Sosbud Akulturasi.pdf

  • Uploaded by: HavidzaYholanda
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sosbud Akulturasi.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 1,093
  • Pages: 3
Kota Semarang merupakan ibu kota Propinsi Jawa Tengah yang terletak disebelah utara pulau Jawa, secara geografis kota Semarang bersebelahan dengan Kabupaten Kendal di sebelah barat, Kabupaten Ungaran di sebelah selatan dan sebelah timur terdapat Kabupaten Demak. Dari beribu – ribu penduduk semarang terdapat beraneka ragam budaya dan kekhasan masing-masing. Berkembang beberapa suku seperti Jawa, Tionghua dan Arab, serta memiliki budaya yang menarik yang merupakan perpaduan budaya-budaya yang dahulunya merupakan cikal-bakal Semarang. Merujuk pada bangunan sejarah dan nama-nama tempat di kota Semarang, maka kebudayaan yang pada saat lalu berkembang seperti Islam, Tionghua, Eropa dan Jawa (pribumi). Keempat kebudayaan tersebut berbaur yang berpengaruh penting pada perkembangan Semarang tempo dulu. Sisa kebudayaan tersebut masih berdiri dengan kokoh diterpa budaya modern yang berada disekitar contohnya Lawang Sewu,toko oen , kampung Pekojan , kampung Pecinan Budaya Belanda di Semarang Kami berkunjung ke Lawang Sewu dan toko oen yg kental akan budaya Belanda Lawang Sewu Lawang Sewu atau dalam bahasa Indonesia Pintu Seribu adalah Gedung megah yang dibangun di Era penjajahan Belanda.Yang sekarang ini menjadi salah satu Obyek Wisata kota Semarang. Lawang Sewu merupakan sebuah bangunan kuno peninggalan jaman belanda yang dibangun pada 1904. Semula gedung ini untuk kantor pusat perusahaan kereta api (trem) penjajah Belanda atau Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij (NIS). Gedung tiga lantai bergaya art deco (1850-1940) ini karya arsitek Belanda ternama, Prof Jacob F Klinkhamer dan BJ Queendag. Lawang Sewu terletak di sisi timur Tugu Muda Semarang, atau di sudut jalan Pandanaran dan jalan Pemuda. Disebut Lawang Sewu (Seribu Pintu), ini dikarenakan bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu. Toko Oen Kisah restoran tua ini dimulai tahun 1922 di Yogyakarta saat seorang ibu rumah bernama Liem Gien Nio menyalurkan keahliannya membuat makanan dan aneka macam panganan khas China dan Eropa. Ia pun kemudian membuka jasa katering dan menjualnya dengan pelanggan rata-rata kalangan orang Cina dan Belanda di kota Yogyakarta. Dengan rasa gurih dan lezat tak heran usahanya berkembang dan berlanjut dengan membuka Toko Oen di Semarang, Malang, dan Jakarta. Akan tetapi, keterbatasan anggota keluarga yang bersedia mengurus toko Oen membuat Toko Oen di Jakarta dan di Yogyakarta tutup. Sementara yang di Malang dijual kepada pihak lain. Toko Oen di Semarang berdiri pada 16 April 1936. Uniknya Toko Oen di Semarang tesebut justru berevolusi dari toko roti, kemudian menjual minuman, berdiri restoran sederhana, hingga akhirnya menjadi restoran lengkap berupa toko roti dan kue sekaligus toko es krim.

Saat ini Toko Oen Semarang dikelola oleh Yenny Megaputri, salah satu cucu dari Ibu Liem Gien Nio dan sudah bergulir ke generasi ke-4. Apabila Anda berjalan-jalan ke Belanda maka Toko Oen juga membuka pintunya di kota Delft dan Den Haag yang berdiri tahun 2000 Budaya Arab di Semarang Kampung Arab dan Masjid tertua Masjid Layur merupakan salah satu bangunan kuno berupa masjid tua di kota Semarang ini disebut pula Masjid Menara Kampung Melayu, dan merupakan peninggalan pedagang dari tanah Arab dan Gujarat yang pernah singgah di Semarang.

Bangunan Masjid sendiri tidak bergaya Arab sepenuhnya, tetapi memiliki lebih banyak unsur lokal. Lantai bangunan setangkup tersebut dinaikkan dan hanya dapat dicapai dengan tangga yang terdapat pada sisi muka. Walaupun sudah dimakan usia namun masjid ini masih kokoh dan masih digunakan oleh masyarakat sekitar untuk beribadah. Sampai sekarang masjid ini masih terus dirawat oleh yayasan masjid setempat sebagai upaya pelestarian sejarah dan sebagai masjid tua kebanggaan kota Semarang. Secara menyeluruh Masjid Layur masih asli seperti pertama kali dibuat, hanya ada sedikit perbaikan seperti penggantian genteng dan penambahan ruang untuk pengelola terdapat sisi kanan kompleks masjid. Dinamakan Kampung Melayu karena sudah merupakan tempat hunian pada tahun 1743 yang sebagian besar orang yang mendiami kawasan tersebut adalah orang melayu. Pada masa tersebut di kampung ini terdapat tempat untuk mendarat kapal dan perahu yang membawa barang dagangan. Lokasinya yang sangat strategis mengundang orang untuk bertempat tinggal disitu. Seperti kota lain di Indonesia, kota Semarang, Jawa Tengah juga memiliki daerah yang dahulu didiami mayoritas warga pendatang berdarah Arab dan Melayu. Di daerah yang letaknya dekat dengan Pasar Johar dan tak jauh dari stasiun tua Semarang Tawang itu juga berdiri Masjid Layur, masjid tertua di Semarang yang dibangun para pedagang dan ulama dari Yaman dan Gujarat sekitar pertengahan abad ke 17. Tercatat bahwa orang-orang dari Arab kemudian menempati kampung tersebut. Pada masa itulah kiranya masjid yang telah ada dikembangkan lagi dan memperoleh pengaruh yang dapat dilihat sampai sekarang. Berpengaruhnya orang Arab di situ diperkuat oleh catatan Liem (1930) yang menyebutkan bahwa usaha pendirian klenteng oleh masyarakat Cina yang tidak begitu banyak jumlahnya di kampung tersebut ditentang habis-habisan oleh penduduk keturunan Arab pada tahun 1900. Penambahan menara pada bagian depan masjid menyebabkan masjid juga terkenal dengan nama masjid menara. Budaya Tionghoa di Semarang Kampung Pecinan dan klenteng tertua

Kelenteng Siu Hok Bio | Jl. Wotgandul Timur No.38, berdiri tahun 1753 dan merupakan Klenteng tertua di Semarang Dewa Utama : Hok Tek Tjeng Sien (sebagai Dewa utama dari ajaran Tao) Klenteng ini terletak dalam posisi “tusuk sate” dari pertigaan jalan Wotgandul Timur dan jalan Gang Baru. Dalam ilmu Fengshui, tata letak seperti ini merupakan tempat buangan ch’i buruk, namun pembangunan Kelenteng ini bertujuan untuk menyerap dan menetralkan ch’i buruk tersebut agar kehidupan masyarakat di sekitarnya tidak terganggu. Klenteng Siu Hok Bio ini menghadap ke arah utara, yang sebenarnya bukan merupakan arah yang baik dalam pandangan feng shui. Tetapi Kelenteng ini memang sejak semula diarahkan menghadap ke laut yang terletak di sebelah utara karena menurut feng shui arah yang baik adalah arah yang menghadap ke laut, yang kalau di Cina terletak di selatan. Berhubung letak laut di Semarang di sebelah utara maka arah utara menjadi patokan arah yang baik yang disamakan dengan arah selatan (peta feng shui). Pintu klenteng terdiri dari satu panil yang berdaun ganda menyebabkan chi bisa masuk dan bersirkulasi secara leluasa . Pintu ini melambangkan keseimbangan. Pilar-pilar di dalam ruangan adalah pilar bulat untuk menghindari seng ch’i terpecah menjadi sha ch’i Penempatan altar pemujaan Dewa/Dewi di dalam kelenteng juga sesuai dengan aturan feng shui. Altar Dewa utama ditempatkan pada bagian tengah ruangan. Altar pemujaan untuk dewa/dewi yang lain ditempatkan pada sisi kiri atau kanan altar utama sesuai dengan jenjang dan kategori kedewaannya. Ada tiga Dewa yang dipuja di kelenteng ini yaitu Hok Tek Tjeng Sien (sebagai Dewa Utama dari ajaran Tao) disertai harimau peliharaannya Houw Tjang Koen, Kwan Sie Im Po Sat dan Kwan Seng Teng Koen atau Kwan Tee Koen. Lahan tempat klenteng berdiri berbentuk trapesium yang salah satu sisinya melebar kesamping. Bentuk lahan seperti ini menurut feng shui baik karena melebar pada bagian belakang (”ngantong”).

Related Documents


More Documents from "RatnaPuspitasari"

Sosbud Akulturasi.pdf
May 2020 13