8
BAB II TINJAUAN PUSTA KA
2.1
Obesitas
2.1.1 Pengertian Obesitas Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang terjadi perluasan ke dalam jaringan organnya (Misnadiarly, 2013).
Obesitas
merupakan keadaan
yang
menunjukkan ketidak
seimbangan antara tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang melampaui ukuran ideal. Terjadinya obesitas lebih ditentukan oleh terlalu banyak nya makan, terlalu sedikitnya aktivitas atau latihan fisik, maupun keduanya (Rusilianti, 2014) Dengan demikian tiap
orang perlu
memperhatikan banyaknya
masukan makanan (disesuaikan dengan kebutuhan tenaga sehari-hari) dan aktivitas fisik yang dilakukan. Perhatian lebih besar mengenai kedua hal ini terutama diperlukan bagi mereka yang kebetulan berasal dari keluarga obesitas, berjenis kelamin wanita, pekerjaan banyak duduk, tidak senang melakukan olahraga, serta emosionalnya labil (Asdie A.H, 2012). 2.1.2 Penentuan Obesitas Keadaan obesitas ditentukan dengan mengklasifikasikan status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh (IMT) 8
9
merupakan rumus matematis
yang berkaitan dengan lemak tubuh
orang dewasa, dan dinyatakan sebagai berat badan dalam kilogram dibagi den gan kwadrat tinggi badan dalam ukuran meter (Rusilianti, 2014). 2.1.3 Pengukuran Antropometri sebagai Skrining Obesitas Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara atau metode antara lain pengukuran IMT (Index Massa Tubuh), serta perbandingan lingkar pinggang dan pan ggul (Sonmez et al., 2014). 1. Indeks massa tubuh (IMT) Indeks massa tubuh (IMT) adalah ukuran
yang
menyatakan
komposisi tubuh, penimbangan antara berat badan dengan tinggi badan. Metode ini dilakukan dengan cara menghitung BB/T B2 dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter (Arora, 2015) Tabel 1. Klasifikasi IMT menurut WHO Kriteria Asia Pasifik Klasifikasi IMT (kg/m2) Berat badan kurang < 18,5 Kis ar an Normal B erat B adan Lebih
18, 5-2 2, 9 > 23,0
B erisiko
23, 0-2 4, 9
Obes I
25, 0-29, 9
Obes II
≥ 30,0
Sumber: WHO WPR/IASO/IOT F dalam The Asia Pacific Perspective: Redefening Obesity and its Treatment dalam Sudoyo (2012)
10
2. Rasio lingkar pinggang – pan ggul (R LPP) Pola penyebaran
lemak
tubuh tersebut dapat ditentukan
oleh rasio lingkar pinggang dan panggul. Pinggang diukur pada titik yang tersempit, sedangkan panggul diukur pada titik yang terlebar; lalu ukuran pinggang dibagi dengan ukuran panggul (Arora, 2015). Rasio Lingkar Pinggang (LiPi) dan Lingkar
Panggul
(LiPa)
merupakan cara sederhana untuk membedakan obesitas bagian bawah tubuh (panggul) dan bagian atas tubuh (pinggang dan perut). Jika rasio antara lingkar pinggang dan lingkar panggul untuk perempuan diatas 0.85 dan untuk laki-laki diatas 0.95 maka berkaitan dengan obesitas
sentral/apple
shapedd
obesity
dan
memiliki faktor resiko stroke, DM, dan penyakit jantung koroner. Sebaliknya jika rasio lingkar pin ggang dan lingkar panggul untuk perempuan dibawah 0,85 dan untuk laki-laki dibawah 0,95 maka disebut obesitas perifer/pear shapedd obesity (WHO, 2013). 3. Lingkar Pinggang Lingkar
pinggang
adalah
salah
satu
indikator
untuk
menentukan jenis obesitas yang diperoleh melalui hasil pengukuran panjang lingkar yang diukur di antara crista illiaca dan costa XII pada lingkar terkecil, diukur dengan pita meteran non elastis (ketelitian 1 mm). Pada penelitian lain yang dilakukan Wang et al. (2012), ukuran lingkar pinggang yang besar berhubungan dengan peningkatan faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskular karena lingkar pinggang
11
dapat menggambarkan akumulasi dari lemak intraabdominal atau lemak visceral. Berikut adalah teknik pengukuran lingkar pinggang menurut Riskesdas (2013): a. Responden diminta dengan cara yang santun untuk
membuka
pakaian bagian atas atau menyingkapkan pakaian bagian atas dan raba tulang rusuk terakhir responden untuk menetapkan titik pengukuran. b. Tetapkan titik batas tepi tulang rusuk paling bawah. c. Tetapkan titik ujung lengkung tulang pan gkal paha/panggul. d. Tetapkan titik tengah di antara diantara titik tulang rusuk terakhir titik ujung lengkung tulang pangkal paha/ panggul dan tandai titik tengah tersebut dengan alat tulis. Minta responden untuk berdiri tegak dan bernafas dengan normal (ekspirasi normal). e. Lakukan pengukuran lingkar peru dimulai/diambil dari titik tengah kemudian secara sejajar horizontal melingkari pinggang dan perut kembali menuju titik tengah diawal pengukuran.
f. Apabila responden mempunyai perut yang gendut kebawah, pengukuran mengambil bagian yang paling buncit lalu berakhir pada titik tengah tersebut lagi.
g. Pita pengukur tidak boleh melipat dan ukur lingkar pinggang mendekati angka 0,1 cm.
12
4. Lingkar Panggul Lingkar panggul juga merupakan salah satu
indikator untuk
menentukan jenis obesitas yang diperoleh melalui hasil pengukuran panjang lingkar maksimal dari pantat dan pada bagian atas simphysis ossis pubis. Lingkar panggul yang besar (tanpa menilai IMT dan lingkar pinggang)
memiliki
risiko
diabetes
Mellitus
dan
penyakit
kardiovaskular yang lebih rendah dibandingkan dengan obesitas apple shaped (Ovi yanti, 2010). Berikut adalah teknik pengukuran lingkar pinggang menurut Riskesdas (2013): a. Responden diminta berdiri tegap dengan kedua kaki dan berat merata pada setiap kaki. b. Palpasi dan tetapkan daerah trochanter mayor pada tulang paha. c. Lingkarkan pita ukur tanpa melakukan penekanan. d. Posisikan pita ukur pada lingkar maksimum dari bokong, untuk wanita biasanya di tingkat pangkal paha, sedangkan untuk pria biasanya sekitar 2 - 4 cm bawah pusar. e. Ukur lingkar pinggul mendekati angka 0,1cm. 2.1.4 Klasif ikasi Obesitas Klasifikasi obesitas dapat dibedakan berdasarkan distribusi jaringan lemak, yaitu: 1. Apple-shapedd body (distribusi jaringan lemak dibagian dada dan pinggang)
lebih
banyak
13
2. Pear-shapedd body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian panggul dan paha) (Sugondo, 2013). Terdapat klasifikasi obesitas berdasarkan kriteria obesitas untuk kawasan Asia Pasifik. Kriteria ini berdasarkan meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnis Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnis kaukasia. Sebalikn ya, nilai IMT bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia, dan Thailand masingmasing adalah 1.9, 4.6, 3.2, dan 2.9 kg/m2 lebih rendah daripada etnis Kaukasia. Hal ini memperlihatkan adanya nilai ambang batas IMT untuk obesitas yan g spesifik untuk populasi tertentu (Sugondo, 2013).
Gambar 2.1 Obesitas 2.1.5 Tipe-Tipe Obesitas Berdasarkan kondisi selnya, kegemukan dapat digolongkan Dalam beberapa tipe yaitu:
14
1.
Tipe Hiperplastik, adalah kegemukan yang terjadi karena jumlah sel yang lebih banyak di bandingkan kondisi normal,
tetapi ukuran
selselnya sesuai dengan ukuran sel normal terjadi pada masa anakanak.Upaya menurunkan berat badan kekondisi normal pada masa anak-anak akan lebih sulit. 2.
Tipe Hipertropik, kegemukan ini terjadi karena ukuran sel yang lebih besar dibandingkan ukuran sel normal. Kegemukan tipe ini terjadi pada usia dewasa dan upaya untuk menurunkan berat akan lebih mudah bila dibandingkan dengan tipe hiperplastik.
3.
Tipe Hiperplastik dan Hipertropik kegemukan tipe ini terjadi karena jumlah dan ukuran sel melebihi normal. Kegemukan tipe ini dimulai pada masa anak-anak dan terus berlangsung sampai setelah dewasa. Upaya untuk menurunkan berat badan pada tipe ini merupakan yang paling sulit, karena dapat beresiko terjadinya komplikasi penyakit, seperti penyakit degeneratif. Berdasarkan penyebaran lemak di dalam tubuh, ada dua tipe
obesitas yaitu: 1. Tipe buah apel (Adroid), pada tipe ini ditandai dengan pertumbuhan lemak yang berlebih dibagian tubuh sebelah atas yaitu sekitar dada, pundak, leher, dan muka. Tipe ini pada umumnya dialami pria dan wanita yang sudah menopause. Lemak yang menumpuk adalah lemak jenuh.
15
2. Tipe buah pear (Genoid), tipe ini mempunyai timbunan lemak pada bagian bawah, yaitu sekitar perut, pinggul, paha, dan pantat. Tipe ini banyak diderita oleh perempuan. Jenis timbunan lemaknya adalah lemak tidak jenuh (AsdieA.H, 2014). 2.1.4 Resiko Obesitas Dari segi fisik, orang yang mengalami obesitas akan mengalami rendah diri dan merasa kurang percaya diri. Sehingga seringkali akan mengalami tekanan, baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya (Purwati, 2015). Kelebihan penimbunan lemak diatas 20% berat badan idial, akan menimbulkan permasalahan kesehatan hingga terjadi gangguan fungsi organ tubuh (Price, 2013). Orang dengan obesitas akan lebih mudah terserang penyakit degeneratif (Price, 2013). Penyakit-penyakit tersebut antara lain: 1. Hipertensi Orang dengan obesitas akan mempunyai resiko yang tinggi terhadap penyakit hipertensi. Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 20 – 39 tahun orang obesitas mempunyai resiko dua kali lebih besar terserang hipertensi dibandingkan dengan orang yang mempunyai berat Badan normal. 2. Jantung coroner Penyakit jantung coroner adalah penyakit yang terjadi akibat penyempitan pembuluh darah koroner. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dari 500 penderita kegemukan, sekitar 88% mendapat resiko
16
terserang penyakit jantung koroner. Meningkatnya factor resiko pen yakit jantung koroner sejalan dengan terjadinya penambahan berat badan seseorang. Penelitian lain juga menunjukkan kegemukan yang terjadi pada usia 20-40 tahun ternyata berpengaruh lebih besar terjadinya penyakit jantung dibandingkan kegemukan yang terjadi pada usia yang lebih tua. 3. Diabetes Mellitus Diabetes mellitus dapat disebut penyakit keturunan, tetapi kondisi tersebut tidak selalu timbul jika seseorang tidak kelebihan berat badan. Lebih dari 90% penderita diabetes mellitus tipe serangan dewasa adalah penderita kegemukan. Pada umumnya penderita
diabetes
mempunyai kadar lemak yang abnormal dalam darah. Maka, dianjurkan bagi penderita diabetes yang ingin menurunkan berat badan sebaiknya dilakukan dengan mengurangi konsumsi bahan makanan sumber lemak dan lebih banyak mengkonsumsi makanan tinggi serat (PERKENI, 2017). 4. Gout Penderita obesitas mempunyai resik tinggi terhadap penyakit radang sendi yang lebih serius jika dibandingkan dengan orang yang berat badannya ideal. Penderita obesitas yang juga menderita gout harus menurunkan berat badannya secara perlahan-lahan.
17
5. Batu Empedu Penderita obesitas mempunyai resiko terserang batu empedu lebih tinggi karena ketika tubuh mengubah kelebihan lemak makanan menjadi lemak tubuh, cairan empedu lebih banyak diproduksi didalam hati dan disimpan dalam kantong empedu. Penyakit batu empedu lebih sering terjadi pada penderita obesitas tipe buah apel. Penurunan berat badan tidak akan mengobati penyakit batu empedu, tetapi hanya membantu dalam pencegahannya. Sedan gkan untuk mengobati batu empedu harus menggunakan sinar ultrasonic maupun melalui pembedahan. 6. Kanker Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa laki-laki dengan obesitas akan beresiko terkena kanker usus besar, rectum, dan kelenjar prostate. Sedangkan pada wanita akan beresiko terkena kanker rahim dan kanker payudara. Untuk mengurangi resiko tersebut konsumsi lemak total harus dikurangi. Penguran gan lemak dalam makanan sebanyak 20-25% perkilo kalori merupakan pencegahan terhadap resiko penyakit kanker payudara Menurut Price (2013) faktor yang menyebabkan obesitas secara langsung. 1. Genetik Faktor genetik adalah faktor keturunan yang berasal dari orang tuanya. Pengaruh faktor tersebut sebenarnya belum terlalu jelas
18
sebagai penyebab kegemukan. Namun demikian, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa faktor genetik merupakan factor penguat terjadinya kegemukan (Purwati, 2001). Menurut penelitian, anakanak dari orang tua yang mempunyai berat badan normal ternyata mempunyai 10% resiko kegemukan. Bila salah satu orang tuanya menderita kegemukan, maka peluang itu meningkat menjadi 40 – 50 %. Dan bila kedua orang tuanya menderita kegemukan maka peluang factor keturunan menjadi 70–80%. 2. Hormonal. Pada wanita yang telah mengalami menopause, fungsi hormone tiroid didalam tubuhnya akan menurun. Oleh karena itu kemampuan untuk menggunakan energi akan berkurang. Terlebih lagi pada usia ini juga terjadi penurunan metabolism basal tubuh, sehingga mempunyai kecenderungan untuk meningkat berat badann ya. Selain hormone tiroid hormone insulin juga dapat men yebabkan kegemukan. Hal ini dikarenakan hormone insulin mempunyai peranan dalam menyalurkan energi kedalam sel-sel tubuh. Orang yang mengalami peningkatan hormone insulin, maka timbunan lemak didalam
tubuhnyapun akan meningkat. Hormon
lainnya yang berpengaruh adalah hormone leptin yang dihasilkan oleh kelenjar pituitary, sebab hormone ini berfungsi sebagai pengatur metabolism dan nafsu makan serta fungsi hipotalmus yang abnormal, yang menyebabkan hiperfagia.
19
3. Obat-obatan Saat ini sudah terdapat beberapa obat yang dapat merangsang pusat lapar didalam tubuh. Dengan demikian orang yang mengkonsumsi obat-obatan tersebut, nafsu makannya akan meningkat, apalagi jika dikonsumsi dalam waktu yang relative lama, seperti dalam keadaan pen yembuhan suatu pen yakit, maka hal ini akan memicu terjadinya kegemukan. 4. Asupan makan Asupan makanan adalah banyaknya makanan yang dikonsumsi seseorang. Asupan Energi yang berlebih secara kronis akan menimbulkan kenaikan berat badan, berat badan lebih (over weight), dan obesitas. Makanan dengan kepadatan energi yang tinggi (banyak mengandung lemak dan gula yang ditambahkan dan kurang mengandung
serat)
turut
menyebabkan
sebagian
besar
keseimbangan energi yang positip ini. Perlu di yakini bahwa obesitas han ya mungkin terjadi jika terdapat kelebihan makanan dalam tubuh, terutama
bahan makanan
sumber energi. Dan
kelebihan makanan itu sering tidak disadari oleh penderita obesitas. Ada tiga hal yang mempengaruhi asupan makan, yaitu kebiasaan makan, pengetahuan, dan ketersediaan makanan dalam keluarga. Kebiasaan makan berkaitan dengan makanan menurut tradisi setempat, meliputi hal-hal bagaimana makanan diperoleh, apa yang
20
dipilih, bagaimana menyiapkan, siapa yang memakan, dan seberapa banyak yang dimakan. Ketersediaan pangan juga mempengaruhi asupan makan, semakin baik ketersediaan pangan suatu keluarga, memungkinkan terpenuhin ya seluruh kebutuhan zat gizi.Ketersediaan pangan sangat dipengaruhi oleh pemberdayaan keluarga dan pemanfaatan sumberdaya mas yarakat. Sedangkan kedua hal tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kemiskinan. Kecukupan gizi menurut Recommended dietary Allowanie (RDA)
adalah banyaknya zat gizi yang harus terpenuhi dari
makanan mencakup hampir semua orang sehat. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktifitas, berat badan, tinggi badan, genetic, dan keadaan hamil dan men yusui. Kecukupan gizi yang dianjurkan berbeda dengan kebutuhan gizi. Kebutuhan energi total untuk orang dewasa diperlukan untuk metabolisme basal, aktivitas fisik, dan efek makanan atau pengaruh dinamik khusus (SDA). Kebutuhan energi terbesar diperlukan untuk metabolisme basal. Angka kecukupan protein (AKP) orang dewasa menurut hasil penelitian keseimbangan nitrogen yaitu 0,75 gr/kg berat badan, berupa protein patokan tinggi yaitu
protein telur. Angka
dinamakan safe level of intake atau taraf asupan terjamin.
ini
21
5. Aktivitas Fisik Obesitas juga dapat terjadi bukan hanya karena makan yang berlebihan, tetapi juga dikarenakan aktivitas fisik yang berkurang sehingga terjadi kelebihan energi. Beberapa hal yang mempengaruhi berkurangnya aktivitas fisik antara lain adanya berbagai fasilitas yang memberikan berbagai kemudahan yang menyebabkan aktivitas fisik menurun. Faktor lainnya adalah adanya kemajuan teknologi diberbagai bidang kehidupan yang mendorong masyarakat untuk menempuh kehidupan yang tidak memerlukan kerja fisik yang berat. Hal ini menjadikan jumlah penduduk yang melakukan pekerjaan fisik sangat terbatas menjadi semakin banyak, sehingga obesitas menjadi lebih merupakan masalah kesehat (Asdie A.H, 2013). Menurut Ismail (2012) Faktor yang menyebabkan obesitas secara tidak langsung: 1. Pengetahuan gizi. Pengetahuan gizi memegang peranan penting
dalam
menggunakan pangan dengan baik sehingga dapat mencapai keadaan gizi yang cukup. Pengetahuan ibu dipengaruhi oleh pendidikannya.
Tingkat
pendidikan,
pengetahuan
dan
ketrampilan yang dimiliki sangat mempengaruhi pengetahuan seseorang.Dengan berbekal pendidikan yang cukup, seseorang
22
akan lebih banyak memperoleh
informasi dalam menentukan
pola makan bagi dirinya maupun keluarganya. Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman diri sendiri atau pengalaman orang lain. Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikannya. Pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui pendidikan formal, namu juga dari informasi orang lain, media massa atau dari hasil pengalaman orang lain. 2. Pengaturan Makan Hidangan gizi seimbang adalah makanan yang mengandung zat gizi tenaga, zat pembangun dan zat pengatur yang dikonsumsi seseorang dalam waktu satu hari sesuai dengan kecukupan tubuhnya (Departemen Kesehatan RI,1996) Makanan sumber karbohidrat kompleks merupakan sumber energi utama. Bahan makanan sumber karbohidrat kompleks adalah padi-padian (beras, jagung, gandum), umbi-umbian (singkong ubi jalar dan kentang), dan bahan makanan lain yang mengandung banyak karbohidrat seperti pisang dan sagu. Gula tidak mengenyangkan tetapi cenderung dikonsumsi berlebih, konsumsi gula berlebihan menyebabkan kegemukan. Oleh karena itu
konsumsi
gula
23
sebaiknya dibatasi sampai 5% dari jumlah kecukupan energi atau 3-4 sendok makan setiap harinya. Konsumsi
zat
tenaga yang melebihi kecukupan dapat
mengakibatkan kenaikan
berat
badan, bila keadaan ini
berlanjut akan menyebabkan obesitas yang biasanya disertai dengan gan gguan kesehatan lainnya. Berat Badan merupakan petunjuk utama apakah seseorang kekurangan Atau kelebihan energy dari makanan (Llo yd W et al, 2013). Obesitas dapat terjadi jika konsumsi makanan dalam tubuh melebihi kebutuhan, dan penggunaan energy yang rendah. Beberapa penyebab yang menjadikan seseorang makan melebihi kebutuhan adalah: a. Makan berlebih Tidak
bisa
merupakankebiasaan
mengendalikan merupakan
nafsu
kebiasaan
buruk,
makan baik
dilakukan dirumah, restoran, saat pesta, maupun pada pertemuanpertemuan. Apabila sudah merasa kenyang, janganlah sekali-kali menambah porsi makanan meskipun makanan yang tersedia sangat lezat. Faktor ini sangat berhubungan erat dengan rasa lapar dan nafsu makan. Begitu juga saat terjadi stress (rasa takut, cemas) beberapa orang dalam menghadapinya akan mengalihkan perhatiaannya pada makanan.
24
b. Kebiasaan mengemil makanan ringan Mengemil adalah kebiasaan makan yang dilakukan diluar waktu makan, dan makanan yang dikonsumsi berupa makanan kecil yang rasanya gurih, manis manis dan biasanya di goreng. Bila kebiasaan ini tidak dikontrol akan dapat men yebabkan kegemukan, karena jenis makanan tersebut termasuk tinggi kalori. Namun jika rasa lapar sulit untuk ditahan, maka makanlah makanan yang rendah kalori dan tinggi serat seperti sayu ran dan buah-buahan. c.
Suka makan tergesa-gesa Makan secara terburu-buru akan kurang menguntungkan
menyebabkan
bagi pencernaan selain
efek dapat
mengakibatkan rasa lapar kembali. Begitu pula dengan kebiasaan mengunya makanan yang kurang halus. Padahal makan dengan tidak terburu-buru dan mengunyah makanan yang halus akan memelihara kesehatan gigi dan gusi d. Salah memilih dan mengolah makanan Faktor ini biasanya disebabkan karena ketidaktahuan. Tetapi banyak juga orang yang memilih makanan han ya karena prestise semata. Misalnya, banyak orang yang lebih memilih makanan yang cepat saji, padahal makanan tersebut lemak, kalori dan gula yang berlebih, seratnya rendah.
banyak mengandung sedangkan kandungan
25
Selain makanan tersebut, mas yarakat juga menyukai makanan goreng-gorengan ataupun yang bersantan. Padahal minyak dan santan selain tinggi kalori, juga merupakan lemak yang mengandung ikatan jenuh sehingga sulit untuk dipecah menjadi bahan bakar. Oleh karena itu, biasakanlah memasak dengan cara membakar, merebus, mengukus, memanggang dan mengetim (Lloyd W et al, 2013). Rumus IMT : IMT
=
Berat Badan (Kg) Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)
Keterangan : 18.4 Kebawah
: Berat Badan Kurang
18.5-24.5
: Berat Badan Ideal
25-29.9
: Berat Badan Lebih
30-39.9
: Gemuk
40 Keatas
: Sangat Gemuk
2.2 Diabetes Mellitus 2.2.1 Definisi Diabetes Mellitus DM merupakan suatu pen yakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi normal. Insulin yang dihasilka oleh kelenjar pankreas sangat penting untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa darah yaitu untuk orang normal (tanpa diabetes) waktu puasa antara 60- 120 mg/d L dan
dua jam sesudah
makan di bawah 140 mg/dL.
Bila terjadi
26
gangguan pada kerja insulin, keseimbangan tersebut akan terganggu sehingga
kadar glukosa darah cenderung naik. Kadar gula darah pada
waktu puasa ≥ 126 mg/d L dan kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/d L (Mardjana, 2015). Menurut Perkeni DM adalah suatu kelompok pen yakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yan g terjadi karena kelainan
sekresi insulin,gangguan kerja insulin atau keduanya yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Mardjana, 2015).
2.2.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus Klasifikasi DM dan penggolon gan intoleransi glukosa
yang lain
(Haidari, dkk, 2012): 1. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) yaitu defisiensi insulin karena kerusakan
sel-sel
langerhans yang berhubungan
dengan tipe H LA (Human Leucocyte Antiter) spesifik, predisposisi pada insulitis fenomena autoimun (cenderung ketosis dan terjadi pada semua usia muda). Kelainan ini terjadi karena kerusaka sistem imunitas (kekebalan tubuh)
yang kemudian merusak sel-sel pulau
Langerhans di pankreas. Kelainan ini berdampak pada penurunan produksi insulin. 2. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) yaitu
diabetes
resisten, lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi pada semua umur.
Kebanyakan
penderita
kelebihan
berat
badan,
ada
27
kecenderungan
familiar,
mungkin
perlu
insulin
pada
saat
hiperglikemik selama stress. 3. Diabetes Mellitus tipe yang lain adalah DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu hiperglikemia terjadi karena pen yakit lain: pen yakit pankreas, hormonal, obat atau bahan kimia, endokrinopati, kelainan reseptor insulin, sindroma genetik tertentu. 4. Gestational Diabetes Mellitus (GDM). Intoleransi glukosa
yang
terjadi selama kehamilan. 2.2.3 Gejala Diabetes Mellitus Menurut Anis (2010) gejala yang sering dijumpai pada pasien diabetes Mellitus yaitu: a. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin). b. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin
yang
sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. c. Dehidrasi instrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penuruna gradien konsentrasi ke plasma
yang
merangsang
hipertonik
pengeluaran
(sangat ADH
pekat). Dehidrasi intrasel
(antideuretic
hormone)
dan
menimbulkan rasa haus. d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes lama, katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. e. Polifagia (peningkatan rasa lapar).
28
f. Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan pembentukan antibody, peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes kronik. g. Kelainan kulit: gatal, bisul-bisul. Kelainan kulit berupa gatalgatal, biasanya terjadi di lipatan kulit seperti di ketiak dan di bawah payudara biasan ya akibat tumbuhnya jamur. h. Kelainan genekologis. Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama candida. i. Kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati. Pada penderita diabetes Mellitus regenerasi sel persarafan mengalami gan gguan akibat kekurangan bahan dasar utama
yang berasal dari unsur
protein. Akibatnya banyak sel persarafan terutama perifer mengalami kerusakan. j. Kelemahan tubuh. Kelemahan tubuh terjadi akibat penuruna produksi energi metabolik yang dilakukan oleh sel melalui proses glikosis tidak dapat berlangsun g secara optimal. k. Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh. Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan unsur makanan yang lain. Pada penderita diabetes Mellitus bahan protein banyak diformulasikan untuk kebutuhan energi sel sehingga bahan yang dipergunakan untuk penggantian jaringan yang rusak
29
mengalami gangguan. Selain itu, luka yang sulit sembuh juga dapat diakibatkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang cepat pada penderita diabetes Mellitus. l. Pada laki-laki
terkadang
mengeluh
impotensi. Ejakulasi dan
dorongan seksualitas laki-laki banyak dipengaruhi oleh peningkatan hormone testoteron. Pada kondisi optimal (periodik hari ke-3) maka secara otomatis akan
meningkatkan
dorongan seksual. Penderita
diabetes Mellitus mengalami penurunan produksi hormon seksual akibat kerusakan testoteron dan sistem yang berperan. m. Mata kabur
yang disebabkan katarak atau gangguan refraksi
akibat perubahan pada lensa oleh hiperglikemia. 2.2.4 Faktor Risiko Diabetes Mellitus Menurut Jelita (2016) faktor-faktor
risiko
terjadinya
Mellitus menurut ADF dengan modifikasi terdiri atas: a. Faktor risiko utama 1) Riwayat keluarga diabetes Mellitus 2) Obesitas 3) Kurang aktivitas fisik 4) Hipertensi 5) Kolesterol dan HD L yan g tidak terkontrol 6) Riwayat diabetes Mellitus pada kehamilan. b. Faktor risiko lainn ya 1) Nutrisi
Diabetes
30
2) Konsumsi alkohol 3) Stres 4) Kebiasaan merokok 5) Konsumsi kopi dan kafein. 2.2.5 Komplikasi Diabetes Mellitus Menurut Wijaya (2013) komplikasi-komplikasi pada Diabetes dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a. Komplikasi yang bersifat akut 1) Koma hipoglikemia. Koma hipoglikemia terjadi karena pemakaian obat-obat diabetik yang melebihi dosis yang dianjurkan sehingga terjadi penurunan glukosa dalam darah. Glukosa yang ada sebagian besar difasilitasi untuk masuk ke dalam sel. 2) Ketoasidosis. Minimnya glukosa di dalam sel akan mengakibatkan sel mencari sumber alternatif untuk dapat memperoleh energi sel. Kalau tidak ada glukosa maka benda- benda keton yang dipakai sel. Kondisi ini akan mengakibatkan penumpukan residu pembongkaran benda-benda keton yang berlebihan yang dapat mengakibatkan asidosis. 3) Koma hiperosmolar non ketotik. Koma ini terjadi karena penurunan komposisi cairan intrasel dan ekstrasel karena banyak dieksresi lewat urin. b. Komplikasi yang bersifat kronik 1) Makroangiopati yang menyebabkan pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah
31
otak. Perubahan pada pembuluh darah besar dapat mengalami aterosklerosis
sering
terjadi
makroangiopati adalah penyakit
pada
NIDDM.
Komplikasi
vaskuler otak, penyakit arteri
koronaria dan penyakit vaskuler perifer. 2) Mikroangiopati yang mengenai pembuluh darah kecil, retinopati diabetik, nefropati diabetik. Perubahan-perubahan mikrovaskuler yang ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran diantara jaringan
dan pembuluh darah sekitar. Terjadi pada
penderita
IDDM yang terjadi neuropati, nefropati dan retinopati. 3) Neuropati diabetik. Akumulasi orbital di dalam jaringan dan perubahan metabolik mengakibatkan fungsi sensorik dan motorik saraf menurun kehilangan sensori
mengakibatkan
penurunan
persepsi nyeri. 4) Rentan infeksi seperti tuberkulosis paru, gingivitis dan infeksi saluran kemih. 5)
Kaki diabetik. Perubahan mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati
menyebabka perubahan pada ekstremitas bawah.
Komplikasinya dapat terjadi gangguan sirkulasi, terjadi infeksi, ganggren, penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf sensorik dapat menunjang terjadi trauma atau tidak terkontrolnya infeksi yang men gakibatkan gangren. 2.2.6
Metabolisme Lipid Pada Diabetes Mellitus Dislipidemia adalah suatu kelainan dimana terjadi peningkatan kadar satu atau lebih lipid atau lipoprotein plasma. Dapat juga
32
disebabkan karena rendahnya kadar lipid atau lipoprotein tertentu. Kelainan fraksi lipid
yang sering terjadi adalah kenaikan kadar
kolesterol total, kadar trigliserid dan kadar kolesterol LDL serta penurunan kadar kolesterol HDL (Sodeman, 2013). Pasien dengan DM Tipe II biasan ya mengalami dislipidemia. Kadar insulin yang tinggi dan resistensi insulin yang terkait dengan DM Tipe II memiliki beberapa efek pada metabolisme lemak. Pada keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan adiposa akan menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserida di jaringan adiposa semakin meningkat. Keadaan ini akan menghasilkan asam lemak bebas yang berlebihan. Asam lemak bebas akan memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan sebagai sumber energi dan sebagian akan dibawa ke hati sebagai bahan baku pembentuk trigliserida. Di hati asam lemak bebas akan kembali menjadi trigliserid kembali dan menjadi bagian dari V LD L. Oleh karena itu, VLD L yan g dihasilkan pada keadaan resistensi insulin akan sangat kaya dengan trigliserid, disebut VLDL kaya trigliserid atau VLD L besar. (Sodeman, 2013). Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar dengan
kolesterol
ester
dari
kolesterol
LDL,
yang mana akan
menghasilkan LDL yang kaya akan trigliserid tetapi kurang kolesterol ester (cholesterol ester depleted LDL). Trigliserid yang dikandung oleh LD L akan dihidrolisis oleh enzim lipase hepatik (yang biasan ya meningkat pada resistensi insulin) sehingga menghasilkan LDL kecil tetapi padat, yan g dikenal dengan small dense LDL . Partikel LD L kecil
33
padat ini sifatn ya mudah teroksidasi, oleh karena itu sangat aterogenik. Trigliserid VLDL besar juga dipertukarkan dengan kolesterol ester dari HD L dan menghasilkan HDL miskin kolesterol ester tapi kaya trigliserid. Kolesterol HDL bentuk demikian lebih mudah dikatabolisme oleh ginjal sehingga jumlah HDL serum menurun. Oleh karena itu pada pada resistensi insulin terjadi kelainan profil lipid serum yan g khas yaitu kadar trigliserida tinggi, kolesterol HD L ren dah dan meningkatnya subfraksi LD L kecil padat, dikenal dengan nama fenotipe lipoprotein aterogenik atau lipid trial (Sodeman, 2013). 2.3
Kadar Gula Darah Puasa Glukosa darah adalah gula yang terdapat dalam darah yang terbentuk dari karbohidrat dalam makanan dan disimpan sebagai gliko gen di hati dan otot rangka. Energi untuk sebagian besar fungsi sel dan jaringan berasal dari glukosa. Pembentukan energi alternatif juga dapat berasal dari metabolisme asam lemak, tetapi jalur ini kurang efisien dibandingkan dengan pembakaran langsung glukosa, dan proses ini juga menghasilkan metabolitmetabolit asam yang berbahaya apabila dibiarkan menumpuk, sehingga kadar glukosa di dalam darah dikendalikan oleh beberapa mekanisme homeostatik yang dalam keadaan sehat dapat mempertahankan kadar dalam rentang 70 sampai 110 mg/dl dalam keadaan puasa (Monta ye M. et al, 2014). Setelah pencernaan makanan yang mengandung banyak glukosa, secara normal kadar glukosa darah akan meningkat, namun tidak melebihi 170 mg/dl. Banyak hormon ikut serta dalam mempertahankan kadar glukosa
34
darah yang adekuat baik dalam keadaan normal maupun sebagai respon terhadap stres. Pengukuran glukosa darah sering dilakukan untuk memantau keberhasilan mekanisme regulatorik ini. Penyimpangan yang berlebihan dari normal, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah, menandakan terjadinya gangguan homeostatis dan sudah semestinya mendorong tenaga analis kesehatan melakukan pemeriksaan untuk mencari etiologinya (Sherwood, 2010). Peranan obesitas dalam resistensi insulin dijelaskan dalam berbagai teori. Salah satu teori menyatakan bahwa jaringan lemak juga merupakan suatu jaringan “endokrin” aktif yang dapat berhubungan dengan hati dan otot melalui pelepasan zat perantara yang nantinya mempengaruhi kerja insulin dan tingginya penumpukan jaringan lemak tersebut dapat berakhir dengan timbulnya resistensi insulin. Resistensi insulin yang terjadi pada kelompok obesitas kemudian mengakibatkan penurunan kerja insulin pada jaringan sasaran sehingga menyebabkan glukosa sulit memasuki sel. Keadaan ini berakhir kepada peningkatan kadar glukosa dalam darah. Peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi pada keadaan resistensi insulin dapat dideteksi dan diukur melalui pemeriksaan kadar gula darah. Terdapat beberapa jenis pemeriksaan kadar gula darah yang bermanfaat dalam penilaian resistensi insulin yan g terjadi pada kelompok obesitas yaitu pemeriksaan gula darah puasa dan pemeriksaan gula darah 2 jam sesudah makan (Sherwood, 2012).
35
2.4 Penelitian Terkait Penelitian oleh Mayang (2013) dengan judul hubungan obsesitas dengan kadar gula darah puasa pada pasien diabetes Mellitus di RSUD Nganjuk Seleman Yogyakarta Tahun 2013. Didapat hasil 30 responden dengan gula darah puasa lebih dari normal 23 orang (76.67%) dan kurang dari normal 7 orang (23.33&) dan IMT beresiko 22 orang (73.33%) dan obesitas 8 orang (26.67%) dengan hasil uji Chi-square didapat p-value 0.003 dimana (pvalue<0.05) yan g artinya terdapat hubungan bermakna antara obsesitas dengan kadar gula darah puasa pada pasien diabetes Mellitus di RSUD Nganjuk Seleman Yog ya karta Tahun 2013.
36
2.5
Kerangka Teori
Gambar 2.4 Kerangka Teori Sumber : (Yoan Hotnida, 2012) 2.6 Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori di atas, maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut: Variabel Independen (X)
Variabel Dependen (Y) Kadar gula darah puasa pada pasien diabetes melitus tipe 2
Obesitas
Gambar 2.5 Kerangka Konsep
37
2.7 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Ha:
Ada hubungan obsesitas dengan kadar gula darah puasa pada pasien diabetes Mellitus tipe 2 di RS Bintang Amin Bandar Lampung tahun 2018.
Ho:
Tidak ada hubungan obsesitas dengan kadar gula darah puasa pada pasien diabetes Mellitus tipe 2 di RS Bintang Amin Bandar Lampung tahun 2018