Skenario 2 Ggn Endo.docx

  • Uploaded by: nurfadhilah palilati
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skenario 2 Ggn Endo.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,099
  • Pages: 18
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 2 MODUL GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN, METABOLISME DAN NUTRISI

Disusun oleh : Tutor 8 Frenky Dirk Awuy 1701110113 Pingkan Milenia Ruru 17011101079 Pricillia Jessica Oroh 17011101086 Lydia Paat 17011101094 Sonnia J. Giroth 17011101012 Dheana Claudia Kalembiro 17011101106 Sabatika Riooko Kapoh 17011101108 Renaldo Berry Minggu 17011101118 Angelyn Tjong 17011101124 Nurfadhilah H. Palilati 17011101026 Thalia Wanny Malingkas 17011101125

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO

A. Skenario Seorang wanita 30 tahun datang ke praktek dokter dengan keluhan rasa berdebar. Rasa berdebar sudah dirasakan sejak 2 bulan lalu. Pasien juga mengeluh berat badannya turun 8 kg sejak 2 bulan yang lalu walaupun nafsu makannya bertambah. Setelah dianamnesis lebih lanjut pasien merasa tidak tahan dengan suasana panas dan sering berkeringat banyak. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 110x/m irregular, respirasi 20x/m, suhu 36.9◦C, mata tampak eksoftalmus. Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang didapatkan hasil TSH <0.005 mlu/L, FT4 5.5 ng/dL. B. Kata Sulit  Eksoftalmus  FT4 C. Kata Kunci  Rasa berdebar  Berat badan turun  Nafsu makan bertambah  Sering berkeringat  Eksoftalmus D. Masalah Dasar Seorang wanita 30 tahun datang dengan keluhan utama rasa berdebar, berat badan menurun, nafsu makan bertambah, dan sering berkeringat. E. Pertanyaan 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan Fisik 3. Pemeriksaan Penunjang 4. Diagnosis Kerja 5. Diagnosis Banding 6. Epidemiologi 7. Etiologi dan Faktor Risiko 8. Patofisiologi 9. Patogenesis 10. Penatalaksanaan dan Edukasi 11. Komplikasi dan prognosis F. Jawaban 1. Anamnesis Dalam melakukan anamnesis, tanyakan hal-hal yang logik mengenai pasien, dengarkan dengan baik apa yang dikatakan pasien serta tidak memotong pembicaraan

pasien bila tidak perlu. Anamnesis yang baik harus mengacu pada pertanyaan yang sistematis, yaitu dengan berpedoman pada empat pokok pikiran (The fundamental four) dan tujuh butir mutiara (the sacred seven). Empat pokok pikiran yaitu riwayat penyakit sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat kesehatan keluarga, dan riwayat sosial dan ekonomi. Riwayat penyakit sekarang meliputi keluhan utama dan anamnesis lanjutan. Pada keluhan utama (chief complant) adalah keluhan yang dirasakan pasien sehingga membawa pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Kemudian setelah keluhan utama, dilanjutkan anamnesis secara sistematis dengan menggunakan tujuh mutiara anamnesis, yaitu lokasi (dimana? Menyebar atau tidak?), onset/awitan dan kronologis (kapan terjadinya? Berapa lama?), kuantitas keluhan (ringan atau berat, seberapa sering terjadi?), kualitas keluhan (rasa seperti apa?), faktor-faktor yang memperberat keluhan, faktor-faktor yang memperingan keluhan dan analisis sistem yang menyertai keluhan utama. Pada kasus ini, keluhan utama yang disampaikan oleh pasien adalah keluhan rasa berdebar. Onsetnya sudah dirasakan sejak 2 bulan lalu serta pasien juga mengeluh berat badannya turun sebanyak 8 kg sejak 2 bulan yang lalu dan nafsu makannya bertambah. Hasil anamnesis menunjukkan bahwa pasien tidak bisa menahan suasana panas dan sering berkeringat banyak. Anamnesis tambahan yang bisa ditanyakan kepada pasien seperti, yaitu : a. Kualitas dan kuantitas keluhan : -

Seberapa sering terjadi rasa berdebar?

-

Bagaimana rasa berdebar apakah ringan atau berat?

b. Faktor yang memperingan keluhan : Bagaimana cara pasien untuk memperingan keluhan? c. Riwayat penyakit dahulu : -

Apakah pernah terdapat riwayat tirotoksikosis? Jika ya, obat apa yang digunakan, termasuk iodin radioaktif dan obatobatan seperti karbimazol, propiltiourasil, dan beta blocker? Adakah riwayat penyakit autoimun lain?

d. Riwayat penyakit keluarga : -

Adakah riwayat penyakit tiroid dalam keluarga?

Berikut adalah tabel index diagnosis untuk tirotoksikosis yang dikutip dari Postgraduate Medical Journal (July 1973) 49, 471 mengenai “The diagnosis of thyrotoxicosis”

2. Pemeriksaan Fisik Pada kasus didapatkan :     

Tekanan darah : 120/80 mmHg Nadi : 110x/m ireguler Respirasi : 20x/m Suhu : 36,9°C Kemudia mata tampak eksoftalmus.

Pemeriksaan fisik tambahan : 

Inspeksi : o Penampilan umum klien: apakah tampak kelemahan berat, sedang dan ringan o Bentuk dan proporsi tubuh

o Pada wajah: fokuskan pada abnormalitas struktur, bentuk dan ekspresi wajah seperti bentuk dahi, rahang dan bibir o Pada mata: exopthalmus serta apakah ekspresi wajah datar atau tumpul 

Palpasi : untuk meraba ukuran dan konsistensinya o Pada kondisi normal: kelenjar tiroid tidak teraba



Auskultasi : o Pada daerah leher diatas tiroid dapat terdengar bunyi bruit o Bruit adalah bunyi yang dihasilkan oleh karena turbulensi pada pembuluh darah tiroidea. o Normal: bunyi ini tidak terdengar. o Dapat terdengar bila terjadi peningkatan sirkulasi darah ke kelenjar tiroid sebagai dampak peningkatan aktivitas kelenjar tiroid

3. Pemeriksaan Penunjang  Tes Fungsi Hormon status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid untuk mendiagnosis penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolic aktif. Kaddar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik. Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Grave dan hipertiroid umumnya,perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal,kadar tiroid perifer,seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berad dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya,bila T3 dan T4 rendah,maka produksi TSH akan meningkatkan dan sebaliknya ketika kadar hormone tiroid tinggi,maka produksi TSH akan menurun.  Foto Rontgen Leher Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat trakea (jalan nafas).  USG Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok aakan tampak di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG anatar lain kista,adenoma,dan kemungkinan karsinoma.  Biopsy aspirasi jarum halus Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri,hampir tidak

menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negative palsu karena lokasi biopsy kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah intrepertasi olah ahli sitologi. 4. Diagnosis Utama Temuan Klinis pada hipertiroidisme  Gejala o Kewaspadaan;labilitas emosi; gelisah, iritabilitas o Konsentrasi menurun o Otot melemah, mudah lelah o Palpitasi o Nafsu makan meningkat, berat badan menurun o Hiperdefekasi (peningkatan frekuensi buang air besar) o Intoleransi panas  Tanda o Hiperkinesia, berbicara cepat o Kelemahan otot proksimal (kuadriseps, tremor halus o Kulit halus, lembab; rambut bertambah; onikolisis o Lid lag, mata terbelakak, kemosis, edema periorbita, proptosis o Bunyi jantung pertama menguat, takikardia, fibrilasi atrium (resisten terhadap digitalis), tekanan nadi melebar, dispnea  Temuan laboratorium o Kadar TSH serum menurun o Peningkatan tiroksin bebas dalam serum, peningkatan T4 total serum, peningkatan ambilan T3 resin, peningkatan indeks tiroksin bebas o Peningkatan penyerapan radioiodin oleh kelenjar tiroid (beberapa kausa) o Peningkatan laju metabolik basal (BMR) o Penurunan kadar kolesterol serum Pada sebagian besar pasien, kelenjar tiroid membesar, tetapi hipertiroid pada penyakit Graves dapat juga ditemukan kelenjar tiroid yang normal. Pembesaran kelenjar biasanya simetris. Permukaannya umumnya halus tetapi dapat terasa berlobus. Pada beberapa kasus, thrill dapat teraba, biasanya pada bagian bawah atau atas kelenjar dimana arteri superior dan inferior tiroid memasuki tiroid dan thrill dapat juga disertai dengan bruit. Walaupun begitu, bruit yang muncul saat sistol, dapat sulit terdengar jika pasien dengan takikardia. ₂ Retraksi pada kelopak mata menimbulkan perlebaran fisura palpebra sehingga sklera tampak keluar di atas batas superior dari limbus. Gejala dan tanda inflamasi pada penyakit Graves yang nyata antara lain iritasi pada mata, yang menyerupai rasa benda asing pada mata, dan mata berair yang biasanya memburuk jika terpapar angin dan udara. Pada

penyakit Graves yang aktif, konjungtiva dan kelopak mata umumnya bengkak, dan pasien mungkin komplain mengenai nyeri saat mata bergerak. Eksoftalmos (proptosis), biasanya tidak simetris dan terasa seperti ada tekanan pada bagian belakang bola mata. Saat eksoftalmus, mata tidak dapat menutup saat tidur disebut lagophthalmos, yang dapat menyebabkan kekeringan kornea. Pada beberapa kasus, kornea dapat terjadi infeksi. Pada oftalmopati penyakit Graves yang parah, tekanan pada nervus opticus atau keratitis akibta terpajannya kornea dapat menyebabkan kebutaan. ₂ Dermopati terjadi kurang dari 5% pasien dengan penyakit Graves dan hampir selalu disertai dengan orbitopati, biasanyamerupakan manifestasi penyakit Graves tahap lanjut. Lesi-lesi tersebut menyebabkan hiperpigmentasi dan edema non-pitting pada daerah kulit kaki, biasanya pada bagian pretibial dan dorsa pada kaki, kadang-kadang membentuk nodul atau plak. Clubbing pada jari dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit Graves yang sudah lama. ₂ Peningkatan efek katekolamin pada hipertiroidisme mungkin memiliki sebab multifaktor. Hormon tiroid meningkatan reseptor beta-adrenergik di banyak jaringan, termasuk otot jantung, otot rangka, jaringan adiposa dan limfosit. Hormon ini juga mengurangi reseptor alfa-adrenergik di otot jantung dan mungkin memperkuat kerja katekolamin di tempat pascareseptor. Karena itu, tirotoksikosis ditandai oleh peningkatan sentivitas metabolik dan hemodinamik jaringan terhadap katekolamin. Namun, kadar katekolamin darah normal.₁ Pada hipertiroidisme, curah jantung meningkat akibat meningkatnya frekuensi denyut dan kontraktilitas jantung serta berkurangnya resistensi vaskular perifer. Pada keadaan hipertiroid, tekanan nadi meningkat dan waktu sirkulasi memendek. Takikardia, biasanya supraventrikuler, sering dijumpai dan diduga berkaitan dengan efe langsung hormon tiroid terhadap sistem hantaran jantung. Fibrilasi atrium dapat terjadi, terutama pada pasien berusia lanjut. Pasien dengan hipertiroidisme dapat mengalami gagal jantung akut akibat disfungsi ventrikel kiri disertai kelainan gerakan dinding segmental. Hiipertiroidisme kronik dapat menyebabkan kardiomegali dan gagal jantung kongestif. Murmur sering terdengar dan dapat timbul bunyi ekstrakardiak yang dihasilkan oleh jantung yang hiperdinamis. ₁ Kelebihan hormon tiroid menyebabkan produksi panas yang berlebihan sehingga suhu tubuh sedikit meningkat dan mekanisme-mekanisme pembuangan panas menjadi aktif termasuk vasodilatasi kulit dan penurunan resistensi vaskular perifer serta peningkatan sekresi keringat. Peningkatan laju metabolik basal menyebabkan penurunan berat badan khususnya pada pasien lanjut usia dengan nafsu makan yang rendah. Pada pasien yang lebih muda, asupan makanannya biasanya meningkat, dan sebagian pasien tampaknya mengalami peningkatan nafsu makan yang berlebihan. ₁ Kadar TSH berada di bawah kadar normal. Kadar serum T4, T3, T4 bebas, dan T3 bebas biasanya meningkat. Pada beberapa pasien, kadar T3 dapat lebih tinggi dari T4. Antibodi antitiroid, termasuk antibodi tiroid peroksidase, dapat muncul. Hampir semua

pasien dengan penyakit Graves yang baru terdiagnosis mempunyai TSH-R Ab; metode yang digunakan untuk mengetahui TSH-R Ab adalah dengan thyroid-stimulating immunoglobulin atau thyrotropin-binding inhibitory immunoglobulin. Perhitungan thyroid-stimulating immunoglobulin atau thyrotropin-binding inhibitory immunoglobulin berguna dalam mengkonfirmasi diagnosis penyakit Graves.

5. Diagnosis Banding Diagnosis Banding 1) Adenoma Toksik Nodul kecil jinak (benigna) dalam kelenjar tiroid yang menyekresi hormone tiroid, merupakan penyebab hipertiroidisme kedua paling sering. Penyebab adenoma toksik tidak diketahui, insidennya paling tinggi pada lanjut usia. Efek klinis yang ditimbulkan pada dasarnya serupa dengan efek klinik penyakit Graves, kecuali adenoma toksik tidak menimbulkan oftalmopati, miksedema pretibial, ataupun acropachy. Keberadaan ademoa dipastikan dengan pemeriksaan uptake I131 dan scan kelenjar tiroid, yang memperlihatkan nodul hiperfungsional yang tunggal dan menekan bagian kelenjar yang lain. Penanganannya meliputi terapi dengan I131 atau pembedahan untuk mengangkat adenoma setelah obat-obat antitiroid menghasilakn keadaan eutiroid. 2) Tirotoksikosis Faktisia Terjadi karena pemakaian hormone tiroid yang menahun untuk mensupresi tirotropin pada karsinoma tiroid, atau karena penyalahgunaan hormone tiroid oleh mereka yang mencoba menurunkan berat badan. 3) Karsinoma Tiroid Fungsional Metastatik Merupakan penyakit langka yang menyebabkan produksi berlebihan hormone tiroid. 4) Tiroiditis Subakut Merupakan inflamasi granulomatosa yang disebabkan oleh virus pada kelenjar tiroid dengan cara menimbulkan hipertiroidisme sepintas yang disertai demam, nyeri, faringitis, dan nyeri tekan pada kelenjar tiroid. 5) Silent Thyroiditis Merupakan bentuk hipertiroidisme yang bersifat sepintas dan sembuh sendiri dan disertai gambaran histologi tiroiditis namun tanpa gejala inflamasi.

6. Epidemiologi Hasil pemeriksaan TSH pada Riskesda 2007 mendapatkan 12,8% laki-laki dan 14,7% perempuan memiliki kadar TSH rendah yang menunjukkan kecurigaan adanya hipertiroid. Namun menurut hasil Riskesdas 2013, hanya terdapat 0,4% penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun atau lebih yang berdasarkan wawancara mengakui terdiagnosis hipertiroid. Meskipun secara persentase kecil, namun secara kuantitas cukup besar. Jika pada tahun 2013 jumlah penduduk usia 15 tahun atau

lebih sebanyak 176.689.336 jiwa, maka terdapat lebih dari 700.000 orang terdiagnosis hipertiroid, dengan rincian masing-masing provinsi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel diatas menunjukkan prevalensi penduduk yang terdiagnosis hipertiroid lebih tinggi pada perempuan (0,6%), usia lebih tua (45 tahun), pendidikan tinggi (D1-D3/PT), tidak bekerja dan bekerja sebagai pegawai, tinggal di perkotaan, indeks kepemilikan menengah atas dan teratas. Factor social ekonomi mungkin mempengaruhi tingginya kesadaran dan akses untuk memeriksakan diri ketika merasakan adanya gejala.

7. Etiologi dan Faktor Risiko Penyakit grave disebabkan karena kondisi autoimun. Belum ada teori yang secara jelas dapat menjelaskan terjadinya autoimun ini. Faktor risiko penyakit grave, antara lain: o

o o o o o

o

Riwayat penyakit keluarga. Riwayat penyakit keluarga dengan penyakit grave maupun penyakit autoimun lainnya dapat menjadi suatu faktor risiko bagi seseorang. Terutama karena belum ada teori yang secara pasti dapat menjelaskan terjadinya penyakit ini, dicurigai bahwa ada gen tertentu yang diturunkan dan dapat menyebabkan kelainan ini. Jenis kelamin. Wanita lebih rentan menderita penyakit grave dibandingkan dengan pria. Usia. penyakit grave biasanya menimpa seseorang di usia kurang dari 40 tahun. Penyakit autoimun lainnya. Emosi dan stress fisik. Kedua hal ini dapat menjadi pemicu terjadinya penyakit grave, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit keluarga serupa. Kehamilan. Kehamilan dapat menjadi suatu faktor yang meningkatkan kemungkinan seorang wanita menderita penyakit grave, terutama bagi wanita dengan faktor risiko lainnya. Merokok. Merokok dapat mempengaruhi sistem imunitas dan meningkatkan risiko terjadinya penyakit grave.

8. Patofisiologi Hipertiroid adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan produksi hormone tiroid yang berlebih. Karena itu, setiap fungsi dari tubuh akan bekerja lebih cepat dan terjadi peningkatan metabolisme. Pada hipertiroid konsentrasi TSH plasma menurun karena ada sesuatu yang menyerupai TSH, yaitu bahan-bahan antibodi immunoglobulin yang disebut TSI yang berikatan dengan reseptor membran yang sama dengan yang mengikat TSH. Bahan-bahan tersebut merangsang aktivasi camp dalam sel, lalu hasil akhirnya hipertiroidisme. Karena itu pada pasien hipertiroid konsentrasi TSH menurun dan Konsentrasi TSI meningkat. Graves disease salah satu penyebab umum hipertiroidisme. Grave disease merupakan penyakit autoimun karena sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh malah meyerang kelenjar tiroid. Pada penyakit grave disease ditandai oleh produksi autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Pada keluhan pasien tidak tahan suasana panas termasuk akibat dari sifat hormone tiroid yang kalorigenik, karena peningkatan laju metabolisme tubuh diatas normal Pada mata tampak eksoftalmus merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler akibatnya bola mata terdesak keluar

Pada keluhan rasa berdebar dan denyut nadi takikardi dikarenakan produksi T4 dan T3 yang tingggi dari stimulasi TSH-R antibodi yang berinteraksi dengan reseptor TSH di membrane epitel folikel tiroid mengakibatkan peningkatan aktivitas saraf simpatis tubuh. Salah satunya saraf simpatis pada jantung, impuls listrik dari nodus SA meningkat, lalu kontraksi jantung meningkat mengakibatkan fraksi ejeksi darah dari ventrikel berkurang dan meningkatkan tekanan darah dan denyut nadi. 9. Patogenesis Penyakit Graves adalah hipertiroidisme autoimun. Kombinasi dari faktor genetik, termasuk HLA-DR dan polimorfosme CTLA-4, dan faktor lingkungan berkontribusi terhadap kejadian penyakit Graves. Concordance penyakit Graves ditemukan pada kembar monozigotik (20-30%), sedangkan <5% pada kembar monozigotik. Stress merupakan faktor lingkungan yang penting, diperkirakan efek neuroendokrin pada sistem imun. Merokok adalah faktor risiko minor untuk penyakit Graves dan faktor risiko mayor untuk perkembangan oftalmopati. Penyakit Graves adalah suatu gangguan autoimun, pada gangguan tersebut terdapat beragam autoantibodi dalam serum. Antibodi ini mencakup antibodi terhadap reseptor TSH, peroksisom tiroid, dan tiroglobulin. Dari ketiganya, reseptor TSH adalah autoantigen terpenting yang menyebabkan terbentuknya antibodi. Efek antibodi yang dibentuk berbeda-beda, bergantung pada epitop reseptor TSH mana yang menjadi sasarannya:   

Thyroid-stimulating immunglobulin (TSI), mengikat reseptor TSH, merangsang jalur AMP siklik Thyroid growth-stimulating immunoglobulin (TGI), menyebabkan proliferasi epitel folikel tiroid. TSH-binding inhibitor immunoglobulins (TBII) , Menghambat pengikatan TSH ke reseptornya

Dalam prosesnya, sebagian bentuk TBII bekerja mirip TSH sehingga terjadi stimulasi aktivitas sel tiroid, sementara bentuk yang lain menghambat fungsi sel tiroid. Dapat ditemukan bersamaan imunoglobulin yang merangsang dan menghambat dalam serum pasien yang sama, sehingga sebagian pasien dengan penyakit Graves dapat mengalami episode hipotirodisme. Kemungkinan besar autoantibodi terhadap reseptor TSH juga berperan dalam timbulnya oftalmopati infiltratif yang khas untuk penyakit Graves. Dipostulasikan bahwa jaringan tertentu di luar tiroid (misalnya fibroblas orbita) mengekspresikan reseptor TSH di permukaannya. Sebagai respons terhadap autoantibodi TSH di darah, fibroblas ini mengalami diferensiasi menuju adiposit matang dan juga mengeluarkan glikosaminoglikan hidrofilik ke dalam intertisium; kedua hal tersebut menyebabkan penonjolan orbita (eksoftalmos) pada oftalmopati Graves. Mekanisme serupa diperkirakan bekerja pada dermopati

Graves, dengan fibroblas pratibia yang mengandung reseptor TSH mengeluarkan glikosaminoglikan sebagai respons terhadap stimulasi autoantibodi. Gambaran Patologi Anatomi Pada kasus penyakit Graves yang tipikal, kelenjar tiroid membesar secara difus akibat adanya hipertrofi dan hiperplasi difus sel epitel folikel tiroid. Kelenjar biasanya lunak dan licin, dan kapsulnya utuh. Secara mikroskopis, sel epitel folikel pada kasus yang tidak diobati tampak tinggi dan kolumnar serta lebih ramai dari biasanya. Meningkatnya jumlah sel ini menyebabkan terbentuknya papila kecil yang menonjol ke dalam lumen folikular (gambar). Papila ini tidak memiliki inti fibrovaskular, berbeda dengan yang ditemukan pada karsinoma papilar. Kelainan di jaringan ekstratiroid adalah hiperplasia limfoid generalisata. Pada pasien dengan oftalmopati, jaringan orbita tampak edematosa akibat adanya glikosaminoglikan hidrofilik, serta ada infiltrasi limfosit. Jika terdapat dermopati, terlihat dermis menebal akibat pengendapan glikosaminoglikan dan infiltrasi limfosit.

Gambaran Patologi Anatomi Tiroid pada Graves Disease 10. Penatalaksanaan dan Edukasi Tujuan terapi baik dengan penggunaan obat anti tiroid, iodine radioaktif maupun tiroidektomi adalah menurunkan kadar hormon tiroid pasien ke level normal serta mencapai kondisi remisi. Kondisi remisi pada pasien hipertiroid dapat tercapai apabila kadar hormon tiroid pasien dapat dijaga pada rentang euthyroid (Laurberg, 2006). Tata laksana terapi yang dapat digunakan untuk mengobati pasien hipertiroidisme adalah sebagai berikut: a. Obat Anti Tiroid Obat anti tiroid merupakan golongan obat yang digunakan untuk menekan kelebihan hormon tiroid pada pasien hipertiroidisme hingga level normal (euthyroid). Tujuan utama penggunaan obat anti tiroid adalah untuk mencapai kondisi euthyroid secepat mungkin dengan aman dan untuk mencapai remisi. Lama penggunaan obat anti tiroid hingga mencapai remisi bervariasi antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung pada kepatuhan pasien dalam menggunakan obat (Baskin et al, 2002).

Obat anti tiroid yang secara luas digunakan, propylthiouracil dan methimazole, termasuk dalam golongan yang sama yaitu thionamide. Dalam mengobati hipertiroidisme karena autoimun atau Graves’ Disease, obat anti tiroid dapat mengembalikan fungsi tiroid karena adanya sifat imunosupresan. a) Propylthiouracil Propylthiouracil atau biasa disingkat PTU merupakan obat antitiroid golongan thionamide yang tersedia dalam sediaan generik di Indonesia. Obat ini bekerja dengan cara menghambat kerja enzim thyroid peroxidase dan mencegah pengikatan iodine ke thyroglobulin sehingga mencegah produksi hormon tiroid. Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo edisi III, dosis awal propylthiouracil adalah 100-150 mg setiap 6 jam, setelah 4 – 8 minggu dosis diturunkan menjadi 50 – 200 mg sekali atau dua kali dalam sehari (Anonim, 2008). Propylthiouracil yang digunakan secara per oral hampir sepenuhnya terabsorpsi di saluran gastrointestinal. Karena durasi kerjanya yang hanya 12 – 24 jam maka PTU harus digunakan beberapa kali sehari (multiple dose). Hal ini menjadi salah satu alasan obat ini mulai ditinggalkan karena berkaitan dengan kepatuhan pasien (Bartalena, 2011; Fumarola et al, 2010). b) Methimazole Methimazole atau biasa disingkat MMI merupakan obat anti tiroid golongan thionamide yang menjadi lini pertama pengobatan hipertiroidisme. Mekanisme kerja methimazole dalam mengobati hipertiroidisme sama seperti propylthiouracil yaitu menghambat kerja enzim thyroid peroxidase dan mencegah pembentukan hormon tiroid. Namun methimazole tidak memiliki efek mencegah konversi T4 ke T3 (Nayak dan Burman, 2006). Obat ini digunakan secara per oral dan hampir terabsorpsi sempurna di saluran cerna. Karena durasi aksinya yang panjang, sekitar 40 jam, maka MMI cukup digunakan satu kali sehari (single dose). Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Edisi III, dosis awal methimazole dimulai dengan 40 mg setiap pagi selama 1 – 2 bulan dan selanjutnya dosis diturunkan menjadi 5 – 20 mg setiap pagi (Anonim, 2008). Methimazole merupakan lini pertama pengobatan hipertiroidisme karena efek samping yang relatif lebih rendah dari propylthiouracil, faktor kepatuhan pasien, serta efektivitas yang lebih baik dibandingkan propylthiouracil b. Beta Blocker Penyekat beta seperti propranolol diberikan bersamaan dengan obat-obat antitiroid. Karena manifestasi klinis hipertiroidisme adalah akibat dari pengaktifan simpatis yang dirangsang oleh hormon tiroid, maka manifestasi klinis tersebut akan berkurang dengan pemberian penyekat beta; penyekat beta manurunkan takikardia, kegelisahan dan berkeringat yang berlebihan. Propranolol juga menghambat perubahan tiroksin perifer menjadi triiodotironin.

c. Iodine Radioaktif Pengobatan hipertiroidisme dengan iodine radioaktif atau RAI menjadi pilihan utama dokter di Amerika Serikat. Pada metode ini digunakan isotop iodine, yang paling umum digunakan adalah131I. Di dalam tubuh RAI akan diuptake oleh kelenjar tiroid seperti iodine biasa, kemudian di dalam kelenjar tiroid RAI beraksi dengan cara mencegah sintesis hormon tiroid sehingga dapat menurunkan kadar hormon tiroid yang berlebihan. RAI dikontraindikasikan bagi pasien yang hamil, menyusui, kanker tiroid dan merencanakan kehamilan 4 – 6 bulan setelah terapi (Bahn et al, 2011; Baskin et al 2002). Efek samping pada pengobatan hipertiroidisme dengan RAI diantaranya adalah memburuknya gejala Graves’ ophtalmopathy dan peningkatan kadar hormon tiroid akut. Sehingga pada pasien dengan hipertiroidisme dengan kadar T4 bebas yang tinggi, pasien berusia lanjut, atau pada pasien dengan risiko komplikasi hipertiroidisme perlu diberikan obat anti tiroid hingga mencapai kondisi euthyroid (Baskin et al, 2002). Menurut Walter et al (2007), pasien yang menggunakan obat anti tiroid seminggu sebelum maupun setelah pengobatan dengan iodine radioaktif memiliki tingkat kegagalan yang lebih tinggi. Sehingga obat anti tiroid harus dihentikan 2 minggu sebelum pemberian RAI (Ghandour dan Reust, 2011). Kondisi euthyroid umumnya dapat tercapai tiga hingga enam bulan pasca penggunaan RAI. Pada pengobatan hipertiroidisme dengan metode RAI terdapat dua metode pengobatan sebagai berikut : 1.) Metode Ablative Pada metode ini digunakan RAI dosis tinggi untuk mencapai kondisi hipotiroidisme permanen. Metode ini direkomendasikan pada pasien geriatrik dan pasien dengan gangguan jantung untuk mengendalikan gejala secepat mungkin. Kelemahan metode ini adalah pasien akan menderita hipotiroidisme secara permanen . 2.) Metode Gland-specific Method Pada metode ini pasien diberikan RAI dosis rendah yang dapat mencapai kondisi euthyroid. Kelebihan dari metode ini dibandingkan metode ablative adalah pasien tidak menderita hipotiroidisme secara permanen, namun demikian penghitungan dosis optimal sulit untuk dilakukan (Ghandour dan Reust, 2011). c. Tiroidektomi Tiroidektomi merupakan prosedur pembedahan pada kelenjar tiroid.Metode terapi ini merupakan pilihan bagi pasien yang kontraindikasi atau menolak pengobatan dengan obat anti tiroid dan iodine radioaktif. Secara umum prosedur tiroidektomi dapat dibedakan menjadi dua metode berikut. 1) Tiroidektomi total

Pada prosedur ini dilakukan pengangkatan seluruh bagian kelenjar tiroid. Dengan tidak adanya kelenjar tiroid yang memproduksi hormon tiroid, pasien perlu mengonsumsi pengganti hormon tiroid oral seumur hidup. 2) Tiroidektomi sub-total Pada prosedur ini hanya dilakukan pengangkatan sebagian kelenjar tiroid sehingga pasien tidak perlu mengonsumsi hormon tiroid karena kelenjar tiroid yang tersisa masih dapat memproduksi hormon tiroid. Salah satu efek samping yang dapat muncul akibat pembedahan ini adalah hipoparatioroidisme. Hipoparatiroidisme merupakan kondisi dimana hormon paratiroid tubuh kurang dari normal, manifestasi klinik yang muncul berupa hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Secara anatomis kelenjar tiroid dan paratiroid terletak berdekatan, sehingga pada prosedur tiroidektomi kelenjar paratiroid dapat ikut terganggu dan menyebabkan hipoparatiroidisme setelah tiroidektomi. Hipoparatiroidisme pada pasien tiroidektomi dapat bersifat sementara maupun permanen. Untuk penanganan di rumah, penderita penyakit Graves bisa melakukan beberapa hal, pada eksoftalmus dapat diberikan terapi a.l. : istirahat dengan berbaring terlentang, kepala lebih tinggi; mencegah mata tidak kering dengan salep mata atau larutan metil selulose 5%; menghindari iritasi mata dengankacamata hitam; 11. Komplikasi dan prognosis Komplikasi dan Prognosis Graves Disease Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah krisis tirotoksik (thyroid storm). Hal ini dapat berkembang secara spontan pada pasien hipertiroid yang menjalani terapi, selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid yang tidak terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan HT dalam jumlah yang sangat besar yang menyebabkan takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (sampai 106°F), dan apabila tidak diobati dapat menyebabkan kematian. Komplikasi lainnya adalah penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati graves, dermopati graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid.Hipertiroid yang terjadi pada anak-anak juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Oftalmopati Graves’ terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otototot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan. Oftalmopati Graves’ terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut.

Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otototot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan. Graves’ disease biasanya memiliki respon yang baik terhadap pengobatan. Operasi tiroid atau pemberian iodium radioaktif biasanya mengarah kepada kejadian hipotiroid, jika tanpa dibarengi dengan pemberian pengganti hormon tiroid

Sumber :     

Sylvia. A. Price, (2012) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC : Jakarta. Wisse B. Graves disease [Internet]. 2014 Oct 10[cited 2015 Sep 10]. Available from: https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000358.htm Mayer., Welsh dan Kowalak, 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC. Sylvia. A. Price, (2012) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC : Jakarta. Shabab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis Dn Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002.



Stephen J. 2010. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju Kedokteran Klinis, Ed.5. Jakarta : EGC.

 

Sumber : Clinical Key The Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid Diseases. 2012. Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism. Filipina: JAFES

Related Documents

Skenario 2
May 2020 23
Skenario 2
June 2020 18
Ggn Keseimbangan.pptx
December 2019 18
Skenario 2.docx
November 2019 2

More Documents from "Anonymous RBEhIH"