Sop Jurnal Ok.docx

  • Uploaded by: Nurul Fuadah
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sop Jurnal Ok.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 11,917
  • Pages: 76
i

PEMBERIAN KOMPRES DINGIN TERHADAP PENURUNAN SKALA NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. P DENGAN FRAKTUR FEMUR 1/3 PROKSIMAL DEXTRA DI RUANG MAWAR 2 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

DISUSUN OLEH :

CHRISTY BUDI PUSPITASARI NIM. P.11074

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014

i

i

PEMBERIAN KOMPRES DINGIN TERHADAP PENURUNAN SKALA NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. P DENGAN FRAKTUR FEMUR 1/3 PROKSIMAL DEXTRA DI RUANG MAWAR 2 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan

DISUSUN OLEH :

CHRISTY BUDI PUSPITASARI NIM. P.11074

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 i

ii

ii

iii

iii

iii

iv

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN KOMPRES DINGIN TERHADAP PENURUNAN SKALA NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. P DENGAN FRAKTUR FEMUR 1/3 PROKSIMAL DEXTRA DI RUANG MAWAR 2 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA”. Dalam Penyusunan Karya Tulis ini penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta. 2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta. 3. Nurul Devi Ardiani, S.Kep.,Ns, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 4. S. Dwi Sulisetyawati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,

v

vi

perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 5. bc. Yeti Nurhayati, M.Kes, selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 6. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. 7. Ayah dan Ibu, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 8. Saudara serta keluarga tercinta, yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat dalam setiap proses yang dilalui penulis. 9. Teman-teman Mahasiswa Program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin.

vi

vii

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL..................................................................................... ........ i PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN ............................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. iii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iv KATA PENGANTAR ..................................................................................

v

DAFTAR ISI .................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ BAB I

BAB II

x

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.......................................................

1

B. Tujuan Penulisan..................................................................

4

C. Manfaat Penulisan................................................................

5

LANDASAN TEORI A. Fraktur Femur.......................................................................

6

B. Nyeri ........................................................................................ 17 C. Kompres Dingin ...................................................................... 27 BAB III

LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien ........................................................................ 30 B. Pengkajian ............................................................................... 30 C. Perumusan Diagnosa Keperawatan ......................................... 36

vii

viii

D. Intervensi Keperawatan.......................................................... 37 E. Implementasi Keperawatan.................................................... 38 F. Evaluasi................................................................................... 41 BAB IV

PEMBAHASAN A. Pengkajian.............................................................................. 44 B. Diagnosa Keperawatan........................................................... 47 C. Intervensi Keperawatan.......................................................... 49 D. Implementasi Keperawatan.................................................... 52 E. Evaluasi.................................................................................. 57

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan............................................................................. 60 B. Saran....................................................................................... 63

Daftar Pustaka Lampiran Daftar Riwayat Hidup

viii

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Skala Analog Visual ..................................................................... 24 Gambar 2.2 Skala Numerik .............................................................................. 25 Gambar 2.3 Skala Deskriptif ............................................................................ 25 Gambar 3.2 Genogram ...................................................................................... 31

ix

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah

Lampiran 2

Asuhan Keperawatan

Lampiran 3

Jurnal Asuhan Keperawatan

Lampiran 4

Log Book Kegiatan Harian

Lampiran 5

Format Pendelegasian Pasien

x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Semakin pesatnya kemajuan teknologi saat ini, memberikan berbagai kemudahan dengan tercapainya berbagai sarana dan prasarana dalam berbagai bidang. Sementara dibalik kemajuan tersebut, mengakibatkan sering terjadi berbagai kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan manusia terutama kecelakaan kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan fraktur atau patah tulang (Astutik dkk, 2011). Menurut Depkes RI (2007) dalam Nurdin (2013) Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta orang yang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah sekitar 46,2% dari insiden kecelakaan yang terjadi. Menurut laporan penelitian Moesbar (2007) dalam Astutik dkk (2011), kejadian fraktur di Indonesia periode tahun 2005 sampai dengan 2007 terdapat 864 kasus fraktur akibat kecelakaan lalu lintas yang datang berobat ke rumah sakit dari jumlah tersebut yang mengalami patah tulang pada anggota gerak bawah dari sendi panggul sampai ke jari kaki yaitu 549 kasus (63,5%), kemudian anggota gerak atas dari sendi bahu sampai ke jari tangan

1

2

sejumlah 250 kasus (28,9%) diikuti daerah tulang panggul sejumlah 39 kasus (4,5%) dan tulang belakang 26 kasus (3,1%). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi tersebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Rendy, M.C dan Margareth, 2012). Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis. Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur femur adalah nyeri yang hebat. Nyeri fraktur tersebut bersifat tajam dan menusuk karena terjadinya spasme otot (Muttaqin, 2008). Tournaire dan Theau-Yonneau (2007) dalam Judha, dkk (2012), mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan, baik sensori maupun emosional yang berhubungan dengan risiko atau aktualnya kerusakan jaringan tubuh. Klasifikasi nyeri ada dua, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariasi. Nyeri akut berlangsung dalam waktu singkat, kurang dari 6 bulan. Sedangkan nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu

3

periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (Andarmoyo, 2013). Terdapat dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non farmakologi. Manajemen farmakologi yaitu dengan memberikan obat – obatan analgesik, sedangkan manajemen non farmakologi yaitu di antaranya dengan mengajarkkan teknik distraksi, relaksasi, bimbingan antisipasi, dan terapi kompres dingin (Andarmoyo, 2013). Salah satu cara untuk menurunkan nyeri pasien fraktur secara non farmakologi adalah dengan memberikan kompres dingin pada area nyeri. Rasa nyeri bisa timbul hampir pada setiap area fraktur. Apabila tidak diatasi dapat menimbulkan efek yang membahayakan yang akan mengganggu proses penyembuhan dan dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu perlu penanganan yang lebih efektif untuk meminimalkan nyeri yang dialami oleh pasien. Perawat harus yakin bahwa tindakan mengatasi nyeri dengan kompres dingin dilakukan dengan cara yang aman (Khodijah, 2011). Hasil pengkajian yang dilakukan penulis saat di Ruang Mawar 2 RSUD Dr. Moewardi pada Tn. P dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra didapatkan data subyektif : nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 6, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan. Data obyektif : Ekstremitas bawah sebelah kanan terpasang traksi mulai dari lutut

4

sampai ujung kaki dengan beban 4 kg. Hasil rontgen pada ekstremitas bawah sebelah kanan menunjukkan adanya close fraktur transversal pada 1/3 femur proksimal dextra. Berdasarkan pengkajian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan aplikasi jurnal dalam asuhan keperawatan yang tertuang dalam Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Kompres Dingin Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Tn. P Dengan Fraktur Femur 1/3 Proksimal Dextra di Ruang Mawar 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.

B. Tujuan Penulisan 1.

Tujuan Umum Melaporkan pemberian kompres dingin terhadap penurunan skala nyeri pada Tn. P dengan Fraktur Femur 1/3 Proksimal Dextra di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. P dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra. b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. P dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra. c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Tn. P dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra. d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn. P dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra.

5

e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn. P dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra. f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian kompres dingin pada Tn. P dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra.

C. Manfaat Penulisan 1.

Bagi Pendidikan Hasil Karya Tulis Ilmiah ini sebagai sumber informasi bagi institusi pendidikan dalam pengembangan dan peningkatkan mutu pendidikan di masa yang akan datang.

2. Bagi Rumah Sakit Hasil Karya Tulis Ilmiah ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif terutama pada pasien dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra. 3.

Bagi Profesi Keperawatan Hasil Karya Tulis Ilmiah ini dapat menambah keterampilan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada pasien fraktur femur 1/3 proksimal dextra.

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Fraktur Femur 1. Definisi Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi tersebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Rendy, M.C dan Margareth, 2012). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer dan Bare, 2002). Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis (Muttaqin, 2008). Femur merupakan tulang terpanjang yang ada dalam tubuh manusia, fraktur tulang femur dapat terjadi mulai dari proksimal sampai distal. Untuk mematahkan batang femur pada orang

6

7

dewasa, diperlukan gaya yang besar. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria muda yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian. Biasanya klien ini mengalami trauma multipel (Helmi, 2012). 2. Etiologi Penyebab dari fraktur femur adalah sebagai berikut (Arif Muttaqin, 2008) : a. Benturan dan cidera atau trauma (jatuh pada kecelakaan) b. Kelemahan tulang akibat osteoporosis (pada orang tua), penderita kanker atau infeksi yang disebut fraktur patologis. c. Fraktur stress atau fatigue fraktur akibat peningkatan drastic latihan pada seorang atlit atau pada permulaan aktifitas fisik baru sehingga kekuatan otot meningkat secara lebih cepat dibandingkan kekuatan tulang. 3. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dari fraktur femur adalah sebagai berikut (M.Clevo Rendy dan Margareth, 2012) : a. Nyeri, setelah terjadi patah tulang akan mengakibatkan terjadinya spasme otot yang menambah rasa nyeri. Nyeri dapat timbul pada saat aktifitas dan hilang pada saat istirahat, atau terdapat nyeri tekan pada daerah fraktur (tenderness). b. Deformitas : perubahan bentuk tulang. c. Mungkin tampak jelas posisi tulang dan ekstremitas yang tidak alami.

7

8

d. Pembengkakan di

sekitar

fraktur

akan

menyebabkan proses

peradangan. e. Hilangnya fungsi anggota badan dan persendian terdekat. f. Dapat

terjadi gangguan sensasi

atau

rasa

kesemutan, yang

mengisyaratkan kerusakan syaraf. g. Krepitasi suara gemeretak akibat pergeseran ujung – ujung patahan tulang satu sama lain. 4. Patofisiologi Penyebab dari terjadinya fraktur antara lain karena adanya trauma dan kelemahan abnormal pada tulang. Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan batang femur individu dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria muda yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian. Biasanya klien ini mengalami trauma multiple yang menyertainya. Kondisi degenerasi tulang (osteoporosis) atau keganasan tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis tanpa riwayat trauma, memadai untuk mematahkan tulang femur. Kerusakan jaringan lunak di sekitar fraktur menimbulkan spasme otot sehingga menyebabkan nyeri yang sangat hebat (Muttaqin, 2012). 5. Komplikasi Komplikasi dari fraktur femur antara lain (M.Clevo Rendy dan Margareth, 2012) : a. Sindrom Kompartemen Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruangan tertutup di otot yang sering berhubungan dengan akuntansi cairan

9

sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. b. Sindrom emboli lemak (fat embolism syndrome) Merupakan keadaan pulmonary akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal hal ini terjadi ketika gelembung-gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelembung lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan kolusi pada pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala: Dyspnea, perubahan status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachypnea, tachycandia, demam, ruam kulit (petechie). c. Nekrosis avaskuler (nekrosis aseptik) Fraktur menganggu aliran darah ke salah satu fragmen sehingga fragmen tersebut kemudian mati. d. Trombo embolic complication Terjadi pada individu yang mobilisasi dalam waktu yang lama. e. Infeksi Paling sering menyertai fraktur terbuka dan dapat disebabkan melalui logam bidai. f. Delayed union-non union Sambungan tulang yang terlambat dan tulang patah yang tidak menyambung kembali.

10

g. Malunion Suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut atau miring. 6. Pemeriksaan Pemeriksaan diagnostik fraktur femur adalah sebagai berikut (Arif Muttaqin, 2008) : a. Pemeriksaan laboratorium 1) Hb dan Hct sedikit disebabkan perdarahan 2) LED meningkat bila kerusakan jaringan lemak sangat luas. 3) Peningkatan jumlah leukosit adalah respon stress normal setelah trauma. 4) Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang b. Pemeriksaan penunjang 1) Sinar X, untuk melihat gambaran fraktur deformitas 2) CT scan, memperlihatkan fraktur atau mendeteksi struktur fraktur, 3) Venogram, menggambarkan arus vaskularisasi 4) Radiograf, untuk menentukan integritas tulang 5) Antroskopi, untuk mendeteksi keterlibatan sendi 6) Angiografi, bila dikaitkan dengan cidera pembuluh darah 7) Konduksi saraf dan elektromigram, untuk mendeteksi cidera saraf 7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan fraktur femur antara lain (Arif Muttaqin, 2008) : a. Penatalaksanaan non farmakologis

11

1) Pembebanan fraktur di atas dan di bawah sisi cenderung sebelum memindahkan pasien. Pembebatan/pembidaian mencegah luka dan nyeri yang lebih jauh dan mengurangi adanya komplikasi. 2) Memberikan kompres dingin untuk menekan perdarahan, edema dan nyeri. 3) Meninggikan tungkai untuk menurunkan edema dan nyeri 4) Kontrol perdarahan dan memberikan penggantian cairan untuk mencegah syok bila perlu. 5) Pemasangan traksi untuk fraktur tulang panjang a) Traksi kulit : kekuatan diberikan pada kulit dengan busa karet, plester dan lain-lain. b) Traksi skelet : kekuatan yang diberikan pada tulang skelet secara langsung dengan menggunakan kawat pen. 6) Fiksasi eksternal untuk menstabilkan fraktur kompleks dan terbuka. b. Penatalaksanaan farmakologis 1) Anastetik lokal, analgesik narkotik, relaksan otot atau diberikan untuk membantu pasien selama prosedur reduksi tertutup. 2) Imobilisasi dilakukan dengan jangka waktu yang berbeda-beda. Fisioterapi untuk mempertahankan otot yang luka bila tidak dipakai dapat mengecil secara cepat. Setelah fraktur cukup sembuh, mobilisasi sendi dapat dimulai sampai ekstremitas betul-betul telah kembali normal. Fungsi penyangga badan (weight bearina) diperbolehkan setelah terbentuk cukup callus.

12

B. Asuhan Keperawatan Asuhan keperawatan pada pasien fraktur femur meliputi (Arif Muttaqin, 2012) : 1. Pengkajian a. Riwayat keperawatan 1) Perawat perlu menentukan: data identitas, riwayat terjadinya trauma (bila tidak ada riwayat trauma berarti fraktur patologis) dimana terjadinya trauma, jenis trauma, berat ringananya trauma. 2) Obat-obatan yang sering digunakan 3) Kebiasaan yang sering dilakukan 4) Nutrisi 5) Hoby atau pekerjaan b. Pemeriksaan fisik 1) Kaji seluruh sistem tubuh yang besar, kepala, dada, abdomen. 2) Inspeksi perubahan bentuk tulang, lokasi fraktur, gerakan pasien. 3) Integrasi kulit (laserasi kulit, perubahan warna, perdarahan, pembengkakan lokal). 4) Nyeri (berat dan tiba-tiba saat cidera, spasme/kram otot) 5) Neuro sensasi a) Hilangnya gerakan atau sensasi, spasme otot. b) Kesemuatan/parestesis c) Deformitas tulang d) Krepitasi

13

e) Terlihat kelemahan/hilangnya fungsi 2. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri

yang

berhubungan

dengan

kompresi

saraf,

kerusakan

neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respons nyeri, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang c. Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan pemasangan traksi kulit atau traksi tulang, penurunan kemampuan pergerakkan dan mobilisasi, kelemahan fisik d. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan luka pasca bedah, pemasangan traksi tulang dan fiksasi eksterna 3. Intervensi Keperawatan a. Nyeri

yang

berhubungan

dengan

kompresi

saraf,

kerusakan

neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam, nyeri berkurang atau beradaptasi. Kriteria hasil : Secara subyektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau beradaptasi. Intervensi : 1) Kaji skala nyeri Rasional

: nyeri merupakan respons subyektif yang dapat dikaji dengan menggunakan skala nyeri

14

2) Atur imobilisasi pada paha Rasional : mobilisasi yang adekuat

dapat

mengurangi

pergerakkan fragmen tulang yang menjadi penyebab utama nyeri pada paha 3) Lakukan pemasangan traksi kulit secara sistematis Rasional : traksi kulit dengan pengaturan posisi kontratraksi dapat menurunkan kompresi saraf sehingga dapat menurunkan respon nyeri 4) Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam ketika nyeri muncul Rasional

: meningkatkan asupan O3 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder akibat iskemia

5) Kolaborasi pemberian analgetik Rasional : analgesik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respons nyeri, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam, klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya. Kriteria hasil : Klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot, klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.

15

Intervensi : 1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi peningkatan kerusakan Rasional

:

mengetahui

tingkat

kemampuan

klien

dalam

melakukan aktivitas. 2) Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi Rasional

:

untuk

memelihara

fleksibilitas

sendi

sesuai

kemampuan 3) Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang sakit Rasional : gerakan aktif memberikan

massa,

tonus,

dan

kekuatann otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan 4) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien Rasional : peningkatkan

kemampuan

dalam

mobilisasi

ekstremitas dapat dicapai dengan latihan fisik dari ahli fisioterapi c. Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan pemasangan traksi kulit atau traksi tulang, penurunan kemampuan pergerakkan dan mobilisasi, kelemahan fisik Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam, risiko trauma tidak terjadi. Kriteria hasil : Klien mau berpartisipasi dalam pencegahan trauma, traksi dapat efektif dilaksanakan, tidak ada keluhan nyeri selama pemasangan traksi

16

Intervensi : 1) Pertahankan imobilisasi pada daerah paha Rasional

: meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan antara fragmen tulang dengan jaringan lunak di sekitarnya.

2) Jika terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut Rasional

:

mencegah

perubahan

posisi

dengan

tetap

mempertahankan kenyamanan dan keamanan 3) Pantau traksi Rasional

: kontratraksi harus dipertahankan agar traksi tetap efektif dan imobilisasi fraktur juga efektif

4) Evaluasi tanda/gejala perluasan jaringan Rasional : menilai perkembangan masalah klien 5) Kolaborasi pemberian obat antibiotik Rasional

: antibiotik bersifat bakteriosida/bakteriostatik untuk membunuh dan menghambat perkembangan kuman

d. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan luka pasca bedah, pemasangan traksi tulang dan fiksasi eksterna Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi infeksi. Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi pada luka operasi, pada sekitar traksi tulang, dan fiksasi eksterna Intervensi : 1) Kaji adanya tanda-tanda terjadinya infeksi

17

Rasional

: perawat harus memantau apabila terjadi peningkatan nyeri, edema, demam

2) Lakukan perawatan luka secara steril Rasional

: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi kontaminasi kuman

3) Pantau atau batasi kunjungan Rasional

: mengurangi risiko kontak infeksi dengan orang lain

4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi Rasional

: menunjukkan kemampuan secara umum dan merangsang pengembalian sistem imun.

5) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi Rasional

: satu atau beberapa agenis diberikan yang bergantung pada sifat patogen dan infeksi yang terjadi

C. Nyeri 1. Definisi Asosiasi Internasional untuk penelitian nyeri (International Association for The Study of Pain, IASP, 1979) sebagaimana dikutip dalam Suzanne C. Smeltzer (2002), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian – kejadian saat terjadi kerusakan. Melzack dan Wall (1988) dalam Judha, dkk (2012), mengatakan bahwa nyeri adalah pengalaman pribadi, subjektif, yang dipengaruhi oleh budaya, persepsi

18

seseorang, perhatian, dan variabel – variabel psikologis lain yang mengganggu perilaku berkelanjutan dan memotivasi setiap orang untuk menghentikan rasa tersebut. Tournaire dan Theau – Yonneau (2007) dalam Judha, dkk (2012), mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan, baik sensori maupun emosional yang berhubungan dengan risiko atau aktualnya kerusakan jaringan tubuh. Dari beberapa pengertian di atas akan sangat membantu perawat untuk memahami lebih jauh mengenai nyeri yang dirasakan sebagai dasar dalam melakukan pengkajian keperawatan dan dibuat suatu konsep nilai yang berkaitan dengan nyeri antara lain sebagai berikut : a. Nyeri hanya dapat dirasakan dan dapat digambarkan secara akurat oleh individu yang mengalami nyeri itu sendiri. b. Apabila seseorang mengatakan nyeri, dia benar – benar secara nyata merasakan nyeri walaupun mungkin perawat tidak menemukan adanya kerusakan pada tubuhnya. c. Nyeri menyangkut multi dimensional, baik fisik, psikis, emosional, kognitif, sosiokultural, maupun spiritual. d. Nyeri sebagai peringatan terhadap adanya ancaman yang bersifat aktual maupun potensial. 2. Klasifikasi a. Berdasarkan Durasi Berdasarkan durasinya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah

19

cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan (Andarmoyo, 2013). Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya (Potter dan Perry, 2005). 2. Berdasarkan Asal Nyeri diklasifikasikan berdasarkan asalnya dibedakan menjadi nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang dapat terjadi karena adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain – lain. Hal ini dapat terjadi pada nyeri post operatif dan nyeri kanker. Nyeri

neuropatik

merupakan

hasil

suatu

cedera

atau

abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perier maupun sentral. Nyeri ini bertahan lebih lama dan akan sulit diobati. Pasien akan mengalami nyeri seperti rasa terbakar (Andarmoyo, 2013).

20

3. Berdasarkan Lokasi Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasinya dibedakan menjadi sebagai berikut (Potter dan Perry, 2006) : a. Superficial atau Kutaneus Nyeri superficial adalah nyeri yang disebabkan stimulasi kulit. Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam. Contohnya tertusuk jarum dan luka potong kecil atau laserasi. b.

Viseral Dalam Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ – organ internal. Karakteristik nyeri bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Pada nyeri ini menimbulkan rasa tidak menyenangkan, dan berkaitan dengan mual atau gejala – gejala otonom. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul, atau unik tergantung organ yang terlibat. Contohnya sensai pukul seperti angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung.

c.

Nyeri Alih Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karena banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat dengan berbagai karakteristik. Contohnya nyeri yang terjadi pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang dan lengan kiri.

21

d. Radiasi Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh lain. Karakteristiknya nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh. Contohnya nyeri punggung bagian bawah akibat diskus intravertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik. 3. Respons Terhadap Nyeri a. Respons Fisiologis Menurut Smeltzer, S.C & Bare B.G (2002) dalam Andarmoyo (2013), respons fisiologis harus digunakan sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak sadar dan jangan digunakan untuk mencoba memvalidasi laporan verbal dari nyeri individu. Respons fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan hipotalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respons stress. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respons fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ dalam maka sistem saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi. Respons stimulasi simpatik contohnya peningkatan frekuensi denyut jantung, dilatasi pupit, dan peningkatan kadar glukosa darah.

22

Sedangkan

stimulasi

respons

parasimpatik

contohnya

pucat,

ketegangan otot, dan penurunan denyut jantung atau tekanan darah. e. Respons Perilaku Respons perilaku yang ditunjukkan oleh pasien sangat beragam. Meskipun respons perilaku pasien dapat menjadi indikasi pertama bahwa ada sesuatu yang tidak beres, respons perilaku seharusnya tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk mengukur nyeri kecuali dalam situasi yang tidak lazim (misal orang tersebut menderita retardasi mental yang sangat berat atau tidak sadar). Respons perilaku nyeri klien dapat dilihat melalui vokalisasi, ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan interaksi sosial (Potter dan Perry, 2006). 4. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri McCaffery dan Prasero (1999) dalam Prasetyo (2010), menyatakan bahwa hanya klienlah yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang ia rasakan. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap nyeri, faktor – faktor tersebut antara lain : a. Usia Usia dapat berpengaruh terhadap persepsi seseorang tentang nyeri. Toleransi terhadap nyeri meningkat sesuai dengan pertambahan usia, misalnya semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin bertambah pula pemahaman terhadap nyeri dan usaha mengatasinya.

23

b. Jenis Kelamin Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons

terhadap

nyeri.

Hanya

saja

beberapa

kebudayaan

memengaruhi jenis kelamin dalam memakni nyeri, misal : menganggap bahwa anak laki – laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter dan Perry, 2006). c. Kebudayaan Keyakinan dan nilai – nilai kebudayaan memengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Potter dan Perry, 2006). d. Gaya Koping Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri. Penting untuk memahami sumber – sumber kopinh klien selama ia mengalami nyeri. Sumber - sumber seperti berkomunikasi dengan keluarga pendukung melakukan latihan atau menyanyi dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan sebagai upaya mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu (Potter dan Perry, 2006) e. Dukungan Keluarga Sosial Faktor lain yang bermakna memengaruhi respons nyeri ialah kehadiran orang – orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap

24

klien. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung pada anggota keluarga terdekat atau teman terdekat untuk mendapat dukungan, bantuan dan perlindungan (Potter dan Perry, 2006). 5. Penilaian Respons Intensitas Nyeri Menurut Tamsuri (2007) dalam Khodijah (2011), intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual serta kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri. Penilaian Intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala sebagai berikut : b. Skala Analog Visual

Gambar 2.1 Skala Analog Visual

Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) adalah suatu garis lurus/horizontal sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan

25

nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada dipaksa memilih satu kata atau angka (Potter dan Perry, 2006). c. Skala Numerik

Gambar 2.2 Skala Numerik

Skala penilaian numeric (Numerical Rating Scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik (Potter dan Perry, 2006). d. Skala Deskriptif

Gambar 2.3 Skala Deskriptif

26

Keterangan : 0

: tidak ada nyeri.

1-3 : nyeri ringan, secara obyektif klien mampu berkomunikasi dengan baik. 4-6: nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dan dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-9: nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah

tapi

masih

merespon

terhadap

tindakan,

dapat

menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas panjang, maupun distraksi. 10 : nyeri sangat berat, klien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, respon memukul. Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsian verbal, (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang diarasakan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Potter dan Perry, 2006). 6 . Penatalaksanaan Nyeri Menurut Potter dan Perry (2006), penatalaksanaan nyeri dapat dibagi menjadi dua cara, yaitu :

27

a. Manajemen farmakologis 1) Analgesik narkotik 2) Analgesik non narkotik b. Manajemen non farmakologis 1) Bimbingan antisipasi 2) Terapi es dan panas / kompres panas dan dingin 3) Distraksi 4) Relaksasi 5) Imajinasi terbimbing 6) Hipnosis 7) Akupuntur 8) Umpan balik biologis 9) Masase 10) Kompres Dingin

D. Kompres Dingin 1. Definisi Kompres dingin adalah memberi rasa dingin pada daerah setempat dengan menggunakan kain yang dicelupkan pada air dingin atau air es sehingga memberi efek rasa dingin pada daerah tersebut. Tujuan memberikan kompres dingin adalah menghilangkan rasa nyeri akibat oedema atau trauma, mempersempit pembuluh darah, mengurangi arus darah lokal, dan menurunkan respon inflamasi jaringan (Istichomah, 2007).

28

Kompres dingin dapat dilakukan di dekat lokasi nyeri atau di sisi tubuh yang berlawanan tetapi berhubungan dengan lokasi nyeri, hal ini memakan waktu 5 sampai 10 menit. Pengompresan di dekat lokasi aktual nyeri cenderung memberi hasil yang terbaik. Seorang klien yang mengalami sensasi dingin akan merasakan nyeri seperti terbakar, dan sakit serta baal. Apabila klien merasakan baal, maka es harus diangkat (Potter dan Perry, 2005). 2. Indikasi dan Kontraindikasi Penggunaan kompres dingin diindikasikan pada (Tamsuri, 2007) : a. Fraktur b. Gigitan serangga c. Perdarahan d. Spasme otot e. Arthritis rheumatoid f. Pruritis g. Sakit kepala Penggunaan kompres dingin dikontraindikasikan pada : a. Penyakit reinaud b. Alergi dingin Untuk memberikan efek terapeutik yang diharapkan (mengurangi nyeri), sebaiknya suhu tidak terlalu dingin (±12°C), karena suhu yang terlalu dingin selain memberikan rasa yang tidak nyaman juga dapat menyebabkan frostbite / membeku (Tamsuri, 2007).

29

3. Prosedur Pemberian Kompres Dingin Prosedur pemberian kompres dingin adalah sebagai berikut (Kusyati, 2006) : a. Persiapkan alat : 1) Baki 2) Baskom kecil berisi air dingin / air es 3) Pengalas (perlak) 4) Beberapa buah waslap / kain kasa b. Berikan penjelasan kepada klien mengenai perasat yang akan dilakukan c. Bawa alat – alat ke dekat klien d. Pasang sampiran, jika perlu e. Cucitangan f. Pasang perlak pengalas di bawah bagian yang akan dikompres g. Masukkan waslap ke dalam air dingin / air es dan peras sampai lembab h. Ganti waslap setiap kali dengan waslap yang sudah terendam dalam air dingin / air es, ulangi sampai nyeri berkurang i. Rapikan klien jika perasat sudah selesai j. Bereskan alat – alat k. Cuci tangan l. Dokumentasikan

BAB III LAPORAN KASUS

Pada bab ini penulis menjelaskan tentang aplikasi jurnal Pemberian Kompres Dingin Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Tn. P Dengan Fraktur Femur 1/3 Proksimal Dextra Di Ruang Mawar 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Asuhan keperawatan pada Tn. P meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi sesuai masalah keperawatan, implementasi yang telah dilakukan dan evaluasi. Pengkajian dilakukan pada tanggal 07 April 2014 pukul 08.30 WIB dengan menggunakan metode autoanamnesa dan alloanamnesa.

A. Identitas Pasien Hasil pengkajian diperoleh data antara lain, nama klien Tn. P, usia 50 tahun, beragama Islam, pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD), pekerjaan sebagai tukang becak, beralamat di Karanganyar, dirawat di RSUD Dr. Moewardi dengan diagnosa medis fraktur femur 1/3 proksimal dextra, dan nomor registrasi 01248xxx. Identitas penanggung jawabnya adalah Ny. M berusia 45 tahun, pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD), bekerja sebagai buruh pabrik, alamat di Karanganyar, hubungan dengan klien adalah istri.

B. Pengkajian Keluhan utama klien saat dikaji, klien mengeluhkan nyeri. Riwayat penyakit sekarang klien mengatakan jatuh di kamar mandi pada tanggal 04 April 2014, klien merasakan sakit yang begitu hebat pada paha sebelah kanan.

30

31

Saat itu juga klien dibawa oleh keluarga ke RSUD Dr. Moewardi untuk diperiksa. Pada saat di IGD, klien segera dipasang traksi pada kaki kanannya dengan beban 4 kg. Klien dipasang infus dengan cairan RL 20 tpm dan diberi injeksi ranitidine 50 mg. Kemudian klien dirawat inap di ruang Mawar 2. Dari hasil Pengkajian tanggal 07 April 2014 diperoleh data : tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 72x/menit, respirasi 22x/menit, dan suhu 36,5°C. Riwayat penyakit dahulu, istri klien mengatakan pernah dirawat di RSUD Karanganyar ± 2 tahun yang lalu karena sakit asam urat. Klien belum pernah mengalami kecelakaan maupun operasi. Klien tidak mempunyai alergi terhadap makanan maupun obat-obatan. Pengkajian riwayat kesehatan keluarga

Tn. P (50 tahun)

Gambar 3.1 Genogram

Keterangan : : laki-laki : perempuan : pasien

32

: meninggal : tinggal dalam satu rumah Riwayat kesehatan keluarga, istri klien mengatakan bahwa di dalam keluarganya maupun keluarga klien tidak ada penyakit keturunan seperti Diabetes Melitus, jantung, dan hipertensi. Riwayat kesehatan lingkungan, istri klien mengatakan lingkungan rumahnya bersih, terdapat ventilasi, ada tempat pembuangan sampah, jauh dari sungai atau pabrik. Hasil pengkajian menurut pola Gordon, pada pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan klien mengatakan bahwa sehat itu penting dan berharga, menurut klien sakit merupakan sesuatu yang tidak nyaman, apabila ada anggota keluarga yang sakit segera diperiksakan ke puskesmas atau dokter. Pola nutrisi dan metabolisme sebelum sakit klien makan 3x sehari dengan nasi, sayur, lauk, teh atau air putih, klien tidak memiliki keluhan dan makan satu porsi habis. Selama sakit klien makan 3x sehari dengan makanan yang disediakan rumah sakit (nasi lembek, sayur, teh atau air putih, klien hanya makan ½ porsi karena tidak nafsu makan. Pola eliminasi BAB, baik sebelum sakit maupun selama sakit klien tidak memiliki keluhan. Klien BAB 1x sehari dengan konsistensi lunak, bau khas, dan warna kuning kecokelatan. Pada pola eliminasi BAK, sebelum sakit klien mengatakan BAK 4-6x sehari ± 150cc sekali BAK dengan warna kuning jernih, bau amoniak, dan tidak ada keluhan. Selama sakit, klien

33

mampu BAK 5-7x sehari ± 120 cc sekali BAK dengan kuning jernih, bau amoniak, dan tidak ada keluhan. Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit klien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri (score 0). Selama sakit untuk makan/minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi/ROM, klien memerlukan bantuan orang lain (score 2). Sedangkan untuk toileting klien memerlukan bantuan orang lain dan alat (score 3). Pola istirahat tidur, sebelum sakit klien mengatakan dapat tidur dengan nyenyak baik malam maupun siang hari, tidur malam ± 6 jam dan siang hari ±1 jam. Selama sakit klien mengatakan dapat tidur pada malam hari ± 7 jam dan siang hari ± 1,5 jam namun merasa kurang nyaman karena merasa nyeri pada kakinya. Pola kognitif – perseptual sebelum sakit klien mampu berbicara dengan normal, pendengaran dan penglihatan baik, klien juga mampu berjalan dengan normal. Selama sakit klien mengalami gangguan pada kaki kanannya, klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 6, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan. Pola persepsi konsep diri, gambaran diri klien menerima dengan keadaan sakitnya saat ini, idela diri klien ingin segera sembuh dan pulang ke rumah agar bisa melakukan aktivitasnya kembali, harga diri klien tidak merasa rendah diri dengan penyakitnya, peran diri klien seorang kepala keluarga dan saat ini tidak mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan

34

keluarga, sedangkan identitas diri klien berjenis kelamin laki-laki dengan usia 50 tahun, bekerja sebagai tukang becak. Pola hubungan peran, klien mengatakan sebelum sakit maupun selama sakit hubungannya dengan keluarga, saudara, tetangga-tetangganya baik dan tidak ada masalah. Pola seksual reproduksi, klien berusia 50 tahun sudah menikah dan mempunyai 4 orang anak, klien tidak ingin menambah anak lagi. Pola mekanisme koping, klien mengatakan untuk menghilangkan kepenatannya dengan beristirahat dan berkumpul bersama keluarga atau tetangga, apabila ada masalah selalu dibicarakan dengan keluarga, jika ada anggota keluarga yang sakit selalu diperiksakan ke puskesmas atau dokter. Pola nilai dan keyakinan, klien beragama Islam selalu menjalankan sholat 5 waktu, tetapi selama sakit klien tidak mampu menjalankan sholat dan menerima penyakitnya sebagai ujian dari Allah SWT. Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan keadaan klien lemas dengan kesadaran composmentis, tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 72x/menit teraba kuat dan irama teratur, respirasi 22x/menit irama teratur, dan suhu 36,5°C. Bentuk kepala mesochepal, kulit kepala bersih. Rambut kuat, hitam, sedikit beruban, dan tidak berketombe. Pada pemeriksaan mata, didapatkan data mata simetris kanan-kiri, fungsi penglihatan baik, konjungyiva tidak anemis, dan sklera tidak ikterik. Pada pemeriksaan hidung, bersih, tidak ada polip, dan tidak terdapat sekret. Mulut simetris, bersih, dan mukosa bibir lembab. Gigi sejajar dan bersih. Telinga simetris, tidak ada serumen, dan

35

tidak mengalami gangguan pendengaran. Pada pemeriksaan leher, tidak terdapat pembesaran tyroid. Pada pemeriksaan fisik paru, didapatkam hasil Inspeksi : bentuk dada simetris, Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, Perkusi : sonor, Auskultasi : suara vesikuler dan irama teratur. Pada pemeriksaan fisik jantung, didapatkan hasil Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, Palpasi : ictus cordis teraba kuat di SIC V, Perkusi : pekak, Auskultasi : Bunyi jantung I dan Bunyi jantung II sama, tidak ada suara tambahan, irama reguler. Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan hasil Inspeksi : perut simetris dan tidak ada jejas, Auskultasi : bising usus 20x/menit, Perkusi : redup di kuadran 1 dan tympani di kuadran 2, 3, 4, Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan. Pada pemeriksaan genetalia, didapatkan hasil genetalia bersih dan tidak ada jejas. Pemeriksaan rektum bersih. Pada pemeriksaan ekstremitas bagian atas didapatkan hasil kekuatan otot tangan kanan dan kiri 5 (bergerak bebas), tangan kiri mampu bergerak bebas tetapi tangan kanan gerakan terbatas karena terpasang infus RL 20 tpm, perabaan akral hangat, tidak ada oedema, dan capilary refill < 2 detik. Pada pemeriksaan ekstremitas bagian bawah diperoleh hasil kekuatan otot kaki kanan 1 (ada sedikit gerakan terhadap tekanan), kaki kanan terpasang traksi dari lutut sampai ujung kaki sehingga tidak bebas digerakkan, kekuatan kaki kiri 5 (bergerak bebas), perabaan akral hangat, tidak ada oedema, dan capilary refill < 2 detik. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 04 April 2014 diperoleh hasil: hemoglobin 11.3 g/dl (nilai normal 13.5-17.5), hematokrit 35% (nilai normal

36

33-45), leukosit 11.8 ribu/ul (nilai normal 4.5-11.0), trombosit 182 ribu/ul (nilai normal 150-450), eritrosit 4.68 juta/ul (nilai normal 4.50-5.90), laju endap darah 110 mm/jam (nilai normal 0-15), alkali fosfatase 380 u/l (nilai normal 53-128), golongan darah A, GDS 111 mg/dl, HbsAG non creative. Hasil pemeriksaan rontgen tanggal 04 April 2014 menunjukkan terdapat adanya close fraktur transversal pada 1/3 femur proksimal dextra. Selama dirawat di ruang Mawar 2, klien mendapat therapy infus RL 20 tpm untuk mengembalikan cairan elektrolit, injeksi ketorolac 30 mg/8 jam untuk pengelolaan nyeri berat dalam jangka pendek, dan injeksi ranitidine 50 mg/12 jam untuk pengobatan tukak lambung jangka pendek.

C. Perumusan Diagnosa Keperawatan Dari data pengkajian dan observasi di atas, penulis melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan. Data subyektif : klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 6, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan. Data obyektif, ekspresi wajah klien meringis kesakitan, hasil rontgen menunjukkan adanya close fraktur transversal pada femur 1/3 proksimal dextra. Berdasarkan data di atas maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra). Data subyektif klien mengatakan tubuh terasa lemas dan tidak bebas bergerak, aktivitas dibantu keluarga. Data obyektif klien terlihat lemas, ADL klien terlihat dibantu keluarga, ekstremitas bawah sebelah kanan terpasang

37

traksi dengan beban 4 kg. Berdasarkan data di atas maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal.

D. Intervensi Keperawatan Berdasarkan rumusan masalah keperawatan yang diperoleh di atas, maka penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria hasil mampu mengontrol nyeri dengan teknik non farmakologi, melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan manajemen nyeri (skala 2), mampu mengenali nyeri, menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang. Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah kaji nyeri (PQRST) dengan rasional nyeri merupakan respon subyektif yang dapat dikaji dengan menggunakan skala nyeri, berikan posisi yang nyaman atau atur posisi imobilisasi paha dengan rasional imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsur utama penyebab nyeri, berikan kesempatan waktu istirahat jika terasa nyeri dengan rasional istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga meningkatkan kenyamanan, ajarkan teknik non farmakologi (kompres dingin) dengan rasional teknik non farmakologi mudah dipelajari klien sehingga saat nyeri muncul klien mampu menontrol nyeri secara mandiri, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik (ketorolac 30mg/8jam) dengan rasional analgesik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.

38

Rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien mampu melakukan aktivitas sesuai kemampuan dengan kriteria hasil klieen meningkat dalam aktivitas fisik, memverbalkan perasaan dalam meningkatkan kekuatan atau kemampuan beraktivitas. Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah kaji kemampuan klien dalam mobilisasi dengan rasional mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas, monitoring vital sign dengan rasional untuk mengetahui keadaan umum klien, latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan dengan rasional gerakan aktif memberikan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan, bantu pasien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL dengan rasional untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan, konsultasikan dengan ahli terapi fisik dengan rasional peningkatan kemampuan imobilisasi dari latihan ahli fisioterapi.

E. Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan yang pertama dilakukan pada hari Senin tanggal 07 April 2014 pukul 08.40 WIB yaitu mengkaji nyeri klien (PQRST). Respon subyektif : klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 6, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan. Respon obyektif : ekspresi wajah klien meringis kesakitan, hasil rontgen menunjukkan adanya close fraktur femur transversal pada 1/3 femur proksimal dextra.

39

Pukul 09.00 WIB mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dengan respon subyektif klien bersedia diajarkan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri. Data obyektif klien terlihat tenang, klien kooperatif. Pukul 09.10 WIB memberikan injeksi ketorolac 30 mg dan ranitidine 50 mg, respon subyektif klien bersedia diberi suntikan. Respon obyektif klien terlihat tenang, obat injeksi ketorolac dan ranitidine sudah masuk melalui IV. Pukul 10.00 WIB memonitor tanda-tanda vital, respon subyektif klien bersedia dilakukan pemeriksaan. Respon obyektif klien terlihat tenang, tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 72x/menit, respirasi 22x/menit, suhu 36,5°C. Pukul 10.30 WIB memberikan kompres dingin selama 10 menit, respon subyektif klien bersedia diberikan kompres air dingin untuk mengurangi nyeri, klien mengatakan skala nyeri berkurang menjadi 5. Respon obyektif klien terlihat tenang dan nyaman. Pukul 11.20 WIB mengkaji kemampuan klien dalam mobilisasi, respon subyektif klien mengatakan tubuh terasa lemah, hanya mampu berbaring dan aktivitas dibantu keluarga. Respon obyektif klien terlihat lemah, aktivitas klien terlihat dibantu keluarga. Pukul 11.30 WIB melatih klien dalam pemenuhan kebutuhan, respon subyektif klien bersedia dilatih dalam pemenuhan kebutuhannya. Respon obyektif klien terlihat duduk dan mampu minum sendiri. Pukul 11.45 WIB membantu pasien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan, respon subyektif klien mengatakan ingin duduk dan makan. Respon obyektif klien terlihat duduk dan makan dengan bantuan perawat.

40

Pukul 13.10 WIB memberikan posisi yang nyaman, respon subyektif klien mengatakan bersedia diposisikan yang nyaman. Respon obyektif klien terlihat tenang, paha klieen disokong dengan lipatan selimut. Pukul 13.30 WIB memberikan kesempatan waktu beristirahat, respon subyektif klien bersedia untuk beristirahat. Respon obyektif klien terlihat mulai tidur. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada hari kedua, Selasa 08 April 2014 pukul 08.30 WIB adalah mengkaji nyeri (PQRST). Respon subyektif : klien mengatakan masih merasa nyeri pada kaki kanannya, nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 5, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan. Respon obyektif ekspresi wajah klien meringis kesakitan. Pukul 08.45 WIB memberikan injeksi ketorolac 30 mg dan ranitidine 50 mg, respon subyektif klien bersedia diberi suntikan. Respon obyektif klien terlihat tenang, obat injeksi ketorolac dan ranitidine sudah masuk melalui IV. Pukul 10.20 WIB memonitor tanda-tanda vital, data subyektif klien bersedian dilakukan pemeriksaan. Data obyektif klien kooperatif, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 74x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,5°C. Pukul 11.00 WIB memberikan posisi yang nyaman, respon subyektif klien bersedia diposisikan yang nyaman. Respon obyektif klien terlihat nyaman, paha klien disokong dengan lipatan selimut. Pukul 11.10 WIB memberikan kompres air dingin selama 10 menit, respon subyektif klien mengatakan bersedia diberi kompres air dingin, klien

41

mengatakan skala nyeri berkurang menjadi 3. Respon obyektif klien terlihat tenang dan nyaman. Pukul 12.15 mengkaji kemampuan klien dalam mobilisasi, respon subyektif klien mengatakan tubuh masih terasa lemah namun sudah mulai sering duduk untuk mencoba minum atau makan sendiri. Respon obyektif klien terlihat masih lemah, klien terlihat mencoba melakukan aktivitas dengan sedikit bantuan. Pukul 12.30 WIB membantu klien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan, respon subyektif klien mengatakan ingin duduk dan makan. Respon obyektif klien terlihat duduk dan makan sendiri dengan sedikit bantuan perawat.

F. Evaluasi Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis kemudian dievaluasi pada hari Senin tanggal 07 April pukul 14.30 dengan metode SOAP. Klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 5, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan. Ekspresi wajah klien meringis kesakitan, hasil rontgen menunjukkan adanya close fraktur transversal pada 1/3 femur proksimal dextra. Hasil analisa masalah keperawatan nyeri akut belum teratasi karena kriteria hasil dalam tujuan belum tercapai. Intervensi perlu dilanjutkan yaitu kaji nyeri klien (PQRST), berikan kompres air dingin, berikan posisi yang nyaman, serta kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik (ketorolac dan ranitidine).

42

Pada pukul 14.40 penulis juga melakukan evaluasi untuk masalah keperawatan yang kedua, diperoleh hasil : klien mengatakan tubuh terasa lemah, hanya mampu berbaring dan tidak bebas digerakkan, klien mengatakan bahwa sudah mulai duduk dengan bantuan perawat. Klien terlihat lemah, klien mulai melakukan aktivitas sesuai kemampuan dengan bantuan perawat, ekstremitas bawah sebelah kanan terpasang traksi dengan beban 4 kg. Hasil analisa masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik belum teratasi karena kriteria hasil dalam tujuan belum tercapai. Intervensi perlu dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi klien, monitoring vital sign, bantu klien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan, serta kolaborasi dengan ahli terapi fisik. Pada hari kedua, Selasa 08 April 2014 pukul 14.00 WIB penulis juga melakukan evaluasi. Klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 3, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan klien merasa nyaman diberikan kompres air dingin, hasil rontgen menunjukkan adanya close fraktur transversal pada 1/3 femur proksimal dextra. Hasil analisa masalah keperawatan nyeri akut belum teratasi karena kriteria hasil dalam tujuan belum tercapai. Intervensi perlu dilanjutkan yaitu kaji nyeri klien (PQRST), berikan kompres air dingin, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian ketorolac dan ranitidine. Pada pukul 14.15 penulis juga melakukan evaluasi. Klien mengatakan tubuh terasa lemah, klien mengatakan mulai mencoba sering duduk untuk

43

makan dan minum sendiri dengan sedikit bantuan, klien terlihat mulai melakukan aktivitas sesuai kemampuannya, klien masih memerlukan sedikit bantuan keluarga maupun perawat. Hasil analisa masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik belum teratasi karena kriteria hasil dalam tujuan belum tercapai. Intervensi perlu dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilitas klien, monitoring vital sign, dan kolaborasi dengan ahli terapi fisik.

BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas tentang aplikasi jurnal Pemberian Kompres Dingin Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Tn. P Dengan Fraktur Femur 1/3 Proksimal Dextra di Ruang Mawar 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang dilakukan pada tanggal 07 - 08 April 2014. Penulis juga akan membahas tentang adanya kesesuaian maupun kesenjangan antara teori dengan asuhan keperawatan pada Tn. P dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra.

A. Pengkajian Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional pada saat ini dan waktu sebelumnya, serta untuk menentukan pola respons klien saat ini dan waktu sebelumnya (Carpenito, 2005). Pengkajian dilakukan pada tanggal 07 April 2014 pukul 08.30 WIB dengan keluhan utama klien mengatakan nyeri. Tournaire dan Theau – Yonneau (2007) dalam Judha, dkk (2012), mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan, baik sensori maupun emosional yang berhubungan dengam risiko atau aktualnya kerusakan jaringan. Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, klien mengatakan nyeri pada kaki kanannya karena jatuh di kamar mandi. Saat di IGD klien dipasang infus dengan cairan RL 20 tpm, injeksi ranitidine 50 mg, klien juga dipasang 44

45

traksi dengan beban 4 kg pada kaki kanannya. Hasil rontgen menunjukkan adanya close fraktur transversal pada 1/3 femur proksimal dextra. Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis (Muttaqin, 2008). Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot, mengimobilisasi fraktur, dan mengurangi deformitas (Muttaqin, 2008). Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur femur adalah rasa nyeri yang hebat. Nyeri tersebut timbulkarena setelah terjadi patah tulang akan mengakibatkan terjadinya spasme otot yang menambah rasa nyeri. Nyeri dapat timbul pada saat aktifitas dan hilang pada saat istirahat, atau terdapat nyeri tekan pada daerah fraktur (Rendy, M.C dan Margareth, 2012). Pengkajian pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit klien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri (score 0). Selama sakit untuk makan/minum,

berpakaian,

mobilitas

di

tempat

tidur,

berpindah,

ambulasi/ROM, klien memerlukan bantuan orang lain (score 2). Sedangkan untuk toileting klien memerlukan bantuan orang lain dan alat (score 3). Adanya nyeri dan gerak yang terbatas menyebabkan semua bentuk aktivitas klien menjadi berkurang dan klien butuh banyak bantuan dari orang lain (Muttaqin, 2008). Pola kognitif - perceptual, klien mengatakan tidak mengalami gangguan pada penginderaan maupun komunikasi, tetapi klien merasa nyeri

46

pada kaki kanannya. Klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 6, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan. Pengkajian nyeri meliputi (PQRST). P (Provocate) yang berarti penyebab atau stimulus - stimulus nyeri, Q (Quality) yang berarti kualitas nyeri yang dirasakan, R (Region) yang berarti lokasi nyeri, S (Severe) yang berarti tingkat keparahan nyeri, T (Time) yang berarti awitan, durasi dan rangkaian nyeri (Prasetya, 2010). Pada pemeriksaan ekstremitas bagian atas didapatkan hasil kekuatan otot tangan kanan dan kiri 5 (bergerak bebas), tangan kiri mampu bergerak bebas tetapi tangan kanan gerakan terbatas karena terpasang infus RL 20 tpm, perabaan akral hangat, tidak ada oedema, dan capilary refill< 2 detik. Sedangkan pada pemeriksaan ekstremitas bagian bawah diperoleh hasil kekuatan otot kaki kanan 1 (ada sedikit gerakan terhadap tekanan), kaki kanan terpasang traksi dari lutut sampai ujung kaki sehingga tidak bebas digerakkan, kekuatan kaki kiri 5 (bergerak bebas), perabaan akral hangat, tidak ada oedema, dan capilary refill< 2 detik. Kekuatan otot diuji melalui pengkajian kemampuan klien untuk melakukan fleksi dan ekstensi ekstremitas sambil dilakukan penahanan (Muttaqin, 2008). Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 04 April 2014 diperoleh hasil: hemoglobin 11.3 g/dl (nilai normal 13.5-17.5), hematokrit 35% (nilai normal 33-45), leukosit 11.8 ribu/ul (nilai normal 4.5-11.0), trombosit 182 ribu/ul (nilai normal 150-450), eritrosit 4.68 juta/ul (nilai normal 4.50-5.90), laju

47

endap darah 110 mm/jam (nilai normal 0-15), alkali fosfatase 380 u/l (nilai normal 53-128), golongan darah A, GDS 111 mg/dl, HbsAG non creative. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium di atas menunjukkan adanya penurunan nilai hemoglobin, peningkatan nilai leukosit, peningkatan nilai laju endap darah dan peningkatan nilai alkali fosfatase. Penurunan kadar hemoglobin biasanya disebabkan oleh anemia akibat perdarahan, sedangkan peningkatan jumlah leukosit merupakan stress normal setelah trauma (Rendy, M.C dan Margareth, 2012). Pemeriksaan LED mengukur kecepatan dimana sel–sel darah merah mengendapkan darah yang tidak membeku dalam milimeter per jam (mm/jam). LED meningkat bila kerusakan jaringan lemak sangat luas. Pada pemeriksaan alkali fosfatase meningkat karena adanya kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang (Muttaqin, 2008). Pemeriksaan foto rontgen atau sinar-X penting untuk mengevaluasi klien dengan kelainan muskuloskeletal. Sinar–X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan hubungan tulang (Muttaqin, 2008). Pada hasil pemeriksaan rontgen tanggal 04 April 2014 pada ekstremitas bawah sebelah kanan menunjukkan adanya close fraktur transversal pada 1/3 femur proksimal dextra.

B. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respons individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang aktual dan potensial, atau proses kehidupan (Potter dan Perry, 2005).

48

Diagnosa pertama yang diangkat penulis yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra). Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat dari beberapa detik hingga enam bulan (Andarmoyo, 2013). Saat dilakukan pengkajian didapatkan data subyektif : Klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 6, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan. Data obyektif : ekspresi wajah klien meringis kesakitan, hasil rontgen menunjukkan adanya close fraktur transversal pada femur 1/3 proksimal dextra. Respon perilaku terhadap nyeri yang ditunjukkan oleh pasien sangat beragam. Salah satunya dapat dilihat dari ekspresi wajah yaitu meringis, menggeletukkan gigi, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, menutup mata dan mulut dengan rapat, serta membuka mata dan mulut dengan lebar (Andarmoyo (2013). Nyeri yang dialami Tn. P merupakan nyeri akut karena memiliki awitan yang cepat dan dirasakan kurang dari satu hari. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa nyeri akut memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariasi dan berlangsung dari beberapa detik sampai enam bulan (Andarmoyo, 2013).

49

Diagnosa kedua yang diangkat penulis yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal. Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh pada satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif, 2013). Saat dilakukan pengkajian diperoleh data subyektif : klien mengatakan tubuh terasa lemas dan tidak bebas bergerak, aktivitas dibantu keluarga. Data obyektif : klien terlihat lemas, ADL klien terlihat dibantu keluarga, ekstremitas bawah sebelah kanan terpasang traksi dengan beban 4 kg. Hal ini sesuai dengan teori mengenai batasan karakteristik hambatan mobilitas fisik yaitu kesulitan membolak – balik posisi, keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus dan kasar, serta keterbatasan rentang pergerakan sendi (Nurarif, 2013). Penulis mengangkat diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra) sebagai diagnosa yang prioritas dan aktual. Secara verbal klien yang mengalami nyeri akan melaporkan adanya ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri

yang

dirasakannya. Hal ini sesuai dengan teori hierarki Maslow yang menyebutkan bahwa nyeri termasuk dalam kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang mutlak dipenuhi manusia untuk bertahan hidup dan harus dipenuhi terlebih dahulu daripada kebutuhan yang lain (Mubarak, 2008).

C. Intervensi Keperawatan Intervensi merupakan langkah berikutnya dalam proses keperawatan. Pada langkah ini, perawat menetapkan tujuan dan kriteria hasil yang

50

diharapkan

bagi

klien

dan

merencanakan

intervensi

keperawatan

(Andarmoyo, 2013). Sesuai

dengan

prioritas

diagnosa

keperawatan

nyeri

akut

berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra), penulis membuat tujuan yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria hasil berdasarkan NOC (Nursing Outcomes Classification) : mampu mengontrol nyeri dengan teknik non farmakologi, melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri (skala 2), mampu mengenali nyeri, dan menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang (Nurarif, 2013). Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervetion Classification) : kaji nyeri (PQRST) dengan rasional nyeri merupakan respon subyektif yang dapat dikaji dengan menggunakan skala nyeri, berikan posisi yang nyaman atau atur posisi imobilisasi paha dengan rasional imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsur utama penyebab nyeri, berikan kesempatan waktu istirahat jika terasa nyeri dengan rasional istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga meningkatkan kenyamanan, ajarkan teknik non farmakologi (kompres dingin) dengan rasional teknik non farmakologi mudah dipelajari klien sehingga saat nyeri muncul klien mampu menontrol nyeri secara mandiri, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik (ketorolac 30mg/8jam) dengan

51

rasional analgesik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang (Nurarif, 2013). Diagnosa kedua hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal, penulis membuat tujuan yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien mampu melakukan aktivitas sesuai kemampuan dengan kriteria hasil berdasarkan NOC (Nursing Outcomes Classification) : klien meningkat dalam aktivitas fisik, memverbalkan perasaan dalam meningkatkan kekuatan atau kemampuan beraktivitas (Nurarif, 2013). Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervetion Classification) : kaji kemampuan klien dalam mobilisasi dengan rasional mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas, monitoring vital sign dengan rasional untuk mengetahui keadaan umum klien, latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan dengan rasional gerakan aktif memberikan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan, bantu pasien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL dengan rasional untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan, konsultasikan dengan ahli terapi fisik dengan rasional peningkatan kemampuan imobilisasi dari latihan ahli fisioterapi (Nurarif, 2013).

52

D. Implementasi Keperawatan Implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan kriteria hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter dan Perry, 2005). Dalam melakukan tindakan keperawatan selama dua hari yaitu pada tanggal07 - 08 April 2014 penulis tidak mengalami hambatan, penulis melakukan implementasi berdasarkan intervensi yang telah dibuat. Pada prioritas diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra), tindakan yang dilakukan pada tanggal 07 April 2014 pukul 08.40 WIB adalah mengkaji nyeri klien, dengan respon subyektif : klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 6, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan. Respon obyektif : ekspresi wajah klien meringis kesakitan, hasil rontgen menunjukkan adanya close fraktur transversal pada femur 1/3 proksimal dextra. Pengkajian dapat dilakukan dengan metode PQRST. P (Provocate) yang berarti penyebab atau stimulus - stimulus nyeri, Q (Quality) yang berarti kualitas nyeri yang dirasakan, R (Region) yang berarti lokasi nyeri, S (Severe) yang berarti tingkat keparahan nyeri, T (Time) yang berarti awitan, durasi dan rangkaian nyeri (Prasetya, 2010).

53

Pukul 09.10 WIB memberikan terapi injeksi ketorolac 30 mg, respon subyektif : klien bersedia diberi suntikan. Respon obyektif : klien terlihat tenang, obat injeksi ketorolac sudah masuk melalui IV. Analgesik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang (Muttaqin, 2012). Pukul 10.30 WIB memberikan kompres dingin selama 10 menit, respon subyektif : klien bersedia diberikan kompres air dingin untuk mengurangi nyeri, klien mengatakan skala nyeri berkurang menjadi 5. Respon obyektif : klien terlihat tenang dan nyaman. Kompres dingin adalah memberi rasa dingin pada daerah setempat dengan menggunakan kain yang dicelupkan pada air dingin atau air es sehingga memberi efek rasa dingin pada daerah tersebut. Tujuan memberikan kompres dingin adalah menghilangkan rasa nyeri akibat oedema atau trauma. Mekanisme pemberian kompres dingin terhadap penurunan nyeri yaitu dengan memperlambat denyut jantung kemudian mempersempit pembuluh darah, sehingga dapat mengurangi arus darah lokal dan menurunkan respon inflamasi jaringan. Tempat yang diberikan kompres dingin tergantung lokasinya. Selama pemberian kompres, kulit klien diperiksa setelah 5 menit pemberian (Istichomah, 2007). Kompres dingin dapat dilakukan di dekat lokasi nyeri atau di sisi tubuh yang berlawanan tetapi berhubungan dengan lokasi nyeri, hal ini memakan waktu 5 sampai 10 menit (Potter dan Perry, 2005). Berdasarkan jurnal yang dipakai oleh penulis dengan judul “Pengaruh Pemberian Kompres Terhadap Perubahan Skala Nyeri Pada Klien Kontusio di RSUD Sleman”, hal ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh penulis

54

yaitu Pemberian Kompres Dingin Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Tn. P Dengan Fraktur Femur 1/3 Proksimal Dextra di Ruang Mawar 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pukul 13.10 WIB memberikan posisi nyaman dengan mengatur imobilisasi paha, respon subyektif : klien mengatakan bersedia diposisikan yang nyaman. Respon obyektif : klien terlihat tenang, paha klien disokong dengan lipatan selimut. Imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsur utama penyebab nyeri (Muttaqin, 2012). Pukul 13.30 WIB memberikan kesempatan waktu beristirahat, respon subyektif : klien bersedia untuk beristirahat. Respon obyektif : klien terlihat mulai tidur. Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga meningkatkan kenyamanan (Muttaqin, 2008). Pada diagnosa keperawatan yang kedua hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal, tindakan keperawatan yang dilakukan pukul 10.00 WIB yaitu memonitor tanda-tanda vital. Respon subyektif : klien bersedia dilakukan pemeriksaan, respon obyektif : klien terlihat tenang, tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 72x/menit, respirasi 22x/menit,

suhu

36,5°C.Pada

pasien

fraktur

femur,

dapat

terjadi

ketidaknormalan pada tanda – tanda vital karena ada ganggungan lokal, baik fungsi maupun bentuk (Muttaqin, 2008). Pukul 11.20 WIB mengkaji kemampuan klien dalam mobilisasi. Respon subyektif : klien mengatakan tubuh terasa lemah, hanya mampu berbaring dan aktivitas dibantu keluarga. Respon obyektif klien terlihat lemah,

55

aktivitas klien terlihat dibantu keluarga. Adanya nyeri dan gerak yang terbatas menyebabkan semua bentuk aktivitas klien menjadi berkurang dan klien butuh banyak bantuan dari orang lain (Muttaqin, 2008). Pukul 11.30 WIB melatih klien dalam pemenuhan kebutuhan, respon subyektif : klien bersedia dilatih dalam pemenuhan kebutuhannya. Respon obyektif : klien terlihat duduk dan mampu minum sendiri. Gerakan aktif mampu memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot serta memperbaiki unsi jantung dan pernafasan (Muttaqin, 2012). Pukul 11.45 WIB membantu pasien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan, respon subyektif : klien mengatakan ingin duduk dan makan. Respon obyektif : klien terlihat duduk dan makan dengan bantuan perawat. Perawatan diri sesuai toleransi dilakukan untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan (Muttaqin, 2012). Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra) pada hari kedua tanggal 08 April 2014 pukul 08.30 WIB adalah mengkaji nyeri (PQRST). Respon subyektif : klien mengatakan masih merasa nyeri, nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 5, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan. Respon obyektif : ekspresi wajah klien meringis kesakitan. Pukul 08.45 WIB memberikan injeksi ketorolac 30 mg dengan respon subyektif : klien bersedia diberi suntikan. Respon obyektif : klien terlihat tenang, obat injeksi ketorolac sudah masuk melalui IV.

56

Pukul 11.00 WIB memberikan posisi yang nyaman, respon subyektif : klien bersedia diposisikan yang nyaman. Respon obyektif : klien terlihat nyaman, paha klien disokong dengan lipatan selimut. Pukul 11.10 WIB memberikan kompres air dingin selama 10 menit, respon subyektif : klien mengatakan bersedia diberi kompres air dingin, klien mengatakan skala nyeri berkurang menjadi 3. Respon obyektif : klien terlihat tenang dan nyaman. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal yaitu Pukul 10.20 WIB memonitor tanda-tanda vital, data subyektif : klien bersedian dilakukan pemeriksaan. Data obyektif : klien kooperatif, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 74x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,5°C. Pukul 12.15 mengkaji kemampuan klien dalam mobilisasi, respon subyektif : klien mengatakan tubuh masih terasa lemah namun sudah mulai sering duduk untuk mencoba minum atau makan sendiri. Respon obyektif : klien terlihat masih lemah, klien terlihat mencoba melakukan aktivitas dengan sedikit bantuan. Pukul 12.30 WIB membantu klien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan, respon subyektif : klien mengatakan ingin duduk dan makan. Respon obyektif : klien terlihat duduk dan makan sendiri dengan sedikit bantuan perawat.

57

E. Evaluasi Evaluasi keperawatan merupakan tahapan terakhir dari proses keperawatan untuk mengukur respons klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien ke arah pencapaian tujuan (Potter dan Perry, 2006). Hasil evaluasi diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra) pada hari Senin tanggal 07 April pukul 14.30 WIB dengan metode SOAP. Subyektif : klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 5, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan. Obyektif : Ekspresi wajah klien meringis kesakitan, hasil rontgen menunjukkan adanya close fraktur transversal pada 1/3 femur proksimal dextra. Analisa : masalah keperawatan nyeri akut belum teratasi. Planning : kaji nyeri klien (PQRST), berikan kompres air dingin, berikan posisi yang nyaman, serta kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik (ketorolac30mg/8jam). Evaluasi hari pertama nyeri berkurang dari skala 6 menjadi 5 setelah dilakukan tindakan keperawatan terutama kompres air dingin. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pemberian kompres air dingin berpengaruh terhadap penurunan skala nyeri (Istichomah, 2007). Pada pukul 14.40 WIB penulis juga melakukan evaluasi untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal. Subyektif : klien mengatakan tubuh terasa lemah, hanya mampu berbaring dan tidak bebas digerakkan, klien mengatakan bahwa

58

sudah mulai duduk dengan bantuan perawat. Obyektif : klien terlihat lemah, klien mulai melakukan aktivitas sesuai kemampuan dengan bantuan perawat, ekstremitas bawah sebelah kanan terpasang traksi dengan beban 4 kg. Analisa: masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik belum teratasi. Planning : kaji kemampuan mobilisasi klien, monitoring vital sign, bantu klien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan, serta kolaborasi dengan ahli terapi fisik. Hasil evaluasi diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra) pada hari kedua, Selasa 08 April 2014 pukul 14.00 WIB dengan metode SOAP. Subyektif : klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 3, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan, klien merasa nyaman diberi kompres air dingin. Obyektif: Hasil rontgen menunjukkan adanya close fraktur transversal pada 1/3 femur proksimal dextra. Analisa : masalah keperawatan nyeri akut belum teratasi. Planning : kaji nyeri klien (PQRST), berikan kompres air dingin, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian ketorolac 30mg/8jam. Evaluasi hari kedua menunjukkan skala nyeri kembali berkurang mulai dari skala 5 menjadi skala 3. Hal ini semakin membuktikan bahwa pemberian kompres air dingin merupakan pilihan alternatif yang baik dalam meredakan nyeri (Andarmoyo, 2013). Meskipun skala nyeri tersebut sudah berkurang, namun hal tersebut menunjukkan belum tercapainya kriteria hasil

59

pada intervensi keperawatan, yaitu skala nyeri menurun menjadi 2. Maka dari itu, tindakan keperawatan tetap harus dilanjutkan hingga nyeri hilang. Hasil evaluasi diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal pada pukul 14.15 WIB juga dengan metode SOAP. Subyektif : klien mengatakan tubuh terasa lemah, klien mengatakan mulai mencoba sering duduk untuk makan dan minum sendiri dengan sedikit bantuan. Obyektif : klien terlihat mulai melakukan aktivitas sesuai kemampuannya, klien masih memerlukan sedikit bantuan keluarga maupun perawat. Analisa : masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik belum teratasi. Planning : kaji kemampuan mobilitas klien, monitorong vital sign, dan kolaborasi dengan ahli terapi fisik.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN 1. Hasil pengkajian pada Tn. P dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra diperoleh data subyektif : klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 6, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan, klien mengatakan tubuh terasa lemas dan tidak bebas bergerak, aktivitas dibantu keluarga. Data obyektif : Ekspresi wajah klien meringis kesakitan, hasil rontgen menunjukkan adanya close fraktur transversal pada femur 1/3 proksimal dextra, klien terlihat lemas, ADL klien terlihat dibantu keluarga, ekstremitas bawah sebelah kanan terpasang traksi dengan beban 4 kg. 2. Diagnosa keperawatan pada Tn. P dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra yaitu : nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra), hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal 3. Intervensi atau rencana keperawatan untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra) yaitu kaji nyeri (PQRST), berikan posisi yang nyaman dengan atur posisi imobilisasi paha, berikan kesempatan waktu istirahat jika terasa nyeri, ajarkan teknik non farmakologi (kompres dingin), kolaborasi dengan

60

61

dokter dalam pemberian analgetik (ketorolac 30mg/8jam).Intervensi untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal yaitu kaji kemampuan klien dalam mobilisasi, monitoring vital sign, latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan, bantu pasien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL, konsultasikan dengan ahli terapi . 4. Implementasi keperawatan yang dilakukan pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra)yaitu mengkaji nyeri (PQRST), memberikan posisi yang nyaman dengan mengatur posisi imobilisasi paha, memberikan kesempatan waktu istirahat jika terasa nyeri, mengajarkan teknik non farmakologi (kompres dingin), memberikan terapi injeksianalgetik (ketorolac 30mg/8jam). Implementasi keperawatan yang dilakukan pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal yaitu mengkaji kemampuan klien dalam mobilisasi, memonitor vital sign, melatih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan, membantu pasien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL. 5. Evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan dengan menggunakan metode SOAP. Hasil evaluasi pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur femur 1/3 proksimal dextra). Subyektif : klien mengatakan nyeri karena fraktur femur, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 3, nyeri terasa di femur 1/3 proksimal

62

dextra, nyeri muncul selama 3 menit setiap ada gerakan, klien merasa nyaman diberi kompres air dingin. Obyektif : hasil rontgen menunjukkan adanya close fraktur transversal pada 1/3 femur proksimal dextra. Analisa : masalah keperawatan nyeri akut belum teratasi. Planning : kaji nyeri klien (PQRST), berikan kompres air dingin, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian ketorolac 30 mg/8 jam. Evaluasi pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal. Subyektif : klien mengatakan tubuh terasa lemah, klien mengatakan mulai mencoba sering duduk untuk makan dan minum sendiri dengan sedikit bantuan. Obyektif : klien terlihat mulai melakukan aktivitas sesuai kemampuannya, klien masih memerlukan sedikit bantuan keluarga maupun perawat. Analisa: masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik belum teratasi. Planning : kaji kemampuan mobilitas klien, monitorong vital sign, dan kolaborasi dengan ahli terapi fisik. 6. Analisa hasil pemberian kompres dingin pada Tn. P dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra yaitu efektif dalam menurunkan skala nyeri klien, terbukti pada hari terakhir skala nyeri klien menurun menjadi 3. Hal ini sesuai dengan teori Istichomah (2007), yang menyatakan bahwa pemberian kompres dingin memberikan banyak perubahan terhadap penurunan rasa nyeri akibat oedema atau trauma.

63

B. SARAN 1. Bagi Pendidikan Diharapkan institusi mampu meningkatkan mutu pendidikan sehingga menghasilkan perawat yang profesional dan inovatif, terutama dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra. 2. Bagi Rumah Sakit Diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik serta menyediakan fasilitas atau sarana dan prasarana yang memadai untuk penyembuhan pasien, khususnya pasien dengan fraktur femur 1/3 proksimal dextra. 3. Bagi Profesi Keperawatan Diharapkan para perawat memiliki keterampilan dan tanggung jawab yang baik dalam memberikan asuhan keperawatan, serta mampu menjalin kerjasama dengan tim kesehatan lain dan keluarga pasien dalam membantu proses penyembuhan pasien khususnya pada pasien fraktur femur 1/3 proksimal dextra.

DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, Sulistiyo. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Astutik, dkk. 2011. Perbedaan Tingkat Mobilitas Pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penyuluhan Kesehatan di Ruang Bougenville dan Teratai RSUD Dr. Soegiri Lamongan, (online), http://stikesmuhla.ac.id/v2/wpcontent/uploads/jurnalsurya/noIX/0.pdf, diakses 15 April 2014 jam 19.30 Carpenito M dan Lynda J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Helmi, Z.N. 2012. Buku Saku Kedaruratan di Bidang Bedah Ortopedi. Jakarta : Salemba Medika Istichomah. 2007. Pengaruh Teknik Pemberian Kompres Terhadap Perubahan Skala Nyeri Pada Klien Kontusio di RSUD Sleman, (online), http://p3m.amikom.ac.id/p3m/85%20%20PENGARUH%20TEKNIK%20PEMBERIAN%20KOMPRES%20T ERHADAP%20PERUBAHAN%20SKALA%20NYERI%20PADA%20 KLIEN%20KONTUSIO%20di%20RSUD%20SLEMAN.pdf, diakses 2 April 2014 jam 21.00 Judha, dkk. 2012. Teori Pengukuran Nyeri dan Nyeri Persalinan. Yogyakarta : Nuha Medika Khodijah, Siti. 2011. Efektiiftas Kompres Dingin Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pasien Fraktur di Rindu B RSUP H. Adam Malik, Medan, (online), http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24614/7/Cover.pdf, diakses 5 April 2014 jam 21.30 Kusyati, Eni. 2006. Keterampilan dan Prosedur Laboratorium Keperawatan Dasar. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Mubarak W.I dan Nurul C. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Muttaqin, Arif. 2012. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal : Aplikasi PadaPraktik Klinik Keperawatan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Nurarif A.H dan Hardhi K. 2013. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA. Yogyakarta : Media Action Nurdin, Suhartini. 2013. Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur di Ruang Irnina A BLU RSUP PROF dr. R.D Kandou Manado, (online), http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/2243, diakses 15 April 2014 jam 20.00 Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik. Volume 1. Edisi 4. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik. Volume 2. Edisi 4. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Prasetyo, S.N. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta : Graha Ilmu Rendy, M.C dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika Smeltzer, S.C dan Bare B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan MedikalBedahBrunner dan Suddarth. Edisi 8 Vol 3. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Tamsuri, A. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Related Documents

Sop Jurnal Ok.docx
April 2020 9
Jurnal
December 2019 93
Jurnal
May 2020 64
Jurnal
August 2019 90
Jurnal
August 2019 117
Jurnal
June 2020 36

More Documents from ""