BAB I SKENARIO Seorang anak laki – laki berusia 5 tahun dibawa oleh ibunya ke puskesmas. Ibu tersebut mengeluhkan anaknya sering gatal didaerah sekitar anus
BAB II KATA KUNCI
2.1 Anak Usia 5 tahun 2.2 Gatal disekitar Anus
BAB III PROBLEM 1) 2) 3) 4)
Apa yang menyebabkan penyakit ini timbul ? Pada kasus ini bagaimana cara mendiagnosa pastinya ? Bagaimana prinsip penatalaksanaan pada kasus ini ? Dapatkah penyakit ini dicegah?
BAB IV PEMBAHASAN 4.1
BATASAN Anamnesa
Nama
: An. Budi
Alamat : Banyu urip Umur
: 5 tahun
Keluhan Utama : gatal di sekitar anus Riwayat Penyakit Sekarang : Gatal di sekitar anus sejak 5 hari yang lalu, terutama sering gatal pada malam hari. Riwayat penyakit Dahulu : Sering mengalami sakit yang sama Riwayat Penyakit Keluarga : Sebulan yang lalu adiknya mengalami sakit yang sama Riwayat Sosial : Sering jajan sembarangan, tinggal di daerah kumuh, tidak cuci tangan sebelum makan, dan tidur dengan adiknya. Tidak ada pengobatan sebelumnya. 4.2 ANATOMI Rektum Rektum adalah organ terakhir dari usus besar pada beberapa jenis mamalia yang berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Rektal atau rektum merupakan salah satu organ dalam saluran pencernaan yang diketahui sebagai bagian akhir proses ekskresi feses sebelum anus. Rectal merupakan bagian dari kolon.
Anatomi Rektum Dan Anus
Luas permukaan rectal 200-400 cm2, pada saat kosong rectum mengandung sejumlah kecil cairan (1-3 ml) dengan kapasitas buffer yang rendah; pH sekitar 7,2 karena kD(kecepatan disolusi), pH akan bervariasi sesuai obat yang terlarut di dalamnya. Panjang dari kolon sekitar 5 kaki (150 cm) dan terbagi lagi menjadi 5 segment. Rectum adalah segmen anatomi terakhir sebelum anus yang merupakan bagian distal usus besar. Rectum memiliki panjang pada manusia dewasa rata-rata 15-19 cm, 12-14 cm bagian pelvinal sampai 5-6 cm bagian perineal, pada bagian teratas dibungkus dengan lapisan peritoneum. Sedang pada bagian bawah tidak dibungkus dengan peritoneum maka disebut pula dengan rectal ampula.Yaitu membrane serosa yang melapisi dinding rongga abdomen dan pelvis dan melapisi visera.Kedua lapisan tersebut menutupi ruang potensial, rongga peritoneum.Anal canal memiliki panjang 4-5 cm.
Rektum dialiri 3 jenis pembuluh darah : a) Vena haemorrhoidales superior yang bermuara ke vena mesentericum inferior, selanjutnya masuk kedalam vena porta, dan juga membawa darah langsung ke peredaran umum. b) Vena haemorrhoidales medialis dan vena haemorhoidales inferior yang bermuara ke venae cava inferior dengan perantara venae iliaca interna selanjutnya membawa darah ke peredaran umum (kecuali hati). c) Vena haemorrhoidales anterior = Vena haemorrhoidales medialis Volume cairan dalam rektum sangat sedikit ( 2 mL) sehingga laju difusi obat menuju tempat absorpsi lebih lambat.
pH cairan rektum netral 7,2 -7,4, sehingga kemungkinan obat melarut lebih kecil dibanding oral yang terdiri dari beberapa bagian. Adanya feses menghambat penyerapan, sehingga sebaiknya pemberian sediaan setelah defekasi. Rektum mempunyai dua peranan mekanik, yaitu sebagai tempat penampungan feses dan mendorongnya saat pengeluaran. Pada bagian anus terdapat jaringan kulit subkutan yang tebal. Valve adalah lipatan membrane di dalam saluran atau kanal yang mencegah aliran balik refluks isi yang melaluinya. Levator berupa otot yang mengangkat organ atau struktur
4.3 FISIOLOGI Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus jelas sekali, ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh dengan telur. Sedangkan cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya (?). Spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum. Makanannya adalah isi dari usus. (Gandahusada, 1998) Cacing betina gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisi (asimetrik). Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu badan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. (Gandahusada, 1998) Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum. Cacing jantan mati setelah kopulasi, sedangkan cacing betina mati setelah bertelur. Infeksi enterobiasis terjadi bila menelan telur matang atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Bila telur matang yang tertelan, telur menetas di duodenum dan larva rhabditiformis berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di yeyunum dan bagian atas ileum. (Gandahusada, 1998) Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlagsung kira-kira 1 bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu
sesudah pengobatan. Infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri (self limited). Bila tidak ada reinfeksi, tanpa pengobatan pun infeksi dapat berakhir. (Gandahusada, 1998)
4.4 PATOFISIOLOGI `
Dalam siklus hidupnya di dalam tubuh manusia, cacing kremi selalu berpindah-
pindah. Sejak berbentuk telur hingga menetas, cacing ini tinggal di usus 12 jari kemudian setelah berubah menjadi larva akan berpindah ke usus tengah yang merupakan bagian atas sistem penyerapan nutrisi. Setelah dewasa, cacing ini akan bermigrasi ke bagian anus kemudian bergerombol dan menyebabkan rasa gatal di bagian tersebut. Migrasi ini disebut Nocturnal Migration. Sebagian di antaranya juga akan keluar bersama feses atau tinja. Di daerah perinium tersebut cacing-cacing ini bertelur dengan cara kontraksi uterus, kemudian telur melekat di daerah tersebut. Telur dapat menjadi larva infektif pada tempat tersebut, terutama pada temperatur optinak 23 – 26oC dalam waktu 6 jam. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Dalam pengembaraannya menuju anus inilah, cacing dewasa sering tersesat lalu bersarang di bagian-bagian yang tidak seharusnya kemudian bersarang di sana untuk bertelur. Salah satunya adalah vagina, yang sering menjadi tempat bersarang cacing kremi dewasa khususnya yang betina. Di vagina, cacing kremi bisa menyebabkan gatal atau bahkan radang yang pada tingkat keparahan tertentu bisa disertai koreng.Infeksinya bahkan bisa lebih jauh lagi, cacing-cacing itu kadang menyebar hingga saluran telur sehingga bisa mengganggu sistem reproduksi.Selain itu, dapat pula terjadi autoinfeksi dan retrofeksi terhadap diri penderita sendiri. Telur yang masuk ke mulut atau juga bisa melalui jalan nafas, di dalam duodenum akan menetas. Larva rabditiform kemudian akan tumbuh menjadi cacing dewasa di jejunum dan bagian atas ileum. Untuk melengkapi siklus hidupnya, dibutuhkan waktu antara dua hingga delapan menggu lamanya. Perkawinan cacing jantan dan betina kemungkinan terjadi di sekum, usus besar dan usus yang berdekatan dengan sekum.Mereka memakan isi usus penderitanya. Cacing jantan akan mati setelah kopulasi, sedangkan cacing betina akan mati setelah bertelur.Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelan telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi kedaerah perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan.Mungkin daurnya hanya berlangsung kira-kira 1 bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu
sesudah pengobatan.Pertumbuhan telur cacing tergantung pada tingkat pertumbuhan, temperatur, dan kelembapan udara.Telur yang belum masak lebih mudah rusak dibandingkan dengan telur yang masak.Telur cacing rusak pada temperatur 45 oC dalam waktu enam jam.Udara yang dingin dan ventilasi yang kurang baik merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan telur cacing. Berikut ini gambar siklus hidup cacing kremi :
4.5 JENIS – JENIS PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN -
Herpes
-
Diare
-
Scabies
4.6 GEJALA KLINIS Manisfestasi Klinis Cacing Kremi dengan memperhatikan hygine dan sanitasi lingkungan pada sekitar pasien. a. Rasa gatal hebat di sekitar anus b. Rewel (karena rasa gatal dan tidurnya pada malam hari terganggu) c. Insomnia (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam hari ketika cacing betina dewasa bergerak ke daerah anus dan menyimpan telurnya di sana) d. Nafsu makan berkurang, berat badan menurun (jarang terjadi, tetapi bisa terjadi pada infeksi yang berat) e. Rasa gatal atau iritasivagina (pada anak perempuan, jika cacing dewasa masuk ke dalam vagina) f. Kulit di sekitar anus menjadi lecet, kasar, atau terjadi infeksi (akibat penggarukan). g. Mual dan sakit perut
4.7 PEMERIKSAAN FISIK PENYAKIT Kecacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofelia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, dan konsentrasi belajar kurang. Pada anak-anak yang menderita Ascaris lumbricoides perutnya nampak buncit dikarenakan jumlah cacing dan perut kembung, matanya pucat dan kotor seperti sakit mata dan batuk pilek. Perut sering sakit, diare dan nafsu makan kurang. Oleh karena penderita masih dapat berjalan dan sekolah atau bekerja, sering kali tidak dianggap sakit sehingga terjadi salah diagnosis dan salah pengobatan. Padahal
secara
ekonomis
sudah
menunjukkan
kerugian
yaitu menurunkan
produktifitas kerja dan mengurangi kemampuan belajar. Oleh karena gejala klinis yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan feses untuk membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur cacing di dalam feses tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi dengan cara menghitung jumlah telur cacing. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut ataupun hidung (Irianto, 2009). 4.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG PENYAKIT Anal Swab : Adanya keluhan sering gatal pada daerah perianal di malam hari dapat dikarenakan pada malam hari cacing betina Enterobius vermicularis bertelur, ketika cacing tersebut ingin bertelur maka cacing tersebut akan keluar melalui Anus ke daerah Perianal dan setelah selesai bertelur maka cacing Enterobius vermicularis akan kembali masuk ke dalam mukosa usus halus. Masuk keluarnya cacing Enterobius vermicularis melalui anus akan menyebabkan timbulnya rasa gatal, dikarenakan daerah bertelur cacing tersebut pada daerah perianal maka pemeriksaan yang paling tepat adalah dengan Anal Swab. Pemeriksaan Sampel Satu lembar selotip sepanjang objek glass.Kemudian digunting cellope tape. Lingkarkan atau tempelkan cellope tape pada spatel. Bagian perekatnya ada di luar dan tersisa 1 cm masih melekat pada objek glass, untuk pegangan jarijari.Tempelkan selotip dengan menggunakan spatel ke seluruh daerah perianal.Kemudian pada sisi yang ada perekatnya diusapkan di daerah perianal dan ditutupkan kembali pada gelas objek (Widyastuti et al. 2006). Hasil positif jika ditemukan adanya telur cacing E. vermicularis pada bahan pemeriksaan Anal swab. Hasil negatif jika tidak ditemukannya telur cacing E.vermicularis pada bahan pemeriksaan Anal swab.
1. Pemeriksaan Feses : Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau dan ada-tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai ada tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel darah putih dan gula. Sedangkan, pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk memeriksa parasit dan telur cacing (Swierczynski, 2010). Pemeriksaan Kualitatif : a. Pemeriksaan secara naitf (direct slide) Kelebihan dari metode ini adalah sangat baik digunakan pada infeksi berat, sedangkan kelemahan dari pemeriksaan ini adalah ketika infeksi masih pada tahap ringan karena sulitnya menemukan telur cacing. Prinsip Pemeriksaan : Feses dicampurkan dengan 1-2 tetes NaCl fisiologis 0,9% atau eosin 2% kemudian diperiksa pada mikroskop dengan pembesaran 100x. b. Pemeriksaan dengan metode Apung (floatation method) Pemeriksaan ini dilakukan dengan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang di dasarkan atas berat jenis telur sehingga telur dapat mengapung dan terpisah dari partikel-partikel besar. c. Modifikasi Metode Merthiolat Iodine Formaldehyde (MIF) Metode ini menyerupai metode sedimentasi. Metode ini digunakan untuk menemukan telur cacing nematoda, trematoda, cestoda dan amoeba di dalam tinja (Rusmatini, 2009). d. Metode Konsentrasi 1 gr tinja dimasukan kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan aquadest kemudian di aduk sampai merata (homogen) setelah itu di sentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit Larutan dibuang, sedimennya diambil dengan menggunakkan pipet pasteur lalu diletakkan di atas kaca objek kemudian ditutup dengan cover glass dan dilihat di bawah di mikroskop. Lakukan pemeriksaan ini 2-3 kali. e. Teknik Sediaan Tebal (teknik kato) Teknik ini biasanya digunakan untuk pemeriksaan tinja secara massal karena pemeriksaan ini lebih sederhana dan
murah. Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat
diagnosa (Swierczynski, 2010). f. Metode Sedimentasi Formol Ether (ritchie) Prinsip dari metode ini yaitu dengan gaya sentifugal untuk memisahkan supernatan dan suspense sehingga telur cacing dapat terendapkan. Biasanya metode ini dilakukan pada feses yang diambil beberapa hari sebelumya. 2. Pemeriksaan Kualitatif : a. Metode Stoll
Metode Ini memiliki prinsip menggunakan NaCl 0,1 N sebagai pelarut tinja dan hanya cocok untuk pemeriksaan infeksi berat dan ringan saja. b. Metode Katokazt Menghitung jumlah telur cacing yang terdapat dalam feses yang dikeluarkan orang dalam sehari. Jumlah yang akan di dapat di cocokan dengan skala berat ringannya penyakit kecacingan yang di derita.
BAB V HIPOTESIS AWAL (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS) Bebrapa jenis penyakit yang diderita oleh pasien anak kecil tersebut , kelompok kami mendapatkan beberapa differential diagnosis sebagai berikut :
a. Skabies b. Herpes c. Cacing Kremi
BAB VI ANALISIS DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 5.1 Skabies (gudik) adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi tungau Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya pada kulit.Kudis merupakan istilah yang sering digunakan di Indonesia, orang Sunda menyebutnya budug, sedangkan orang Jawa menyebutnya gudik. Penularan terjadi bisa secara langsung dan tidak langsung. Skabies termasuk zoonosis yang menyerang kulit dan dapat mengenai semua golongan di seluruh dunia. Penyebab penyakit skabies sudah lama dikenal lebih dari 100 tahun yang lalu sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabiei atau pada manusia disebut Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, super famili Sarcoptes. Secara morfologi merupakan tungau kecil yang berbentuk oval dan gepeng, berwarna putih kotor, transulen dengan bagian punggung lebih lonjong dibandingkan perut dan tidak
berwarna. Parasit betina berukuran 300-350 mikron, sedangkan yang jantan berukuran 150-200 mikron. Stadium dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang merupakan kaki depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang lainnya kaki belakang.
5.2 Herpes ialah radang kulit yang ditandai dengan pembentukan gelembung-gelembung berisi air pada dasar peradangan dan berkelompok (Tetty Setiowati ;Deswaty Furqonita, 2007). Sedangkan menurut Kamus Kedokteran Dorland,herpes adalah erupsi kulit yang menyebar yang disebabkan oleh virus herpes danditandai oleh pembentukan vesikel kecil yang mengelompok. Sehingga bisa ditarikkesimpulan, herpes merupakan suatu penyakit kulit yang ditandai denganmunculnya gelembung-gelembung secara berkelompok di permukaan kulit. Herpes di bedakan menjadi dua jenis, yaitu :a . H e r p e s Z o s t e r Tergolong dalam infeksi akut yang disebabkan oleh virus Varisela Zoster(VZV). Ditandai dengan timbulnya gelembung berisi cairan pada tubuhbagian punggung, dada, dahi, atau daerah dari thoracallis 3 sampailumbalis 2. Herpes jenis ini seringkali terjadi pada orang yang pernahmenderita varisela (cacar air) sebelumnya. Hal tersebut dikarenakanVZV juga merupakan penyebab varisela. Ketika varisela sembuh, virus tersebuttetap berada dalam tubuh penderita pada tahap laten dan tidakmenunjukkan gejala apapun. Virus baru bisa aktif kembali ketika daya tahantubuh penderita menurun. b . H e r p e s G e n i t a l i s Penyakit herpes genetalis timbul akibat adanya infeksi atau peradanganpada kulit, terutama dibagian vagina, penis, pintu dubur/ anus, pantat, danselangkangan. Penyebab penyakit herpes genetalis adalah virus herpessimplek. Herpes Genitalis ini tergolong dalam penyakit menular seksual.Dalam kasus ini, Ny. A dikatakan menderita Herpes Zoster, karena bula ditubuhnya berada pada bagian punggung. Selain itu sebelumnya Ny. A pernahmengalami varisela dimana VZV bisa aktif kembali pada saat kondisi
daya tahantubuh Ny. A menurun. Penyebab nya Kurangnya menjaga kebersihan serta jarang mengganti pakaian dalam maupun jarang mengganti sprei yang sering atau bahkan menjadi tempat tidur ,disaat mau makan atau setelah melakukan aktifatas jarang atau bahkan tidak pernah sama sekali mencuci tangan dari kebiasan seperti ini bisa mengakibatkan penyakit kulit .Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit yang umumnya muncul di selasela jari, selangkangan, lipatan paha, dan muncul gelembung berair pada kulit. Pemeriksaan fisik yang penting adalah dengan melihat bentuk tonjolan kulit yang gatal dan area penyebarannya
5.3 Enterobiasis atau oxyuriz merupakan penyakit akibat infeksi nematoda genus Enterobius, khususnya Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis. Penyakit ini biasa dikenal dengan penyakit cacing kremi. Enterobius vermicularis telah diketahui sejak dahulu dan telah banyak dilakukan penelitian mengenai biologi, epidemiologi, dan gejala klinisnya. (Dorland, 2002) Penyebaran cacing kremi atau Enterobius vermicularis lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu). Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan mungkin ini menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung Enterobiasis vermicularis dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian, dan tilam (Gandahusada, 1998).
BAB VII HIPOTESIS AKHIR ( DIAGNOSIS ) Dari pemaparan analisis differential diagnosis pada bab sebelumnya sangat menguatkan hipotesis awal kami terhadap penyakit yang di alami oleh Budi. Seluruh analisis pemeriksaan terhadap Budi baik itu pemeriksaan fisik maupun penunjang mengarah pada Pruritus ani. Dari keluhan pasien adalah gatal pada daerah sekitar anus sejak 5 hari yang lalu terutama sering gatal pada malam hari. Semakin dikuatkan dengan hasil analisis pemeriksaan penunjang yaitu anal swab yang dilakukan pada Budi. Dengan demikian hipotesis akhir kami masih sama dengan hipotesis awal yang sudah kami paparkan, dan hipotesis awal kami ini sudah dilengkapi dengan analisis pembenaran terhadap hipotesis tersebut. Hipotesis akhir kami dan hasil diagnosis Budi adalah Pruritus ani.
Keadaan Umum: Komposmentis Vital Sign : - Tekanan darah : 100/65 mmHg - Nadi : 100 x/menit - RR : 18 x/menit - Suhu tubuh : 36,5 0 C - Tinggi badan : 104 cm - Berat badan : 15 kg
BAB VIII MEKANISME DIAGNOSIS Mekanisme berupa Bagan Sampai Tercapainya Diagnosis Pemeriksaan Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
Anamnesa Nama : An. Budi Alamat : Banyu urip Umur
: 5 tahun
Keluhan Utama : gatal di sekitar anus RPS : Gatal di sekitar anus sejak 5 hari yang lalu, terutama sering gatal pada malam hari. RPD : Sering mengalami sakit yang sama RPK : Sebulan yang lalu adiknya mengalami sakit yang sama RSOS : Sering jajan sembarangan, tinggal di daerah kumuh, tidak cuci tangan sebelum makan, dan tidur dengan adiknya. Tidak ada pengobatan sebelumnya.
BAB IX STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH Penatalaksanaan Untuk mengurangi rasa gatal, bisa dioleskan krim atau salep anti gatal seperti vaselin putih atau minyak kelapa ke daerah sekitar anus sebanyak 2-3 kali sehari. Untuk mencuci tangan setelah menggaruk dubur lebih baik gunakan sabun antiseptik pembunuh bakteri Meskipun telah diobati, sering terjadi infeksi ulang karena telur yang masih hidup terus dibuang ke dalam tinja selama seminggu setelah pengobatan. Pakaian, seprei dan mainan anak sebaiknya sering dicuci untuk memusnahkan telur cacing yang tersisa. Langkah-langkah umum yang dapat dilakukan untuk mengendalikan infeksi cacing kremi 1. 2. 3. 4. 5.
adalah: Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku. Mencuci seprei minimal 2 kali seminggu. Mencuci jamban setiap hari. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari tangan dan setiap benda yang dipegang atau disentuh.
6.
Menjauhkan tangan dan jari tangan dari hidung dan mulut. Prinsip Tindakan Medis Obat-obat antihelmintik digunakan untuk mengurangi sejumlah parassit cacing di saluran cerna atau jaringan tubuh. Parasit ini mengalami proses biokimiawi dan fisiologi dengan inang mamalianya, sekarang dengan adanya perbedaan yang tidak jelas dapat dimulai untuk menghasilkan penelitian farmakologi. Kebanyakan antihelmintik yang digunakan sekarang ini aktif terhadap parasit spesifik dan beberapa bersifat toksik. Karena itu, parasit tersebut harus dikenali terlebih dahulu sebelum pengobatan dimulai, biasanya dengan menggunakan parasit, telur, atau larva di urin, tinja, darah, sputum, atau jaringan inang. (Katzung, 1998)
Seluruh anggota keluarga sebaiknya diberi pengobatan bila ditemukan salah seorang anggota terkena enterobiasis. Pengobatan secara periodik memberikan prognosis yang baik. Adapun obat-obat yang dapat diberikan antara lain: (Katzung, 1998) 1. Mebendazol Mebendazol menghambat sintesis mikrotubulus nematoda, sehingga mengganggu ambilan glukosa yang irreversibel. Akibatnya parasit intestinal diimobilisasi atau mati secara perlahan, dan bersihannya dari saluran cerna mungkin tidak lengkap sampai beberapa hari setelah pengobatan. Efikasi obat ini bervariasi dengan waktu transit saluran cerna, beratnya infeksi, serta apakah obat ini dikunyah atau tidak, dan mungkin dengan strain parasit. Mebendazol diberikan dosis tunggal 500 mg, diulang setelah 2 minggu. 2. Albendazol Albendazol menghambat ambilan glukosa oleh larva dan parasit stadium dewasa yang rentan, mengurangi penyimpanan glikogen dan menurunkan pembentukan ATP. Sebagai akibatnya, parasit diimobilisasi dan mati. Diberikan dosis tunggal 400 mg, diulang setelah 2 minggu. 3. Pirantel pamoat Pirantel pamoat efektif terhadap cacing bentuk matur atau imatur yang rentan dalam saluran cerna tetapi tidak efektif terhadap stadium migrasi dalam jaringan. Obat ini merupakan agen penghambat depolarisasi neuromuskular yang menyebabkan pelepasan asetilkolin, menghambat kolinesterase, dan merangsang reseptor ganglionik. Diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan sebagai dosis tunggal dan maksimum 1 gram.
BAB X PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI CARA PENYAMPAIAN PROGNOSIS KEPADA PASIEN / KELUARGA PASIEN Langkah-langkah yang dapat digunakan seorang dokter untuk memberitahukan kepada pasien yang didiagnosis menderita Cacing Kremi. 1. Salam dan perkenalan. 2. Penjelasan diagnosis Cacing Kremi Hal ini dapat membantu pasien untuk mengatasi perasaan gelisah (dengan memberikan konseling) 3. Memahami persepsi pasien tentang Cacing Kremi dan kekhawatiran tentang diagnosa Cacing Kremi 4. Menjelaskan : a. Cacing Kremi dan gejalanya, menekankan bahwa Ccaing Kremi adalah penyakit yang dapat disembuhkan. b. Program pengobatanCacing Kremi : durasi, fase intensif pengobatan, terapi, fase pendukung pengobatan. c. Obat-obatan dan dosis yang digunakan untuk mengobati Cacing Kremi d. Kemungkinan efek samping dari obat-obatan dan apa yang harus dilakukan. e. Pentingnya minum obat dan terapi yang dilakukan secara teratur untuk keseluruhan proses penyembuhan. 5. Memastikan bahwa tidak ada hambatan yang serius dalam proses pengobatan pasien. 6. Meredam kekhawatiran pasien tentang pengobatan dan perawatan tindak lanjut.
7. Langkah selanjutnya, memberikan arahan dan jadwal untuk kunjungan berikutnya. Komplikasi Bila jumlah cacing dewasa cukup banyak akan dapat menyebabkan apendisitis. Cacing dewasa pada wanita dapat bermigrasi ke dalam vagina, uterus, dan tuba falopii, dan dapat menyebabkan peradangan di daerah tersebut. (Staf IKA FK UI, 2007)
KESIMPULAN Penyakit akibat cacing kremi dikenal dengan Enterobiasis sebagaimana nama latin cacing kremi yaitu Enterobious vermicularis. Penyebaran cacing kremi lebih banyak terjadi pada daerah dengan hawa dingin. Cacing kremi betina berukuran 8-13 mm x 0,44 mm dengan ekor panjang dan runcing sedangkan cacing kremi jantan berukuran 2-5 mm dengan ekor melingkar. Daur hidup cacing ini bekisar antara 2 minggu sampai 2 bulan. Penularan cacing kremi berkaitan dengan higiene sanitasi. Obat yang dapat diberikan diantaranya adalah mebendazol, pirantel pamoat, dll. Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kasus pada skenario “Dubur Gatal di Malam Hari” adalah: 1. Biasakan untuk memotong kuku dan mencuci tangan 2. Jagalah kebersihan pribadi, misalnya rutin mengganti baju, dll 3. Jagalah kebersihan lingkungan, misalnya membersihkan rumah dari debu serta kotoran
DAFTAR PUSTAKA Anief, M. 2000. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Indonesia. Ansel. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press. Hassan R, Alatas H. 2007. Ilmu kesehatan anak jilid 2. edisi ke-11.Jakarta: Fakultas Kedokteran UI Ratnasari AF, Sungkar S. 2014. eJournal Kedokteran Indonesia, : e - Journal Universitas Indonesia Rahmadhini Sahana Nurul, 2016. Uji Diagnostik Kecacingan Antara Pemeriksaan Feses Dan Pemeriksaan Kotoran Kuku Pada Siswa Sdn 1 Krawangsari Kecamatan Natar Lampung Selatan. Lampung : Program Studi Pendidikan Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Purba Yunita Et Ariyanti Putri, 2016. Identifikasi Telur Enterobius Vermicularis Pada Anal Swab Anak Usia 3-5 Tahun Di Desa Singkil Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2015. Aceh : Universitas Sari Mutiara Indonesia