BAB I SKENARIO 4 : MENYONTEK ) Mita dan Anggi dua sahabat yang tak pernah terpisahkan, Anggi memang anak yang rajin demikian pula dengan Mita, kuliah mereka pun bersama sama di FK . Indeks prestasi mereka juga bagus.Namun suatu ketika Mita mendapat masalah dalam keluarganya sehingga tidak bisa berkonsentrasi belajar. Sehingga Anggi memutuskan akan membantu Mita saat ujian agar mendapat nilai bagus dan lulus mata kuliah etika. Hari ujianpun tiba Mita duduk bersebelahan dengan Anggipun mulai mengatur strategi.Sehingga saat ujian Etika berlangsung Mita bisa menyontek Anggi dengan leluasa.Hadi yang duduk dibelakang mereka hanya bisa menggelengkan kepalanya namun dia tidak melapor karena menganggap itu bukan urusannya. Sampailah pada hari pengumuman namun hasilnya tidak seperti yang mereka bayangkan karena Mita dan Anggi sama sama mendapat nilai E, Anggi merasa tidak bisa menerima dan menghadap dosen mata kuliah Etika. Mereka malah mendapat teguran karena dosen tersebut mengatakan bahwa nilai mereka dikurangi karena telah berbuat curang tidak jujur dengan menyontek.Dosenpun menjelaskan setiap individu mempunyai moral otonom dan moral heteronom yang juga berlaku di masyarakat demi tertibnya sebuah aturan.Dengan menyesal dosenpun memberikan peringatan untuk tidak mengulangi kembali tetapi tetap memberi hukuman dengan tidak meluluskan mereka.
BAB II KATA KUNCI 1. Menyontek 2. Konsentrasi Belajar 3. Etika 4. Moral Otonom 5. Moral Heteronom
BAB III PROBLEM 1. Apa yang dimaksud dengan menyontek? 2. Apa yang mempengaruhi konsentrasi belajar pada mahasiswa? 3. Apa yang dimaksud dengan moral otonom dan moral heteronom? 4. Apakah tindakan menyontek termasuk melanggar etika?
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA A. Menyontek Deigton (Kushartanti, 2009) menyatakan bahwa cheating (mencontek) adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur). Dalam konteks pendidikan atau sekolah beberapa perbuatan yang termasuk dalam kategori cheating (mencontek) antara lain yaitu meniru pekerjaan teman, bertanya langsung kepada teman ketika sedang mengerjakan tes ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ruang ujian, menerima droping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas atau tugas penulisan paper dan home test. Athanasou & Olasehinde (Hartanto, 2012) mengemukakan bahwa perilaku menyontek
adalah kegiatan menggunakan
bahan atau materi
yang tidak
diperkenankan atau menggunakan pendampingan dalam tugas-tugas akademik yang bisa mempengaruhi hasil evaluasi atau penilaian. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Setiap orang pasti ingin mendapat nilai yang baik dalam ujian, dan sudah tentu berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Masalah menyontek selalu terkait dengan tes atau ujian. Banyak orang beranggapan menyontek sebagai masalah yang biasa saja, namun ada juga yang memandang serius masalah ini. Fenomena ini sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri. Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek menyontek (Irawati, 2008). Menurut Gbadamosi (2004) tiga faktor penting yang memiliki sumbangan dalam terjadinya perilaku menyontek. Pertama, kesempatan-kesempatan menjadi prediktor
yang
paling
kuat
untuk
perilaku
menyontek.
Oleh
karenanya,
meminimalisasikan kesempatan untuk menyontek ketika ujian menjadi faktor yang
krusial untuk dilakukan. Kedua, adanya siswa lain yang memberikan kode atau tanda pada pengawas atau melaporkan siswa lainnya yang menyontek. Ketiga, keputusasaan/kenekatan, yakni seluruh upaya mental yang dilakukan siswa untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma sosial. Lebih lanjut, hasil penellitian West, Ravenscroft, dan Shrader (2004) menemukan bahwa penilaian moral (moral judgment) tidak berhubungan dengan kejujuran, tetapi tingginya perilaku menyontek berkorelasi dengan rendahnya kejujuran. Perbedaan jenis kelamin tampaknya berpengaruh terhadap frekuensi perilaku menyontek. Hasil kajian meta-analisis yang dilakukan (Whitley, Nelson, dan Jones, 1999) mengungkap bahwa laki-laki lebih banyak menyontek daripada perempuan dan memiliki sikap yang positif terhadap menyontek daripada perempuan. West, Ravenscroft, dan Shrader (2004) mengingatkan pentingnya mengungkap dan mendalami perilaku menyontek karena perilaku tersebut dipandang mencemari proses asesmen yang dilakukan dalam dunia pendidikan, utamanya yang terkait dengan hasil pembelajaran. Siswa yang tidak memiliki motivasi berprestasi dalam belajar menjadi gejala yang muncul pada perilaku mencontek peserta didik. Pendapat tersebut dipaparkan oleh Pintrich dan Bong (dalam Hartanto, 2012) yang menyatakan bahwa peserta didik yang memiliki motivasi belajar rendah akan menyelesaikan pekerjaan yang diberikan dengan apa adanya dan lebih memilih untuk meminta bantuan dari orang lain. Ada empat bentuk mencontek menurut Hetherington and Feldman (1964) yaitu: individualistic-opportunistic, individualistic planned, social-active, and socialpassive. Individualistic-opportunistic dapat dimaknai sebagai perilaku dimana peserta didik mengganti suatu jawaban ketika ujian atau tes sedang berlangsung dengan menggunakan catatan ketika guru keluar dari kelas. Individualistic-planned dapat diidentifikasi sebagai menggunakan catatan ketika tes atau ujian berlangsung, atau membawa jawaban yang telah lengkap atau dipersiapkan dengan menulisnya terlebih dahulu sebelum berlangsungnya ujian. Ketiga, social-active adalah perilaku mencontek dimana siswa mengcopi atau melihat atau meminta jawaban dari orang lain. Sementara social-passive adalah mengijinkan seseorang untuk melihat atau mengcopi jawabannya. Menurut Baird (Anderman & Murdock, 2007) perilaku yang paling sering dijumpai dalam mencontek adalah: meminta informasi atau jawaban dari orang atau teman yang lain, memberikan ijin kepada orang lain untuk menyalin pekerjaannya, menyalin tugas orang lain, plagiarizing. Hal yang sama dinyatakan
dalam survey yang dilakukan oleh Franklyn-Stokes dan Newstead (Anderman & Murdock, 2007) bahwa memberikan ijin kepada orang atau teman yang lain untuk menyalin pekerjaan merupakan peringkat pertama (72 persen), peringkat kedua adalah mengerjakan pekerjaan orang lain (66 persen), menyalin atau mencatat tanpa mencantumkan sumber literatur (66 persen), dan menyalin pekerjaan orang atau teman yang lain tanpa pengetahuan yang bersangkutan (64 persen). Survey terbaru Dawkins (Anderman & Murdock, 2007) menunjukkan perubahan perilaku mencontek yaitu dengan menyalin dari internet. Perilaku mencontek meningkat dengan adanya hubungan sosial yang terjadi diantara peserta didik di sekolah. Hal ini terjadi karena siswa belajar mencontek dari teman-temannya dan kemudian belajar untuk menerima bahwa hal tersebut bukan merupakan perilaku yang salah. Pendapat tersebut didukung oleh Lambert (dalam Hartanto, 2012) penyebab seorang individu mencontek adalah: a. Adanya tekanan untuk mendapatkan nilai yang tinggi, Pada dasarnya setiap peserta didik memiliki keinginan yang sama yaitu mendapatkan nilai yang baik (tinggi). Keinginan tersebut terkadang membuat peserta didk menghalalkan segala cara, termasuk dengan melakukan mencontek. b. Keinginan untuk menghindari kegagalan, Ketakutan peserta didik mendapat kegagalan di sekolah merupakan hal yang sering dialami oleh peserta didik. Kegagalan yang dimaksud antara lain dalam bentuk (takut tidak naik kelas, takut mengikuti ulangan susulan) tersebut memicu terjadinya perilaku mencontek. c. Adanya persepsi bahwa sekolah melakukan hal yang tidak adil, Sekolah dianggap hanya memberikan akses bagi siswa-siswi yang cerdas dan berprestasi sehingga siswa-siswi yang memiliki kemampuan menengah merasa tidak diperhatikan dan dilayani dengan baik d. Kurangnya waktu untuk menyelesaikan tugas sekolah, Siswa terkadang mendapatkan tugas secara bersamaan. Waktu penyerahan tugas dalam waktu yang bersamaan membuat siswa tidak dapat membagi waktunya. e. Tidak adanya sikap untuk menentang perilaku mencontek di sekolah. Perilaku mencontek di sekolah kadang dianggap sebagai suatu permasalahan yang biasa baik oleh siswa maupun oleh guru. Sehingga banyak peserta didik yang membiarkan perilaku ini atau terkadang justru membantu terjadinya perilaku mencontek.
Menurut Dody Hartanto (2012:3) menyatakan sebagian besar peserta didik atau siswa telah terbiasa melakukan perilaku menyontek dan sulit untuk meninggalkannya. B. Konsentrasi Belajar Daud (2010) menjelaskan bahwa konsentrasi belajar adalah pemusatan perhatian dalam proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian terhadap sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi. Konsentrasi belajar adalah suatu aktivitas untuk membatasi ruang lingkup perhatian seseorang pada satu objek atau satu materi pelajaran (Benjamin, dalam Hartanto, 1995 ). Hal serupa diungkapkan oleh Harahap (dalam Sari D.P. 2006) mendefi nisikan konsentrasi belajar sebagai suatu pemusatan, penyatuan, pernyataan adanya hubungan antara bagian-bagian dalam pelajaran atau lebih. Sama halnya dengan Liang Gie (dalam Hartanto. 1995) yang menyimpulkan bahwa konsentrasi belajar adalah pemusatan perhatian atau pikiran dengan mengesampingkan hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang dipelajari. Menurut KBBI, konsentrasi adalah pemusatan perhatian atau pikiran pada suatu hal. Dalam definisi tersebut mengandung indikator sebagai berikut: (1) pemusatan (2) perhatian pikiran. Menurut Hornby dan Siswoyo (1993:69) mendefinisikan konsentrasi (concentration) adalah pemusatan atau pengerahan (perhatiannya ke pekerjaannya atau aktivitasnya). Dalam definisi tersebut mengandung arti sebagai berikut: (1) pemusatan (2) pengerahan. Berdasarkan dua definisi di atas, dapat disimpulkan konsentrasi yaitu pemusatan perhatian atau pergerahan pikiran pada suatu hal. Dalam definisi tersebut mengandung indikator sebagai berikut: (1) pemusatan, (2) perhatian pikiran (3) pengerahan.
Veenstra (dalam Sari, 2006) mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi belajar antara lain: a) Faktor Usia Kemampuan untuk konsentrasi ini ikut tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia individu. b) Fisik Kondisi sistem saraf (neurogical system) mempengaruhi kemampuan individu dalam menyeleksi sejumlah informasi dalam kegiatan perhatian. Individu memiliki kemampuan saraf otak yang berbeda dalam menyeleksi sejumlah informasi yang ada sehingga turut mempengaruhi kemampuan individu dalam memusatkan perhatian. c) Faktor pengetahuan dan pengalaman Pengetahuan dan pengalaman turut berperan dalam usaha memusatkan perhatian pada objek yang belum bisa dikenali polanya sehingga pengetahuan dan pengalamn individu dapat memudahkan untuk berkonsentrasi. Selain faktor-faktor di atas ada juga faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi konsentrasi belajar antara lain suara, pencahayaan, temperatur, dan desain belajar (Nurul, dalam Sari, 2006). Nugroho (2007) mengungkapkan aspek-aspek konsentrasi belajar sebagai berikut: a. Pemusatan pikiran yaitu suatu keadaan belajar yang membutuhkan ketenangan, kenyamanan, perhatian, seseorang dalam memahami isi pelajaran yang dihadapi. b. Motivasi yaitu keinginan atau dorongan yang terdapat dalam diri individu untuk berusaha mengadakan perubahan tingkah laku yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhannya. c. Rasa kuatir yaitu perasaan yang tidak tenang karena seseorang merasa optimal dalam melakukan pekerjaannya.
C. Moral
tidak
Moral menurut KBBI adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatannya, sikap, kewajiban, akhlak, dan budi pekerti. Istilah moral berasal dari bahasa latinmores yang berarti adat istiadat, Soenarjati dan Cholisin (1989:25) menyatakan pendapatnya bahwa moral dapat di artikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik. Menurut Sjarkawi, (2006), mengemukakan bahwa moral merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam satu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Menurut Jamie (2003; 15) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Moral menurut Fanz Magnis Suseno (1989:25) tidak hanya mengenai baik buruknya sebagai manusia tetapi juga sebagi tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia bukan sebagai pelaku peran tertentu. Moral yaitu sebagai sesuatu yang terkait dengan menentukan benar salahnya suatu tingkah laku (Cheppy Haricahyono 1995:221). Moral secara lebih komprehensif (Wila Huky 2000:1)., yaitu: a. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia didalam lingkungan tertentu. b. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu. c. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia yang mendasarkan pada kesadaran bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai norma yang berlaku dalam lingkungannya. Moral menurut dua segi yang berbeda yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memilki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula, akan tetapi sikpa batin yang baik baru terlihat orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula. Moral hanya dapat diukur secara tepat apabila segi lahiriah dan batiniah tersebut diperhatikan. Orang hanya dapat dilihat secara tepat apabila hati atau perbuatannya dilakukan secara bersama.Moral merupakan sesuatu yang melekat pada hakekat manusia. Chester I Bernard dalam bukunya Moekijat (1995:45) berpendapat
bahwa: “moral adalah ketentuan-ketentuan pribadi yang bersifat umum dan stabil dalam individu yang mencegaha, mengawasi atau mengubah keinginan khusus yang langsung tetapi juga tidak stabil dan untuk mendorong mereka yang memilki kecenderungan-kecenderungan yang stabil itu”. Berdasarkan pendapat Bernart tersebut dapat disimpulkan bahwa moral bisa dianggap sebagai sesuatu yang berfungsi mencegah, mengawasi seta mengubah motif pribadi seseorang yang tidak konsisten menjadi memiliki kecenderungan pribadi yang stabil. Moral sering dipersamakan dengan moralitas yang diapakai untuk pengkajian system nilai-nilai atau kode. Moralitas adalah kualitas dan perbuatan manusia untuk menunjuk perbuatan benar-salah, baik-buruk, dengan kata lain moralitas mencangkup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia (Poespoprodjo, 1986:102). Lebih lanjut lagi Posepoprodjo (1986:137-144) mengungkapkan beberapa faktor-faktor penentu yang dapat mempengaruhi moralitas seseorang antara lain: 1. Perbuatannya sendiri, atau apa yang dikerjakan oleh seseorang. Moralitas terletak pada kehendak dan persetujuan pada apa yang telah diberikan kehendak sebagai moral baik atau buruk. Apabila perbuatan yang dilakukan atau dikehendakinya itu buruk mrnurut hakekatnya maka menjadi buruklah perbuatan yang telah dilakukannya itu, tetapi apabial perbuatannya yang dilakukan baik menurut hakekatnya maka apa yang ia lakukan tetap baik. 2. Adanya motif mengapa ia melakukan hal tersebut. Motif adalah sesuatu yang dimiliki si pelaku dalam pikirannya ketika ia berbuat secara sadar apa yang ia lakukan sendiri untuk mencapai perbuatannya sendiri. Moralitas masih dibedakan menjadi dua yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom. Moralitas merupakan suatu kewajiban yang harus ditaati, tetapi bukan karena kewajiban itu sendiri melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak orang itu sendiri, misalnya karena adanya imbalan tertentu atau takut pada ancaman orang lain. Sedangkan moralitas otonom yaitu merupakan kesadaran manusia akan kewajibannya yang harus ditaati sebagai sesuatu yang ia kehendaki, karena diyakini sebagai hal yang baik. (Kant dalam diktatnya Muchson 2000:6). Dengan demikian, maka pembinaan moral dapat diartikan sebagai suatu tindakan untuk menanamkan nilai-nilai moral, mendidik, membina, membangun akhlak serta prilaku seseorang agar orang yang bersangkutan terbiasa mengenal, memahami serta menghayati sifat-sifat baik atau aturan-aturan moral yang mencakup
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik sehingga orang tersebut bisa bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral (Dwi Hastuti 2002:10). Dalam melakukan pembinaan moral diperlukan materi dari pembinaan moral.Materi pembinaan moral menyangkut nilai-nilai moral yang berkaitan dengan pribadi manusia. Materi nilai moral ini secara ringkas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Berkaitan dengan tanggung jawab. Menandai nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia yang tanggung jawab. Nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang bersalah atau tidak bersalah, karena ia tanggung jawab. Dalam nilai moral kebebasan atau bertanggung jawab merupakan syarat mutlak. Hal ini seperti pendapat Zakiah Darajad (1991:27) yang mengemukakan arti moral sebagai kelakuan yang sesuai dengan ukuran nilai-nilai dalam masyarakat yang timbul dari hati nurani, bukan paksaan dari luar dan disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan atau tindakan tersebut. b. Berkaitan dengan nilai-nilai nurani. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan himbauan dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini yang menimbulkan suara dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral. Suara hati merupakan penghayatan tentang baik buruk berhubungan dengan tingkah laku konkrit seseorang dan suara hati merupakan kesadaran moral seseorang dalam situasi konkrit (Pratiwi. 2001:32). c. Mewajibkan. Nilai-nilai moral mewajibkan setiap orang untuk menerimanya secara mutlak. Suka atau tidak suka orang sudah sepatutnta harus mewujudkan serta mengakui keberadaan nilai-nilai moral, karena tidak mungkin seseorang dapat memilih beberapa nilai morla dan menolak nilai moral lainnya. Setiap orang harus menerima semuanya, orang tidak mempunyai atau memilki niali moral mempunyai cacat sebagai manusia. (Bertens 1993:143-147). Selain itu materi pembinaan moral tidak hanya menyangkut nilai-nilai moral tetapi juga menyangkut rasioanal moral. Soenarjati dan Cholisin (1989:76) mengemukakan “mengingat masalah moral adalah juga merupakan masalah rasionalitas, maka semakin tambah usia atau jenjang pendidikan, anak didik justru semakin mengerti dan semakin mantap pola prilakunya sehingga akan mempermudah nilai moral dalam diri anak. Pendidikan moral tidak hanya sekedar penanaman nilai
dan pembiasaan sikap raionalitas moral.Dengan demikian pembinaan moral harus dilaksanakan secara totalitas sebagai pribadi manusia seutuhnya yang meliputi rasa, pikir, cipta, karsa, dan budi pekerti manusia. D. Etika Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno,1987). Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlaq; nilai mengenai nilai benar dan salah, yang dianut suatu golongan atau masyarakat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). Menurut (Daud Ali, 2008) etika suatu ilmu yang mengkaji tentang persoalan baik dan buruk berdasarkan akal pikiran manusia.Sedangkan moral adalah suatu hal yang berkenaan dengan baik dan buruk dengan ukuran tradisi dan budaya yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang.Berbeda dengan etika dan moral, akhlak adalah bagian yang membicarakan masalah baik dan buruk dengan ukuran wahyu atau al Qur’an dan hadits. Ada beragam etika, di antaranya etika umum (common ethics), etika pribadi (personal), dan profesi (proffesional).Etika umum (commonethic) merupakan seperangkat keyakinan moral yang dianut oleh hampir semua orang. Seperti salah jika membunuh, berbohong, berbuat curang atau mencuri, melanggar janji, dan lain sebagainya. Karakter etika umum yaitu disusun untuk melindungi individu dari berbagai tipe pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan orang lain (Rabins, 2009). Etika umum memiliki pandangan positif dan negatif.Sifat positif dari etika umum misalnya melindungi lingkungan alam, membantu sesama, dan menyebarkan kebahagiaan ke orang sekitar.Pandangan yang kedua seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu melindungi dari berbagai tipe kejahatan. Selain memproteksi seseorang berbuat jahat dan mendorong berbuat kebajikan, etika umum juga membantu kita menilai tindakan dan tujuan/niat seseorang, apakah tindakannya menyalahi hukum dan bermaksud jahat atau bisa jadi ia tidak sengaja melanggar hukum. Misalnya, seseorang menabrak anjing.ia jelas salah. Namun, bisa jadi ia bukan pembunuh. Sebab, ia menabrak hewan tersebut karena tidak sengaja dan tidak berniat membunuh.
Tipe etika selanjutnya yakni etika pribadi (personalethics). Berdasarkan definisinya, etika pribadi merupakan seperangkat keyakinan moral yang dipegang teguh oleh seseorang. Etika pribadi kerap dipandang sama dengan etika umum oleh sebagian besar masyarakat, padahal tidak persis sama. Khususnya, jika etika umum tersebut penafsirannya kurang jelas atau dalam masa perubahan. Sedangkan etika profesi merupakan seperangkat standar yang digunakan para profesional ketika mereka menjalankan tugasnya (profesinya). Setiap profesi memiliki etika masing-masing yang hanya berlaku dalam bidang tesebut, seperti etika dalam ilmu kedokteran, hukum, jurnalis, farmasi, dan sebagainya. Menurut (Arum Ardianingsih, Siti Yunitarini, 2013) etika profesi mengandung sedikitnya tiga prinsip yaitu (1) prinsip tanggungjawab artinya para professional bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya, terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya. (2) Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. (3) Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya. Karakteristik dari etika profesi yaitu terformalisasi dalam bentuk seperangkat aturan yang disepakati, misal kode etik jurnalistik yang disusun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).Ciri kedua yakni fokus pada permasalahan penting terkait dengan profesinya.Untuk bidang computerengineering atau cyber, kode etik meliputi kerahasiaan pribadi (privacy), hak intelektual, hak cipta (copyrights), dan hak paten. Ciri yang ketiga, etika profesi dianggap lebih tinggi tingkatannya daripada etika pribadi. Misal, ketika seorang pasien memasuki ruang pemeriksaan dokter, ia berasumsi riwayat kesehatannya terjamin kerahasiaanya, meskipun ia tidak mengetahui pribadi dokter tersebut. Apabila terjadi konflik antara etika profesi dan etika pribadi maka yang dipandang benar oleh umum adalah etika profesi.Seperti kasus apoteker yang menolak memberikan resep pil kontrasepsi bagi perempuan yang belum menikah.Ia menolak karena beranggapan melakukan perbuatan suami istri sebelum menikah adalah salah.Namun, beberapa profesional melakukan tindakan pengecualian atas ciri ketiga ini. Seseorang boleh menolak dan merekomendasikan rekannya yang bersedia jika ia mengalami konflik kepentingan (Rabins, 2009).
BAB V PEMBAHASAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Pustaka Pheonix, 2009), menyontek berasal dari kata sontek yang berarti melanggar, menocoh, menggocoh yang artinya mengutip tulisan, dan lain sebagainya sebagaimana aslinya, menjiplak. Mencontek adalah kegiatan menggunakan bahan atau materi yang tidak diperkenankan atau menggunakan pendampingan dalam tugas-tugas akademik dan atau kegiatan yang dapat mempengaruhi proses penilaian. (Rahayu Prihantari, 2017) Menurut Kelley R Taylor (2003) mencontek didefinisikan sebagai mengikuti sebuah ujian dengan melalui jalan yang tidak jujur, menjawab pertanyaan dengan cara yang tidak semestinya. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa menyontek adalah suatu perbuatan yang tidak jujur seperti menjiplak atau mengutip tulisan untuk mempengaruhi proses penilaian sehingga menimbulkan kecurangan dan merugikan dua pihak yaitu diri sendiri dan orang lain. Perbuatan tersebut sudah menjadi kebiasaan dan budaya dikalangan pelajar maupun mahasiswa, sehingga tidak heran jika mahasiswa memiliki banyak cara untuk melakukan perbuatan menyontek tersebut. Contohnya seperti melirik jawaban teman, membuat catatan kecil yang berisi sebuah materi, berdiskusi, mengatur strategi tempat duduk dan masih banyak lagi. Sedangkan strategi yang dilakukan Mita dan Anggi dalam sekenario adalah dengan cara berdiskusi dan menyusun strategi tempat duduk mereka agar dapat melakukan perbuatan menyontek tersebut. Sebenarnya, perbuatan menyontek banyak disebabkan karena adanya faktor yang mendasari untuk melakukannya seperti, tuntutan untuk lulus, adanya peluang untuk menyontek, tidak adanya sanksi, kurang percaya diri, merasa takut gagal dalam ujian, sudah menjadi kebiasaan, malas belajar, sulit belajar, takut terkucilkan, untuk memperoleh nilai yang tinggi dan kurangnya pengetahuan. Faktor utamanya terletak pada bagaimana konsentrasi belajar mahasiswa itu sendiri. Konsentrasi belajar memang sangat diperlukan oleh setiap mahasiswa, karena konsentrasi belajar sangat berpengaruh terhadap hasil atau nilai yang dicapai sehingga mahasiswa memerlukan sebuah konsentrasi dimana mahasiswa harus memusatkan pikiranya sehingga apa yang dipelajari mendapatkan nilai yang baik. Jika seorang mahasiswa tidak dapat berkonsentrasi maka proses belajar mahasiswa tersebut akan
terganggu sehingga dapat mempengaruhi psikologis mahasiswa tersebut. Contohnya terdapat pada Mita dan Anggi, mereka memang anak yang rajin serta memiliki indeks prestasi yang bagus. Namun, suatu ketika Mita memiliki masalah dalam keluarganya sehingga mempengaruhi konsentrasi belajar Mita. Sehingga Anggipun memutuskan akan membantu Mita saat ujian agar mendapat nilai bagus dan lulus mata kuliah etika. Saat ujian tiba Anggi dan Mita mengatur strategi yaitu dengan cara menyontek, namun perbuatan tersebut sangat melanggar nilai moral dan etika. Dari contoh diatas konsentrasi belajar dipengaruhi oleh masalah keluarga sehingga mempengaruhi keadaaan psikologis Mita, hilangnya semangat dan motivasi belajar menyebakan tidak adanya kesiapan Mita dalam mempersiapkan ujian yang akan dijalaninya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi belajar diantaranya suara. Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda terhadap suara, ada yang menyukai belajar sambil mendengarkan musik, belajar di tempat ramai, dan bersama teman (kelompok). Namun ada yang hanya dapat belajar di tempat tenang tanpa suara, atau ada yang dapat belajar dalam keadaan apapun. Selain itu yang dapat mempengaruhi bagaimana sikap dan perilaku mahasiswa dalam berkonsentrasi adalah kemajuan teknologi, pesatnya kemajuan teknologi yang berkembang saat ini sangat mempengaruhi konsentrasi mahasiswa. Misalnya saja pada penggunaan gadget, kebanyakan mahasiswa tidak bisa lepas dari gadget mereka. Saat belajar pun kadang mahasiswa kehilangan kendali jika sudah memegang gadget, akibatnya belajar pun menjadi tergangu dan perbuatan menyontek dilakukan ketika ujian tiba sehingga melanggar nilai moral dan etika yang sudah ada. Selain moral yang dipandang oleh masyarakat adalah etikanya. Etika adalah sikap kita dalam bertingkah yang dipandang dari segi baik dan buruk, juga menyatakan sebuah tujuan untuk mencapai arah yang telah di tentukan. Sedangkan menyontek merupakan suatu perbuatan tidak terpuji yang dapat merugikan diri sendiri dan juga orang lain. Etika dengan mahasiswa memiliki hubungan yang erat. Etika memiliki peranan penting kepada mahasiswa dalam berprilaku baik dalam lingkungan masyarakat maupun lingkungan mahasiswa atau kampus. Dalam skenario ini etika memiliki peranan yang penting, terutama pada perilaku mahasiswa fakultas kedokteran yang menjadi sorotan di lingkungan kampus maupun dikalangan masyarakat karena setiap mahasiswa yang mengambil jurusan kedokteran dituntut agar dapat beretika dengan baik dimanapun mereka berada. Selain itu, etika menjadi
alat untuk mengontrol mahasiswa agar bertindak sewajarnya dalam melakukan aktivitas atau kegiatannya sehari-hari di lingkungan kampus. Tidak hanya di lingkungan kampus melainkan dimanapun tempatnya. Sebagai seorang mahasiswa tentunya sangat diharuskan beretika. Biasanya etika yang dimiliki oleh mahasiswa disebut etika mahasiswa. Contoh penerapan etika mahasiswa yang paling sederhana adalah tidak melakukan perbuatan menyontek. Perbuatan menyontek dari segi etika merupakan perilaku mahasiswa yang melanggar etika karena dianggap tidak benar dan tidak baik untuk dilakukan. Selain itu, perbuatan menyontek juga merupakan perbuatan yang sama sekali tidak mengindahkan etika. Mahasiswa yang memiliki etika akan menjadikan etika sebagai patokan terhadap diri mereka agar dapat atau mampu menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan curang seperti menyontek. Namun ada beberapa mahasiswa yang menganggap perilaku menyontek merupakan hal yang biasa untuk dilakukan. Mahasiswa melakukan perbuatan menyontek tergantung situasi atau kondisinya saat itu. Misalnya saat ujian tertulis atau cbt berlangsung, apabila mahasiswa merasa kepepet karena tidak bisa menjawab soal maka hal yang biasanya dilakukan mahasiswa adalah berbuat curang dengan cara menyontek. Padahal mahasiswa tersebut sebelumnya paham bahwa perbuatan menyontek sama sekali berlawanan dengan etika. Mahasiswa saat ini lebih mementingkan nilai atau hasil akhir yang memuaskan dengan menggunakan cara yang salah seperti meminta bantuan orang lain dengan menyontek. Mereka tidaklah sadar akan perbuatannya yang sangat menyimpang dengan etika dan dapat merugikan dirinya sendiri karena lebih mengandalkan orang lain daripada percaya akan kemampuan dirinya sendiri. Hal ini tentunya membuat para mahasiswa tidak lagi memiliki etika dan kepribadian yang baik, kurang kepercayaan diri dan akan mempengaruhi kemampuannya sendiri karena terus-terusan bergantung kepada orang lain. Padahal pada umumnya orang yang memiliki kepercayaan diri, dengan tidak mengandalkan bantuan orang lain tentunya akan memiliki penerapan etika yang sangat baik. Dan mereka tentunya akan lebih berhasil daripada orang yang selalu mengandalkan orang lain atau menyontek. Oleh karena itu, perbuatan menyontek sangatlah merugikan diri sendiri dan melanggar etika karena selain menyebabkan menurunnya kemampuan mahasiswa juga menyebabkan kepribadian mahasiswa menjadi kurang percaya diri.