PROPOSAL HAK WARIS ANAK DARI ISTERI KEDUA DITINJAU DARI HUKUM WARIS ISLAM Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum
Oleh: BUSTANUL ARIFIN 155010107111111
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM 2019
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan. Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris di antaranya, waris menurut hukum BW (Burgerlijk Wetboek), hukum Islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu bangsa Indonesia dikatakan “Bhineka Tunggal Ika” yaitu berbeda-beda daerah dan suku bangsa tetapi tetap satu jua, yaitu dasar dan sifat ke-Indonesiaannya. Adat bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika ini tidak akan pernah mati, melainkan akan selalu berkembang. Perkawinan merupakan peristiwa yang penuh makna dalam kehidupan setiap manusia. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa: “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin seorang pria dan wanita untuk menjadi suami istri yang bertujuan membentuk keluarga bahagia kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”1 Berdasarkan bunyi pasal diatas pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah berazaskan monogami. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 3 Ayat (1) yang menyakatan bahwa: “pada azasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri”2 Meskipun menganut azas perkawinan secara monogami, tetapi beristri lebih dari satu orang tidak dilarang, selama melaksanakan ketentuan dan syarat tentang poligami yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2): “Pengadilan, dapat memberi izin kepada
1 2
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, Buana Press, hlm. 568. Ibid. hlm. 569.
seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” Perkawinan lebih dari satu orang istri tidak dilarang bahkan diberikan izin oleh Undang-Undang dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, diantaranya: a. Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 3 ayat (2) : “Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. b. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: “Dalam hal suami akan beristri lebih dari seorang, wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan didaerah tempat tinggalnya. c. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, “Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang apabila: 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri (kebutuhan lahir dan
batin); 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
d. Pada Pasal 5 ayat (1) huruf a, b, c, disebutkan bahwa: “Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan, maka harus dipenuhi syarat-syarat dibawah ini: a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka3 Anak/keturunan dalam Islam adalah hubungan kekeluargaan yang bersumber pada pertalian darah, yang terlahir dari perkawinan yang sah. Dengan garis keturunan ayahnya, sehingga anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga, dimana anak tersebut akan mendapatkan hak-haknya sebagai anak. Menurut hukum Islam yang telah disepakati bersama. Dalam sebagian besar kitab fiqh bahwa anak sah adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dan sahnya seorang anak dalam Islam sangat menentukan nasab/keturunan apakah ada atau tidaknya hubungan kebapakan (nasabnya). Para ulama fiqh berpendapat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang sah apabila melahirkan maka nasabnya adalah suaminya. Kedudukan anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”4 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99 huruf a dan b adalah sebagai berikut: a. “Anak yang terlahir dalam perkawinan yang sah b. Hasil perbuatan suami istri yang sah dan dilahirkan oleh istri dalam perkawinan tersebut.” Anak sah juga diatur pada KUH Perdata Pasal 250, yang mana disebutkan sebagai berikut: “Anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.”5 Setelah memaknai pasal-pasal diatas tentang anak sah dapat disimpulkan bahwa pengertian anak sah adalah sebagai berikut: 3
Ibid Ibid. hlm. 578. 5 Ibid. hlm. 88. 4
a. Anak hasil perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah pula b. Anak yang dibenihkan diluar perkawinan tetapi terlahir didalam perkawinan yang sah c. Anak yang dibenihkan dalam perkawinan yang sah tetapi terlahir diluar perkawinan d. Anak yang dibenihkan oleh pasangan suami istri dalam perkawinan yang sah tetapi diluar Rahim dan dilahirkan oleh istri. Oleh karena masalah warisan tersebut akan mengenai setiap orang apabila ada diantaranya yang meninggal dunia maka dapat dikatakan bahwa Hukum Waris sangat penting dalam kehidupan manusia terutama para ahli waris, karena menyangkut kelangsungan kepemilikan dan pemanfaatan harta warisan, keharmonisan hubungan keluarga antara ahli waris. Di samping itu juga, status hukum harta tersebut harus jelas jika hendak berhadapan dengan pengaturan perundang-undangan lain. Umat Islam seyogyanya tunduk pada sistem Hukum Islam termasuk dalam hal waris. Jika dari segi syariah Islam hukumnya adalah wajib, kewajiban ini dapat dipahami dalam Al-Quran yang menyebutkan orang yang tidak melaksanakan aturan Allah SWT tersebut sebagai orang-orang yang ingkar, zalim dan fasik sebagaimana dalam surah Al-Maidah: 44 yang artinya: “ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.6 Dalam surah Al-Maidah: 45 yang artinya: “ Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”7 dan dalam surah Al-Maidah: 47 yang artinya: “ Barang siapa tidak memutuskan
6
Kementrian Agama RI, 2012, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir, hlm. 115 7 Ibid
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”8 Sementara itu bagaimana sistem Hukum Islam mengatur masalah waris, umat Islam sendiri kurang mengetahui dan memahaminya. Pengetahuan hukum yang rendah, serta pemahaman hukum yang salah mengakibatkan sikap terhadap hukum menjadi salah. Dalam praktiknya penanganan warisan lebih banyak tergantung kepada ahli warisnya. Namun dalam kenyataannya, cukup banyak harta peninggalan yang belum dibagikan karena: masalah orang tua, terbatas harta peninggalan, tentang jenis dan macam harta warisan, pewaris tidak mempunyai keturunan, para waris belum dewasa, belum ada pewaris pengganti, diantara waris belum hadir, belum ada waris yang berhak dan belum di ketahuinya piutang pewaris.9 Agama Islam memerintahkan umatnya untuk mengesahkan pembagian warisan bila pewaris sudah meninggal dunia. Hal ini didasarkan kepada Hadis Rasul yang artinya: Dari Ibnu Abbas r. a. dari Nabi Muhammad SAW beliau berkata “Bagilah harta pusaka di antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah" (H.R. Muslim dan Abu Dawud).”10 Salah satu azas dari Hukum Kewarisan Islam adalah Asas Ijbari yaitu, peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.11 Hal ini terlihat dari Pasal 187 ayat 2 KHI yang berbunyi, “Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta yang harus dibagikan
8
Kementrian Agama RI, 2012, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir, hlm. 116 9 Hilman Hadi Kusuma, 2004, Hukum Waris Adat, Semarang, Aditya Press, hlm. 44. 10 Mukhlis Lubis, 2011, Ilmu Pembagian Waris, Medan, Al-Manar, hlm. 6. 11 Mohammad Daud Ali, 2012, Hukum Islam : Pengantar ilmu hukum dan tata hukum di indonesia, Depok, Raja Grafindo, hlm. 314.
kepada ahli waris yang berhak”. Adanya kata harus dalam pasal ini menunjukkan berlakunya Azas Ijbari. Sejalan dengan hal tersebut di atas terlihat bahwa proses pembagian harta dalam hukum kewarisan Islam adalah merupakan suatu hal yang wajib dan ketentuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah mesti diterima oleh seorang muslim. Harta warisan yang belum dibagi adalah masih berbentuk kongsi dengan ahli waris yang lain. Ahli waris yang lain ada hak disitu maka haram dan berdosa menguasai hak orang lain. Dan perbuatan itu termasuk dalam kategori dzalim (menganiaya orang lain). Kendatipun hukum Islam telah menentukan bagian masing-masing ahli waris namun Islam juga membenarkan perdamaian dengan jalan mengeluarkan sebagian dari haknya ahli waris atas bagian warisan dengan imbalan menerima sejumlah harta tertentu dari harta warisan atau harta lain. Undang-Undang Peradilan Agama yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 memberi hak kepada umat Islam untuk memilih pengadilan dalam menyelesaikan perkara waris, dan umat Islam yang kuat imannya yang mau menyelesaikan secara syariat Islam di Pengadilan Agama. Dalam praktik sering dijumpai pelaksanaan pembagiaan warisan ditundatunda dan harta dibiarkan tetap untuk dalam jangka waktu yang lama bahkan ada yang sempat dikuasai oleh sebagian ahli waris, maka akibatnya sewaktu akan dilakukan pembagian harta warisan, sebagian harta warisan tersebut masih dikuasai oleh sebagian ahli waris. Karena ketika ayah meninggal dan seluruh anak kandung dalam keluarga termasuk istri kedua ataupun ketiga ataupun keempat yang menurut hukum negara dan hukum islam syah terikat perkawinan maka berhak mendapat warisan dari ayah
baik harta yang dimiliki saat bersama istri pertama maupun harta yang dimiliki ayah bersama istri kedua. Harta peninggalan atau harta warisan harus dibagikan segera setelah pewaris meninggal. Dalam Islam tidak ada harta bersama (gono-gini). Suami-istri dianggap sebagai dua individu yang masing-masing berhak memiliki harta sendiri-sendiri sebagaimana lazimnya aturan kepemilikan harta yang berlaku. Oleh karena itu, harta milik dan hasil usaha istri tetap milik istri baik yang diperoleh sebelum atau selama berumah tangga. Tentu saja saudara-saudara lain baik itu saudara kandung ataupun saudara seayah berhak atas warisan dari ayah. Seluruh anak kandung dari ayah baik dari istri pertama maupun dari istri kedua berhak mendapatkan bagian warisan dari harta milik ayahnya, dengan syarat tersebut diatas, bahwa status ayah, istri-istrinya dan anak-anaknya sudah terdaftar dalam pengadilan agama dan sah diakui oleh negara.12 Sebagian masyarakat Kajen harta waris hanya dibagikan kepada anak-anak pewaris dengan ketentuan umum yakni 1:1 antara anak laki-laki dan perempuan dari istri pertama maupun istri kedua, dan tidak ada pihak lain baik dari saudara-saudara seayah ataupun yang lain yang akan mendapatkan bagian dari harta waris tertentu. fenomena ini sedikit terjadi di masyarakat dan dalam hal ini bertentangan dengan hukum kewarisan Islam. Berangkat dari fenomena dan latar belakang permasalahan inilah penyusun tertarik untuk melakukan penelitian, dan mengetahui bagaimana tinjauan yuridis pembagian waris Islam bagi anak istri kedua di ditinjau dari hukum normatif, kemudian mengangkatnya sebagai karya ilmiah dalam bentuk skripsi.
12
https://www.alkhoirot.net/2016/04/bagian-waris-anak-istri-pertama-kedua.html diakses pada 15 September 2018 Jam 20:07
Dengan judul “Hak Waris Anak dari Isteri kedua Ditinjau Dari Hukum Waris Islam” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana cara pembagian waris dalam kewarisan islam ? 2. Bagaimana ketentuan bagian waris anak dari istri kedua dalam hukum waris islam ?