Skripsi.docx

  • Uploaded by: Eenk Rukmana
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skripsi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,668
  • Pages: 62
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Anak merupakan makhluk yang membutuhkan perhatian, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang baik. Tugas – tugas perkembangan pada masa usia pra sekolah usia 3 sampai 6 tahun berpusat pada kemampuan anak untuk melakukan beberapa aktivitas misalnya: mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan yang umum, membangun sikap yang sehat, mengenal diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh, belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya, mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat (Hastuti, 2012). Perkembangan emosi anak usia prasekolah di mulai dari anak usia 3 tahun, anak sudah memiliki rasa takut karena anak sudah dapat mampu untuk berpura-pura, sebagai contoh anak akan merasa takut terhadap gelap karena imajinasinya berjalan-jalan dan membayangkan hal

yang

mengerikan. Memasuki usia 4 tahun, anak sudah dapat mandiri dan bersikap keras kepala. Memiliki determinasi diri, yaitu mampu untuk membantah dan berdebat serta menunjukkan sikap agresif (Meggitt, 2013).

1

2

Anak mulai berkenalan dan belajar menghadapi rasa kecewa saat apa yang dikehendaki tidak dapat terpenuhi. Rasa kecewa, marah, sedih dan sebagainya merupakan suatu rasa yang wajar dan natural. Namun seringkali, tanpa disadari orang tua menyumbat emosi yang dirasakan oleh anak. Misalnya saat anak menangis karena kecewa, orangtua dengan berbagai cara berusaha menghibur, mengalihkan perhatian, memarahi demi menghentikan tangisan anak. Hal ini sebenarnya membuat emosi anak tak tersalurkan dengan lepas. Jika hal ini berlangsung terus menerus, akibatnya timbulah yang disebut dengan tumpukan emosi. Tumpukan emosi inilah yang nantinya dapat meledak tak terkendali dan muncul sebagai temper tantrum (Meggitt, 2013). Temper tantrum adalah ledakan emosi yang kuat yang terjadi ketika anak balita merasa lepas kendali. temper tantrum adalah demonstrasi praktis dari apa yang dirasakan oleh anak dalam dirinya. Ketika orang-orang membicarakan temper tantrum, biasanya hanya mengenai satu hal spesifik, yaitu kemarahan yang dilakukan oleh anak kecil. Hampir semua temper tantrum terjadi ketika anak sedang bersama orang yang paling dicintainya. Tingkah laku ini biasanya mencapai titik terburuk pada usia 18 bulan hingga tiga tahun, dan kadang masih ditemui pada anak usia lima atau enam tahun, namun hal tersebut sangat tidak biasa dan secara bertahap akan menghilang (Kartono, 2012). Proses munculnya dan terbentuknya temper tantrum pada anak, biasanya berlangsung diluar kesadaran anak. Demikian pula orang tua atau

3

pendidiknya tidak menyadari bahwa dialah sebenarnya yang memberi kesempatan bagi pembentukan temper tantrum pada anak. Temper tantrum seringkali terjadi pada anak-anak yang terlalu sering diberi hati, sering dicemaskan oleh orang tuanya, serta sering muncul pula pada anak-anak dengan orang tua yang bersikap terlalu melindungi (Kartono, 2012). Saat anak mengalami temper tantrum, banyak orangtua yang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang negatif, dan pada saat itu juga orangtua bukan saja bertindak tidak tepat tetapi juga melewatkan salah satu kesempatan yang paling berharga untuk membantu anak menghadapi emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut. Sehingga demikian pengetahuan orang tua tentang temper tantrum sangat penting dalam menghadapi masalah pada anak tersebut yang harus menyediakan banyak waktu dan tenaga untuk meluangkan waktu bersama anak-anaknya. Banyak permasalahan yang timbul disebabkan karena orang tua kurang pengetahuan tentang temper tantrum, sehingga sikap atau perilaku orang tua tersebut kurang memberikan perhatian yang lebih pada anaknya dan sebagian orang tua beranggapan tidak terlalu memperdulikan anak, salah satu contohnya yaitu anak marah ketika ingin memiliki mainan, temper tantrum yang dilakukan memukul orang tua, menjerit-jerit dan berguling-guling, selain pengetahuannya kurang terhadap temper tantrum,

4

sikap orang tua juga menunjukan sikap negatif terhadap anak seperti mencubit dan memarahi anak. Perubahan perilaku akan menjadi masalah bagi orang tua apabila anak tidak menunjukkan tanda penyimpangan. Akan tetapi, apabila anak telah menunjukkan tanda yang mengarah ke hal negatif akan membuat cemas bagi sebagian orang tua. Penyimpangan - penyimpangan perilaku pada anak tersebut dapat terjadi karena pemilihan bentuk pola asuh yang kurang tepat. Proses pengasuhan anak bagi orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan, dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuh kembangkan kepribadian anak (Riyanto, 2011). Orang tua dapat belajar bagaimana memelihara dan menegakkan disiplin secara efektif. Terlalu permisif dengan disiplin yang longgar membuat segala sesuatu harus dipenuhi. Sebaliknya, terlalu otoriter tidak baik dalam pengasuhan anak, coba sekali-kali gunakan gaya pengasuhan dengan lebih mendengarkan suara anak. Gaya pengasuhan otoriter adalah gaya pengasuhan yang belum mengakui hak-hak anak. Intinya adalah keseimbangan dalam pengasuhan, kapan orangtua perlu bertindak disiplin dan kapan perlu mendengarkan keinginan dan hak-hak anak. Anak temper tantrum merupakan masalah bagi orang tua yang pada umumnya anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa karena pada usia ini anak masih relatif muda dan belum dapat mengendalikan emosinya. Bentuk yang digunakan untuk menampilkan rasa tidak senangnya, anak melakukan tindakan yang berlebihan, misalnya menangis, menjerit-jerit,

5

melemparkan benda, berguling-guling, memukul ibunya atau aktivitas besar lainnya. Pada usia 2-4 tahun anak tidak memperdulikan akibat dari perbuatannya, apakah merugikan orang lain atau tidak, selain dari itu, pada usia ini anak lebih bersifat egosentris (Hurlock, 2000) Akibat yang dapat ditimbulkan dari tindakan temper tantrum ini cukup berbahaya. Misalnya anak yang melampiaskan kekesalannya dengan cara berguling-guling dilantai yang keras dapat menyebabkan anak menjadi cedera. Anak yang melampiaskan temperamentalnya dapat menyakiti dirinya sendiri, meyakiti orang lain atau merusak benda yang ada disekitarnya. Jika benda-benda yang ada disekitar anak merupakan benda keras maka akan sangat berbahaya karena anak dapat tersakiti dan mengalami cedera akibat dari tindakan tantrumnya dan terkadang orangtua ikut kesal jika anak selalu bertindak marah-marah. Anak yang mengalami tantrum ini sebenarnya digunakan untuk mencari perhatian sehingga orangtua sebisa mungkin untuk menjauhkan anak dari perhatian umum ketika mengalami tantrum dan sekaligus menjauhkan anak dari bendabenda yang berbahaya agar anak tidak mengalami cedera. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, di mana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Suatu contoh dapat dikemukakan di sini. Orang tua yang memiliki anak temper tantrum untuk

6

mengetahui makna dan tujuan anak tersebut, seperti luapan emosi yang meledak-ledak pada saat anak menginginkan sesuatu (Notoatmodjo, 2011). Hasil penelitian Imti (2015) menunjukkan terdapat hubungan pengetahuan ibu dengan penaganan anak autisme/temper tantrum diperoleh nilai ρ = 0,012 (ρ <0,05) berarti ada hubungan pengetahuan dengan penanganan anak autisme/temper tantrum sementara hubungan sikap ibu dengan penanganan anak autism/ temper tantrum diperoleh nilai ρ= 2,529 (ρ >0,05) berarti tidak ada hubungan sikap. Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Desa Bina Harapan Rw 05 di dapatkan data orang tua dengan anak usia pra sekolah berjumlah 80 kepala keluarga pada tahun 2016. Desa Bina Harapan adalah salah satu yang terletak di Kecamatan Arcamanik Kabupaten Bandung. Desa tersebut merupakan cakupan dari wilayah kerja UPT Puskesmas Arcamanik yang memiliki tugas kesehatan upaya peningkatan kesehatan perkembangan anak yaitu SDIDTK (Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh kembang Anak) yang dilaksanakan minimal satu tahun sekali di taman kanak – kanak atau posyandu sebagai salah satu upaya mendeteksi dan menindaklanjuti tumbuh kembang anak agar optimal, pada tahun 2016 SDIDTK cakupan wilayah Desa Bina Harapan mencapai 48% dengan hasil yang menyimpang sekitar 12%. Peneliti melakukan observasi terhadap 8 orang ibu yang mempunyai anak usia pra sekolah menyebutkan bahwa anak mereka memiliki kebiasaan menangis ketika keinginannya tidak di penuhi, melemparkan mainan saat

7

marah, memukul teman saat merebut mainan dan berteriak – teriak atau menjerit – jerit ketika marah, dari perilaku anak tersebut orang tua tidak tau bahwa kondisi anak memiliki temper tantrum, begitupun dengan sikap orang tua yang menunjukan sering marah kepada anak ketika menginginkan sesuatu seperti mainan yang diangggap oleh orang tua tidak berguna, padahal usia anak 3-5 tahun merupakan hal yang wajar. Hal tersebut sesuai yang diungkapkan oleh Hasan (2009) dalam teorinya menjelaskan usia anak pada umur 3-5 tahun bentuk temper tantrumnya adalah menangis, menggigit, memukul, menendang, menjerit, melengkungkan punggung, melempar badan ke lantai memukul-mukulkan tangan, menahan napas, membentur-benturkan

kepala

dan

melempar-lempar

barang.

Cara

mengatasi anak dengan ciri – ciri tersebut dipandang dari pengetahuan dan sikap orang tua masih kurang dan belum meyakini jika itu adalah temper tanrum. Berdasarkan latar belakang diatas, perlu adanya penelitian untuk mengali lebih dalam tentang “Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Orang Tua dalam Menghadapi Anak Temper tantrum di PAUD Sedap Malam RW 05 Desa Bina Harapan Kecamatan Arcamanik”.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan fenomena diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah Ada Hubungan Pengetahuan dengan

8

Sikap Orang Tua dalam Menghadapi Anak Temper tantrum di PAUD Sedap Malam RW 05 Desa Bina Harapan Kecamatan Arcamanik.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pengetahuan orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum. b. Untuk mengetahui sikap orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum. c. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan sikap orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi tempat penelitian Sebagai bahan informasi bagi orangtua untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang temper tantrum. 2. Bagi peneliti selanjutnya Hasil ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan pengembangan ilmu keperawatan dan juga dapat dijadikan data dasar

9

dan acuan untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan temper tantrum pada anak.

E. Ruang Lingkup Penelitian 1. Lingkup Tempat Pada penelitian ini dilaksanakan di PAUD Sedap Malam RW 05 Desa Bina Harapan Kecamatan Arcamanik. Jl. A.H Nasution Gg. Pawenang I Cisaranten Bina Harapan 2. Lingkup Waktu Dilaksanakan pada bulan Juni - Agustus 2016 3. Lingkup Materi Lingkup materi ini hanya berfokus pada penelitian yang terkait tentang temper tantrum pada anak yaitu Keperawatan Jiwa dan Keperawatan Anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Perilaku Perilaku yaitu suatu respon seseorang yang dikarenakan adanya suatu stimulus/rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2011). Perilaku dibedakan menjadi dua yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup merupakan respon seseorang yang belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Sedangkan perilaku terbuka merupakan respon dari seseorang dalam bentuk tindakan yang nyata sehingga dapat diamati lebih jelas dan mudah (Fitriani, 2011). Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku orang tua dapat di rumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang temper tantrum pada anak. Temper tantrum merupakan suatu perasaan yang yang dihayati oleh anak yang cenderung bersifat menyerang. Cukup banyak diekspresikan oleh

10

11

anak karena rangsangan yang menimbulkan rasa marah lebih banyak dibandingkan dengan rangsangan yang menimbulkan rasa takut. Sebagaimana halnya variasi rasa takut, rasa marah pada setiap anak juga berbeda-beda. Ada anak yang dapat menghadapi dan mengatasi rasa marah lebi baik dibandingkan anak lainnya. Rangsangan yang biasa menimbulkan kemarahan anak adalah rintangan (dari orang lain ataupun ketidakmampuan dirinya) terhadap gerak yang diinginkan anak, juga rintangan terhadap keinginan, rencana, dan niat yang ingin dilakukan anak, serta sejumlah kejengkelan yang bertumpuk. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2012). Respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar) disebut dengan perilaku. Sedangkan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok atau masyarakat disebut dengan perilaku menurut Blum dalam buku Notoatmodjo (2014). Semua kegiatan atau aktifitas manusia , baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar disebut dengan perilaku. Baik dalam hal kepandaian, bakat, sikap, minat maupun kepribadian perilaku manusia antara yang satu dengan yang lain tidak sama dari segi biologis, semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik

12

yang diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar disebut dengan perilaku (Notoatmodjo, 2011). Pemikiran dan perasaan (Throughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan) (Notoatmodjo, 2011).

1. Bentuk Perilaku Menurut Maulana (2009) perilaku dapat dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku manusia dibagi menjadi dua, yaitu : a. Perilaku tertutup (covert behavior) Respons atau reaksi yang bersifat tertutup atau terselubung. Sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain, dikarenakan respons atau reaksi terhadap

stimulus

masih

terbatas

pada

perhatian,

persepsi,

pengetahuan/kesadaran. b. Perilaku terbuka (overt behavior) Bentuk perilaku ini sudah sudah dalam bentuk tindakan atau Praktik (practice). Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan yang nyata atau terbuka. c. Determinan Perilaku Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut dengan determinan perilaku. Menurut Novita (2011).

13

2. Domain perilaku Menurut Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2011) bahwa menyatakan seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu ke dalam tiga domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas untuk mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari : a) ranah kognitif (cognitif domain), b) ranah afektif (affective domain), dan c) ranah psikomotor (psychomotor domain), dalam perkembangan selanjutnya pengukuran perilaku dibedakan mejadi pengetahuan, sikap dan praktik. a. Pengetahuan 1) Pengertian pengetahuan Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indranya dan berbeda dengan kepercayaan (beliefes), takhayul (superstition), dan penerangan-penerangan yang keliru (misinformation) (Soekanto, 2012). Orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan disini adalah suatu pengindraan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak yang temper tantrum biasanya berperilaku

14

sangat emosional dan lepas kontrol, ini terjadi sebagai cetusan keinginannya. Temper tantrum yang terjadi pada anak adalah suatu ledakan emosi yang kuat sekali, perilaku ini disertai rasa marah, serangan agresif, menangis, menjerit-jerit, serta menghentak-hentakan kedua kaki dan tangan pada tanah atau lantai. Perilaku temper tantrum ini menjadi reaksi yang berlebihan pada anak hingga dapat menjadi berbahaya jika mencapai perilaku yang berbahaya karena merusak seperti merusak barang, melemparkan benda, memukul orang lain, bergulingan dan menjerit-jerit di tanah ketika keinginannya tidak dipenuhi (Solihin, 2012). Menurut

pendapat

beberapa

pakar

perkembangan

anak

mengungkapkan bahwa anak berumur antara 16 bulan hingga tiga tahun akan selalu mengamuk atau dikenal dengan istilah temper tantrums. Pada dasarnya hal ini adalah perkembangan yang normal karana anakanak dalam masa-masa usia tersebut mempunyai keinginan tinggi dan mereka

juga

menjadi

seorang

yang

cenderung

egosentris

(mementingkan diri sendiri) hal ini terutama pada anak dengan umur 2 tahun. Anak juga sedang belajar untuk menjadi lebih berdikari dan suka melakukan sendiri banyak hal hingga kadang mereka tidak bersedia diganggu atau mempunyai area line sendiri yang tidak boleh dilanggar (Solihin, 2012). Menurut Engeal, Blacwell, Miniard (1995) dalam khomsan et al (2009) pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan dan

15

menjadi penentu utama perilaku kesehatan. Selanjutnya Winkel (2012) dalam khomsan mengemukakan bahwa tingkat penegtahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh tingkat intelektualnya.

2) Tingkat Pengetahuan Setiap kategori dalam Revisi Taksonomi Bloom terdiri dari subkategori yang memiliki kata kunci berupa kata yang berasosiasi dengan kategori tersebut. Kata-kata kunci itu seperti terurai di bawah ini (Notoatmodjo, 2012) : a) Mengingat : mengurutkan, menjelaskan,mengidentifikasi, menamai, menempatkan, mengulangi, menemukan kembali dsb. b) Memahami

:

menafsirkan,

meringkas,

mengklasifikasikan,

membandingkan, menjelaskan, mebeberkan dsb. c) Menerapkan melakukan,

:

melaksanakan,

mempraktekan,

menggunakan,

memilih,

menjalankan,

menyusun,

memulai,

menyelesaikan, mendeteksi dsb d) Menganalisis : menguraikan, membandingkan, mengorganisir, menyusun ulang, mengubah struktur, mengkerangkakan, menyusun outline,

mengintegrasikan,

membedakan,

menyamakan,

membandingkan, mengintegrasikan dsb. e) Mengevaluasi : menyusun hipotesi, mengkritik, memprediksi, menilai, menguji, mebenarkan, menyalahkan, dsb.

16

f) Berkreasi : merancang, membangun, merencanakan, memproduksi, menemukan,

membaharui,

menyempurnakan,

memperkuat,

memperindah, menggubah.

3) Komponen Pengetahuan Menurut Rogers (1983) dalam Notoatmodjo (2011) proses keputusan adopsi inovasi memiliki lima tahap, yaitu : knowledge (pengetahuan),

persuasion

(kepercayaan),

decision

(keputusan),

implementation (penerapan) dan confirmation (penegasan/ pengesahan). Kelima langkah ini dapat diuraikan seperti di bawah ini : 1) Knowledge Stage (Tahap Pengetahuan) Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. 2) Persuasion Stage (Tahap Persuasi) Rogers menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. 3) Decision Stage (Tahap Keputusan) Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Menurut Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “not to adoption innovation”.

17

4) Implementation Stage (Tahap Implementasi) Pada tahap ini, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktikkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. 5) Confirmation Stage (Tahap Konfirmasi) Ketika keputusan inovasi sudah dibuat, maka pengguna akan mencari dukungan atas keputusannya ini. Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut.

4) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan a. Faktor Internal 1) Umur Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, dalam tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat untuk seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa (Dewi, 2010).

18

2) Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk

mendapat

informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi (Dewi, 2010 ). b. Faktor Eksternal 1) Faktor Lingkungan Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi untuk perkembangan dan perilaku orang atau kelompok (Dewi, 2010). 2) Sosial Budaya Sistem

sosial

budaya

yang

ada

pada

masyarakat

mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi (Dewi, 2010).

19

b. Sikap 1) Pengertian Sikap masih merupakan reaksi tertutup, tidak dapat langsung dilihat, merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas (Notoatmodjo, 2012). Dari batasan-batasan tersebut sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu (Notoatmodjo, 2012). Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2012). Sikap terdiri dari 3 komponen pokok, Allport (1954) yaitu

20

a) Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu obyek b) Kehidupan emosional terhadap suatu obyek c) Kecenderungan untuk bertindak Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Menurut hasil penelitian Sri (2014) dengan judul Strategi Ibu Mengatasi Perilaku Temper tantrum Pada Anak Usia Toddler Di Rumah Susun Keudah Kota Banda Aceh, menunjukan bahwa strategi ibu sebelum temper tantrum berada pada kategori positif (61,3%), distribusi frekuensi strategi ibu saat temper tantrum berlangsung berada pada kategori positif (51,6%), distribusi frekuensi strategi ibu setelah tantrum berada pada kategori negatif (51,6%,). Secara umum distribusi strategi ibu mengatasi temper tantrum berada pada kategori positif (51,6%). Diharapkan orang tua mampu menggunakan strategi yang tepat dalam mengatasi temper tantrum pada anak sebagai upaya mengajarkan anak cara mengontrol emosi dan mencegah temper tantrum yang menetap.

21

2) Tingkatan Sikap a) Menerima (receiving). Orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya : Sikap orang terhadap gizi dapat terlihat dari kesediaan dan perhatian terhadap ceramah-ceramah tentang kesehatan. b) Merespon (responding). Merespon yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Usaha tersebut menunjukkan bahwa orang menerima ide. c) Menghargai (valuing). Mengajak

orang

lain

untuk

mengerjakan

atau

mendiskusikan suatu masalah. d) Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko. Bertanggung jawab merupakan sikap yang paling tinggi.

3) Pengukuran sikap Pengukuran sikap dilakukan denagan Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana

pendapat atau pernyataan responden

terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dibuat pernyataan-pernyataan

hipotesis,

kemudian

ditanyakan

22

pendapat responden. Adapun hasil ukur yang ditentukan berdasarkan kategori positif jika skor≥mean/median dan kategori negatif jika skor<mean/median (Sugiyono, 2014).

c. Tindakan (Praktik ) 1) Pengertian Tindakan merupakan suatu perbuatan nyata yang dapat diamati atau dilihat. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam bentuk tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap remaja yang sudah positif terhadap pengetahuan pacaran tersebut harus mendapat konfirmasi dari penceramah, dan ada yang mudah dicapai, agar remaja tersebut berperilaku baik. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain.

2) Tingkatan Praktik a) Persepsi (perception) Persepsi merupakan mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. b) Respon terpimpin (guided response). Respon terpimpin yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

23

c) Mekanisme (mecanism). Mekanisme yaitu dapat melakukan dengan benar, secara otomatis/ kebiasaan d) Adopsi (adoption). Adopsi merupakan tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Dengan kata lain, dapat memodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

3) Pengukuran Praktik a) Tidak langsung : wawancara terhadap kegiatann yang telah dilakukan beberapa jam,hari atau bulan yang lalu. b) Langsung : mengobservasi

tindakan atau kegiatan

responden.

B. Konsep Temper Tantrum 1. Pengertian Temper Tantrum Menurut Hasan (2009) temper tantrum adalah luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Hal ini muncul pada usia 1 sampai 6 tahun. Temper tantrum terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Temper tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap “sulit”, dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur. 2) Sulit menyukai situasi, makanan, dan orang-orang baru.

24

3) Lambat beradaptasi terhadap perubahan. 4) Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif. 5) Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal. 6) Sulit dialihkan perhatiannya. Umumnya anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa karena pada usia ini anak masih relatif muda dan belum dapat mengendalikan emosinya. Pada usia 2-4 tahun, karakteristik emosi anak muncul pada ledakan marahnya atau temper tantrum (Hurlock, 2012). Sikap yang ditunjukkan untuk menampilkan rasa tidak senangnya, anak melakukan tindakan yang berlebihan, misalnya menangis, menjerit -jerit, melemparkan benda, berguling-guling, memukul ibunya atau aktivitas besar lainnya (Hurlock, 2012). Temper tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif, dan emosi. Sebagai periode dari perkembangan, temper tantrum pasti akan berakhir. Temper tantrum merupakan bagian normal dari pertumbuhan balita karena mereka terusmenerus bereksplorasi dan mempelajari batasan - batasan di sekelilingnya (Octopus, 2011). Berdasarkan teori-teori di atas disimpulkan bahwa temper tantrum merupakan luapan emosi yang meledak-ledak akibat suasana yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh anak. Ledakan emosi tersebut dapat

25

berupa menangis, menjerit-jerit, melemparkan benda, berguling-guling, memukul ibunya atau aktivitas besar lainnya.

2. Manifestasi temper tantrum berdasarkan kelompok usia Berdasarkan kelompok usia temper tantrum dibedakan menjadi (Hasan, 2009): a. Di bawah 3 tahun Anak dengan usia di bawah 3 tahun ini bentuk temper tantrumnya adalah menangis, menggigit, memukul, menendang, menjerit, memekikmekik, melengkungkan punggung, melempar badan ke lantai memukul-mukulkan tangan, menahan napas, membentur-benturkan kepala dan melempar-lempar barang. b. Usia 3-4 tahun Anak dengan rentang usia antara 3 tahun sampai dengan 4 tahun bentuk temper tantrumnya meliputi perilaku pada anak usia di bawah 3

tahun

ditambah

dengan

menghentak-hentakkan

kaki,

berteriakteriak, meninju, membanting pintu, mengkritik

dan

merengek. c. Usia 5 tahun ke atas Bentuk temper tantrum pada anak usia 5 tahun ke atas semakin meluas yang meliputi perilaku pertama dan kedua ditambah dengan memaki,

menyumpah,

memukul,

mengkritik

memecahkan barang dengan sengaja dan mengancam.

diri

sendiri,

26

Menurut Purnamasari (2012), menyebutkan bahwa setiap anak yang setidaknya telah berusia 18 bulan hingga tiga tahun dan bahkan akan menentang perintah dan menunjukkan individualitasnya sekali waktu. Hal ini merupakan bagian normal balita karena mereka terus menerus

mengeksplorasi

dan

mempelajari

batasan-batasan

disekelilingnya. Anak akan menunjukkan berbagai macam tingkah laku, seperti keras kepala dan membangkang karena sedang mengembangkan kepribadian dan otonominya. Temper tantrum juga merupakan cara normal untuk mengeluarkan semua perasaan yang menumpuk. Seorang anak pada usia ini akan menunjukkan beberapa atau semua tingkah laku sebagai berikut : 1) Penolakan atas kontrol dalam bentuk apapun 2) Keinginan

untuk

mandiri,

lebih

banyak

menuntut

dan

menunjukkan tingkah laku yang membangkang. 3) Berganti-ganti antara kemandirian dan bertingkah manja. 4) Ingin mendapatkan kendali dan ingin mengendalikan 5) Pada umumnya menunjukkan temper tantrum.

3. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya temper tantrum Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya temper tantrum (Hasan, 2009), diantaranya :

27

a. Keinginan anak yang tidak terpenuhi Anak akan melakukan temper tantrum dengan maksud untuk menekan orang tua agar keinginan anak terpenuhi, sebagai contoh ketika anak menginginkan orang tua membelikan mainan di sebuah toko. Jika orang tua tidak memenuhi keinginan anak, maka anak akan menangis sambil berguling di toko sampai orang tua mau membelikan mainan yang dimaksud. b. Ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan perasaan Anak-anak khususnya anak pada usia tiga tahun pertama memiliki keterbatasan bahasa. Ketika anak ingin mengungkapkan sesuatu dan tidak dimengerti oleh orang tua maka anak akan frustasi dan memicu munculnya perilaku temper tantrum. c. Kebutuhan yang tidak terpenuhi Anak yang aktif membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak. Anak yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya untuk bergerak akan mengalami frustasi dan untuk melampiaskan kebutuhannya itu anak melakukan temper tantrum. Sebagai contoh ketika anak melakukan perjalanan jauh dengan kendaraan. Anak akan merasa bosan dalam perjalanan karena tidak dapat bergerak sesuka hati, maka untuk melampiaskannya anak melakukan temper tantrum.

28

d. Pola asuh orang tua Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan akan melakukan temper tantrum ketika keinginan anak tersebut tidak dipenuhi oleh orang tua. Contoh lain adalah anak yang mendapatkan pola asuh otoriter dari orang tua, sekali waktu karena rasa tertekan anak, maka anak tersebut akan melakukan temper tantrum, selain itu perbedaan pola asuh antara orang tua dan pengasuh dapat pula memicu anak untuk melakukan temper tantrum, seperti misalnya pengasuh yang permisif dan orang tua yang otoriter atau demokratis.

Anak

akan

melakukan

temper

tantrum

untuk

menyampaikan keinginan. e. Perasaan lelah, lapar, atau sakit Perasaan lelah, lapar dan sakit juga dapat memicu temper tantrum. Karena perasaan tidak enak yang muncul saat lelah dan sakit atau ketika lapar dan kebutuhan itu tidak juga terpenuhi maka akan membuat anak menjadi temper tantrum. f. Keadaan stres dan rasa tidak aman pada diri anak Stres atau frustasi adalah perasaan tertekan yang dialami anak. Hal ini akan memicu anak melakukan temper tantrum sebagai pelampiasan dari rasa tertekan yang dialami anak tersebut.

29

C. Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Orang Tua dalam menghadapi Anak Temper tantrum Pada Anak Penelitian-penelitian yang terkait tentang pengetahuan dan sikap pada anak yang temper tantrum dilakukan oleh Intan (2014) dengan judul Strategi Ibu Mengatasi Perilaku Temper tantrum Pada Anak Usia Toddler Di Rumah Susun Keudah Kota Banda Aceh yang menemukan hasil bahwa menunjukan temper tantrum pada anak berada pada kategori negatif (61,3%). Kemudian dilihat dari pengetahuan dan sikap orang tua berada pada kategori positif (51,6%). Diharapkan orang tua mampu menggunakan strategi yang tepat dalam mengatasi temper tantrum pada anak sebagai upaya mengajarkan anak cara mengontrol emosi dan mencegah temper tantrum yang menetap. Sedangkan menurut Naswati (2015) dengan judul Peran Ibu dalam Pendidikan Moral Agama Terhadap Kejadian Temper tantrum Anak Usia 2-3 Tahun di PAUD Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Hasil menunjukan bahwa sikap orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum pada anak berada pada kategori baik yaitu sebesar (60,0%).

30

D. Kerangka Teori

Tingkat Pengetahuan : a. Mengingat b. Memahami c. Menerapkan d. Menganalisis e. Mengevaluasi f. Berkreasi Tingkat Sikap: a. Menerima b. Merespon c. Menghargai d. Bertanggung jawab

Anak Usia : a. 3 tahun b. 3-4 tahun c. 5 tahun

Temper tantrum pada anakanak : : Temper tantrum pada a. Keinginan anak yang tidak terpenuhi b. Ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan perasaan c. Kebutuhan yang tidak terpenuhi d. Pola asuh orang tua e. Perasaan lelah, lapar, atau sakit f. Keadaan stres dan rasa tidak aman pada diri anak

Bagan 2.1 Kerangka Teori Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Orang Tua dalam Menghadapi Anak temper tantrum di PAUD Sedap Malam RW 05 Desa Bina Harapan Kecamatan Sumber (Notoatmodjo, 2011, Hasan, 2009)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual Kerangka konsep penelitian pada penelitian ini yaitu : Independen

Dependen Sikap orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum 1. Positif 2. Negatif

Pengetahuan orang tua tentang temper tantrum : 1. Baik 2. Cukup 3. Kurang

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Orang Tua dalam menghadapi Anak temper tantrum di PAUD Sedap Malam RW 05 Desa Bina Harapan Kecamatan Arcamanik

B. Variabel Penelitian Variabel yang digunakan pada penelitian ini yaitu ada dua : 1. Variabel Independen Pengetahuan orang tua tentang temper tantrum pada anak 2. Variabel Dependen Sikap orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum

C. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ha

: Ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum

31

32

Ho

:

Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum

D. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasioanl NO Variabel Definisi Operasional I. Variabel independen Pengetahuan Pemahaman orang Tua 1. tentang temper tantrum pada anak usia 3-5 tahun yang dilihat berdasarkan pengertian, Manifestasi dan faktor pengaruh temper tantrum dengan skor jawaban 1=benar dan 0=salah. Hasil kategori Baik, Cukup, Kurang ditentukan dari hasil baku pengetahuan yang tercantum dalam Nursalam (2014). II. Variabel Dependen Sikap Respon/reaksi dalam 2. bertindak pada orang Tua dalam menghadapi Anak temper tantrum pada anak usia 3-5 tahun. Hasil kategori yang menunjukan positif dan negatif ditentukan berdasarkan hasil uji normalitas yang menunjukan data berdistribusi tidak normal dengan nilai median>21,50 diberi kode 1=positif dan median<21,50 diberi kode 2=negatif

Alat Ukur Kuesioner

Hasil Ukur 1. 2. 3.

Kuesioner

1.

2.

Skala Ukur

Baik jika skor 76-100% Cukup jika skor 56-75 Kurang jika skor<56

Ordinal

Positif jika skor median>21,50 Negatif jika skor median<21,50

Nominal

33

E. Rancangan Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif, yaitu bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan sikap orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik. 2. Pendekatan Waktu Pengumpulan Data Pendekatan waktu dalam pengumpulan data menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan sikap orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik. 3. Populasi dan sampel a. Populasi Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah jumlah orang tua yang berada di Paud Sedap Malam RW 05 Desa Bina Harapan Kecamatan Arcamanik sebanyak 80 orang. b. Sampel Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu menggunakan teknik purposive sampling sebanyak 80 orang yang dilihat berdasarkan kriteria sebagai berikut : 1.

Kriteria Inkslusi a. Orang tua yang bersedia menjadi responden b. Orang tua yang memiliki anak usia 3-5 tahun

34

c. Orang tua yang mengantar anaknya di PAUD Sedap Malam 2. Kriteria Eksklusi 1. Responden yang menolak 2. Anak yang sedang sakit

4. Instrumen penelitian Instrumen yang digunakan pada penelitian ini yaitu berupa bentuk kuesioner yang berisikan item pertanyaan. Dengan langkah sebagai berikut : 1. Pengetahuan Pada kuesioner ini sebanyak 12 pernyataan dan dirangkum berdasarkan kisi-kisi yang terdiri dari pengertian temper tantrum, manifestasi temper tantrum dan faktor pengaruh temper tantrum, menggunakan skor jawaban dalam bentuk pilihan ganda (ABC), kemudian dikategori untuk jawaban skor 1= benar dan kategori skor 0=salah. Kemudian ditransformasikan kedalam bentuk persentase yaitu jumlah jawaban responden yang benar dibagi sejumlah item pertanyaan

dikalikan

100%,

setelah

diketahui

kemudian

dikategorikan berdasarkan nilai baik diberi skor 76-100, kategori cukup diberi skor 56-75 dan kategori kurang diberi skor <56.

35

2. Sikap Kuesioner ini terdiri dari 10

pernyataan kemudian dirangkum

berdasarkan kisi-kisi yang terdiri dari keinginan anak tidak terpenuhi, perasaan anak, kebutuhan anak, pola asuh, kondisi fisik, dengan kategori ya diberi skor 1 dan kategori tidak diberi skor 2. Kemudian jawaban responden yang dianggap

positif jika

menunjukan nilai median 21,50 dan kategori yang dianggap negatif yaitu <21,50. Nilai median didapatkan dari hasil uji normalitas yang menunjukan α<0,05 artinya data berdistribusi tidak normal.

6. Uji Validitas Uji validitas dilakukan untuk menguji ketepatan setiap item dalam mengukur instrumennya. Teknik uji yang digunakan adalah teknik Korelasi Item-Total melalui Koefisien Korelasi Product-Moment dengan ketentuan : bila r hasil > r tabel, maka pertanyaan yang diuji kevalidannya korelasikan dengan skor total seluruh item Instrumen (Arikunto, 2014). Teknik korelasi yang dipakai adalah teknik korelasi “product moment” yang dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan : rxy

: Indeks dua variable yang dikorelasikan

X

: Skor rata – rata dari X

36

: Skor rata – rata dari Y (Arikunto, 2010)

Y

Uji keputusan uji validitas yang diketahui dari nilai r tabel>r hitung, maka dinyatakan valid. Nilai keputusan pada penelitian ini yaitu r tabel>0.361 yaitu valid, dan jika r tabel <0,361 maka tidak valid (Sugiyono, 2014) Berdasarkan hasil uji validitas yang terhadap 30 responden yang dilakukan di Pos PAUD Anggrek Jl. Parakansaat RT.05/11 Cisaranten Endah, dengan hasil yang didapatkan untuk kategori pengetahuan yaitu r tabel tertinggi sebesar 0,952 dan r tabel terendah sebesar 0,638. Sedangkan untuk variabel sikap didapatkan r tabel tertinggi sebesar 0,977 dan r tabel terendah sebesar 0,901. Keputusan dari hasil uji validitas tersebut menunjukan masing-masing r tabel>0,361, maka keputusanya adalah valid dan sudah layak digunakan untuk peneltian.

7. Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Uji reliabilitas dilakukan untuk menguji kehandalan/konsistensi instrument. Item – item yang dilibatkan dalam uji reliabilitas adalah seluruh item yang valid atau setelah item yang tidak valid disisihkan. Untuk mengukur reliabilitas secara statistik digunakan koefisien reliabilitas alpha cornbach yang dirumuskan (Notoatmodjo, 2010) sebagai berikut:

37

Dimana :  : Koefisien reliabilitas alpha K : Banyaknya item pernyataan s2j : Varians skor setiap item s2x : Varians skor total Keputusan uji reliabilitas menunjukan nilai konstanta>0,6 maka dinyatakan reliabel dan jika nilai konstanta<0,6 maka tidak reliabel. Berdasarkan hasil uji reliabel yang telah dilakukan terhadap 30 orang ibu menunjukan untuk variabel sebesar 0,963, dan untuk variabel sikap didapatkan nilai sebesar 0,994. Keputusanya dari hasil uji reliabel menunjukan>0,6 yang berarti sudah reliabel dan sudah layak untuk digunakan penelitian.

5. Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data primer yang dugunakan untuk pengumpulan data terhadap 80 responden dengan cara langsung menggunakan kuesioner dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1.

Peneliti meminta ijin terlebih dahulu kepada pihak Prodi dalam bentuk surat yang ditujukan kepada Puskesmas Arcamanik

2.

Peneliti meminta ijin dan memberikan penjelasan kepada kepala bagian Puskesmas Arcamanik mengenai penelitian yang dilakukan

38

di PAUD Sedap Malam RW 05. Jl. A.H Nasution Gg. Pawenang I Cisaranten Bina Harapan. 3.

Setelah diijinkan, peneliti memberikan penjelasan kepada tiap-tiap calon responden mengenai penelitian yang dilakukan dan membagikan informed consent.

4.

Setelah seluruh responden menyetujui dan menandatangani informed consent tersebut, peneliti membagikan kuesioner pengetahuan dan sikap tentang temper tantrum.

5.

Jika responden yang kurang mengerti dengan pertanyaan tersebut maka peneliti akan menjelaskannya.

6.

Setelah data kuesioner terisi penuh peneliti mengumpulkan data secara keseluruhan untuk dilakukan analisis.

8. Teknik Pengolahan Data Pada pengolahan data ini peneliti melakukan analisis data langkahlangkah dengan cara : 1. Editing data Pada editing ini peneliti memeriksa kuesioner yang telah di isi oleh responden dengan tujuan tidak ada kekeliruan terhadap item pertanyaan tersebut sehingga dapat di analisis. 2. Coding data. Pada tahapan ini peneliti melakukan pemberian kode dari setiap kategori dengan tujuan untuk mempermudah dalam input data

39

sehingga dapat dilakukan analisis. Adapun kategori pada coding yaitu: 1. Variabel Pengetahuan a. Kategori baik diberi kode 1 b. Kategori cukup diberi kode 2 c. Kategori kurang diberi kode 3 2. Variabel Sikap a. Kategori positif diberi kode 1 b. Kategori negatif diberi kode 2 3. Entry data Memasukan hasil kuesioner yang ditentukan berupa coding yang tercantum brdasarkan skor kode dari tiap-tiap kategori pengetahuan dan sikap, menggunakan program statistik. 4. Cleaning data Pengecekan kembali dari input data yang telah dimasukan kedalam program statidtik dengan tujuan agar tidak ada kekeliruan dan kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi (Notoatmodjo, 2012).

9. Analisis Data Analisa data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu mengunakan univariat dan bivariat dengan ketentuan sebagai berikut :

40

a. Analisis Univariat Menjelaskan atau mendeskripsikan setiap variabel penelitian yaitu pengetahuan dan sikap. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010). Adapun analisis dalam penelitian ini yaitu menggunakan rumus persentase frekuensi sebagai berikut:

𝑃=

𝑓 100% 𝑁

Keterangan : P : presentase untuk setiap kategori f : jumlah setiap kategori N : jumlah total responden Setelah terlihat dari suatu kategori kemudian dilakukan analisis berdasarkan distribusi frekuensi tersebut dan menghasilkan data hasil output data dan hasilnya ditentukan berdasarkan nilai persentase pada setiap kategori sebagai berikut :

Tabel 3.3 Nilai persantase pada tiap kategori tafsiran harga kategori Nilai (%) 0 1-25 26-49 50 51-75 76-99 100

Kategori kemampuan Tidak ada Sebagian kecil Hampir separuhnya Separuhnya Sebagian besar Hampir seluruhnya Seluruhnya

Sumber : Koentjarningrat Rina 2012

41

Berdasarkan tabel 3.3 yang tercantum nilai interprestasi data yang digunakan untuk menjabarkan besar kecilnya nilai dari hasil penelitian yang terpapar dan disajikan dalam BAB IV.

b. Analisis Bivariat Penelitian ini dilakukan dengan memakai uji Chi Square karena syarat nilai cell 2x3, <20% atau 5% maka akan dilakukan uji Chi Square dengan kategori (Nominal) dan nominal, ordinal dan nominal (Sugiyono, 2014) dengan penyajian data dalam bentuk tabel silang. Rumus Uji Chi-Square sebagai berikut :

𝑥2 =

∑(

𝑓0 − 𝑓ℎ) 𝑓ℎ

2

Keterangan: x2

: Nilai Chi kuadrat

fo

: Frekuensi yang diobservasi

fh

: frekuensi yang diharapkan

dimana :

fe = fe

= frekuensi yang diharapkan

∑fk

= jumlah frekuensi pada kolom

∑ fb

= jumlah frekuensi pada baris

∑T

= jumlah keseluruhan baris atau kolom

42

Hasil akhir uji statistik adalah untuk mengetahui apakah keputusan uji Ho ditolak atau Ho diterima. Digunakan tingkat kepercayaan 95%. Ketentuan pengujian dengan Chi Square adalah jika p value ≤ alpha (0,05) maka ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel, tetapi jika p value > alpha (0,05) maka tidak ada hubungan yang signifikan antara keduanya (Notoatmodjo, 2012).

F. Etika Penelitian 1.

Informed consent Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan subjek penelitian dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi subjek penelitian yang diberikan sebelum penelitian dilakukan. Tujuan informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian serta mengetahui dampaknya.

2.

Anonimity Merupakan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama subjek penelitian pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan. Cukup nomor subjek penelitian atau responden.

43

3.

Confidentiality Confidentiality merupakan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.

4.

Privacy Privacy merupakan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian yang mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus dirahasiakan.

5.

Fair treatment Fair treatment merupakan jaminan yang diberikan kepada subjek agar diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata mereka tidak bersedia atau droped out sebagai responden atau responden boleh mengundurkan diri.

44

G. Jadwal Penelitian Tabel 3.3 Jadwal Penelitian

No 1 2 3 4 5 6 7

KEGIATAN Mei Jun Jul Agust Minggu ke1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Pengajuan Judul Bimbingan proposal skripsi Ujian proposal dan revisi Pengambilan data dan pengolahan data Bimbingan skripsi Pendaftaran dan penyerahan draft skripsi Sidang Skripsi dan revisi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 80 orang ibu dengan teknik purposive sampling meliputi pengetahuan dan sikap dapat dipaparkan sebagai berikut : 1. Gambaran Pengetahuan Orang Tua dalam menghadapi Anak Temper Tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik Tabel 4.1 Gambaran Pengetahuan Orang Tua dalam Menghadapi Anak Temper Tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik (N=80) Pengetahuan Baik Cukup Kurang

f 8 19 53

% 10,0 23,8 66,3

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukan dari jumlah total responden 80 orang sebagian kecil (10,0%) menunjukan pengetahuan baik, sedangkan pengetahuan cukup (23,8%) dan sebagian besar (66,3%) menunjukan pengetahuan kurang yaitu Uji statistik menunjukan pengetahuan orang tua tentang temper tantrum pada anak di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik didapatkan sebagian besar kurang (66,3%).

45

46

2. Gambaran Sikap Orang Tua Dalam Menghadapi Anak Temper Tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik Tabel 4.2 Gambaran Sikap Orang Tua Dalam Menghadapi Anak Temper Tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik (N=80) Sikap

f 43 37

Positif Negatif

% 53,8 46,3

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan dari jumlah total responden 80 orang sebagian besar (53,8%) memiliki sikap positif dan hampir separuhnya (46,3%) memiliki sikap negatif. Uji statistik menunjukan sikap orang tua tentang temper tantrum pada anak di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik didapatkan sebagian besar memiliki sikap positif (53,8%)

3. Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Orang Tua Dalam Menghadapi Anak Temper Tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik Tabel 4.3 Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Orang Tua Dalam Menghadapi Anak Temper Tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik (N=80) Sikap Positif

Pengetahuan

Total

Negatif

f

%

f

%

f

%

Baik

4

9,3

4

10,8

8

10,0

Cukup

8

18,6

11

29,7

19

23,8

Kurang

31

72,1

22

59,5

53

66,3

Nilai P

0,458

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukan α>0,05 artinya Ho diterima yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan

47

dengan sikap orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum (pvalue=0,458).

B. Pembahasan 1. Gambaran Pengetahuan Orang Tua Dalam Menghadapi Anak Temper tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan sebagian besar memiliki pengetahuan kurang (66,3%). Responden yang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuk tindakan seseorang. Menurut Khomsan (2009) pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan dan menjadi penentu utama perilaku kesehatan, pada penelitian ini diketahui seseorang dapat dipengaruhi oleh tingkat intelektualnya. Hal senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Intan (2014) dengan judul Strategi Ibu Mengatasi Perilaku Temper Tantrum Pada Anak Usia Toddler Di Rumah Susun Keudah Kota Banda Aceh yang menemukan hasil bahwa menunjukan temper tantrum pada anak berada pada kategori negatif (61,3%). Kemudian dilihat dari pengetahuan dan sikap orang tua berada pada kategori positif (51,6%). Diharapkan orang

48

tua mampu menggunakan strategi yang tepat dalam mengatasi temper tantrum pada anak sebagai upaya mengajarkan anak cara mengontrol emosi dan mencegah temper tantrum yang menetap. Pada dasarnya para orang tua yang memiliki pengetahuan yang kurang dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor pertama yaitu umur yang dilihat dari kepercayaan masyarakat untuk seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa, factor kedua yaitu pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah faktor lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi untuk perkembangan dan perilaku orang atau kelompok dan sosial budaya yang ada pada masyarakat mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi (Dewi, 2010). Pada responden

yang memiliki tingkat pengetahuan baik

dipengaruhi oleh adanya informasi yang ia dapatkan dari hasil panca indranya dengan suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut (Notoatmodjo, 2012).

49

Berdasarkan hasil penelitian dan referensi diatas dapat disimpulkan bahwa orang tua yang (pernah) memiliki anak berusia 0-3 tahun seringkali ditemui dengan perilaku ngambek, menangis, menjerit, bahkan memukul saat permintaan atau keinginan anak tidak kita penuhi. Perilaku ini merupakan hal yang terbilang wajar karena pada usia tersebut, anak sedang berada pada proses mengenal dan belajar menghadapi kekecewaan. Temper tantrum atau yang kerap disingkat ‘tantrum’ sebenarnya merupakan cetusan atau letupan emosi yang tampil dalam bentuk perilaku agresif tak terkendali. Tantrum biasanya muncul saat terjadi situasi yang secara emosi mengecewakan, misalnya saat anak gagal mendapat apa yang ia inginkan atau saat permintaan anak ditolak oleh orang tua. Letupan emosi tersebut saat berhadapan dengan situasi yang tak sesuai harapan ini dapat ditampilkan secara agresif terhadap orang lain (memaki, memukul, menendang, mengigit, menjerit, dsb) ataupun kepada diri sendiri (menyakiti diri sendiri). Selain itu, kekecewaan anak juga dapat ditampilkan secara pasif yang dianggap berbahaya jika tampil dalam bentuk perilaku agresif baik menyakiti orang lain ataupun diri sendiri dimana tak jarang hal tersebut malah menimbulkan masalah baru akibat kerusakan yang dihasilkannya.

50

2. Gambaran Sikap Orang Tua Dalam Menghadapi Anak Temper tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan sebagian besar memiliki sikap positif (53,8%). Pandangan responden yang memiliki sikap positif terhadap pandangan temper tantrum pada anak, responden akan memenuhi keinginan anak sebagai suatu rasa yang wajar dan natural. Menurut Meggitt (2013) anak mulai berkenalan dan belajar menghadapi rasa kecewa saat apa yang dikehendaki tidak dapat terpenuhi. Rasa kecewa, marah, sedih dan sebagainya merupakan suatu rasa yang wajar dan natural. Namun seringkali, tanpa disadari orang tua menyumbat emosi yang dirasakan oleh anak. Misalnya saat anak menangis karena kecewa, orangtua dengan berbagai cara berusaha menghibur, mengalihkan perhatian, memarahi demi menghentikan tangisan anak. Hal ini sebenarnya membuat emosi anak tak tersalurkan dengan lepas. Jika hal ini berlangsung terus menerus, akibatnya timbulah yang disebut dengan tumpukan emosi. Tumpukan emosi inilah yang nantinya dapat meledak tak terkendali dan muncul sebagai temper tantrum. Temper tantrum pada anak dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, yang pada dasarnya anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan akan melakukan temper tantrum ketika keinginan anak tersebut tidak dipenuhi oleh orang tua. Contoh

51

lain adalah anak yang mendapatkan pola asuh otoriter dari orang tua, sekali waktu karena rasa tertekan anak, maka anak tersebut akan melakukan temper tantrum, selain itu perbedaan pola asuh antara orang tua dan pengasuh dapat pula memicu anak untuk melakukan temper tantrum, seperti misalnya pengasuh yang permisif dan orang tua yang otoriter atau demokratis. Anak akan melakukan temper tantrum untuk menyampaikan keinginan (Hasan, 2009). Hal senada dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Naswati (2015) dengan judul Peran Ibu dalam Pendidikan Moral Agama Terhadap Kejadian Temper tantrum Anak Usia 2-3 Tahun di PAUD Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Hasil menunjukan bahwa sikap orang Tua dalam menghadapi Anak temper tantrum pada anak berada pada kategori baikyaitu sebesar (60,0%). Kemarahan yang dilakukan oleh anak kecil hampir semua temper tantrum terjadi ketika anak sedang bersama orang yang paling dicintainya. Tingkah laku ini biasanya mencapai titik terburuk pada usia 18 bulan hingga tiga tahun, dan kadang masih ditemui pada anak usia lima atau enam tahun, namun hal tersebut sangat tidak biasa dan secara bertahap akan menghilang (Kartono, 2012). Berdasarkan hasil penelitian dan referensi diatas peneliti menarik kesimpulan bahwa sikap positif pada ibu yang menunjukan temper tantrum pada anak merupakan bagian normal, karena mereka terus menerus

mengeksplorasi

dan

mempelajari

batasan-batasan

52

disekelilingnya. Anak akan menunjukkan berbagai macam tingkah laku, seperti keras kepala dan membangkang karena sedang mengembangkan kepribadian dan otonominya. Temper tantrum juga merupakan cara normal untuk mengeluarkan semua perasaan yang menumpuk. Seorang anak pada usia ini akan menunjukkan beberapa atau semua tingkah laku sebagai berikut : penolakan atas kontrol dalam bentuk apapun, keinginan untuk mandiri, lebih banyak menuntut dan menunjukkan tingkah laku yang membangkang, berganti-ganti antara kemandirian dan bertingkah manja, ingin mendapatkan kendali dan ingin mengendalikan dan pada umumnya menunjukkan temper tantrum. Sikap orang tua yang harus diperhatikan jika anak sedang temper tantrum biasanya terjadi karena beberapa hal yaitu diantaranya adalah Frustrasi, dengan demikian pada anak akan menunjukan frustasi dan bukan hanya orang dewasa saja. Seperti contoh anak-anak akan menjadi cepat marah dimana mereka tidak bisa mencapai sesuatu yang sangat mereka inginkan dapat diartikan orang tua gagal dalam mendidik anak dan kegagalan memicu rasa frustrasi, dan akhirnya kemarahan itupun meledak. Lelah. Anak-anak yang merasa kelelahan, akan menjadi mudah marah. Aktivitasnya yang padat dan sedikit waktu bermain akan membuat anak cepat marah dan emosi, selain itu orangtua terlalu mengekang. Sikap orangtua yg terlalu banyak mendikte dan mengekang anak, juga dapat berpengaruh bagi emosinya dan anak yg merasa jenuh

53

dengan kekangan orangtuanya, suatu saat akan mencapai titik puncak kejenuhan dan marah-marah merupakan ledakan temper tantrum yang diluapkan pada anak. Sifat dasar anak yang emosional. Beberapa anak mewarisi sifat dasar emosional dari orangtuanya. Mereka cenderung tidak sabaran, gampang marah meski karena hal-hal kecil seperti keinginan tak dipenuhi. Salah satu kesalahan yg sering kali dilakukan orang tua adalah mereka begitu mudahnya membujuk anak-anak dengan janji-janji dan iming membuat perilaku anak menjadi merasa dibodohi oleh orang tua tersebut. Seperti ketika anak menangis sedikit, anak dibujuk dangan es krim atau mainan dan akhirnya akan menjadi kebiasaan yang pada akhirnya akan membuat anak menjadi ketagihan.

3. Hubungan

pengetahuan

dengan

sikap

orang

tua

dalam

menghadapi Anak temper tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik Berdasarkan hasil penelitian menunjukan α>0,05 artinya Ho diterima yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan sikap orang tua dalam menghadapi Anak Temper tantrum

(p-value=0,458).

Pada

responden

yang

menunjukan

pengetahuan kurang akan tetapi ia memiliki sikap positif (72,1%). Pandangan orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum dipengaruhi oleh persepsi yang diyakini dari informasi yang mereka

54

dapatkan, oleh karena itu pengetahuan kurang tidak menunjukan sikap orang tua yang negatif. Sikap positif para orang tua beranggapan bahwa temper tantrum pada anak merupakan perilaku yang tergolong normal. Hal senada dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Agustine berjudul Persepsi Orang tua Tentang Temper tantrum Dan Cara Mengatasi Pada Anak Usia 2 - 4 Tahun Di Paud Amanah Malang. Hasil penelitianya didapatkan bahwa persepsi orang tua tentang temper tantrum dan cara mengatasinya terdapat 60% orangtua memiliki persepsi yang positif dan 40% memilki persepsi yang negatif. Disebutkan bahwa 60 % memiliki persepsi yang positif, salah satu yang mempengaruhi persepsi yaitu cognisi (pengetahuan) yang mencakup penafsiran orangtua dengan p-value=0,001. Pada dasarnya mengetahui temper tantrum pada anak merupakan hal yg lumrah, kita sebagai orang tua disarankan agar memberi kesempatan kepada anak untuk menghayati dan merasakan kekecewaan, kesedihan, dan kemarahan mereka. Artinya, saat anak menangis kecewa atau merasa sedih kita hanya berperan untuk mendampingi, memeluk (jika dibutuhkan) dan menyatakan pengertian kita atas perasaan yang sedang anak rasakan tanpa memberikan intervensi apalagi berusaha menghentikan emosi tersebut. Kita juga dapat mengajarkan anak bentuk atau ekspresi emosi yang menurut kita (orang tua) dapat diterima, misalnya: boleh manangis, boleh berteriak dengan ditutup bantal, dll.

55

Bentuk ini dapat kita tentukan sendiri sesuai dengan budaya dan kebiasaan masing-masing. Jika temper tantrum telah terlanjur muncul dalam bentuk perilaku yang membahayakan dan berpotensi menimbulkan kerusakan, maka tindakan intervensi harus segera dilakukan dan diharapkan tantrum ini sudah akan hilang sebelum anak berusia 3 tahun. Karena semakin besar anak, tenaga juga semakin kuat dan akan semakin sulit bagi orang tua untuk mengendalikan atau mencegah tingkah lakunya yang tak terkendali. Selain itu timbunan temper tantrum ini juga dapat mengarah pada kerusakan lain baik secara fisik ataupun bentuk perilaku berbohong, menyalahkan orang lain, menutup diri, merebut milik orang lain secara paksa dengan dasar langkah yg diambil saat tantrum terjadi pada anak diantaranya yaitu pegang anak erat-erat (tangan dan kaki) hingga dia tak dapat memukul/menendang dan melakukan hal berbahaya lain, hindari orang tua untuk mengajak anak berkomunikasi hingga anak selesai dengn usahanya untuk memberontak (hal ini termasuk jangan berteriak untuk menyuruh anak berhenti). Kurang lebih waktu 15-20 menit maka anak akan merasa letih dan berangsur tenang. Saat itulah anak dapat diajak berbicara dan jelaskan mengapa orang tua memegangnya

erat-erat

dan

mengapa

kita

tidak

memenuhi

permintaannya, selain itu ajarkan anak bagaimana lain kali ia dapat menunjukkan kemarahannya.

56

Didapatkan pengetahuan orang tua yang baik dengan sikap yang negatif menunjukan 4 orang (10,8%), hal tersebut pada responden yang sudah memahami tentang temper tantrum anak akan tetapi masih memiliki sikap negatif karena orang tua belum bisa mengatasi anak tersebut ketika ia sedang mengamuk atau temper tantrum yang perlu orang tua lakukan adalah pemenuhan yang terlalu dimajakan kepada anak dan hendaknya orang tua mencari tahu penyebab anak mengamuk, kita akan mudah menentukan langkah yang harus diambil dalam menghadapi mereka. Pastikan orang tua jangan ikut emosi. Biasanya, orangtua akan ikut-ikutan menjadi emosi dimana anak mereka sedang marah, seperti orang tua bisa memukul, mencubit. Sehingga anak anak menganggap orang tuanya mereka jahat. Perilaku tersebut hendaknya orang tua dapat mengabaikan dan ajari anak mengatasi kemarahannya serta jangan turuti semua hal yang diinginkan pada saat itu. Bersikap cuek dan tidak memperdulikan kemarahannya. Pengetahuan cukup dengan sikap negatif didapatkan 11 orang (29,27%). Hal tersebut orang tua tahu bagaimana cara mengatasi anak yang temper tantrum, dengan demikian cara mencegah terjadinya tantrum, diantaranya mengenali kebiasaan anak dan ketahui kondisi pencetus tantrum dan tinjau pola asuh yang kita terapkan, ketika saat anak sedang mengalami tantrum, orang tua harus tetap tenang, tahan emosi. Anak jangan diacuhkan namun juga tidak perlu membujuk,

57

berargumen, atau memberi nasihat moral agar anak menghentikan tantrumnya. Jika kita berusaha menghentikannya, tantrum justru akan semakin intens. Peluk anak dengan rasa cinta, duduk/berdiri berada didekatnya. Pastikan anak merasa aman dan tahu bahwa orang tuanya ada dan tidak menolak dia. Setelah tantrum berhenti, jangan dihukum dan jangan diberi hadiah. Berikan saja rasa cinta dan rasa aman, kemudian evaluasi mengapa terjadi tantrum. Ajarkan untuk tidak mengulangi kesalahan ketika keadaan sudah tenang dan nyaman bagi anak dan orang tua. Pengetahuan kurang dengan sikap negatif didapatkan sebanyak 22 (59,5%). Hal tersebut dipengaruhi oleh sikap orang tua yang kurang menerima hambatan-hambatan pada tantrum yang diluapkan oleh anak tersebut. Jika anak telanjur mengamuk, cara mengintervensinya yaitu dengan mengambil anak untuk disayang-sayang, dielus, dan dipeluk sampai dia tenang. Tak perlu memberi pelajaran pada anak seusia tersebut. Melainkan orang tua dapat menglihkan perhatiannya pada mainan dan nyanyian yang disukai anak tersebut. Kasih sayang orang tua

bukan

hanya

dapat

meredam

tantrum,

tapi

juga

membantu anak mengembangkan rasa aman, sehingga ia mampu membangun dasar dari perasaan yang baik. Dengan modal dasar inilah jika anak besar kelak bisa menenangkan dirinya dikala sedang marah. Ia pun akan belajar bahwa dirinya bisa mengontrol dan dapat tetap tenang

58

tanpa harus marah meledak-ledak. Namun disamping itu tidaklah mudah menenangkan anak yang pada frustrasi dan membuatnya nyaman. Pengetahuan baik dengan sikap positif yaitu sebanyak 4 (9,3%). Hal tersebut pengetahuan orang tua yang baik terhadap temper tantrum pada anak, ia sudah tau bagaimana sikap yang harus dilakukan. Memunculkan perilaku mengamuk jika dia lapar. Selain itu kelelahan, kegagalan, situasi baru, mengantuk, serta antrian yang membuatnya menunggu lama dapat memicu perilaku mengamuknya. Menurut Rusda (1996) penyebab temper tantrum antara lain adalah: (a) Anak merasa terhalang dalam pencapaian pemuasan atau keinginannya, (b) Anak dituntut melakukan sesuatu diluar kemampuannya, (c) Anak tinggal dengan keluarga, dengan jumlah orang dewasa yang banyak, (e) Sikap significant other yang selalu mengkritik tingkah laku anak, dan (f) Orang tua yang selalu cemas berlebihan dan keinginan untuk selalu melindungi anak. Penanganan anak temper tantrum tentu banyak hal yang perlu orang tua rasakan. Perkembangan emosi yang terhambat tentu juga akan mempengaruhi

perkembangan

aspek

anak

lainnya,

seperti

perkembangan fisik, psikis, intelektual. Hal ini pasti sangat menghawatirkan bagi orang tua, dengan hal yang terbaik bagi pekembangan anak diusia dini. Hal yang harus dilakukan adalah dengan membiarkannya. Ketika anak marah secara berlebihan, anak sering menunggu respon orang tua

59

yang mengatarkan anak disekitarnya sebagai bentuk perhatian yang ditujukan kepadanya. Jika respon itu muncul, anak akan semakin marah ketika hal yang diinginkannya tidak terwujud. Dalam hal untuk mengatasi keinginan anak tersebut dengan cara mengajak anak untuk berbicara baik-baik seperti memberikan waktu untuk meluapkan kekecewaannya. Terima perasaan anak dengan wajar, diikuti wajah kasih yang tulus. Berikan jika perilaku anak sudah mulai menunjukkan perdamaian. Setelah itu lakukan aktivitas yang dipilih atau disenangi anak sebagai penguat dan hadiah bagi sikapnya yang manis.

C. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menghadapi keterbatasan yang dapat mempengaruhi kondisi dari penelitian yang dilakukan. Adapun keterbatasan tersebut adalah : 1. Adanya keterbatasan penelitian dengan kuesioner dalam penelitian ini belum sepenuhnya mewakili untuk mengetahui pengetahuan orang tua tentang temper tantrum pada anak, begitupula dengan kuesioner sikap yang belum menunjukan sikap orang tua dalam menghadapi anak temper tantrum.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan penulis kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil analisis data tentang “Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Orang Tua dalam Menghadapi Anak Temper Tantrum di PAUD Sedap Malam Kecamatan Arcamanik” yaitu sebagai berikut : 1. Gambaran pengetahuan orang tua menunjukan pengetahuannya kurang. Dapat dilihat dari persentase jawaban responden yang menunjukan sebagian besar (66,3%) memiliki pengetahuan kurang dalam menghadapi anak temper tantrum. Hal ini dapat disebabkan karena faktor umur, tingkat pendidikan, faktor lingkungan dan sosial budaya yang ada pada masyarakat. 2. Gambaran sikap orang tua menunjukan sudah baik. Dapat dilihat dari persentase jawaban responden yang menunjukan sebagian besar (53,8%) memiliki sikap positif dalam menghadapi anak temper tantrum. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa sebagian besar orang tua menganggap anak yang sedang marah/tantrum (menangis, memukul, merupakan

menjerit, hal

menendang,

wajar/normal

perkembangan emosi anak.

60

melemparkan

yang

merupakan

mainan/barang) bagian

dari

61

3. Hasil penelitian terhadap Pengetahuan dengan Sikap Orang Tua dalam Menghadapi anak temper tantrum tidak terdapat hubungan yang signifikan (negatif). Dapat dilihat dari hasil penelitian menunjukan a>0,05 artinya H0 diterima dengan (p-value=0,458). Berdasarkan hasil hipotesis dapat disimpulkan bahwa orang tua yang memiliki pengetahuan kurang terhadap temper tantrum tidak menunjukan sikap yang negatif.

B. Saran Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dan kesimpulan diatas maka saran yang dikemukakan penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Bagi Orang Tua Diharapkan pada orang tua yang memiliki pengetahuan kurang terhadap temper tantrum agar dapat memahami perilaku anak, karena temper tantrum merupakan bagian normal dari tahapan perkembangan emosi anak. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya a. Variabel yang digunakan untuk penelitian ini sangat sedikit, yaitu hanya dua variabel, oleh karena itu pada penelitian selanjutnya dapat menambahkan variabel lainnya yang berhubungan dengan temper tantrum. Sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih luas mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi, penanganan dan cara menghadapi temper tantrum.

62

b. Variabel pengetahuan dan sikap orang tua terhadap temper tantrum kuesioner yang digunakan oleh peneliti masih terbatas dan pertanyaannya masih kurang memadai, oleh sebab itu pada penelitian selanjutnya dapat menambah dan memperbaiki pertanyaanpertanyaan yang ada dalam penelitian ini.

More Documents from "Eenk Rukmana"

Kesimpulan.rtf
October 2019 20
Skripsi.docx
November 2019 16
Kronologi Krisis Ekonomi
November 2019 25
Catatan Mirm.docx
November 2019 39
Doc1.docx
November 2019 12