiasis, histoplasmosis, dan phycomycosis.
16
6. Stress fisik yang disebabkan oleh luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal napas, gagal ginjal, kerusakan susunan saraf pusat, dan refluks ususlambung. 7. Makanan dan minuman yang bersifat iritan . makanan berbumbu dan minuman dengan kandungan kafein dan alkohol merupakan agen-agen iritasi mukosa lambung. 8. Garam empedu, terjadi pada kondisi refluks garam empedu ( komponen penting alkali untuk aktivasi enzim-enzim gastrointestinal) dari usus kecil ke mukosa lambungsehingga menimbulkan respon peradangan mukosa. 9. Iskemia, hal ini berhubungan dengan akibat penurunan aliran darah ke lambung. 10. Trauma langsung lambung, berhubungan dengan keseimbangan antara agresi dan mekanisme pertahanan umtuk menjaga integritas mukosa, yang dapat menimbulkan respon peradangan pada mukosa lambung.
2.6 Manifestasi klinis Manifestasi klinis pada psien dengan gastritis menurut Robbins (2009. Hal: 474) ialah sebagai berikut : a. Gastritis akut : gambaran klinisnya gastritis akut berkisar dari keadaan asimtomatik, nyeri abdomen yang ringan hingga nyeri abdomen akut dengan hematemesis
b. Gastritis kronis : gastritis kronis biasanya asimtomatik, kendati gejala nausea, vomitus atau keluhan tidak nyaman pada abdomen atas dapat terjadi; kadang
17
kadang, ditemukan anemia pernisiosa yang manifes. Hasil laboratoriumnya meliputi hipoklorhidria lambung dan hipergastrinemia serum. Resiko terjadinya kanker untuk jangka panjang adalah 2 (dua) persen hingga 4 (empat) persen.
2.7 Penatalaksanaan gastritis Tujuan utama dalam pengobatan gastritis adalah menghilangkan nyeri, menghilangkan inflamasi dan mencegah terjadinya ulkus lambung dan komplikasi. Berdasarkan patofisiologisnya terapi farmakologi gastritis ditujukan untuk menekan faktor agresif dan memperkuat faktor defensif. Sampai saat ini pengobatan ditujukan untuk mengurangi asam lambung yakni dengan cara menetralkan asam lambung dan mengurangi sekresi asam lambung. Selain itu pengobatan gastritis juga dilakukan dengan memperkuat mekanisme defensive mukosa lambung dengan obat-obat sitoproteksi (Dipiro, 2008). Penyembuhan penyakit gastiritis harus dilakukan dengan memperhatikan diet makanan yang sesuai. Diet pada penyakit gastritis bertujuan untuk memberikan makanan dengan jumlah gizi yang cukup, tidak merangsang, dan dapat mengurangi laju pengeluaran getah lambung, serta menetralkan kelebihan asam lambung. Secara umum ada pedoman yang harus diperhatikan yaitu : a. Makan secara teratur. Mulailah makan pagi pada pukul 07.00 Wib. Aturlah tiga kali makan makanan lengkap dan tiga kali makan makanan ringan. b. Makan dengan tenang jangan terburu-buru. Kunyah makanan hingga hancur menjadi butiran lembut untuk meringankan kerja lambung. c. Makan secukupnya, jangan biarkan perut kosong tetapi jangan makan berlebihan sehingga perut terasa sangat kenyang.
18
d. Pilihlah makanan yang lunak atau lembek yang dimasak dengan cara direbus, disemur atau ditim. Sebaiknya hindari makanan yang digoreng karena biasanya menjadi keras dan sulit untuk dicerna. e. Jangan makan makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin karena akan menimbulkan rangsangan termis. Pilih makanan yang hangat (sesuai temperatur tubuh). f. Hindari makanan yang pedas atau asam, jangan menggunakan bumbu yang merangsang misalnya cabe, merica dan cuka. g. Jangan minum minuman beralkohol atau minuman keras, kopi atau teh kental. h. Hindari rokok i. Hindari konsumsi obat yang dapat menimbulkan iritasi lambung, misalnya aspirin, vitamin C dan sebagaianya. j. Hindari makanan yang berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat, keju dan lain-lain). k. Kelola stres psikologi seefisien mungki (Misnadiarly, 2009).
2.8 Terapi farmakologi 2.8.1 Antagonis Reseptor H2 Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin. Meskipun antagonis histamin reseptor H2 menghambat histamin pada semua reseptor H2 namun penggunaan klinis utamanya ialah sebagai penghambat sekresi asam lambung (Mycek, 2001). Penggunaan obat antagonis reseptor H2 digunakan untuk
19
menghambat sekresi asam 22 lambung yang dikatakan efektif bagi menghambat sekresi asam nokturnal. Strukturnya homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya secara kompetitif memblokir perlekatan histamin pada reseptornya sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi bersifat reversibel (Finkel, 2009). 2.8.1.1 Ranitidin 1.
Indikasi Tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dispepsia
episodik kronis, tukak akibat AINS, tukak duodenum karena H.pylori, sindrom Zollinger-Ellison, kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat. (PIO Nas, 2015) 2.
Dosis dan aturan pakai Oral, untuk tukak peptik ringan dan tukak duodenum 150 mg 2 kali sehari
atau 300 mg pada malam hari selama 4-8 minggu, sampai 6 minggu pada dispepsia episodik kronis, dan sampai 8 minggu pada tukak akibat AINS (pada tukak duodenum 300 mg dapat diberikan dua kali sehari selama 4 minggu untuk mencapai laju penyembuhan yang lebih tinggi); ANAK: (tukak lambung) 2-4 mg/kg bb 2 kali sehari, maksimal 300 mg sehari. Tukak duodenum karena H. pylori, lihat regimen dosis eradikasi. Untuk Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), 150 mg 2 kali sehari atau 300 mg sebelum tidur malam selama sampai 8 minggu, atau bila perlu sampai 12 minggu (sedang sampai berat, 600 mg sehari dalam 2-4 dosis terbagi selama 12 minggu); pengobatan jangka panjang GERD, 150 mg 2 kali sehari. Sindrom Zollinger-Ellison (lihat juga keterangan di atas),
20
150 mg 3 kali sehari; dosis sampai 6 g sehari dalam dosis terbagi. (PIO Nas, 2015) 3.
Efek samping Takikardi (jarang), agitasi, gangguan penglihatan, alopesia, nefritis
interstisial (jarang sekali) (PIO Nas, 2015). 4.
Mekanisme kerja Ranitidin merupakan obat untuk saluran cerna yang menghambat reseptor H2
secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung. Pada pemberian ranitidin, sekresi asam lambung akibat obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin akan dihambat sampai 5 jam (Dinkes Kota Tasikmalaya). 2.8.2 PPI (Proton Pump Inhibitor) Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
Mekanisme kerja PPI adalah
memblokir kerja enzim K+H+ATPase (pompa proton) yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh regimen triple drugs (Finkel, 2009). Pada dosis standar baik lansoprazol atau omeprazol menghambat sekresi asam lambung basal dan sekresi karena rangsangan lebih dari 90%. Penekanan asam dimulai 1−2 jam setelah dosis pertama 24 lansoprazol dan lebih cepat
21
dengan omeprazol. Penelitian klinis sampai saat ini menunjukkan bahwa lansoprazol dan omeprazol lebih efektif untuk jangka pendek dibandingkan dengan antagonis H2. Omeprazol digunakan dengan berhasil bersama obat-obat anti mikroba untuk mengeradikasi kuman H. pylori (Mycek, 2009). 2.8.2.1 Lansoprazole 1. Indikasi Tukak duodenum dan tukak lambung ringan, refluks esofagitis. (PIO Nas, 2015) 2. Dosis dan aturan pakai Lansprazol 2x40 mg atau 1x60 mg (Finkel, 2009). Sediaan omeprazol adalah kapsul. Saat mengonsumsi omeprazol, kapsul harus ditelan utuh dengan air (kapsul tidak dibuka, dikunyah, atau dihancurkan). Sebaiknya diminum sebelum makan. Minum obat 30-60 menit sebelum makan, sebaiknya pagi hari (Anonim, 2012., Oktora, 2011). 3. Efek samping Efek samping obat golongan ini jarang, meliputi sakit kepala, diare, konstipasi, muntah, dan ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari penggunaan PPI (Lacy dkk, 2008). 4.
Mekanisme kerja Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H+ATPase (pompa
proton) yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor
22
agresif pepsin dengan pH >4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh regimen triple drugs (Finkel, 2009). 2.8.3 Sulkrafat 1. Indikasi Tukak lambung dan tukak duodenum (PIO Nas, 2015) 2. Dosis dan aturan pakai Tukak lambung dan duodenum serta gastritis kronis, 2 g 2 kali sehari (pagi dan sebelum tidur malam) atau 1 g 4 kali sehari 1 jam sebelum makan dan sebelum tidur malam, diberikan selama 4-6 minggu atau pada kasus yang resisten, bisa hingga 12 minggu; maksimal 8 g sehari; Profilaksis tukak akibat stres (suspensi), 1 g 6 kali sehari (maksimal 8 g sehari). Anak di bawah 15 tahun, tidak dianjurkan (PIO Nas, 2015). 3. Efek samping Konstipasi, diare, mual, gangguan pencernaan, gangguan lambung, mulut kering, ruam, reaksi hipersensitifitas, nyeri punggung, pusing, sakit kepala, vertigo, dan mengantuk, pembentukan bezoar (PIO Nas, 2015). 4. Mekanisme kerja Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap terjadinya erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin, sulkrafat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi lokal prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal (Parischa dan Hoogerwefh, 2008). 2.8.4 Koloid Bismuth
23
1. Indikasi Tukak lambung dan tukak duodenum ringan; lihat juga infeksi Helicobacter pylori (PIO Nas, 2015). 2. Dosis dan aturan pakai Tablet 2 kali sehari atau 1 tablet 4 kali sehari; diminum selama 28 hari selanjutnya 28 hari lagi jika diperlukan. Anak tidak direkomendasikan (PIO Nas, 2105) 3. Efek samping Dapat membuat lidah berwarna gelap dan feses kehitaman; mual dan muntah (PIO Nas, 2015). 4. Mekanisme kerja Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya terhadap rangsangan pepsin dan asam (Tarigan, 2001 dalam Muyassaroh,2009). 2.8.5 Analog Prostaglandin Misoprostol 2.8.5.1 Misoprostol 1. Indikasi Tukak lambung dan tukak duodenum, tukak karena AINS terutama pada pasien yang memiliki risiko tinggi mendapat komplikasi tukak lambung, seperti lansia dan penyakit yang melemahkan (debilitating). Diberikan selama terapi AINS. Namun, misoprostol tidak dapat mencegah tukak duodenum pada pasien yang minum AINS (PIO Nas, 2015). 2. Dosis dan aturan pakai
24
Tukak lambung dan duodenum serta tukak karena AINS, 800 mcg sehari (dalam 2-4 dosis terbagi) dengan sarapan pagi dan sebelum tidur malam; pengobatan harus dilanjutkan selama tidak kurang dari 4 minggu dan bila perlu dapat dilanjutkan sampai 8 minggu. Profilaksis tukak lambung karena AINS dan tukak duodenum, 200 mcg 2-4 kali sehari bersama AINS. Anak tidak dianjurkan (PIO Nas, 2015). 3. Efek samping Diare (kadang-kadang dapat parah dan obat perlu dihentikan, dikurangi dengan memberikan dosis tunggal tidak melebihi 200 mikrogram dan dengan menghindari antasida yang mengandung magnesium); juga dilaporkan nyeri abdomen, dispepsia, kembung, mual dan muntah, perdarahan vagina yang abnormal (termasuk perdarahaan intermenstrual, menorhagia, dan perdarahaan pascamenopouse), ruam, pusing (PIO Nas, 2015). 4. Mekanisme kerja Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa. Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya tukak gaster pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis 4 x 200 mg atau 2 x 400 mg pagi dan malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi otot uterus sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal hamil (Tarigan, 2001 dalam Putri, 2010) 2.8.6 Antasida Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik, membentuk garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung. Enzim pepsin
25
tidak aktif pada pH lebih tinggi dari empat, maka penggunaan antasida juga dapat mengurangkan aktivitas pepsin (Finkel, 2009). Antasida yang biasa digunakan adalah garam alumunium dan magnesium. Contoh seperti alumunium hidroksida (biasanya campuran Al(OH)3 dan alumunium oksidahidrat) atau magnesium hidroksida (MgOH2) baik tunggal ataupun dalam bentuk kombinasi. Garam kalsium yang dapat merangsang pelepasan gastrin maka penggunanaan antasida yang mengandung kalsium seperti pada Kalsium bikarbonat (CaCO3) dapat menyebabkan produksi tambahan. Absorbsi natrium bikarbonat (NaHCO3) secara sistemik dapat menyebabkan alkalosis metabolik sementara. Oleh karena hal tersebut, antasida tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang (Mycek, 2001). 1. Indikasi Untuk mengurangi gejala-gejala yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung, tukak lambung, tukak duodeni dengan gejala-gejala seperti mual, kembung dan perasaan penuh pada lambung (PIO Nas, 2015). 2. Dosis dan aturan pakai Dosis antasida yang diberikan sebanyak 3x500-1000 mg/hr (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Antasida dapat diminum saat menjelang tidur, pagi hari dan diantara waktu makan (Depkes, 2007). Obat ini memiliki 2 bentuk sediaan yaitu antasida DOEN I dan DOEN II. Antasida DOEN I terdiri dari kombinasi alumunium hidroksida 200 mg dan magnesium hidroksida 200 mg adalah tablet kunyah, sedangkan antasida DOEN II kombinasi dari alumunium hidroksida 200 mg/5 ml dan magnesium hidroksida 200 mg/5 ml adalah suspensi (Depkes, 2008).Golongan obat ini dalam pengkonsumsiannya memang harus dikunyah
26
terlebih dahulu, hal ini untuk meningkatkan kerja obat dalam menurunkan asam lambung (Oktora, 2011). 3. Efek samping Efek samping dari obat antasida bervariasi tergantung zat komposisinya. Alumunium hidroksida dapat menyebabkan konstipasi, sedangkan magnesium hidroksida dapat menyebabkan diare. Kombinasi keduanya dapat membantu menormalkan fungsi usus. Selain menyebabkan alkalosis sistemik, natrium bikarbonat melepaskan CO2 yang dapat menimbulkan sendawa dan kembung (Mycek, 2001). 4. Mekanisme kerja Mekanisme kerja dari antasida yaitu menetralisir atau menghambat produksi asam lambung berlebihan (Depkes RI, 2006
27
2.9 Kerangka konsep
Infeksi bakteri
Makanan
Obat- obat OAINS
stress
Minuman beralkohol
Dapat menyebabkan
GASTRITIS
Inflamasi Lambung
Terapi farmakologi
Antagonis Reseptor H2 Contoh : simetidin, ranitidin.
Sulkrafat
PPI (Proton Pump Inhibitor)
Koloid Bismuth
Contoh : omeprazol, lansoprazol, esomeprazol, pantoprazol, dan rabeprazol.
-golongan obat - dosis obat -frekuensi penggunaan obat -aturan pakai obat obat - -kombinasi obat
Antasida Contoh : Natrium bikarbona t,Mg(OH) 2, Al(OH)3.
Analog Prostaglandi (Misoprostol)
28
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional prosfektif dengan analisa deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mencatat dan menganalisa resep pasien gastritis yang masuk ke puskesmas Mulyorejo Malang pada bulan Maret 2017 sampai Mei 2017. Rancangan penelitian dibagi menjadi beberapa tahap, mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan dan pengolahan data. Tahap persiapan dimulai dengan menentukan variabel penelitian, lokasi penelitian, waktu penelitian, penentuan sampel kemudian menentukan metode penelitian. Tahap pelaksanaan yaitu mendokumentasikan resep pengobatan pasien gastritis yang masuk ke puskesmas Mulyorejo Malang, dan tahap akhir menganalisis data secara deskriptif dalam bentuk tabel.
3.2 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah resep pasien gastritis yang masuk ke puskesmas Mulyorejo Malang
Sampel penelitian adalah resep pasien gastritis yang masuk ke
puskesmas Mulyorejo Malang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi sebagai berikut : a. Resep dengan diagnosis gastritis b. Resep yang masuk pada bulan Maret 2017 sampai mei 2017 c. Resep yang ditulis lengkap sesuai dengan kaidah penulisan resep yang benar Kriteria eksklusi sebagai berikut : a. Resep pasien gastritis dengan rekam medik tidak lengkap
29
Untuk menentukan sampel apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua dari populasi data sementara. Jika subjeknya lebih besar dari 100 dapat diambil antara 20-25% (AriKunto2002).
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di puskesmas Mulyorejo Malang. Dan waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret 2017 sampai Mei 2017.
3.4 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini menggunakan standar atau acuan Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et al., 2006) dan Drug Information Handbook, 17th edition yang digunakan sebagai acuan penatalaksanaan penyakit gastritis.
3.5 Definisi Operasional Variabel Tabel 1.1 Definisi operasional variabel Variabel
Sub variabel
Definisi operasional variabel
Hasil ukur
30
Golongan obat
Penggolongan obat yang berdasarkan mekanisme kerjanya
Dosis Obat
Dosis obat adalah jumlah atau ukuran yang diharapakan dapat menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang mengalami gangguan Aturan pakai adalah cara penggunaan obat sebelum atau sesudah makan Frekuensi adalah interval pemberian obat yang diberikan
Pola peresepan obat pasien gastritis dan setelah diagnosa ditegakan
Aturan pakai
Frekuensi
Kombinasi obat
Persentase yang diperoleh dengan cara menghitung : jumlah kasus dibagi jumlah penderita (n) dikalikan 100%
Kombinasi obat adalah perpaduan obat yang di gunakan dalam terapi
3.6 Cara Pengumpulan Data Prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut : 1. Mengumpulkan resep pasien yang terdiagnosa penyakit gastritis 2. Mencatat pola peresepan pasien gastritis meliputi kelas terapi/golongan, dosis, aturan pakai, frekuensi, rute pemberian/bentuk sediaan dan kombinasi obat gastritis yang digunakan 3. Merekapitulasi terapi pasien gastritis yang telah didiagnosa 4. Menghitung presentase dari masing–masing sub variabel
3.7 Cara Pengolahan Data
31
Data yang dikumpulkan dalam bentuk persentase disajikan dalam bentuk tabel dan persentase, meliputi: Tabel 1.2 Penggolongan obat dan nama obat No
Nama obat
Golongan obat
Jumlah
Tabel 1.3 Dosis obat No
Nama obat
Dosis yang digunakan
1 2 3 4 5
Tabel 1.4 Aturan pakai pemberian obat No 1 2 3 4 5
Nama obat
Sesudah makan
Sebelum makan
32
Tabel 1.5 Frekuensi pemberian obat No
Nama obat
Frekuensi pemberian
1 2 3 4
Tabel 1.6 Kombinasi obat No 1 2 3 4
Nama obat
Kombinasi obat