MENGIDENTIFIKASI MASALAH ETIK MODUL ENTEROHEPATIK Dr. dr. SETYO TRISNADI, S.H., Sp.KF.
PENDAHULUAN Dalam pembuatan keputusan klinik pada beragam kasus konkrit, seringkali dokter mengalami kesulitan. Apalagi bila kasus yang dihadapinya dalam keadaan dilematis, atau (akan tetap) hidup atau (sebentar lagi) mati. Selain harus berkonsentrasi pada kegawatan pasiennya, juga pertimbangan etikomedikolegal. Apalagi dalam situasi akhir-akhir ini yang mengarah ke kedokteran-demi-pembelaan (defensive medicine) akibat ramainya tuduhan malpraktek semena-mena. Reputasi yang dibina puluhan tahun dapat hancur dalam semenit. Dilema etik adalah situasi yang memerlukan keputusan dari dua alternatif yang mungkin sama-sama tidak menyenangkan atau saling berselisihan. Banyak keputusan di bidang pelayanan kesehatan mengandung dilema etik, sehingga diperlukan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang benar dalam mengambil keputusan etik. Ada beberapa langkah dalam mengambil keputusan etik antara lain : 1. Identifikasi masalah etik (faktor – faktor yang mempengaruhi keputusan etik). Menurut Jonsen, Siegler, Winslade, 2006) : a. Medical Indication (Indikasi Medis). b. Patient Preferences (Pilihan (Pilihan Pasien). Pasien). c. Quality of Life (Mutu Hidup setelah pengobatan). d. Contextual Features (Faktor-faktor kontekstual). 2. Jawablah masalah menurut 4 prinsip moral (beneficence, nonmaleficence, autonomy, justice)
TINJAUAN TEORI Kita mengenal kata “ethics” dalam bahasa Inggris dan dalam Bahasa Indonesia (Kamus Besar bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa 2008). Dibedakan antara etika dan etik : 1. Etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia mengenai apa yang baik dan yang buruk atau benar dan salah dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Jadi, etika adalah cabang ilmu filsafat praktis yang memberi dasar untuk berfikir secara lurus dengan premis (dasar pemikiran) yang benar
sehingga bisa ditarik kesimpulan yang benar pula. Oleh karena premisnya bias berbeda-beda maka kesimpulan akhirnya pun bias berbeda-beda. 2. Etik adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat (codes of profesional ethics). Etik merupakan kumpulan azas (yang sudah dikodifikasikan) yang ditarik dari pemikiran etika (etis) sehingga nilai itu bisa dipertanggung jawabkan secara rasional. Nilai-nilai perlu dikritisi setiap waktu oleh karena perkembangan zaman yang tidak memungkinkan nilai-nilai lama selalu bisa terus bertahan. Tetapi begitu nilai itu disetujui maka nilai itu mengikat bagi semua anggota sehingga kegagalan untuk bertindak sesuai dengan nilai itu akan menjadi pelanggaran etik. Sehubungan dengan kedokteran, maka kalau kita bicara mengenai: 1. Etika kedokteran berarti berbicara mengenai ilmu tentang yang baik dan yang buruk atau benar dan salah serta mengenai hak dan kewajiban moral sebagai dokter 2. Etik kedokteran maka kita berbicara mengenai kumpulan azas (kodeki, sumpah dokter, kodersi dsb) yang darinya keluarlah beberapa poin mengenai benar dan salah yang dianut masyarakat kedokteran. Seringkali nilai-nilai itu hanya berlaku dikalangan terbatas (para dokter saja) dan tidak berlaku pada masyarakat umum. Kiranya baik memilah-milah antara etik dan yang mirip tetapi bukan ethics: 1. Moral. Sebagai asal-usul kata, antara etika dan moral mempunyai arti yang sama, yakni menyangkut adat kebiasaan. Yang berbeda hanya asal katanya yakni etika dari bahasa Yunani sedangkan moral dari bahasa Latin. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya ada 2 pendapat yang berbeda. Ada kelompok ahli yang menyamakan antara etika dan moral sehingga keduanya bisa dipertukarkan tetapi juga ada kelompok ahli yang membedakan antara etika dan moral. Di dalam etika, prinsip dasar yang dipakai adalah rasio (akal budi) sedangkan dalam moral yang dipakai sebagai dasar adalah wahyu. Ajaran Moral = ajaran , wejangan, khotbah, kumpulan peraturan dan ketetapan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia baik. Kebaikan di sini diukur sebagai manusia secara keseluruhan. Norma moral berarti: tolok ukur untuk mengukur kebaikan orang. Dia dinilai dalam kapasitasnya sebagai manusia. Penilaian moral selalu mengacu kepada baikburukya manusia sebagai manusia yakni menentukan betul salahnya sikap dan
tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu/ profesi atau norma tertentu yang terbatas (sebagai dosen, mahasiswa, dokter, hakim dsb). Bisa jadi seseorang adalah manusia yang baik tetapi tidak baik dalam profesi tertentu, misalnya sebagai dosen atau sebagai dokter. Bisa juga sebaliknya, seseorang sangat baik di dalam profesinya (etik) tetapi tidak baik sebagai manusia (moral). Cakupan moral lebih luas (universal) dari pada etik yang berlaku hanya pada kelompok tertentu. Semua orang perlu (harus) bermoral supaya menjadi baik tetapi tidak semua orang bisa beretika (berfikir secara sistematik untuk mengetahui yang baik dan buruk atau benar dan salah). 2. Hukum. Walaupun sama-sama diresmikan dan disetujui, tetapi ada perbedaan mendasar antara etik dan hukum. Pada dasarnya hukum adalah seperangkat kesepakatan bersama (persetujuan) yang pelanggarannya akan mendapatkan sanksi hukum (denda, penjara). Definisi hukum bisa bermacam-macam, misalnya “himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan
sanksi
hukuman
bagi yang
melanggarnya.
Orang lain
mendefinisikan hukum sebagai: Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum. Perbedaan pokok antara etik dan hukum adalah kekuatan memaksanya dan instansi yang membuatnya. Secara filosofis, norma hukum harus dikritisi dan dinilai berdasarkan prinsip-prinsip etis supaya hukum menjadi hukum yang adil. Bisa terjadi bahwa norma etika kemudian menjadi norma hukum ketika diundangkan oleh yang berwewenang sehingga pelanggarannya bukan hanya pelanggaran etik melainkan pelanggaran hukum (misalnya informed consent. Pada awalnya ini adalah norma etik tetapi sekarang di Indonesia dengan adanya UU praktek kedokteran dan UU Kesehatan, menjadi norma hukum). 3. Etiket/sopan santun. Norma yang menyangkut sikap lahiriah manusia. Walaupun sikap lahiriah seharusnya mencerminkan sikap hati tetapi tidak semua pelanggaran norma sopan santun menjadikan dia buruk secara moral. Norma-norma ini biasanya berasal dari kebudayaan setempat. Etiket juga berbicra mengenai tingkah laku manusia tetapi tidak langsung berhubungan
dengan etik ataupun etika. Pelanggaran etiket tidak seberat seperti pelanggaran etik. 4. SPO - Profesionalism. SPO adalah sebuah set (kumpulan) instruksi yang mempunyai kekuatan direktif yang mengkover langkah-langkah (features of operations) yang mengarahkan pada suatu prosedur yang terstandard atau definitif agar tercapai efektifitas dan keamanan. SPO bisa menjadi katalisator yang efektif untuk memacu peningkatan performance (penyelenggaraan) dan mutu hasilnya. SPO disusun berdasarkan pelbagai macam pertimbangan yang salah satunya adalah disiplin ilmu yang bersangkutan (cq. Ilmu kedokteran dsb.). Bisa dimengerti bahwa SPO bisa ada (sedikit) perbedaan antara satu tempat dengan yang lainnya karena menyangkut keadaan kongkrit. Yang dibicarakan pada kesempatan ini menyangkut dua-duanya (Etik dan Etika) dan harus dibedakan dengan yang sejenis tetapi bukan etik (etika) seperti di atas. Prinsip etika kedokteran dewasa ini yang banyak dianut berdasarkan prinsip (norma) respect for autonomy, nonmaleficence, beneficence dan justice yang dikembangkan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress1. Mana yang masalah moral dan mana yang bukan masalah moral, tergantung apakah suatu perbuatan itu menyangkut benar– salahnya atau baik-buruknya suatu perbuatan.
Seringkali masalah etik berkaitan erat dengan masalah lainnya, misalnya hukum atau sopan santun dsb. Dari benturan prinsip-prinsip itu maka akan lahir keadaan: 1. Dilema etik. Dilema etik timbul ketika dua atau lebih prinsip-prinsip etis saling bertabrakan (saling bertentangan) satu sama lain sehingga tidak bisa bertindak dengan hasil yang memuaskan. Tindakan apapun yang dibuat tetap menimbulkan masalah etis yang berat. Terjadi pertentangan antara 2 atau lebih prinsip yang sama-sama membawa “kebaikan”. Misalnya seorang dokter yang tinggal di desa. Dia satu-satunya dokter di wilayah itu. Anak dan istrinya sedang sakit dan membutuhkan kehadirannya. Pada saat yang sama ada panggilan urgen dari desa yang cukup jauh, yang juga menjadi tanggung jawabnya, karena ada pasien yang kritis yang memerlukan bantuan dokter tersebut.
1
2. Ketidakpastian etik. Hal ini terjadi ketika dilema moral terjadi oleh karena ketidak pastian tentang macam tindakan yang harus dibuat seseorang untuk mencapai tujuan yang paling baik. Hal ini bisa disebabkan oleh karena hasil tidak diketahui di masa mendatang atau bisa juga oleh karena fakta-fakta yang bisa mempengaruhi hasilnya tidak ada. 3. Self Imposed ethical dilemmas. Suatu dilema yang diakibatkan oleh nilai yang dipegangnya sendiri. Dari nilai-nilai itu ternyata tidak bisa berjalan bersama. Dari contoh di atas, dilema itu terjadi oleh karena prinsip etis yang dipegang sendiri bahwa dia harus dirumah untuk mengurusi anak-istrinya yang sakit. Kalau prinsip itu bisa diubah, misalnya untuk sementara waktu bisa ditunggui oleh tetangganya, maka dilema itu tidak ada. Orang lain dalam situasi yang sama mungkin tidak masuk dalam dilemanya. 4. World Imposed ethical dilemmas: Dilema etis ini terjadi ketika dia harus memilih salah satu anggota keluarga mana yang harus mati. Dilema ini terjadi bukan oleh dirinya sendiri tetapi oleh karena faktor di luar dirinya yang memaksanya dan dia tidak bisa tidak harus mengambil keputusan. Misalnya bayi kembar siam yang hanya mempunyai satu jantung dan harus dipisahkan karena jantungnya tidak akan kuat untuk men-supply darah kepada keduanya. Mana yang harus mati?
LEARNING OBJECTIVE 1. How to approach an ethical dilemma: • • • • • •
Step one: recognize the situation as one that raises an ethical dilemma. Step two: break the dilemma into its component parts. Step three: seek additional information, including the patient’s viewpoint. Step four: identify any relevant law or professional guidance. Step five: subject the dilemma to critical analysis. Step six: be able to justify the decision with sound arguments.
2. Identify factors that influence ethical decision making: a. Socio-cultural factors. b. Scientific and technological advances. c. Legal issues. d. Changes in the occupational status of health care workers. e. Consumer involvement in health care. 3. Explain the four concepts central to ethical decision making (the four moral principles). According to Catalano, J, T, 1991): a. Autonomy. b. Justice.
c. Fidelity. d. Beneficence. According to Beauchamp, Childress; 1983: a. Beneficence. b. Non-maleficence. c. Autonomy. d. Justice.
ETHICAL DECISION MAKING MODEL A moral problem can be approached by way of a five step process, including: 1. Assessing the situation. 2. Diagnosing / identifying the moral problem 3. Setting moral goals and planning an appropriate moral course of action 4. Implementating the moral plan of action. 5. Evaluating the moral outcomes of action implementated.
SKENARIO 1. KANKER PANKREAS STADIUM LANJUT Seorang pria usia 40 tahun dirawat di rumah sakit karena menderita kanker pankreas stadium lanjut. Kondisi ikterus yang dialami telah mengalami perbaikan namun pasien mengeluhkan nyeri abdomen yang sangat hebat. Pasien telah bercerai beberapa bulan sebelumnya dan anggota keluarga yang dimilikinya saat ini adalah kedua orangtuanya. Karena kondisi yang dialaminya saat ini pasien telah berkali-kali meminta tim dokter untuk mengakhiri hidupnya. 2. BAYI TIDAK DIRUJUK UNTUK MENDAPATKAN PENGOBATAN YANG TEPAT Satu kasus neonatal dari sebuah Rumah Sakit Umum Daerah di sebuah kota kabupaten K di propinsi Jawa Tengah. Dokter spesialis Obstreti dan Ginekologi (dr. M, Sp.OG) tidak mempunyai hubungan antar sejawat yang baik dengan dokter spesialis Anak (dr. P, Sp.A). NN adalah bayi yang mengalami luka hematom di kepala, hal ini terjadi karena proses kelahirannya ditolong dengan cara forcep oleh dr. M, Sp.OG. Yang mana luka tersebut merupakan faktor presipitasi penyakit “NEONATAL JAUNDICE”. Setelah dilakukan pemeriksaan hematologi golongan darah bayi bergolongan darah O, oleh dr. M, Sp.OG dilakukan pengobatan trafusi darah tanpa konsultasi dahulu dengan dr. P, Sp.A yang seharusnya menangani penyakit bayi tersebut.
Pada hari ke lima, ibu bayi melihat warna kulit bayinya berwarna kuning semakin jelas. Karena kondisi ibu setelah melahirkan belum sehat, maka ibu bayi menyuruh suaminya untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis anak yang berpraktek perorangan di kota kabupaten. Menurut dokter spesialis anak pengobatan yang benar untuk neonatal jaundice karena luka hematom akibat forcep adalah dimonitor saja tidak perlu ditranfusi. Setelah ditranfusi kondisi bayi semakin memburuk, bayi tersebut menderita Kernicterus. Akhirnya bayi meninggal dunia dan keluarga bayi menuntut dokter spesialis obstetri dan ginekologi karena telah melakukan pengobatan yang salah.
TUGAS MAHASISWA : 1. Membaca dan memahami tinjauan teori. (30 menit) 2. Mengidentifikasi masalah – masalah etik pada skenerio di atas. (30 menit) 3. Diskusikan dalam kelompok yang dipimpin oleh ketua dan hasil diskusi dicatat oleh sekretaris. (40 menit) 4. Hasil diskusi dikumpulkan kepada tutor.
REFERENSI Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomnedical Ethics (6th ed.), Oxford University Press, Oxford, 2008. (Irst ed. tahun 1979).