Sonia - Sken 3.docx

  • Uploaded by: Gracela Salurante
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sonia - Sken 3.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,463
  • Pages: 10
Gejala Gumoh Pada Bayi Christina Sonia Wibowo 102016197 / C-2 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Salah satu kejadian yang umum ditemui oleh ibu pada bayinya adalah keluarnya kembali makanan atau minuman yang sudah ditelan ke mulut bayi (regurgitasi/gumoh). Hal ini biasanya tidak membuat khawatir orang tua kecuali terjadinya muntah yang nyata. Kejadian tersebut dinamakan Refluks Gastroesofageal, atau keluarnya kembali isi lambung ke esofagus, yang kemudian dapat masuk kembali ke lambung atau keluar ke mulut. Kenyataannya, lebih dari 50% bayi mengalami hal ini dan merupakan hal yang fisiologis karena belum berkembang sempurnanya sfingter esofagus bawah sehingga belum bisa berfungsi dengan baik dalam menahan isi lambung untuk kembali ke esofagus. Lebih dari 90% bayi yang mengalami RGE akan sembuh sendiri ketika berusia 1-2 tahun. Namun perlu diperhatikan dengan teliti dan segera ditangani bila terjadi penurunan berat badan atau gejala lain yang membuat bayi tidak nyaman atau mudah menangis karena kemungkinan telah terjadi komplikasi. Kata kunci: refluks gastroesofageal, regurgitasi, sfingter esofagus bawah Abstract One of them ost common event found by mothers in their babies is the expulsion of food or drinks once swallowed into their mouth (regurgitation). This doesn’t usually worry the parents unless there’s been an evident vomiting. This symptom is called Gastroesophageal Reflux, or involuntary retrograde passage of gastric contents into the esophagus, which then reenter the gaster or regurgitate into the mouth. In fact, more than 50% of infants have this and is considered a physiologic phenomenon due to the infant’s lower esophageal sphincter is not fully developed that the muscle lets the stomach contents back up the esophagus. In more than 90% case resolves by itself by 1-2 year of age. However, pay a careful attention and give immediate therapy if noticed a weight loss or other warning symptoms that make the baby looks uncomfortable or irritable, which may indicate to complications Keywords: Gastroesophageal reflux, regurgitation, lower esophageal sphincter

1

Pendahuluan1 Refluks Gastroesofageal/ Gastroesophageal Reflux adalah keluarnya isi lambung secara involunter kembali ke esofagus dengan atau tanpa regurgitasi atau muntah. Hal ini merupakan kondisi fisiologis yang dialami beberapa kali dalam sehari, banyak terjadi sehabis makan dan tidak menimbulkan gejala. Bayi-bayi ini disebut “happy spitters”. GER disease/ penyakit RGE muncul bila refluks isi lambung menyebabkan gejala yang memengaruhi kualitas hidup atau komplikasi patologis, seperti gagal tumbuh kembang, masalah tidur atau menyusui, kelainan respiratori kronik, esophagitis, hematemesis, apnea, kejadian lain yang mengancam nyawa. Sekitar 70-80% bayi mengalami regurgitasi dalam 2 bulan pertama kehidupan, dan hal ini membaik sendiri tanpa intervasi pada 95% bayi ketika menginjak umur 1 tahun. Mekanisme utama yang menyebabkan GERD adalah relaksasi sfingter esofagus bawah yang tidak tetap, yang berarti penurunan curam dari tekanan sfingter sampai ke level tekanan intragastrik, namun tidak berhubungan dengan kegiatan menelan dan relative lebih lama durasinya dari relaksasi yang di-triger oleh kegiatan menelan. Regurgitasi adalah gejala yang paling umum pada refluks infantile. Pemeriksaan riwayat penyakit atau perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik yang cermat dengan memerhatikan tanda alarm yang menunjukan penyebab penyakit lain biasanya cukup untuk membuat diagnosis klinis dari RGE infantil. Anamnesis Anamnesis mencakup identifikasi penderita, keluhan utama, dan perjalanan penyakit. Perjalanan penyakit mencakup onset penyakit, lokasi, durasi, karakter, dan lainnya yang berhubungan dengan keluhan utama, juga perlu ditanyakan gejala lain yang mungkin dialami, seperti demam, pusing, mual. Bila terdapat keluhan muntah, perlu ditanyakan berapa lama setelah makan sampai terjadinya muntah, frekuensi terjadinya muntah, volume muntah, warna, konsistensi, faktor pemberat dan yang meringankan, dan kemungkinan penyebab. Riwayat konsumsi obat dan obat yang sudah dikonsumsi untuk mengobati keluhan utama juga perlu ditanyakan. Kebiasaan makan, cuci tangan, minum minuman beralkohol; kebersihan lingkungan, dan penyakit dalam keluarga mungkin berperan sehingga tidak boleh diabaikan. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik secara umum meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Bagian abdomen dibagi berdasarkan 4 kuadran (Left upper quadrant, Right upper quadrant, Left lower quadrant, Right lower quadrant) atau berdasarkan 9 regio (Epigastrik, Hipokondria kanan dan kiri, Umbilical, Lumbar kanan dan kiri, Hipogastrik/Suprapubik, Inguinal/Iliaka kanan dan kiri) untuk kepentingan penentuan lokasi kelainan secara spesifik dan membantu penentuan diagnosis sesuai dengan letak organ yang terletak pada regio atau kuadran tersebut.

Differential Diagnosis Stenosis pylorus hipertrofi kongenital.2,3 Terdapat muntah yang proyektil, terjadi pada umur lebih dari 1 minggu. Gejala makin berat, berat badan tidak naik. Penyebab tidak jelas, diduga tendensi herediter karena 1% penderita ternyata orangtuanya juag menderita kelainan yang sama. Beberapa peneliti juga menduga adanya hipertrofi otot piloris karena spasme otot. Atresia duodenum.

2

Atresia duodenum adalah keadaan kegagalan kanalisasi pada masa embryonal disertai atresia di bagian usus lainnya. Gejala klinis yang sering adalah mintah yang mengandung empedu. Bial atresia di bawah ampula vateri, muntahnya berupa gumpalan susu atau mutahannya keruh. Gejala lain yaitu mekoneum tidak keluar dalam waktu lebih dari 24 jam. Pada penderita atresia duodenum, distensi abdomen terjadi pada bagian atas. 2,3 Refluks Gastroesofageal.1-3 Refluks gastroesfogaeal (RGE) adalah suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi sfingter esophagus bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi lambung ke esophagus. Makanan yang masuk ke esophagus tersebut mungkin masuk kembali ke lambung atau dikeluarkan melalui mulut menyerupai “muntah”. Working Diagnosis Gastroesophageal Reflux (GER)/ Refluks Gastroesofageal (RGE) adalah kelainan esofagus yang paling umum terjadi pada anak-anak. Walaupun pada beberapa kasus refluks dianggap fisiologis pada bayi, fenomena ini dianggap patologis GERD pada anak yang mengalami refluks sering atau persisten, sehingga menyebabkan esophagitis dan gejala pada esofagus dan respiratori.5 Refluks berarti kembalinya isi lambung ke esofagus bagian bawah. Regurgitasi selanjutnya berarti bahwa cairan yang mengalir kembali dari lambung masuk ke dalam mulut. Regurgitasi dengan demikian merupakan refluks yang lebih berat dan kadang material yang teregurgitasi masuk ke dalam paru-paru.6 Refluks dapat terjadi asimtomatik tapi bisa menyebabkan rasa tidak enak di daerah retrosternal yang digambarkan sebagai nyeri di ulu hati. Komplikasi terbesar dari refluks esofagus adalah esophagitis refluks. 6 RGE juga harus dibedakan dari: 1) Possetting, yaitu pengeluaran isi lambung sehabis makan, biasanya meleleh keluar mulut, sering didahului dengan bersendawa atau bisa diartikan keluarnya sedikit cairan segera setelah makan yang dapat disertai keluarnya gas. Hal ini tidak berbahaya dan akan hilang sendirinya, 2) ruminasi, yaitu keluarnya isi lambung ke mulut, kemudian mengunyah dan menelannya kembali. Keluarnya isi lambung kadang dirangsang secara sadar dengan mengorek faring degan jari. Tidak berbahaya, namun merupakan kebiasaan sadar yang sulit dihilangkan.2,3 Beberapa istilah di masyarakat yang disamakan dengan RGE yaitu gumoh (Jawa), olab (Sunda), dan meluah (Bali).2 Epidemiologi Refluks pada bayi menjadi jelas pada bulan pertama kehidupan, memuncak setelah 4 bulan, dan mulai menghilang sampai 88% saat mencapai 12 bulan, dan hampir seluruhnya ketika berumur 24 bulan. Gejala pada anak yg lebih tua cenderung kronis.5 Ada pula literatur yang menyebutkan bahwa pada usia minggu pertama, kasus RGE mencapai 80%, sedangkan pada usia 1-6 minggu adalah 10%, dan pada bayi yang berusia lebih dari 6 minggu hanya 1%.2

3

Insiden RGE di Indonesia yang pasti belum diketahui, tetapi menurut beberapa ahli, RGE terjadi pada 50% bayi baru lahir dan merupakan suatu keadaan normal. Secara klinis, sulit membedakan refluks dari muntah. Refluks terjadi secara pasif karena katup antara esophagus dan lambung belum berfungsi baik, sedangkan muntah adalah mengeluarkan isilambung melalui mulut dengan paksa.2 Patogenesis Mekanisme yang mengontrol refluks gastroesofageal tetap menjadi subjek yang kontroversi. Menurut pendapat terakhir, sfingter esofagus bawah dinyatakan sebagai peran terpenting. Pengontrol kekuatan kontraksi sfingter bagian bawah masih sedikit yang diketahui; konsep yang paling popular sebelumnya ialah gastrin sebagai pengontrol, sekarang ini tidak dapat dibuktikan.6 Pada neonates, RGE disebabkan oleh tonus otot Sfingter Esofagus Bawah (SEB) belum sempurna dan panjang esophagus belum maksimal. RGE penting pada bayi dan anak karena dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan, esophagitis, hematemesis, infeksi saluran napas berulang, dan kadang menimbulkan kematian mendadak pada bayi (Sudden infant death syndrome).2 Werlin SL dkk. Menyatakan patogenesos RGE tidak jelas, tetapi para ahli menyatakan penyebab terbanyak RGe adalah ketidakmampuan SEB menahan kembalinya isi lambung, karena rendahnya tekanan SEB. Peneliti lain berpendapat bahwa RGE cenderung terjadi pada peridode relaksasi otot SEB.2 RGE juga dapat terjadi pada peningkatan tekanan intraabdominal. Meningkatnya tekanan intraabdominal dapat terjadi pada keadaan patologis seperti meteorismus, sepsis, atau adanya tumor. Pada keadaan normal, kenaikan tekanan intrabdominal atau kontraksi lambung akan diimbangi oleh peningkatan tekanan SEB supaya mencegah refluks. Peneliti menyatakan RGE terjadi karena peningkatan tekanan intaabdominal disertai inkompetensi SEB.2 RGE juga dipengaruhi posisi tidur. Posisi tengkurup dengan kepala lebih tinggi menurunkan frekuensi RGE. Pengaruh pH esophagus juga berperan. Bila pH<4 yang diukur dalam 24 jam, akan merangsang peningkatan peristaltic esophagus sehingga meningkatkan insiden RGE.2 Gejala klinis dan Komplikasi Gejala klinis biasanya hanya “muntah” tidak projektil (tidak menyembur/menyemprot), sehingga orang tua sering tidak merisaukan keadaan bayinya kecuali “muntah”nya terus menerus. Gejala lain yaitu adanya infeksi paru berulang tanpa ada gejala muntah yang menonjol. Carre J mendapatkan 80% gejala RGE adalah “muntah”. “Muntah” terjadi bila bayi ditidurkan setelah diberi makan. Bila isi lambung mempunyai pH<4, maka sering esophagitis, kemudian menimbulkan striktura (penyempitan lumen esophagus) dengan gejala disfagia, atau perdarahan pada esophagus (muntahan berisi darah).2 Manifestasi refluks infantile tersering adalah regurgitasi, tanda-tanda esophagitis (tersedak, rewel, muntah, enggan menyusui), dan menyebabkan gagal tumbuh kembang; gejala-gejala yang mayoritas dapat sembuh sendirinya pada umur 12-24 bulan. 5

4

Komplikasi pada respiratori pada bayi yang berhubungan dengan GER dapat bermanifestasi sebagai apnea obstruktif, stridor, atau penyakit saluran napas bawah (seperti laryngomalacia atau bronchopulmonary dysplasia).5 Anak-anak dapat mengalami regurgitasi selama masa Taman Kanak-kanak; mengeluh sakit abdomen dan di daerah dada. Komplikasi jalan napas pada anak sering bermanifestasi sebagai asma atau otolaringologic disease seperti laryngitis atau sinusitis.5 Gejala lain yang sering adalah gagal tumbuh kembang (failure to thrive). Hal ini karena “muntah” yang berat dan terus menerus sehingga makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan terbuang percuma. Keadaan ini merupakan problema utama bayi dan jarang ditemukan pada anak yang lebih besar.2 “Muntah” yang berat dapat menimbulkan esophagitis yang menyebabkan perdarahan esophagus dengan gejala tangis yang keras sebelum bayi “muntah”, atau muntahan bercampur darah. Tiga hal yang dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang yaitu: 1) Kekurangan diet makanan karena penderita terus muntah, 2) disfagia, perut gembung dan “muntah” saat tidur, 3) perdarahan dalam esophagus akrena iritasi.2 Apabila asam lambung naik smapai ke faring, dpaat terjadi aspirasi pneumonia. Penderita ini gejala “muntah” nya tidak selalu Nampak. Pada bayi, terutama premature, muntah kronis saat tidur dapat menyebabkan pneumonia. Kadang infiltrate pada bayi menyebabkan obstruksi sehingga gejalanya seperti asma.2,5 Kriteria yang menguatkan hubungan RGE dan penyakti paru anak adalah: 1) adanya serangan apnea, 2) pneumonia berulang, 3) batuk pada malam hari yang kronis, 4) wheezing berulang, 5) muntah sering pada malam hari.2,5 Pada bayi sering terjadi kasus kematian mendadak (Sudden infant death syndrome=SIDS). Ternyata pada usia 4 bulan ±50% dan tahun pertama 40%, pad apemeriksaan autopsy penyebabnya adalah RGE. Mekanisme SIDS ini diduga karena imaturitas saluran pernapasan, sehingga sangat rentan terhadap infeksi, sindroma kesulitan pernapasan (Respiratory sistress syndrome), infeksi paru berulang, dan spasme laring.2 Perdarahan mukosa esophagus distal terjadi karena asam lambung, terjadi pada 20-25% dan penyebabnya adalah erosi dan radang kronis.2,5 Diagnosis2,5,6 Mendiagnosis RGE diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang penting adalah: 1. Fluoroskopi dengan kontras barium Metoda ini sudah lama dipakai untuk mendiagnosis RGE. Pemeriksaan ini sering gagal dalam mendeteksi RGE secara dini, karena refluks yang terjadi sering intermiten, jarang kontinyu. Pemeriksaan barium kontras dilaksanakan secara seris dengan mengamati refluks barium dari lambung ke esofagus.

5

Cara pemeriksaan RGE dengan fluoroskopi: sebelum pemeriksaan, pemberian makanan dan minum pada bayi dikurangi, sedangkan pada anak lebih besar harus puasa, gerakan anak dikurangi. Dalam posisi tidur barium diberikan sedikit demi sedikit dicampur dengan makanan atau diberikan dengan memakai nasogastric tube. Pada bayi dapat diberikan dengan memakai botol susu. Pemberian barium untuk mengevaluasi keadaan esophagus bagian atas terutama peristaltic esophagus dan regurgitasi pada saat menelan. Setelah seoertiga total barium habis, dilakukan pemotretan dengan sinar rongent untuk mengevaluasi keadaan lambung dan duodenum, stenosis pylorus, malritasi intestinal dan melihat fungsi sfingter gastroesofageal dengan menganti-ganti posisi miring ke kiri dan ke kanan. Pada tahap akhir dengan melihat adanya refluks yang lambat. Berdasarkan berat ringannya, McCauley membagi RGE menjadi 5 derajat: I : refluks hanya pada bagian distal esophagus II : refluks di atas karina tetapi belum sampai ke esofagis cervicalis III : refluks sampai esophagus cervicalis IV : refluks persisten pada esophagus cervicalis dengan dilatasi cardia V : refluks dengan aspirasi ke dalam trakea/paru Jika dihubungkan dengan gejala klinik, RGE dikategorikan: a. Refluks minor = RGE derajat I-II b. Refluks mayor = RGE derajat III-V Pemeriksaan lain yan geprlu yaitu memeriksan SEB. Tekanan ini diperiksa untuk melihat hasil dari pengobatan. Pemeriksaan ini merupakan tindakan invasive dan muscle relaxaan sehingga dapat menurunkan tekanan SEB dan menimbulkan RGE. Namun pemeriksaan ini masih diperdebatkan karena rendahnya tekanan SEB tidak selalu berhubungan dengan refluks yang terjadi. 2. Memeriksan pH esophagus Pemeriksaan ini menentukan pH esofagus penderita dalam keadaan normal atau berubah. Keadaan normal, pH esofagus antara 5-6. Selama episode refluks, pH menurun <4. Lebih objektif jika dilakukan pencatatan selama 18-24 jam sehingga dapat diketahui jumlah presentase total terjadinya refluks selama 24 jam. Pengukuran pH distal esofagus dapat dilakukan dalam posisi berbaring, duduk, atau kombinasi kedua posisi. Pengukuran pH dilakukan 2 jam setelah makan. Dasar dari perubahan pH adalah terjadinya refluks asam dari cairan lambung. Caranya dengan memakan NGT dan dimasukan cairan HCL 0,1n sebanyak 300cc/1,72m2, kira-kira 3 cm dibawah SEB, dan dimonitor dengan fluoroskopi. Kepekaan tes ini untuk diagnosis RGE adalah ±85% Indikasi terpenting monitoring pH esofagus adalah untuk menilai efikasi terapi supresi asam lambung, evaluasi episode apnea, dan evaluasi GER atipikal yang muncul sebagai batuk kronis, stridor, dan asma. 3. Radio nuclide Gastro Esofagosgrafi Pemeriksaan ini dilakukan dengan Gastro esophageal scintigrafi menggunakan “technetium 99m sulfur colloid”. Teknik ini memerlukan waktu relative lebih panjang dan non-invasive. Pemberian secara oral dan bahannya tidak diserap. Kemudian ekadaan ini dimonitor dengan gamma kamera. Kepekaannya 70-80%. Adanya aspirasi pada paru dinyatakan dengan adanya radioaktifitas positif pada paru. Dengan scintigrafi

6

ini, Heyman dkk dapat menunjukan adanya aspirasi pada pari-paru sebedar 0,025mL. cara ini cukup baik karena tidak memerlukan penenang yang menurunkan SEB. 4. Biopsy esofagus Dengan esofagoskopi dan diperiksa PA. RGE didapatkan proliferasi lapisan basal esofagus yang meningkat 5. Keterlambatan waktu pengosongan lambung Keterlambatan waktu pengosongan lambung pada bayi dengan RGE diduga karena ketidakmampuan otot fundus untu kontraksi mengosongkan lambung. Pemeriksaan in idilakukan 3-4 jam setelah makan. Heillemer AC dkk mengadakan penelitian terhadap 23 bayi usia 7-14 bulan dengan menggunakan esophageal menometer untu kmelihat terjadinya refluks pada bayi, 3 jam sesudah diberi minum atau makan. Pada makanan ditambahkan 100uTc sulfur koloid, ternyata didapat pengosongan lambung pada penderita RGE ±1 jam. Penatalaksanaan2,5 Pada 80% pasien, gejala teratasi dengan intervensi minimal, tanpa memerlukan pengobatan medikamentosa. Bila tindakan non-medikamentosa atau medikamentosa tidak menolong, baru pertimbangkan pembedahan. Tujuan pengobatan RGE adalah eliminasi gejala, penyembuhan esophagitis, menajemen komplikasi, dan mempertahankan remisi. Pilihan terapi termasuk perubahan gaya hidup, terapi farmakologis, dan pembedahan anti refluks. Juga penting untuk edukasi kepada pasien dan keluarga pasien dan melakukan tindakan tepat pada bayi yang mengalami refluks gastroesofageal tanpa komplikasi. Pemberian ASI harus terus diberikan karena ASI hipoalergenik dan lebih mudah dicerna, pengosongan lambung 2x lebih cepat dari susu formula. Cara menyusui yang dianjurkan adalah: 1) bayi hanya menetek pada satu payudara sampai habis, 2) biarkan bayi terus menghisap walau payudara telah kosong sampai bayi tertidur. Gerakan menghisap lidah bayi merupakan trigger terhadap kontraksi lambung sehingga refluks tidak akan terjadi, 3) hindari perlakuan kasar / tergesa-gesa, atau perilaku yang tidak perlu, 4) setelah menyusui, bayi jangan langsung ditidurkan. Bayi baru ditidurkan dengan posisi kepala lebih tinggi dan miring ke sebelah kiri, paling cepat ½ jam setelah menyusu/minum susu formula, 5) hindari paparan asap rokok dan konsumsi kopi pada ibu karena kafein berlebihan pada ibu memengaruhi terjadinya RGE pada bayi, 6) hindari pemakaian baju yang ketat. Bayi dengan GER berat harus ditidurkan telungkup dengan posisi kepalalebih tinggi. Setelah menyusu ASI/susu formula, bayi digendong setinggi payudara ibu, dengan muka menghadap dada ibu. Hal ini menenangkan bayi, sehingga mengurangi refluks. Farmakoterapi yang ideal untuk mengobati pasien anak-anak yang mengalami RGE adalah yang menunjuk pengurangan populasi penderita pasien, mengurangi volume dan asiditas refluks, meningkatkan kompetensi LES, meningkatkan klirens esofagus, meningkatkan resistensi mukosa esofagus.

7

Obat yang tersedia adalah antacid, pelindung mukosa, obat prokinetik, antagonis resptor histamine H2, dan penghambat pompa proton, tetapi tidak semua obat ini diizinkan pada bayi dan anak. Antasida berfungsi untuk menetralisir asam lambung, dan sodium alginate melindungi mukosa esofagus. Sukralfat terikat pada dan melindungi mukosa esofagus. Obat ini tidak dibenarkan untuk bayi dan anak oleh FDA dalam pengobatan RGE. Obat prokinetik berfungsi untukmeningkatkan tekanan LES, memperbaiki peristaltic esofagus, dan mempercepat pengosongan lambung; sehingga mengurangi frekuensi refluks. Obat prokinetik yang sering dipakai pada bayi dan anak adalah domperidone dan metoclopramide. Cisapride efektif untuk mengurangi gejala pada bayi dan anak penderita RGE, namun terbatas pemaikannya hanya untuk yang mengalami RGE refrakter karena dapat menyebabkan aritmia jantung. Antagonis reseptor histamine H2 secara kompetitif menghambat aksi histamine pada reseptor histamine H2 pada sel parietal lambung. Dari penelitian, pemberian Nizatidin (10mg/kgBB/hari) selama 8 minggu berguna untuk mengobati esophagitis dan mengurangi gejala saat pH esofagus <4 untuk pasien yang berusia 6 bulan sampai 8 tahun. Ranitidine dan famotidine tampaknya sama efektifnya dengan nizatidin. Ranitidine (5mg/kg) pada bayi berusia 6 minggu sampai 6 bulan yang menderita RGE, ternyata pHesofagus parallel dengan konsentrasi ranitidine dalam plasma dan pH dalam lambung tetap di atas 4 selama 9 jam setelah pemberian obat. Pada psien anak-anak berumur 6 bulan sampai 13 tahun dan mengalami esophagitis yang refrakter dengan dosis normal ranitidine adalah 8mg/kg/hari. Penggunaan ranitidine dosis tiinggi (20mg/kg/hari) dapat mengurangi gejala dan memberikan penyembuhan. Proton Pump Inhibitor (PPI) sebagai terapi untuk esophagitis yang parah atau erosive. Studi farmakodinamik menunjukan bahwa anak-anak memerlukan dosis PPI lebih tinggi daripada dewasa per kilogram berat badan. Penggunaan PPI sebagai pengobatan gejala yang dianggap GER pada bayi dan anak semakin meningkat. Inhibitor pompa proton terikat dengan hydrogen / potassium adenosine triphosphatase suatu enzim yang berperan sebagai pompa proton pada sel parietal, karena itu dapat menghambat pertukaran ion yang merupakan langkah akhir pada sekresi asam hidroklorida. Inhibitor pompa proton dinonaktifkan oleh asam lambung. Oleh karena itu obat ini diformulasi dengan entricoating sehingga obat ini mampu melewati lambung dalam keadaan utuh dan memasuki usus dimana pH-nya kurang asam dan obat diserap. Obat golongan ini tidak mempengaruhi motilitas lambung atau sekresi enzim lambung lainnya. Omeprazole dan lansoprazole golongan PPI telah diizinkan penggunaannya oleh FDA pada pasien anak-anak. Keduanya tersedia dalam bentuk kapsul yang mengandung granula salut entrik. PPI lebih efektif dari pada antagonis reseptor histamine H2 dalam mengurangi sekresi asam, mengurangi gejala RGE, dan menyembuhkan esophagitis, juga lebih efektif dalam mempertahankan remisi. Penelitian pada pasien anak-anak dengan esophagitis resisten terhadap antagonis reseptor histamine H2, omeprazole efektif dalam memperbaiki gejala dan menyembuhkan esophagitis. Pengobatan 8 minggu dengan omeprazole 40mg/hari/1,73m2 luas permukaan tubuh atau ranitidine dosis tinggi (20mg/kg/hari) mengurangi paparan asam pada esofagus dan mempercepat kesembuhan pada bayi dan anak-anak yang berusia 6 bulan sampai 13 tahun dengan RGE berat. Pada suatu penelitian kepada pasien anak-anak umur 3-18 tahun yang

8

mengalami RGE yang refrakter atau ulkus peptikum, omeprazole (0,3-0,7 mg/kg/hari) memberikan supresi asam yang lebih besar daripada antagonis reseptor histamine H2. Pada 12 orang bayi dengan esophagitis yang gagal memberikan respon pada pengubahan posisi tubuh dan pengobatan siimetidin, cisapride, antacid yang mengandung sodium alginate; omeprazole 0,5mg/kg sekali sehari dalam 6 minggu mengurangi keasaman lambung dan gejala. Dosis omeprazole untuk menyembuhkan esophagitis kronis dan berat pada pasien anak adalah 0,73,5 mg/kg/hari. Pembedahan antirefluks adalah prosedur pembedahan paling umum dilakukan oleh ahli bedah anak di Amerika Serikat. The Nissen fundoplication adalah prosedur pembedahan antirefluks paling umum dilaksanakan pada pasien anak-anak yang mengalami RGE. Prosedur ini meliputi penjahitan lipatan fundus di sekitar esofagus untuk memperbaiki hiatus hernia atau meningkatkan tekanan LES. Indikasi pembedahan ini adalah adanya komplikasi yang mengancam nyawa seperti aspirasi, laringospasme, apnea, disfungsi motilitas esofagus yang nyata, abnormalutas anatomi pada neonates, atau kurang adekuatnya respon terhadap terapi obat, gagal tumbuh kembang, esophagitis, striktur, atau esophagitis Barret’s. angka keberhasilan bervariasi dari 57% sampai 92%. Kesimpulan Refluks Gastro-Esofageal adalah keluarnya kembali isi lambung ke esofagus karena LES yang belum berfungsi dengan baik. Hal ini masih dianggap fisiologis karena banyak terjadi pada neonatus dan seiring bertambah umur, fungsi LES dan gejala akan membaik, kecuali jika terjadi komplikasi atau persisten karena abnormalitas fungsi organ atau anatomi. Untuk mendiagnosis GER diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus, belum terjadi komplikasi, bayi terlihat sehat, dan tidak ada penurunan BB, yang perlu dilakukan hanya perubahan perlakuan pada bayi seperti cara menyusui, menggendong, dan menidurkan bayi. Terapi farmakologis dan pembedahan hanya dilakukan jika terjadi komplikasi atau yang membahayakan nyawa.

9

Daftar Pustaka 1. Blanchard S, Czinn S J. Gastroesophageal reflux disease in neonates and infants: when and how to treat. 2013. Available at link: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23322552 2. Suraatmaja S. Kapita selekta gastroenterolog anak. Jakarta: Sagung Seto; 2007. H. 22940, 247-8 3. Suharyono, Boediarso A, Halimun E M. Gastroenterologi anak praktis. Jakarta: FKUI; 1994. H. 108, 267 4. Daldiyono, Akbar N. Dasar gastroenterologi hepatologi. Jakarta: FKUI; 1989. H. 5-8 5. Kliegman RM, Stanton BMD, St.Geme J, Schor NF. Nelson textbook of pediatrics. USA: Elsevier; 2015. P 1266-73 6. Coley B D. Caffey’s pediatric diagnostic imaging. USA: Saunders; 2013. P 2042-5

10

Related Documents

Sonia - Sken 3.docx
May 2020 0
Sonia
November 2019 35
Sonia Ghandi
November 2019 14
Derechitosppt Sonia
October 2019 16
Triptico Sonia
December 2019 18
Sonia Cv
June 2020 7

More Documents from ""