Sosialisasi Feru.docx

  • Uploaded by: Fe Ru Fe Ro
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sosialisasi Feru.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,426
  • Pages: 9
Sosialisasi Peter Berger (1978) mencatat adanya perbedaan penting antara manusia dengan makhluk lain. Berbeda dengan makhluk lain yang seluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak awal hidupnya, maka di saat lahir manusia merupakan makhluk tak berdaya karena dilengkapi dengan naluri yang relative tidak lengkap. Oleh sebab itu, manusia kemudian mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri. Karena keputusan yang diambil seseorang atau kelompok dapat berbeda dengan yang lain maka kita menjumpai keanekaragaman kebiasaan kebiasaan. Keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tersebut harus dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan sosialisasi (socialization). Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society” proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyrakat (Berger, 1978:116). Definisi ini disajikannya dalam suatu pokok bahsan berjudul society in man; dari sini tergambar pandangannya bahwa melui sosialisasi masyarakat dimasukkan ke dalam manusia.. Menurut Berger dan sejumlah tokoh sosiologi yang akan dibahas, yang diajarkan melalui sosialisasi ialah peran-peran. Oleh sebab itu teori sosialisasi sejumlah tokoh sosiologi merupakan teori mengenai peran (role theory). PEMIKIRAN MEAD Salah satu teori peran yang dikaitkan dengan sosialisasi ialah teori George Herbert Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku Mind, Self, and Society (1972), mead menguraikan tahap pengembangan diri (self) manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead, pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap. Tahap play stage, game stage dan generalized other. Menurut Mead, setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peran-peran yang ada dalam masyarakat. suatu proses yang dinamakannya pengambilan peran (role taking). Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankannya serta peran yang

harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peran yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Pada tahap play stage, seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang yang berada disekitarnya lalu menirukan peran yang dijalankan orang tersebut. Namun, pada tahap ini sang anak belum sepenuhnya memahami isi peran-pera yang ditirunya itu. Sebagai contoh, seorang anak meniru ayah atau ibunya berangkat ke tempat kerja. Tetapi mereka tidak memahmi alasan ayah atau ibu untuk bekerja dan makna kegiatan yang dilakukan ayah atau ibu di tempat kerja. Pada tahan game stage, seorang anak tidak hanya telah mengetahui peran yang harus dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peran yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Misalnya, dalam suatu pertandingan sepak bola. Seorang anak bermain sebagai penjaga gawang. Ia mengetahui peran-peran yang dijalankan oleh para pemain lain (baik kesebelasan kawan maupun lawan), wasit, penjaga garis dan sebagainya. Jadi, dapat dikatakan bahwa pada tahap ini seseorang telah dapat mengambil peran orang lain. Pada tahap awal sosialisai, interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain. Biasanya anggota keluarga, terutama ayah dan ibu. Menurut Mead, orang yang penting dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant others. Pada tahap ketiga sosialisasi, seseorang dianggap telah mampu mengambil peran-peran yang dijalankan orang lain dalam masyarakat. mampu mengambil peran generalized other. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami perannya sendiri serta peran orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Jika seseorang telah mencapai tahap ini maka menurut Mead orang tersebut telah mempunyai suatu diri. Dari pandangan-pandangan Mead ini tampak jelas pendiriannya bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain. PEMIKIRAN COOLEY Pandangan lain yang juga menekankan pada peran interaksi dalam proses sosialisasi tertuang dalam buah pikiran Charles H. Cooley konsep diri (self-concept)seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini oleh Cooley diberi nama looking-glass self. Nama ini diberikan olehnya karena ia melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau

cermin memantulkan apa yang terdapat di depannya, maka menurut Cooley diri seseorang pun memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakt terhadapnya. Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap pertama, seseorang mempunyai presepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap berikutseseorang mempunyai presepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya. Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu (lihat Horton dan Hunt, 1984:94-97). Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang cenderung memperoleh nilai rendah (misalnya nilai D atau E) dalam ujian semesternya. Misalnya merasa bahwa dosen dalam jurusanya menganggapnya bodoh. Ia merasa pula bahwa karena ia dinilai bodoh maka ia kurang dihargai para dosennya. Karena merasa kurang dihargai, mahasiswa tersebut menjadi murung. Jadi disini perasaan seseorang mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan penilaiannya mengenai diri sendiri. Diri seseorang merupakan pencerminan penilaian orang lain (looking-glass self). Seseorang yang tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain karena kemampuan seseorang untuk mempunyai diri untuk berperan sebagai anggota masyarat tergantung pada sosialisasi. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak yang ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children). Giddens (1990) mengisahkan kasus anak-anak yang tidak disosialisasi dinamakan unsocialized children. Yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun 1900 ditemukan didesa saint-serin, perancis (The Wild Boy Of Avyron) dan kasus gadis berusia tiga belas tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak berusia satu setengah tahun; light, keller dan Calhoun (1989) mengisahkan kasus anna yang semenjak bayi dikurung ibunya dalam gudang selama lima tahun. Dari kasus-kasus tersebut terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berperilaku sebagai manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air besar-kecil dengan tertib, atau berbicara. Setelah berinteraksi dengan masyarakat lambat-laun anak-anak ini dapat mempelajari beberapa diantara kemampuan yang dimiliki manusia sebaya mereka, namun mereka tidak pernah tersosialisasi secara wajar dan cenderung meninggal pada usia muda.

Kasus terseebut memberikan gambaran mengenai apa yang terjadi bila seseorang tidak tersosialisasi dan menunjukkan bahwa meskipun disosialisasi namun kemampuan mereka tidak dapat menyamai kemampuan anak lain yang sebaya dengan mereka. AGEN SOSIALISASI Fuller dan Jacobs (1973:168-208) mengidentifikasi empat agen sosialisasi utama: Keluarga Pada awal kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Pada masyarakat yang mengenai system keluarga luas agen sosialisasi bisa berjumlah lebih banyak. Di kalangan lapisan menengan dan atas dalam perkotaan kita seringkali pembantu rumah tangga pun sering memegang peran penting sebagai agen sosialisasi anak, setidaknya pada tahp-tahap awal. Gertrude Jaeger (1977) mengemukakan peran para agen sosialisasi pada tahap awal ini terutama orang tua sangat penting. Sang anak sangat tergantung pada orang tua dana pa yang terjadi antara orang tua dan anak pada tahap ini jarang diketahui orang luar. Dengan demikian anak tidak terlindung terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang sering dilakukan orang tua terhadap mereka seperti penganiayaan, perkosaan dan sebagainya. Arti penting agen sosialisasi pertamapun terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant other pada tahap ini seorang pendengaran dan penglihatan tetapi juga melalui pancaindra lain, terutama sentuhan fisik. Kemampuan berbahasa ditanaman pada tahap ini. Sang anak mulai mempunyai diri. Mulai memasuki play stage dalam prosess pengambilan peran orang lain. Ia mulai mengidentifikasi diri sebagai anak laki-laki atau anak perempuan. Banyak ahli berpendapat bahwa kemampuankemampuan tertentu hanya dapat diajarkan pada periode tertenu saja dalam perkembangan fisik seseorang. Artinya, proses sosialisasi akan gagal bilamana dilaksanakn terlambat ataupun terlalu dini. Teman Bermain Setelah mulai berpergian, seorang anak memperoleh agen sosialisasi lain: teman bermain, baik yang terdiri atas kerabat maupun tetangga dan teman sekolah. Dalam keluarga, interaksi yang

dipelajari dirumah melibatkan hubungan yang tidak sederajat maka dalam kelompok bermain seorang anak belajar berinteraksi dengan orang yang sederajat karena sebaya. Pada tahap inilah seorang anak memasuki game stage mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang kedudukannya sederajat. Dalam kelompok bermain pulalah seorang anak mulai belajar nilai-nilai keadilan. Sekolah Agen sosialisasi berikutnya adalah system pendidikan formal. Disini seseorang mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya dalam keluarga ataupun kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada orang tuanya. Sejumlah ahli sosisologi memusatkan perhatian mereka pada perbedaan antara sosialisasi yang berlangsung dalam keluarga dengan sosialisasi pada system pendidikan formal. Robert Dreeben (1968) berpendapat bahwa yang dipelajari anak di sekolah di samping membaca, menyulis dan berhitung adalah aturan mengenai kemandirian, prestasi, universalisme dan spesifitas. Menurut Dreeben di sekolah seorang anak harus belajar untu mandiri. Kalau dirumah seorang anak dapat mengharapkan bantuan orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, maka disekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri degan penuh rasa tanggung jawab. Aturan kedua yang dipelajari anak melibat prestasi. Di sekolah, peran yang diraih dengan berprestasi merupakan peran yang menonjol. Kedudukan anak disuatu jenjang pendidikan tertentu atau peringkatnya dalam jenjang prestasi di dalam kelas, misalnya hanya dapat diraih melalui prestasi. Meskipun orang tua berperan dalam mendorong anak untuk berprestasi, namun menurut Dreeben peran sekolah masih lebih besar. Sekolah menuntut siswa untuk berprestasi, baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler. Kemampuan yang diperoleh serta keberhasilan maupu kegagalan yang dicapai menjadi dasar bagi penentuan peran di masa mendatang. Aturan ketiga yang dipelajari anak ialah aturan mengenai universalisme. Aturan ini merupaka lawan aturan mengenai partikularisme. Di sekolah, setiap siswa mendapat perlakuan sama. Berbeda dengan didalam keluarga yang mendapat perlakuan khusus. Perlakuan berbeda di

sekolah hanya dibenarkan bila didasarkan pada kelakuan siswa di sekolah apakah ia berkemampuan, bersikap dan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan sekolah. Sfesifisitas merupaka aturan keempat dan merupakan kebalikan dari kekaburan (diffuseness). Di sekolah, kegiatan siswa serta penilaian terhadap kelakuan mereka dibatasi secara spesifik. Kekeliruan yang dilakukan seorang siswa dalam mata ajaran matematika, misalnya sama sekali tidak mempengaruhi penilaian gurunya terhadap prestasinya dalam mata ajaran Bahasa Indonesia. Ia dapat memperoleh kegagalan yang disertai kritik dalam satu pelajaran tetapi meraih keberhasilan da memperoleh pujian dalam pelajaran berikutnya. Dari pandangan Dreeben kita dapat melihat bahawa sekolah merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat. sekolah memperkenalkan aturan baru yang diperlukanbagi anggota masyarakat, dan aturan baru tersebut seringberbeda dan bahkan dapat bertentangan dengan aturanyang dipelajari selama sosialisasi berlangsung anak di rumah. Media Masa Light, Keller dan Calhoun (1989) mengemukakan bahwa media masa yang terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik (radio, televise, film, internet) merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah besar orang. Peningatan teknologi yang memungkinkan peningkatan kualitas pesan serta peningkatan frekuensi penerpa masyarakkat pun memberi peluang bagi media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting. Kesadaran akan arti penting media massa bagi sosialisasi telah mendorong para pendidik untuk memanfaatkan media massa. Di banyak negara, misalnya televise digunakan untuk menayangkan siaran-siaran pendidikan yang bertujuan mempengaruhi pengetahuan, keterampilan dan sikap khalayak. Dari data yang ada, Fuller dan Jacobs menyimpulkan bahwa di amerika serikat televise menyita sejumlah besar waktu anak-anak banyak waktu daripada waktu yang diluangkannya di sekolah dan bahwa banyak diantara acara-acara televise yang di tonton anak merupakan acaraacara yang ditujukan untuk orang dewasa. Di kala membahas dampak siaran televise, Fuller dan Jacobs mengemukakan bahwa menurut studi bandura dan waiters sejumlah anak yang terterpa acara televise yang mengandung kekerasan dapat menampilkan perilaku keras dan agresif.

Kini kita masih belum mengetahui bagaimana sesungguhnya dampak televise terhadap perilaku anak-anak, namun temuan-temuan mengenai dampak televise dalam masyarakat lain memberikan cukup alasan untuk mengkaji dampak televise bagi para penonton. Fuller dan Jacobs (1973) mengemukakan bahwa dampak televise sebagai agen sosialisasi belum diketahui dengan pasti. Light, Keller dan Calhoun di pihak lain, mengemukakan bahwa menurut penelitian Robert Hodge dan David Tripp pada tahun 1966 televisi tidak memberikan pesan yang rancu dan saling bertentangan dan bahwa pesan televise membawa banyak dampak positif seperti merangsang interaksi, eksperimen dan pertumbuhan mental serta social anak (lihat Light, Keller, dan Calhoun, 1989:127-129). Dengan sendirinya agen sosialisasi yang ada dalam masyarakat tidak terbatas pada agenagen yang telah disebutkan Fuller dan Jacobs. KESEPADANAN PESAN AGEN SOSIALISASI BERLAINAN Apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi dalam masyarakat sepadan dan tidak saling bertentangan melainkan saling mendukung maka proses sosialisasi diharapkan dapat berjalan relative lancar. Namun dalam masyarakat yang didalamnya terdapat agen sosialisasi dengan pesan yang bertentangan dijumpai kecenderungan bahwa warga masyarakat yang menjalani proses sosialisasi sering mengalami konflik pribadi karena diombang ambingkkan oleh agen sosialisasi yang berlainan.konflik pribadi akan terjadi manakala seseorang disosialisasi karena mempelajari peran baru dan aturan dalam proses sosialisasi ini bertetangan dengan sosialisasi yang pernah dialaminya di masa lampau. Menurut Bronfenbrenner di Amerika Serikat peran orang tua dalam proses sosialisasi semakin menurun, sedangkan peran agen-agen sosialisasi lain seperti teman bermain yang cenderung menentang orang tua dan televise yang cenderung memupuk perilaku antisosial. Pola sosialisasi di Uni Soviet menampilkan kesepadanan antara pesan-pesan yang disampaikan oleh berbagai agen sosialisasi seperti keluarga, sekolah, dan lingkungan di luar sekolah yang menghasilkan perilaku prososial. SOSIALISASI PRIMER DAN SEKUNDER

Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam aitan ini para ahli berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi seperti sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialization after children), pendidikan sepanjang hidup (lifelong education), atau pendidikan berkesinambungan (continuing education). Light et al (1989:130) mengemukakan bvahwa setelah sosialisasi dini yang dinamakan sosialisasi primer kita menjumpai sosialisassi sekunder. Berger dan Luckmann (1967) mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat, sedangkan sosialisasi sekunder mereka mendefinisikan sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sector baru dari dunia objektif masyarakatnya (Berger dan Luckmann,1967:130). Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering dijumpai dalam masyarakat ialah apa yang dinamakanproses resosialisasi yang didahui dengan proses desosialisasi. Dalam proses desosialisasi seseorang mengalami “pencabutan” diri yang dimilikinya, sedangkan dalam proses resosisalisasi seseorang diberi suatu diri baru. Proses desosisalisasi dan resosialisasi ini sering dikaitkan dengan proses yang berlangsung dalam apa yang oleh Goffman dinamakan institusi total. Rumah tahanan, rumah sakit jiwa dan lembaga pendidikan militer merupakan contoh istitusi total. Seseorang yang berubah status dari bebas kemudian tahahn dan akhirnya menjadi narapidana mula-mula mengalami desosialisasi : ia harus menanggalkan busana bebas dan menggantinya dengan seragam tahanan; berbagai kebebasan yang semula dinikmatinya dicabut; berbagai milik pribadiya isita atau disimpan oleh penjaga; namanya mungkin tidak digunakan dan diganti dengan suatu nomor. Setelah menjalani proses yang cenderung membaawa dampak terhadap citra diri serta harga diri ini, ia kemudian menjalani resosialisasi dididik untuk menerima aturan dan nilai baru untuk mempunyai diri yang sesuai dengan keinginan mesyarakat (dengan alasan tersebut di Indonesia pada tahun 60-an nama penjara diubah menjadi lembaga pemasyarakatan). POLA SOSIALISASI Beberapa tahun yang lalu masyarakat kita dihebohkan oleh beberapa kasus hukuman fisik yang dilakukan orang tuaa terhadap anak mereka yag dinilai tidak mentaati perintah sehingga mengakibatkan kematian anak tersebut. Kasus ini merupakan contoh ekstrem satu pola sosialisasi

yang oleh jaeger (1977, dengan mengutip karya Bronfenbrenner dan kohn) dinamakan sosialisasi represif. Sosialisasi refrensif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Pola kedua yang disebutkan Jaeger ialah sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi ini merupakan pola yang didalamnya anak diberi imbalan manakala berperilaku baik; human dan imbalan bersifat simbolok; anak diberi kebebasan; penekanan diletakkan pada iteraksi; komunikasi bersifat lisan; anak menjadi pusat sosialisasi; keperluan anak dianggap penting; dan keluarga menjadi generalized other.

Related Documents

Sosialisasi Germas.docx
November 2019 42
Sosialisasi Feru.docx
May 2020 34
Sosialisasi Spc
June 2020 20
Sosialisasi Pemutihan
May 2020 26
Sosialisasi Germas.docx
November 2019 35

More Documents from "alfadillah rhoziana"

Sosialisasi Feru.docx
May 2020 34
T_temmuz
April 2020 12
T3_termo_wa.docx
May 2020 9
Yaz_okulu
May 2020 14
T_agustos
April 2020 11
T_aralik
April 2020 17