Skenario 3 Blok 19 Fix.doc

  • Uploaded by: Arofahh
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skenario 3 Blok 19 Fix.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 8,538
  • Pages: 34
LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK 9 Skenario 3 BLOK 19

Tutor: dr. Anggelia Puspasari Disusun oleh :

Edwina Fidelia K Carolin Tiara L. I Ripka Haulian Sitinjak Marisha Christin Oksaria Sabatini Seruni Estari Rizka Dewi Rahmiati Dwi Hana Batsyeba Ranty Femilya Utami Putri Kurniawati

G1A111017 (hal 1-2) G1A111018 (3-6) G1A111019 (7-10) G1A111020 (11-14) G1A111021 (15-18) G1A111022 (19-22) G1A111023 (23-26) G1A111024 (27-30) G1A111025 (31-34) G1A111026 (35-38)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI

2

2014 SKENARIO Kakek Toni, berusia 75 tahun, namun masih aktif berolahraga. Kakek Toni biasa main tenis dengan cucunya untuk mengisi waktu luang. Suatu hari, kakek Toni terjatuh saat main tenis. Kakek Toni segera di bawa ke RS dan dokter melakukan rontgen terhadap kedua tungkai kakek Toni yang diduga mengalami fraktur pada tulang femur kaki kanan dan pada tulang fibula kaki kiri. Dokter menyarankan kakek Toni dioperasi untuk dlakukan traksi dan immobilisasi. Setelah operasi selesai, kakek Toni harus tirah baring selama hamper 6 bulan. Dokter menjelaskan pembentukan kalus pada kakek Toni membutuhkan waktu yang lebih lama dikarenakan usia kakek Toni yang telah lanjut. Setelah 6 bulan tirah baring, ternyata dokter menemukan kakek Toni mengalami ulkus decubitus stadium 2 dan atrofi otot tungkai akibat tirah baring yang lama.

KLARIFIKASI ISTILAH 1. Fraktur Terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya atau setiap retak atau patah tulang yang utuh 1 2. Traksi Tindakan menarik atau memberikan daya tarik 3. Immobilitas1 Keadaan yang tidak bergera atau tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan dengan gerak anatomis tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis.1 4. Kalus Jaringan granulasi yang mengapur di daerah patah tulang.1 5. Ulkus Dekubitus Kerusakan atau kematian kulit yang terjadi akibat gangguan aliran darah setempat dan iritasi kulit yang menutupi tulang yang menonjol.1 6. Atrofi Penyusutan jaringan.

DEFINISI MASALAH 1. Bagaimana fisiologi penuaan ? 2. Bagaimana fisiologi keseimbangan pada lansia ?

3 3. Apa saja faktor-faktor yang terkait penuaan dalam instabilitas dan jatuh ? 4. Apa manfaat olahraga pada lansia ? 5. Apa saja penyebab jatuh pada lansia ? 6. Apa saja jenis olahraga yang sesuai dengan lansia ? 7. Apa saja komplikasi jatuh pada lansia ? 8. Bagaimana pencegahan jatuh pada lansia ? 9. Bagaimana penanganan awal yang tepat yang harus diberikan pada kekek Toni ? 10. Apa saja klasifikasi fraktur ? 11. Bagaimana patofisiologi fraktur yang dialami kakek Toni ? 12. Apa saja penyebab terjadinya fraktur ? 13. Apa saja faktor risiko terjadinya fraktur ? 14. Bagaimana gejala klisis fraktur ? 15. Apa saja faktor-faktor yang mempercepat penyembuhan tulang ? 16. Apa saja dampak dan komplikasi fraktur ? 17. Bagaimana proses penyembuhan fraktur pada lansia ? 18. Bagaimana tatalaksana fraktur pada Kakek Toni ? 19. Bagaimana pencegahan fraktur pada lansia ? 20. Apa tujuan, indikasi,kontraindikasi,dan komplikasi traksi ? 21. Apa saja komplikasi dilakukannya imobilisasi (tirah baring) ? 22. Apa saja faktor risiko terjadinya ulkus dekubitus ? 23. Apa saja stadium ulkus dekubitus ? 24. Bagaimana jenis-jenis ulkus dekubitus ? 25. Bagaimana tatalaksana ulkus dekubitus berdasarkan stadiumnya ? 26. Bagaimana pencegahan terjadinya ulkus dekubitus dan atrofi otot tungkai ? 27. Bagaimana pathogenesis dan patofiologi ulkus dekubitus dan atrofi otot ? 28. Apa saja faktor yang mempengaruhi pembentukan ulkus dekubitus ? 29. Bagaimana tatalaksana tirah baring yang benar agar mencegah terjadinya ulkus dekubitus ?

ANALISIS MASALAH 1. Bagaimana fisiologi penuaan ?2 3 4 Jawab : a. Perubahan pada sistem sensoris  Penglihatan

4 Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi pupil, akibat penuan, dan perubahan warna serta kekeruhan lansa mata yang menyebabkan terjadinya katarak. Semakan bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi di sekitar kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris dan sklera. Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada lansia. Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter pupil mengalami sklerosis.2 Terjadinya

awitan

presbiopi

dengan

kehilangan

kemampuan

akomodasi. Kerusakan ini terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih lemah dan kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis, dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan jarak dekat. Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam membaca hurufhuruf yang kecil dan kesukaran dalam melihat dengan jarak pandang dekat. Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah mata berpotensi terjadi sindrom mata kering.3 

Pendengaran Kehilangan pendengaran pada lansia disebut presbikusis. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat proses menua:3,4 1) Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan pendengaran secara bertahap. 2) Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran timpani, pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen menjadi lemah dan kaku. Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi suara. 3) Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit menjadi lebih tipis dan kering, dan peningkatan keratin. Implikasi dari

5 hal ini adalah potensial terbentuk serumen sehingga berdampak pada gangguan konduksi suara. 

Perabaan ( sistem integumen)4 1) Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak. 2) Permukaan kulit kasar dan bersisik karena kehilangan proses keratinisasi, serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis. 3) Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu. 4) Rambut dalam hidung dan telinga menebal. 5) Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunya cairan dan vaskularisasi. 6) Pertumbuhan kuku lebih lambat. 7) Kuku jari menjadi keras dan rapuh, pudar dan kurang bercahaya. 8) Kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya.



Pengecapan Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat seseorang bertambah tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu keniknatan dalam kehidupan. Perubahan yang terjadi pada pengecapan akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila atau kuncup-kuncup perasa lidah. Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas



terhadap rasa (manis, asam, asin, dan pahit) berkurang.4 Penciuman Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat kimia yang mudah menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat proses menua yaitu penurunan atau kehilangan sensasi penciuman kerena penuaan dan usia. Penyebab lain yang juga dianggap sebagai pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman termasuk pilek, influenza, merokok, obstruksi hidung, dan faktor lingkungan. Implikasi dari hal ini adalah penurunan sensitivitas terhadap bau. 4

b. Perubahan pada sistem muskuloskletal Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-arsitektur berubah dan seiring patah baik akibat benturan ringan maupun spontan.4 c. Perubahan pada sistem neurologis

6 Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem neurologis akibat proses menua: 3 1) Konduksi saraf perifer yang lebih lambat. Implikasi dari hal ini adalah refleks tendon dalam yang lebih lambat dan meningkatnya waktu reaksi. 2) Peningkatan lipofusin sepanjang neuron-neuron. Implikasi dari hal ini adalah vasokonstriksi dan vasodilatasi yang tidak sempurna. 3) Termoregulasi oleh hipotalamus kurang efektif. Implikasi dari hal ini adalah bahaya kehilangan panas tubuh. d. Perubahan pada sistem kardiovaskular Berikut ini merupakan perubahan struktur yang terjadi pada sistem kardiovaskular akibat proses menua: 1) Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen dan hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini adalah ketidakmampuan

jantung

untuk

distensi

dan

penurunankekuatan

kontraktil. 2) Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan berkas his kehilangan serat konduksi yang yang membawa impuls ke ventrikel. Implikasi dari hal ini adalah terjadinya disritmia. 3) Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri. Implikasi dari hal ini adalah penumpulan respon baroreseptor dan penumpulan respon terhadap panas dan dingin. 4) Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah vena menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara sempurna sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas bawah dan penumpukan darah. e. Perubahan pada sistem pulmonal Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem pulmonal akibat proses menua: 2 1) Paru-paru kecil dan kendur, hilangnya rekoil elastis, dan pembesaran alveoli. Implikasi dari hal ini adalah penurunan daerah permukaan untuk difusi gas.

7 2) Penurunan kapasitas vital penurunan PaO2 residu. Implikasi dari hal ini adalah penurunan saturasi O2 dan peningkatan volume. 3) Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi. Implikasi dari hal ini adalah dispnea saat aktivitas. 4) Kalsifikasi

kartilago

kosta,

kekakuan

tulang

iga

pada

kondisi

pengembangan. Implikasi dari hal ini adalah Emfisema sinilis, pernapasan abnominal, hilangnya suara paru pada bagian dasar. 5) Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru. Implikasi dari hal ini adalah atelektasis. 6) Kelenjar mukus kurang produktif. Implikasi dari hal ini adalah akumulasi cairan, sekresi kental dan sulit dikeluarkan. 7) Penurunan sensitivitas sfingter esofagus. Implikasi dari hal ini adalah hilangnya sensasi haus dan silia kurang aktif. 8) Penurunan sensitivitas kemoreseptor. Implikasi dari hal ini adalah tidak ada perubahan dalam PaCO2 dan kurang aktifnya paru-paru pada gangguan asam basa f. Perubahan pada sistem endokrin Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem endokrin akibat proses menua: 2 1) Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah Glukosa darah puasa 140 mg/dL dianggap normal. 2) Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini adalah kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap normal. 3) Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan. 4) Kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit menurun, dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal ini adalah serum T3 dan T4 tetap stabil. g. Perubahan pada sistem renal dan urinaria Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem renal akibat proses menua: 2 1) Membrana basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada area fokal, dan total permukaan glomerulus mengalami penurunan, panjang

8 dan volume tubulus proksimal berkurang, dan penurunan aliran darah renal. Implikasi dari hal ini adalah filtrasi menjadi kurang efisien, sehingga secara fisiologis glomerulus yang mampu menyaring 20% darah dengan kecepatan 125 mL/menit (pada lansia menurun hingga 97 mL/menit atau kurang) dan menyaring protein dan eritrosit menjadi terganggu, nokturia. 2) Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh, penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan untuk memekatkan urine. Implikasi dari hal ini adalah penurunan total cairan tubuh dan risiko dehidrasi. 3) Penurunan hormone (PTH) yang penting untuk absorbsi kalsium dari saluran gastrointestinal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko osteoporosis. Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua, yaitu penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL), peningkatan volume residu (N: 50 mL), peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari, dan atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko inkotinensia. h. Perubahan pada sistem gantrointestinal Banyak masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia berkaitan dengan gaya hidup. Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif, antara lain perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar dan otot-otot pencernaan.2 

Hilangnya tulang periosteum dan periduntal, penyusustan dan fibrosis pada akar halus, pengurangan dentin, dan retraksi dari struktur gusi. Implikasi dari hal ini adalah tanggalnya gigi, kesulitan dalam mempertahankan pelekatan gigi palsu yang lepas.



Hilangnya kuncup rasa. Implikasi dari hal ini adalah perubahan sensasi rasa dan peningkatan penggunaan garam atau gula untuk mendapatkan rasa yang sama kualitasnya.



Atrofi pada mulut. Implikasi dari hal ini adalah mukosa mulut tampak lebih merah dan berkilat. Bibir dan gusi tampak tipis kerena penyusutan epitelium dan mengandung keratin.

9 

Pada lansia produksi saliva telah mengalami penurunan



Dilatasi esofagus, kehilangan tonus sfingter jantung, dan penurunan refleks muntah. Implikasi dari hal ini adalahpeningkatan terjadinya risiko aspirasi.



Atrofi penurunan sekresi asam hidroklorik mukosa lambung sebesar 11% sampai 40% dari populasi. Implikasi dari hal ini adalah perlambatan dalam mencerna makanan dan mempengaruhi penyerapan vitamin B12, bakteri usus halus akan bertumbuh secara berlebihan dan menyebabkan kurangnya penyerapan lemak.



Penurunan motilitas lambung. Implikasi dari hal ini adalah penurunan absorbsi obat-obatan, zat besi, kalsium, vitamin B12, dan konstipasi sering terjadi.



Pengecilan ukuran hari dan penkreas. Implikasi dari hal ini adalah terjadi penurunan kapasitas dalam menimpan dan mensintesis protein dan enzim-enzim pencernaan. Sekresi insulin normal dengan kadar gula darah yang tinggi (250-300 mg/dL). 2



Perubahan

proporsi

lemak

empedu

tampa

diikuti

perubahan

metabolisme asam empedu yang signifikan. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan sekresi kolesterol.3 i. Perubahan pada sistem reproduksi 1) Pria Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi pria akibat proses menua: Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur dan Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia. Hiperplasia noduler benigna terdapat pada 75% pria >90 tahun.2 2) Wanita Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi wanita akibat proses menua: Penurunan estrogen yang bersikulasi. Implikasi dari hal ini adalah atrofi jaringan payudara dan genital. Serta peningkatan androgen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini adalah penurunan massa tulang dengan risiko osteoporosis dan fraktur, peningkatan kecepatan aterosklerosis.2

10 2. Bagaimana fisiologi keseimbangan pada lansia ? 2 5 Jawab : Komponen kesimbangan postural: 1) Sistem sensoris Penurunan fungsi sensoris pada lansiagangguan penerimaan informasi dari receptor sensoris  mengakibatkan penurunan kontrol motorik.2 Sistem sensori utama terkait dengan keseimbangan postural meliputi sistem visual, vestibular dan proprioseptif 5 Gangguan visual yang dapat meningkatkan resiko jatuh, misalnya katarak (Hazzard,).

Lansiaatropi

dan

hialinisasi

pada

muskulus

siliarismeningkatkan amplitudo akomodasimeningkatkan ambang batas visualmematahkan

impuls

afferenmenurunkan

visual

manulamempengaruhi keseimbangan postural mereka. Selain itu juga terjadi perubahan lapang pandang, penurunan tajam penglihatan, sensitivitas penglihatan kontras akibat berkurangnya persepsi kontur dan jarak. Gangguan fungsi vestibular, misalnya vertigo. Pada sistem vestibular terjadi degenerasi sel-sel rambut dalam macula sebesar 40% dan sel syaraf. Proses degeneratif di dalam otolit sistem vestibuler dapat menyebabkan vertigo posisisonal dan ketidakseimbangan waktu berjalan. Organ vestibular memberikan informasi ke CNS tentang posisi dan gerakan kepala serta pandangan mata melalui reseptor makula dan krista ampularis yang terdapat di telinga dalam.5 Gangguan proprioseptif,

misalnya

neuropati

perifer

dan

servical

degenerative disease (Hazzard). Susunan proprioseptif ini memberikan informasi ke CNS tentang posisi tubuh terhadap kondisi di sekitarnya (eksternal) dan posisi antara segmen badan badan itu sendiri (internal) melalui reseptor-reseptor yang ada dalam sendi, tendon, otot, ligamentum dan kulit seluruh tubuh terutama yang ada pada kolumna vertebralis dan tungkai. Informasi itu dapat berupa tekanan, posisi sendi, tegangan, panjang, dan kontraksi otot (Suhartono). Manula mengalami penurunan proprioseptif (Pudjiastuti,). Hal ini dapat meningkatkan ambang batas rangsang muscle spindle, sehingga dapat mematahkan umpan balik afferen dan secara berurutan dapat mengubah kewaspadaan tentang posisi tubuh keadaan ini dapat menimbulkan gangguan keseimbangan postural.5 2) SSP

11 Terjadi penurunan daya hantar saraf 20-30 msec pada ssp  yang mengakibatkan lansia lamban dalam mengantisipasi perubahan persepsi sensoris dan respon motorik. Sistem ini dibutuhkan dalam memelihara respon postural. Central Nerves System (CNS) melalui jaras-jarasnya menerima informasi sensoris perifer dari sistem visual, vestibular, dan proprioseptif di gyrus post central lobus parietal kontralateral. Selanjutnya infomasi ini diproses dan diintegrasikan pada semua tingkat sistem syaraf. Akhirnya dalam waktu latensi ± 150 mdet akan terbentuk suatu respon postural yang benar secara otomatis dan akan diekspresikan secara mekanis melalui efektor dalam suatu rangkaian pola gerakan tertentu. Tetapi pada aktivitas dengan pola baru yang belum pernah disimpan dalam otak, maka reaksi keseimbangan tubuh perlu dipelajari dan dilatih sampai reaksi tersebut dapat dilakukan dengan tanpa perlu berfikir lagi. Proses kontrol postural pada CNS dimulai dari: Persepsi sensoris, Perencanaan motorik, Pelaksanaan motorik ke perifer.2,5 3) Sistem effektor Tugas utama dari sistem efektor adalah mempertahankan pusat gravitasi tubuh/Center Of Gravitation (COG). Dimana tugasnya meliputi duduk, berdiri, atau berjalan. Pada sistem muskoloskeletal akan terjadi kekakuan sendi, penurunan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot, daya tahan, kelenturan, dan perubahan garis postur.2,5 3. Apa saja faktor – faktor yang terkait penuaan dalam instabilitas dan jatuh? 5 Jawab : Instabilitas didasarkan pada ketidak mampuan posisi tubuh yang benar pada ruang dan pergerakan. Hal ini dapat menyebabkan jatuh. a. Factor intrinsic:  Cognitive impairment  Penurunan penglihatan, meliputi perubahan yang berkaitan dengan umur (contoh: penurunan visus, penurunan kapasitas akomodatif, intoleransi silau, gangguan pada persepsi dalam, presbiope (penglihatan   

dekat), penurunan penglihatan malam, penurunan penglihatan perifer) Sulit untuk bangun dari kursi Masalah kaki Perubahan neurologis, meliputi perubahan berkaitan dengan umur (contoh: instabilitas postural; melambatnya waktu reaksi; berkurangnya

12 kesadaran sensori untuk cahaya, vibrasi dan temperatur; penurunan 

integrasi sentral pada indera penglihatan, vestibular dan proprioseptif) Penurunan pendengaran, meliputi perubahan terkait umur (presbikusis, gangguan pada diskriminasi suara, akumulasi berlebih serumen)

b. Factor ekstrinsik5,7  Bahaya lingkungan  Perilaku yang berisiko  Obat-Obat yang Meningkatkan Risiko Jatuh: - Obat-obat Sedative-hypnotic dan anxiolitik -

(khususnya

bezodiazepin kerja lama) Antidepressan Trisiklik Major tranquilizers (phenothiazines dan butyrophenones) Antihipertensi, Diuretika, obat jantung, NSAID alcohol Antikolinergik Hipoglikemi Pengobatan lain yang memiliki efek pada keseimbangan

Beberapa Penyakit yang Berhubungan dengan Instabilitas    

Diabetes, Parkinson, stroke, arthritis, osteoporosis Penyakit kronik lain Penyakit mata: katarak, glaukoma, degenerasi makular Penyakit neurologis: TIA, strok akut

Perubahan terkait penuaan dalam instabilitas dan jatuh7 a. Perubahan kontrol postural : menurunnya proprioseptif, melambatnya refleks, menurunnya tonus otot, meningkatnya ayunan postural, hipotensi ortostatik b. Perubahan gaya berjalan: kaki tidak terangkat cukup tinggi, Laki-laki (postur tubuh membungkuk, kedua kaki melebar dan langkah pendekpendek), perempuan (kedua kaki menyempit dan gaya jalan bergoyanggoyang) c. Peningkatan prevalensi kondisi patologis yang terkait dengan stabilitas: penyakit sendi degeneratif, stroke dengan gejala sisa, kelemahan otot akibat tidak digunakan, neuropati perifer, penyakit atau deformitas kaki, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, pelupa dan demensia. d. Peningkatan prevalensi kondisi yang menyebabkan nokturia: penyakit jantung kongestif, insufisiensi vena e. Peningkatan prevalensi demensi: gangguan fungsi kognitif

13 4. Apa manfaat olah raga pada lansia? 5 Jawab :  Mencegah dan memperlambat penyebab peyakit.  Peningkatan kerja jantung.  Menurunkan resiko penyakit kardiovaskular.  Menurunkan insidensi jatuh pada lansia  Mengoptimalkan fungsi otak pada lansia. 5. Apa saja penyebab jatuh pada lansia ?5,6 Jawab : a. Kecelakaan (merupakan penyebab utama) 30-50% kasus lansia  Murni kecelakaan, misalnya terpleset, tersandung.  Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan akibat proses menua, misalnya karena mata kurang jelas, benda-benda yang ada di rumah tertabrak, lalu jatuh. b. Nyeri kepala dan/atau vertigo c. Hipotensi orthostatic:  Hipovolemia / curah jantung rendah  Disfungsi otonom  Penurunan kembalinya darah vena ke jantung  terlalu lama berbaring  hipotensi sesudah makan  Pengaruh obat-obat hipotensi d. Obat-obatan : Diuretik / antihipertensi, Antidepresan trisiklik, Sedativa, Antipsikoti, Obat-obat hipoglikemik, alkohol e. Proses penyakit yang spesifik, misalnya:  Kardiovaskular: Aritmia, Stenosis aorta, sinkope sinus carotis  Neurologi : TIA, Stroke, serangan jantung, Parkinson, kompresi saraf spinal karena Spondilosis, penyakit serebelum f. Idiopatik (tidak jelas sebabnya) g. Sinkope (kehilangan kesadaran secara tiba-tiba):  Drop attack (serangan roboh)  Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba  Terbakar matahari 6. Apa saja jenis olahraga yang sesuai bagi lansia ? 7,8 Jawab : Sebelum menyarankan olahraga bagi lansia,kita perlu memperhatikan riwayat penyakit yang telah dideritanya sebelumnya.Unruk orangtua yang memiliki riwayat penyakit cardiovascular,endokrin,atau penyakit sistemik lainnya kita harus memperhatikan dampak yang timbul akibat olahraga yang tidak sesuai.Pada orangtua juga lebih disarankan berolahraga dipagi hari dibandingkan siang atau di sore hari,hal ini untuk membatasi aktifitas jantung yang berlebihan

14 Dibawah ini adalah jenis-jenis aktifitas ringan yang disarankan sebagai olahraga pada lansia anatara lain:  Berjalan kaki santai  Bersepeda  Berdansa  Olaharaga aerobic yang di pandu oleh fisioterapist 7. Apa saja komplikasi jatuh pada lansia ? 5 Jawab : a. Fraktur b. Injury yang menyebabkan luka parah berkepanjangan c. Tidak dapat bergerak (imobilisasi) d. Perawatan Rumah sakit atau rumah perawatan e. meninggal 8. Bagaimana pencegahan terjadinya jatuh pada lansia? 5 Jawab : a. Memininalisir lingkungan yang berbahaya b. Penerangan yang cukup c. Identifikasi factor resiko d. Penilaian pola berjalan dan keseimbangan 9. Bagaimana penanganan awal yang tepat yang harus diberikan pada Kakek Toni ? 5,6 Jawab : Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.5,6 a

Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi tertutup, traksi

b

dan reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi

c

manual. Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.

d

Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Reduksi terbuka, dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen

e

tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaranyang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi

15 eksternal atau inernal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai inerna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur imobilisasi di butuhkan sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu, intra trohanterik 10-12 f

minggu, batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15 minggu. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;  Mempertahankan reduksi dan imobilisasi  Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan  Memantau status neurologi.  Mengontrol kecemasan dan nyeri  Latihan isometrik dan setting otot  Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari

Penatalaksanaan kasus-kasus fraktur pada lansia terdiri dari: a. Tindakan terhadap fraktur: Apakah penderita memerlukan tindakan operatif, ataukah oleh karena suatu sebab tidak boleh dioperasi dan hanya dilakukan tindakan konvensional. Untuk itu diperlukan kerjasama dengan bagian ortopedi. b. Tindakan terhadap jatuh: Mengapa penderita mengalami jatuh, apa penyebabnya, dan bagaimana agar tidak terjadi jatuh berulang. c. Tindakan terhadap kerapuhan tulang: Apa penyebabnya, bagaimana memperkuat kerapuhan tulang yang telah terjadi. Tindakan terhadap hal ini biasanya tidak bisa mengembalikan tulang seperti semula, tetapi bisa membantu mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan fraktur. d. Keperawatan dan rehabilitasi untuk mencegah komplikasi imobilitas (infeksi, dekubitus, konfusio) dan upaya agar penderita secepat mungkin bisa mandiri lagi. 10. Apa saja klasifikasi fraktur ? 4 6 Jawab : Klasifikasi Fraktur berdasarkan Garis Patahan 4 Berdasarkan garis patahan pada tulang, fraktur terbagi atas : 

Fraktur Dahan Hijau (Greenstick); pada tipe ini, tulang bengkok atau melengkung (seperti ranting hijau yang dipatahkan). Fraktur ini lebih sering

16 ditemukan pada anak-anak yang tulangnya lebih elastis dari tulang orang dewasa. 

Fraktur Fissura; pada tipe ini, tulang yang mengalami fraktur tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti. Biasanya tulang akan tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.



Fraktur Impresi; pada tipe ini, fraktur akan menimbulkan lekukan pada tulang.



Fraktur Kompresi; yaitu fraktur yang terjadi akibat kekuatan besar pada tulang pendek atau epifisis tulang pipa.



Fraktur Kominutif; pada tipe ini, fraktur yang terjadi lebih dari dua fragmen. Biasanya disebabkan oleh cedera hebat.



Fraktur Impaksi; pada tipe ini, fragmen-fragmen tulang terdorong masuk ke arah dalam tulang satu sama lain sehingga tidak dapat terjadi gerakan di antara fragmen-fragmen tersebut.



Fraktur Patologis; yaitu fraktur yang disebabkan oleh adanya proses patologis, misalnya tumor atau osteoporosis tulang. Dengan trauma yang ringan saja tulang akan menglami fraktur.

Klasifikasi Fraktur berdasarkan Hubungan Antara Tulang dengan Udara Luar. Fraktur dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan udara luar, yakni: 6 

Fraktur Tertutup (Close Fracture/Simple Fracture); yaitu jika patahan tulang tidak berhubungan dengan udara luar, kulit tidak rusak, dan tidak ada luka yang terjadi di sekitar tempat fraktur.



Fraktur Terbuka (Open Fracture/Compound Fracture); yaitu jika patahan tulang berhubungan dengan udara luar, kulit bagian luar rusak atau robek. Luka bisa disebabkan karena tulang yang menembus (merobek) dari dalam atau akibat trauma yang langsung mengenainya dari luar. Derajat Faktur Terbuka Derajat 1

Luka Laserasi < 2 cm

Fraktur Sederhana, dislokasi fragmen minimal

17 11

Laserasi > 2 cm Kontusi otot

Dislokasi fragmen jelas

disekitarnya 111

Luka lebar, rusak hebat atau hilangnya jaringan di

Kominutif, fragmen tulang ada yang hilang

sekitarnya

11. Bagaimana patofisiologi fraktur yang dialami oleh Kakek Toni ? 4,6 Jawab : Patofisiologi fraktur adalah jika tulang mengalami fraktur, maka periosteum, pembuluh darah di korteks, marrow dan jaringan disekitarnya rusak. Terjadi pendarahan dan kerusakan jaringan di ujung tulang. 6 Terbentuklah hematoma di canal medulla. Pembuluh-pembuluh kapiler dan jaringan ikat tumbuh ke dalamnya., menyerap hematoma tersebut, dan menggantikannya. Jaringan ikat berisi sel-sel tulang (osteoblast) yang berasal dari periosteum. Sel ini menghasilkan endapan garam kalsium dalam jaringan ikat yang di sebut callus. Callus kemudian secara bertahap dibentuk menjadi profil tulang melalui pengeluaran kelebihannya oleh osteoclast yaitu sel yang melarutkan tulang.6 Pada permulaan akan terjadi pendarahan disekitar patah tulang, yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost, fase ini disebut fase hematoma. Hematoma ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang-tulang saling menempel, fase ini disebut fase jaringan fibrosis dan jaringan yang menempelkan fragmen patah tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa. Kedalam hematoma dan jaringan fibrosis ini kemudianjuga tumbuh sel jaringan mesenkin yang bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi sel kondroblast yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan. Kondroid dan osteoid ini mula-mula tidak mengandung kalsium hingga tidak terlihat foto rontgen. Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang.4,6 12. Apa saja penyebab terjadinya fraktur ?5 6 Jawab : a Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan b

puntir mendadak,kontraksi otot ekstrim atau olah raga yang berlebihan.6 Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh.6

18 c

Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis, infeksi5,6

13. Apa saja faktor risiko terjadinya fraktur pada lansia?6,8 Jawab :  Orang tua yang intake kalsium dan vitamin D yang tidak adekuat juga olahraga yang tidak teratur semenjak massa muda  Peminum kopi dalam jangka waktu panjang  Lebih sering ditemukan pada perempuan karena hormone esterogen yang sudah berkurang  Pada orang tua sistem integument menurun fungsinya,termasuk fungsi untuk mensintesis vitamin D 14. Bagaimana gejala klinis fraktur ? 6 Jawab : a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.6 b. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.6 c. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm.6 d. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.6 e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera. 15. Apa saja faktor – fakor yang mempengaruhi penyembuhan tulang? 5,6 Jawab : a Imobilisasi fragmen tulang. b Kontak fragmen tulang minimal. c Asupan darah yang memadai. d Nutrisi yang baik. e Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang. f Hormon-hormon pertumbuhan tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.  Faktor local : kontak antara fragmen, ada tidaknya infeksi  Factor sistemik : keadaaan umum, umur, nutrisi, penyakit sistemik 16. Apa saja dampak dan komplikasi fraktur ? 7 8

19 Jawab: Berikut merupakan beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita Fraktur: a. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring. b. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. c. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali. d. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat. e. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. f. Fat embolism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70 sampai 80 fraktur tahun. g. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada individu yang imobiil dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidak mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil. h. Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. i. Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau necrosis iskemia. j. Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.

17. Bagaimana proses penyembuhan fraktur pada lansia ? 4 6 Jawab: Proses penyembuhan fraktur adalah proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap patah tulang. Secara umum proses penyembuhan fraktur ini dibagi menjadi beberapa tahapan, yakni sebagai berikut : a. Hematom segera setelah cedera.

20 Pada permulaan akan terjadi perdarahan di sekitar patahan tulang yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost. Fase ini disebut fase hematoma. b. Pembentukan kalus Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler hingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang saling menempel. Fase ini disebut fase jaringan fibrosis dan jaringan yang menempelkan fragmen patahan tulang disebut kalus fibrosa. c. Tahap penyatuan tulang Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang. Pada foto Roentgen proses ini terlihat sebagai bayangan radiopak tetapi bayangan garis patah tulang masih terlihat. d. Konsolidasi dan proses remodeling Selanjutnya terjadi penggantian sel tulang secara berangsur-angsur oleh sel tulang yang mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan tarikan yang bekerja pada tulang. Akhirnya sel tulang ini mengatur diri secara lamellar seperti sel tulang normal. Kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan tulang biasa. 18. Bagaimana tatalaksana fraktur pada Kakek Toni ?4,6 Jawab: Penatalaksanaan medis menurut Chaeruddin Rosjad, 1998. Sebelum menggambil keputusan untuk melakukan penatalaksanaan definitive. Prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu : 1. Recognition : diagnosa dan penilaian fraktur Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anannesis, pemeriksaan klinis dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan tehnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan. 2. Reduction Tujuannya untuk mengembalikan panjang & kesegarisan tulang. Dapat dicapai yang manipulasi tertutup/reduksi terbuka progresi. Reduksi tertutup terdiri dari penggunaan traksimoval untuk menarik fraktur kemudian memanupulasi untuk mengembalikan kesegarisan normal/dengan traksi mekanis. 3. Reduksi terbuka diindikasikan jika reduksi tertutup gagal/tidak memuaskan. Reduksi terbuka merupakan alat frusasi internal yang digunakan itu mempertahankan dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid seperti pen, kawat, skrup dan plat.

21 Reduction

interna

fixation

(orif)

yaitu

dengan

pembedahan

terbuka

kan

mengimobilisasi fraktur yang berfungsi pembedahan untuk memasukkan skrup/pen kedalam fraktur yang berfungsi untuk menfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan. 4. Retention, imobilisasi fraktur tujuannya mencegah pengeseran fregmen dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam union. Untuk mempertahankan reduksi (ektrimitas yang mengalami fraktur) adalah dengan traksi. Traksi merupakan salah satu pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada bagian tulang-tulang sebagai kekuatan dngan kontrol dan tahanan beban keduanya untuk menyokong tulang dengan tujuan mencegah reposisi deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi, mempertahankan ligamen tubuh/mengurangi spasme otot, mengurangi nyeri, mempertahankan anatomi tubuh dan mengimobilisasi area spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi yaitu : skin traksi dan skeletal traksi. 5. Rehabilitation, mengembalikan aktiftas fungsional seoptimal mungkin. Tatalaksana: Prinsip Reposisi dan Imobilisasi pada masa penyembuhan a. Fraktur yang minimal: proteksi dengan mitella atau sling yaitu pada fraktur iga, b. c. d. e. f. g. h.

clavicula anak, vertebrae dengan kompresi minimal Imobilisasi luar tanpa reposisi Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi Reposisi dengan traksi terus-menerus selama masa tertentu diikuti dengan imobilisasi Reposisi dengan imobilisasi dan fiksasi luar Reposisi non operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif Reposisi secara operatif dengan fiksasi eksternal Eksisi fragmen dan digantikan dengan prosthesis

19. Bagaimana pencegahan fraktur pada lansia ? 4,6,7 Jawab: a. Pencegahan Primordial Pencegahan primordial bertujuan untuk mempertahankan kondisi dasar atau status kesehatan masyarakat yang besifat positif agar dapat mengurangi kemungkinan suatu penyakit atau faktor risiko dapat berkembang dan memberikan efek patologis. Upaya yang dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan primordial terhadap fraktur antara lain: 1) Hilangkan kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol. Merokok dapat menyebabkan kepadatan tulang menjadi lebih rendah sehingga lebih berisiko terhadap patah tulang dan risiko ini meningkat dengan bertambahnya usia. Risiko

22 patah tulang belakang dan panggul pada pria dan wanita meningkat dengan asupan alkohol berat, terutama pada asupan jangka panjang. 2) Konsumsi makanan yang mengandung kalsium dan vitamin D. Berbagai penelitian telah membuktikan adanya penambahan densitas tulang pada pemberian kalsium. Sementara itu, vitamin D berperan dalam menyediakan cadangan kadar kalsium dan fosfat untuk proses mineralisasi tulang. 3) Berolahraga untuk menguatkan otot sekaligus menguatkan tulang (misalnya jalan dan jogging). Pidato Menkes RI dalam peringatan Hari Osteoporosis Nasional tahun 2009 menyebutkan, cara praktis mencegah osteoporosis dini adalah melakukan aktifitas fisik dengan berolah raga secara baik, benar, terukur, teratur (BBTT) paling tidak 30 menit, 3 kali seminggu. b. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau tidak sakit. Untuk mengurangi risiko patah tulang pada lansia dapat dilakukan dengan: 1) Hindari risiko jatuh bagi lansia. Jangan melakukan aktivitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang sulit dilihat. Peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergeser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktivitas lansia. Lantai kamar mandi harus bersih dan tidak licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, dan pintu harus mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding. 2) Lakukan pemeriksaan massa tulang. Pemeriksaan massa tulang sangat bermanfaat dalam

mengidentifikasi

penurunan

massa

tulang

seseorang

sehingga

meminimalkan risiko fraktur, mencegah terjadinya fraktur di masa yang akan datang dan dapat memonitor terapi untuk menjaga massa tulang. Bone Densitometri merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur massa tulang terutama bagi mereka yang rentan terhadap fraktur. Bone Densitometri ditetapkan oleh WHO sebagai golden standard dalam pemeriksaan massa tulang. 3) Terapi Estrogen. Pemberian estrogen dapat mencegah kehilangan tulang pada wanita post menopause. Secara epidemiologik, estrogen dapat menurunkan risiko terjadi fraktur tulang belakang sampai 90% serta fraktur pergelangan tangan dan

23 paha sampai 50%. Beberapa prinsip pemberian estrogen yang dianjurkan adalah: Mulailah selalu dengan estrogen lemah (estradiol) dengan dosis rendah; dilakukan secara siklik; usahakan selalu dikombinasikan dengan progesteron; diberikan pengawasan ketat selama pemberian; apabila terjadi perdarahan, perlu dilakukan dilatasi dan kuretase; lakukan kerjasama dengan bagian Penyakit Dalam apabila sebelum dan selama masa terapi ditemukan keluhan nyeri dada, hipertensi kronik, hiperlipidemia, dan diabetes mellitus. 4) Masukan kalsium dan vitamin D yang adekuat bagi lansia. c. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder ditujukan pada lansia yang telah mengalami fraktur. Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan mendeteksi penyakit secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat. Pengobatan patah tulang pada lansia hingga kini masih jauh dari memuaskan. Masalah ini disebabkan terutama oleh karena pasien adalah lansia, dimana kecepatan remodeling atau pembaharuan tulang sudah menurun. Upaya untuk menghambat penyerapan tulang dan meningkatkan pembentukan tulang akan memerlukan waktu lama sampai perbaikan secara klinik dicapai. Pengobatan yang lama ini juga berpengaruh pada ketaatan pasien dalam berobat. Dengan demikian, dalam penatalaksanaan fraktur pada lansia, selain usaha pengobatan untuk memperbaiki kelainan yang terjadi juga diperlukan tindakan pencegahan. Penatalaksanaan kasus-kasus fraktur pada lansia terdiri dari: a. Tindakan terhadap fraktur: Apakah penderita memerlukan tindakan operatif, ataukah oleh karena suatu sebab tidak boleh dioperasi dan hanya dilakukan tindakan konvensional. Untuk itu diperlukan kerjasama dengan bagian ortopedi. b. Tindakan terhadap jatuh: Mengapa penderita mengalami jatuh, apa penyebabnya, dan bagaimana agar tidak terjadi jatuh berulang. c. Tindakan terhadap kerapuhan tulang: Apa penyebabnya, bagaimana memperkuat kerapuhan tulang yang telah terjadi. Tindakan terhadap hal ini biasanya tidak bisa mengembalikan tulang seperti semula, tetapi bisa membantu mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan fraktur. d. Keperawatan dan rehabilitasi untuk mencegah komplikasi imobilitas (infeksi, dekubitus, konfusio) dan upaya agar penderita secepat mungkin bisa mandiri lagi. d. Pencegahan Tersier

24 Pencegahan tersier ini ditujukan untuk mengurangi ketidakmampuan penderita dan mengadakan rehabilitasi. Pencegahan ini terus diupayakan selama penderita belum meninggal dunia. Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi organ yang cacat serta mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik. Perawatan rehabilitatif pada pasien mencakup terapi fisik yang terdiri dari berbagai macam latihan. Selain keterbatasan fisik, setelah mengalami fraktur penderita juga dapat mengalami gangguan psikologis, mempengaruhi mood, mengurangi rasa percaya diri, dan mengalami depresi. Untuk itu, rehabilitasi penderita sebaiknya dibantu dengan pemberian dukungan semangat baik dari terapis, kerabat, maupun orang-orang sekitar penderita.

20. Apa tujuan, indikasi,kontraindikasi,dan komplikasi traksi ? 4 Jawab: Tujuan: untuk menangani fraktur, dislokasim atau spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki deformitas dan mmpercepat penyembuhan. Indikasi: 1. Nyeri dan Spasme Otot Nyeri dan spasme otot dapat ditangani dengan teknik gentle joint play untuk menstimulasi efek neurologis yang dapat menstimuli mekanoseptor dan inhibisi transmisi nociceptor pada level spinal atau brain stem. 2. Hipomobilitas yang Reversibel Jaringan yang mengalami immobilisasi dapat menyebabkan

berkurangnya

kemampuan regangan sehingga terjadi pemendekan dan myofibril menjadi berkurang dan membentuk abnormal crosslink. Teknik osilasi dapat memperbaiki secara mekanik struktur jaringan yang mengalami pemendekan, dan teknik progresif stretching sendi untuk mengulur hipomobilitas kapsular dan ligamen. 3. Keterbatasan Gerak yang Progresif Penyakit yang membatasi gerak secara progerasif dapat ditangani dengan teknik mobilisasi sendi untuk menjaga dan memelihara gerak yang ada. 4. Imobilisasi yang Fungsional Ketika pasien tidak dapat melakukan gerakn pada satu sendi untuk beberapa waktu maka dapat diberikan traksi tanpa stretch untuk memelihara gerak sendi yang ada dan efek restriksi pada imobilisasi. Kontraindikasi Traksi  Hipermobilitas Hipermobilitas pada sendi tidak boleh diberikan teknik ini kecuali dengan pertimbangan bahwa fisioterapis dapat menjaga dalam batasan gerak yang normal

25 pada sendi tersebut. Selain itu tidak boleh diaplikasikan pada pasien yang mempunyai 

potensial nekrose pada ligament dan kapsul sendi. Efusi Sendi Efusi sendi tidak boleh dilakukan mobilisasi. Hal ini dikarenakan pada kapsul yang ditraksi akan mengalami penggelembungan karena menampung cairan dari luar. Keterbatasan ini berasal dari perubahan yang terjadi dari laur dsan respon otot





terhadap nyeri bukan karena pemendekan otot. Inflamasi Pada tahap ini tidak boleh dilakukan traksi karena menimbulkan nyeri serta memperberat kerusakan pada jaringan. Fraktur humeri dan osteoporosis

21. Apa saja komplikasi dilakukannya imobilisasi (tirah baring)? 6 7 8 Jawab: Komplikasi tirah baring: a. Deep vein trombosis b. Emboli paru c. Kontraktur otot dan sendi d. Osteoporosis e. Ulkus dekubitus f. Hipotensi postural g. Pneumonia dan infeksi saluran kemih h. Gangguan nutrisi, hipoalbuminemia i. Konstipasi 22. Apa saja faktor risiko terjadinya ulkus dekubitus?3 Jawab: Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien yaitu: a. Gangguan Input Sensorik Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit dari pada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persesi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi, mereka dapat mengubah atau meminta bantuan untuk mengubah posisi. b. Gangguan Fungsi Motorik Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi terhadap

dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang

26 mengalami cedera medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Ruller & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005). c. Perubahan Tingkat Kesadaran Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak

mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi binggung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi. d.

Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya. Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus marupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini. Sebuah studi yang dilakukan plaiser dkk, (1994) mengukur jumlah tekanan pada tulang tengkorak dan wajah yang diberikan oleh emapt jenis penyangga leher yang berbeda dengan subjek berada posisi terlentang dan upright (bagian atas lebih tinggi). Hasilnya menunjukkan bahwa pada beberapa penyangga leher, terdapat tekanan yang menutup kapiler. Perawat perlu waspada terhadap resiko kerusakan kulit pada klien yang menggunakan penyangga leher ini. Perawat harus mengkaji kulit yang berada di bawah penyangga leher, alat penopang (braces), atau alat ortotik lain untuk mengobservasi tanda-tanda kerusakan kulit (Potter & Perry, 2005).

23. Apa saja stadium ulkus dekubitus ?3 Jawab: Menurut NPUAP (1995 dalam Potter & Perry, 2005), luka dekubitus derajat I sampai derajat IV yaitu: a. Derajat I

27 Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indicator. b. Derajat II Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal. c. Derajat III Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. d. Derajat IV Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi. 24. Bagaimana jenis-jenis ulkus dekubitus ? 5 6 Jawab: 1. Tipe normal Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluhpembuluh darah sebenarnya baik. 2. Tipe arterioskelerosis Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu. 3. Tipe terminal Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan sembuh. 25. Bagaimana tatalaksana ulkus dekubitus berdasarkan stadiumnya ? 7 8 Jawab: Penatalaksanaan klien dekubitus memerlukan pendekatan holistik yang menggunakan keahlian pelaksana yang berasal dari beberapa disiplin ilmu kesehatan. Selain perawat, keahlian pelaksana termasuk dokter, ahli fisiotrapi, ahli terapi okupasi, ahli gizi, dan ahli farmasi. Beberapa aspek dalam penatalaksanaan dekubitus antara lain perawatan luka secara lokal dan tindakan pendukung seperti gizi yang adekuat dan cara penghilang tekanan (Potter & Perry, 2005).

28 Selama penyembuhan dekubitus, maka luka harus dikaji untuk lokasi, tahap, ukuran, traktusinus, kerusakan luka, luka menembus, eksudat, jaringang nekrotik, dan keberadaan atau tidak adanya jaringan granulasi maupun epitelialisasi. Dekubitus harus dikaji ulang minimal 1 kali per hari. Pada perawatan rumah banyak pengkajian dimodifikasi karena pengkajian mingguan tidak mungkin dilakukan oleh pemberi perawatan. Dekubitus yang bersih harus menunjukkan proses penyembuhan dalam waktu 2 sampai 4 minggu (Potter & Perry, 2005). 1) Dekubitus derajat I Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis; kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari. 2) Dekubitus derajat II Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal; Perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara

hangat bergantian untuk meransang sirkulasi. Dapat

diberikan salep topikal, mungkin juga untuk meransang tumbuhnya jaringan muda/granulasi, Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan dapat merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan. 3) Dekubitus derajat III Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi; Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin diperlukan. 4) Dekubitus derajat IV Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik; Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik yang adal harus dibersihkan , sebaba akan menghalangi pertumbuhgan jaringan/epitelisasi. Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang danluka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan. Beberapa usaha mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada daerah luka. Tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat. angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40%.

29

26. Bagaimana pencegahan terjadinya ulkus dekubitus dan atrofi otot tungkai ?3,4,5 Jawab: Pencegahan terjadinya ulkus dekubitus: a. Mengkaji faktor-faktor resiko klien b. Mengurangi faktor-faktor lingkungan yang mempercepat terjadinya dekubitus, seperti suhu ruangan panas (penyebab diaporesis), kelembaban, atau linen tempat tidur yang berkerut (Potter & Perry, 2005). c. Menjaga higienis dan perawatan kulit topical d. Pencegahan mekanik dan pendukung untuk permukaan, yang meliputi pemberian posisi, penggunaan tempat tidur dan kasur terapeutik. e. Pendidikan (Potter & Perry, 2005) f. Menggunakan bantal berongga g. Mengoleskan minyak di kulit seusai mandi Pencegahan terjadinya atrofi otot: a. Perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur b. Mobilisasi dini misalnya turun dari tempat tidur, beranjak ke kursi c. Latihan gerakan pasif 1-2 kali sehari selama 20 menit

27. Bagaimana pathogenesis dan patofisologi ulkus dekubitus dan atrofi otot ? 7 8 Jawab: Pathofisiologi ulkus dekubitus: Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu: a. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler (Landis, 1930). b. Durasi dan besarnya tekanan (Koziak, 1953) c. Toleransi jaringan (Husain, 1953) Tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi sebagai contoh bila seorang penderita immobil/terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg. Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nokrosis jaringan kulit.

30

/ Pathogenesis atrofi otot: Imobilitas yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan oto. Penurunan diperkirakan 1 – 2 persen sehari. Beberapa factor yang menyebabkan atrofi otot yaitu ; perubahan biologis proses penuan itu sendiri, akumulasi penyakit akut dan kronik, serta malnutrisi. Perubahan otot selama imobilitas lama menyebabkan degenerasi serat otot, peningkatan jaringan lemak, serta fibrosis. Massa otot berkurang setengah dari pada ukuran semula setelah mengalami 2 bulan imobilitas. 28. Apa saja faktor yang mempengaruhi pembentukan ulkus dekubitus ?2,5,8 Jawab: Menurut Potter & Perry (2005) ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus diantaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakesia, dan usia. a. Gaya gesek Lemak subkutan lebih rentan terhadap gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang berada di bawahnya.akhirnya pada kulit akan terbuka sebuah saluran sebagai drainase dari area nekrotik. Perlu di ingat bahwa cedera ini melibatkan lapisan jaringan bagian dalam dan paling sering dimulai dari kontrol, seperti berada di bawah jaringan rusak. b. Friksi Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit

31 c. Kelembaban Adanya kelembaban pada kulit dan durasinya meningkatkan terjadinya kerusakan integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi peningkatan resiko pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekenan atau gaya gesek (Potter & Perry, 2005). d. Status nutrisi Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. e. Anemia Pasien anemia beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka. f. Kakeksia Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada pasien. g. Obesitas Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan. Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemi. h. Demam Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan mengalami iskemi. i. Gangguan Sirkulasi Perifer Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopressor. j. Usia Studi yang dilakukan oleh kane et el (1989) mencatat adanya luka dekubitus yang terbasar pada penduduk berusia lebih dari 75 tahun. Lansia mempunyai potensi besar untuk mengalami dekubitus oleh karena berkaitan dengan perubahan kulit akibat

32 bertambahnya usia, kecenderungan lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi oleh karena itu imobilisasi akan memperlancar resiko terjadinya dekubitus pada lansia. 29. Bagaimana tatalaksana tirah baring yang benar agar mencegah terjadinya ulkus decubitus ? 7 8 Jawab: Posisi yang sering berubah adalah penting, sebaiknya paling lama setiap 2 jam saat pasien di tempat tidur. Jadwal alih baring, termasuk bergeser ke dan dari telentang dan kedua posisi miring, dapat ditempatkan disamping tempat tidur untuk melayani sebagai pengingat. 30 derajat kiri dan kanan posisi miring akan sangat berguna untuk mencegah terbentuknya luka tekan pada lokasi yang paling umum di belakang, pinggul, dan ankles. Menjaga kepala ditinggikan kurang dari 30 derajat (kecuali setelah makan) akan meminimalkan geser. Selain itu, bantal dapat ditempatkan antara lutut pasien dan pergelangan kaki untuk meminimalkan tekanan dan gesekan atau di bawah betis untuk mengangkat tumit. Setiap keuntungan yang diperoleh dari pelindung tumit muncul berasal dari kemampuan mereka untuk mengurangi tekanan. Bantal atau bantal busa kursi roda dapat membantu mengurangi tekanan; Namun penggunaan bantal tipe donat kini telah menjadi usang karena bertentangan dengan keyakinan sebelumnya, mereka memperburuk iskemia dengan mengurangi aliran darah ke pusat area bantal.

33

MIND MAPPING KAKEK TONI (75 TAHUN) MAIN TENIS

Jenis dan manfaat olahraga yang sesuai untuk lansia

FRAKTUR IMOBILISA SI TIRAH BARING:     

TUJUAN INDIKASI KONTRA INDIKASI KOMPLIKASI Pedoman tirah baring yang baik dan benar ULKUS      

DEKUBITUS Patofisiologi Faktor resiko Stadium Tipe Pencegahan Penatalaksanaan

TRAKSI   

TUJUAN INDIKASI KONTRA INDIKASI

ATROFI OTOT  Patofisiologi  Faktor resiko  Pencegahan

34

DAFTAR PUSTAKA 1. Dorland,W.A.Newman; Alih Bahasa, Huriawati, Hartono, Dkk; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Huriawati, Hartono, Dkk; Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC. 2. Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC 3. Sudoyo,dkk.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid 1. Jakarta: Internal Publishing. 4. Sjam Suhidrsajat R. & Loim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 5. Teori penuaan, perubahan pada sistem tubuh dan implikasinya pada lansia (online). Diunduh dari URL http://prastiwisp.files.wordpress.com/2010/11/teori-penuaan-danperubahan-fisiologis-lansia.pdf 6. Fraktur (online) diunduh dari URL http://rspository.usu.ac.id/bitsteam/123456789/22361/4/Chapter%20II.pdf 7. Martono H, 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia. 8. Lansia (online) diunduh dari URL http://www.journals.elsevier.com/europan-geriatric-medicine/

Related Documents


More Documents from "Friska Airyn"