Sistem_sensori_persepsi_proses_atau_taha.docx

  • Uploaded by: Rambuema
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sistem_sensori_persepsi_proses_atau_taha.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 12,710
  • Pages: 56
SISTEM SENSORI PERSEPSI Proses atau Tahapan Pengkajian pada Sistem Sensori Persepsi Dosen : Ns. Sukarni, M. Kep

DISUSUN OLEH : DIAN SUSANTI

I1031151002

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA 2017

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Proses atau Tahapan Pengkajian pada Sistem Sensori Persepsi ”. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas perkuliahan, yaitu sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah Sistem Sensori Persepsi Tahun Akademik 2017 di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura. Dalam penulisan makalah ini, penuliis banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari pihak-pihak luar, sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Ucapan terima kasih tidak lupa diucapkan kepada: 1. Ns. Sukarni, M.Kepselaku dosen Mata Kuliah Sistem Sensori Persepsi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura. 2. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura. Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada pembaca dan teman-teman agar memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Pontianak, Oktober 2017

Penulis

DAFTAR IS 1

KATA PENGANTAR...............................................................................................i DAFTAR ISI............................................................................................................ii BAB I.......................................................................................................................1 KONSEP TEORI......................................................................................................1 A. Pengkajian Mata............................................................................................1 B. Pengkajian Hidung......................................................................................23 C. Pengkajian Telinga......................................................................................29 D. Pengkajian mulut.........................................................................................38 E. Pemeriksaan Kulit.......................................................................................39 BAB II....................................................................................................................51 ANALISIS KASUS...............................................................................................51 Pengkajian Fisik pada Klien dengan Masalah Otitis Media Supuratif Akut..........52 BAB III..................................................................................................................55 PENUTUP..............................................................................................................55 A. Kesimpulan.................................................................................................55 B. Saran............................................................................................................55 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................56

2

BAB I KONSEP TEORI A. Pengkajian Mata 1. Riwayat a. Kesehatan Masa Lalu  Adakah riwayat masalah penglihatan sebelumnya?  Adakah riwayat diabetes mellitus?  Adakah riwayat hipertensi?  Adakah riwayat penyakit neurologis?  Pernahkah pasien menjalani terapi mata tertentu (misalnya laser)? b. Riwayat Keluarga  Adakah riwayat masalah penglihatan turunan dalam keluarga 

(missal glaucoma)? Adakah riwayat gejala gangguan mata dalam keluarga (misalnya

penularan konjungtivitis infeksi)?  Bagaimana tingkat ketidakmampuan penglihatan pasien?  Apakah pasien teregistrasi sebagai orang buta?  Pernahkah pasien menjalani adaptasi di rumah?  Apakah pasien memiliki anjing pemandu? c. Riwayat Pengobatan Adakah riwayat pemakaian obat yang mungkin menyebabkan gejala gangguan penglihatan atau obat untuk mengobati penyakit mata (misalnya tetes mata untuk glaucoma)? 2. Pemeriksaan Fisik a. Lakukan inspeksi mata  Adakah kelainan yang terlihat jelas (misalnya proptosis [protusi bola mata abnormal], mata merah, asimetri, nistagmus yang jelas,  

atau ptosis)? Lihat konjungtiva, kornea, iris pupil, dan kelopak mata. Apakah pupil simetris? Bagaimana ukurannya apakah keduanya



merespons normal dan seimbang pada cahaya dan akomodasi? Adakah ptosis? Periksa menutupnya kelopak mata. Bagian yang perlu dikaji saat pemeriksaan fisik menurut Arif

Muttaqin tahun 2011 antara lain :

1

1) 2) 3) 4)

Postur dan gambaran klien Kesimetrisan mata Alis dan kelopak mata Bulu mata Perawat kemudian harus memeriksa bulu mata untuk posisi dan distribusinya. Biasanya selain berfungsi sebagai pelindung mereka dapat juga menjadi iritan bagi mata bila menjadi panjang dan salah arah. Bulu mata yang panjang dan tak teratur dapat mengakibatkan iritasi kornea. Orang yang menderita depigmentasi abnormal, albinisme, infeksi kronik, dan penyakit autoimun bulu matanya

akan memutih, atau poliosis. 5) System lakrimal Struktur dan fungsi pembentukan dan drainase air mata harus dikaji. System lakrimal tersusun atas bagian sekresi dan drainase. Air mata aqueus diproduksi oleh kelenjar air mata yang terletak di bawah orbita lateral atas. Bila dicurigai pembesaran kelenjar, kelopak mata atas harus dieversi untuk memajankan dan menginspeksi kelenjar mengenai adanya pembengkakan inflamasi. Lapisan air mata secara umum mengenai kelembaban atau kekeringannya. Dengan melakukan uji Schimer merupakan cara yang mudah untuk mendeteksi jumlah produksi air mata. Selembar kertas seperti lakmus dilipat dan diselipkan di kelopak mata bawah dan dibiarkan selama 5 menit. Kertas tersebut digunakan seperti sumbu, untuk menyerap air mata yang dihabiskan. Uji ini dapat dilakukan dengan atau tanpa anestesis local. Setelah 5 menit, diukur kebasahan kertas. Hasil uji dinyatakan normal bila kebasahannya ≥ 10 mm; kebasahan yang melebihi 25 mm menunjukkan kelebihan produksi air mata. Komponen drainase system lakrimal

meliputi

puncta,

kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis. Drainase pertama kali dikaji dengan mengobservasi puncta. Merupakan muara kecil, oval di kantus medial bagian atas dan bawah yang berfungsi menyalirkan air mata ke kanalikuli. Merupakan bagian

2

atas system drainase air mata untuk kemudian dialirkan k sakus dan duktus lakrimalis. Terkadang puncta mengalami inflamasi dan nampak merah dan “mencucu”. Edema dan eksudat dapat menyumbat bagian atas system lakrimalis, akibatnya air mata akan membanjir ke muka. System drainase lakrimalis dapat mengalami inflamasi dan penyumbatan, mengakibatkan sakus menggelembung pada sisi jembatan hidung. Sering terjadi pada anak-anak. Eksudat dan cairan lain yang keluar dikaji mengenai warna, lokasi dan perkiraan jumlahnya. Obstruksi dan inflamasi duktus lakrimalis sering dapat diidentifikasi dengan meraba sisi hidung dekat kantus medial mata. Daerah tersebut dikaji mengenai adanya nyeri tekan dan pembesaran. Setiap bantuk cairan yang keluar dari puncta harus dicatat dan digambarkan. 6) Konjungtiva dan sclera Sclera dan konjungtiva bulbaris diinspeksi secara bersama. Kelopak dilebarkan dibuka dengan meletakkan telunjuk pada kelopak mata atas pasien dan ibu jari pada bagian bawah agar terhindar dari trauma jaringan lunak. Ketika kelopak mata dibuka dengan lembut, pasien diminta melihat ke atas, bawah, dan ke kedua sisi. Konjungtiva bulbaris yang tampak dari luar diinspeksi. Kapiler kecil normalnya terlihat pada konjungtiva, dan sclera fibrosa normalnya putih.tapi, pada orang berkulit gelap, sclera kadang tampak kekuningan; merupakan temuan yang normal, jangan dikacaukan dengan ikterik, kekuningan sclera yang ditemukan pada penyakit hati dan empedu. Sclera tampak kebiruan bila sangat tipis. Konjungtiva palpebra kelopak mata bawah dapat langsung diinspeksi dengan menyuruh pasien melihat ke atas sementara kelopak mata bawah dieversi dengan tarikan lembut batas kelopak mata bawah. Demikian juga, kelopak mata atas juga harus dieversi untuk melihat konjungtiva palpebranya. Mata dibagi dalam dua kamera: anterior dan posterior. Lokasi kamera segmen anterior memungkinkan inspeksi kasar tanpa

3

menggunakan instrument khusus. Kamera posterior, sebaliknya, hanya bisa dilihat dengan instrument dengan cahaya, cermin, atau pembesar. 7) Pemeriksaan kornea Biasanya lampu slit digunakan untuk memeriksa kornea secara cermat; namun, perawat dapat melakukan observasi berbagai keadaan menggunakan lampu senter kecil. Hal pertama yang harus diobservasi adalah keadaan umum kornea. Untuk melakukan inspeksi permuakaan kornea, pemeriksa menyorotkan senter pada bagian anterior. Normalnya, kornea tampak halus dengan pantulan cahaya seperti cermin, terang, simetris dan tunggal. Iregularitas segera dapat mendeteksi adanya defek pada pantulan cahaya yang berpendar menunjukkan permukaan yang ireguler atau edema kornea. Kemudian, kejernihan kornea diobservasi. Kornea harus transparan sehingga cahaya dapat melaluinya secara bebas. Bila kornea dan kamera anterior jernih, gambaran detil iris dapat dilihat jelas. Kornea diobservasi mengenai adanya parut, yang biasanya tampak putih kelabu. Parut menunjukkan adanya trauma, pembedahan atau infeksi sebelumnya. Pengkabutan kornea terlihat pada kasus edema kornea, seperti pada glaucoma akut, pasca trauma dan pembedahan, atau setiap kejadian yang merusak epitel. Biasanya kornea tidak mengandung pembuluh darah. Tumbuhnya pembuluh darah ke kornea atau menonjolnya pembuluh darah di sekitar perimeter harus dicatat. Pembuluh darah seperti ini tidak normal dan dapat mengganggu penglihatan. Bayangan yang tercetak di iris menunjukkan lesi kornea atau penggeseran ke dapan kamera anterior. Untuk mengevaluasi bentuk kornea, dan kedalaman kamera anterior, perawat dapat mengarahkan senter secara oblik dari sisi pasien. Temuan dapat meliputi keratokonus, kornea yang menggelembung runcing disebabkan oleh penipisan lapisan kornea

4

atau pendataran kamera akibat dekompresi, yang dapat diakibatkan oleh rupture bola mata atau luka operasi terbuka, atau peningkatan tekanan intraokuler karena iris menonjol kedepan. Kornea melindungi mata karena sifatnya yang sangat sensitive. Ketika hanya teriritasi ringan, seperti adanya seelembar bulu mata, dapat menginduksi reflex kornea. Sensitivitas kornea dikaji dengan menyapukan serabut kapas bersih yang berbeda pada masingmasing kornea, hati-hati jangan sampai menyentuh kelopak atau bulu mata. Uji ini akan menimbulkan kejapan mata segera dan sama, bilateral dan pengeluaran air mata. Pada orang sadar, refleks kornea dapat dirangsang dengan mengetuk ringan kelopak mata atas yang menutupi kornea. Bila kornea utuh, pasien akan mengejapkan mata. Benda asing dikornea akan menimbulkan gejala nyeri, fotofobia, dan pengeluaran air mata. Trauma kornea dapat mengakibatkan gejala berat dan menyulitkan pemeriksaan. Untuk memeriksa kornea dan struktur mata lainnya, mungkin diperlukan anestesi local. Anestesi dapat bekerja segera, membebaskan pasien dari rasa nyeri, dan memudahkan pemeriksaan. Untuk mendeteksi ulkus kornea atau benda asing, dapat diberikan pewarna fluoresin topical sebelum pemeriksaan. Pewarna fluoresin akan melekat pada epitel yang terkelupas dan tampak hijau terang ketika disinari dengan lampu slit, lampu khusus yang digunakan untuk memeriksa mata. Pewarna merah Bengal akan mewarnai defek epitel lebih baik daripada

fluoresen,

namun

biasanya

digunakan

untuk

mendiagnosis penyakit konjungtiva, seperti keratokonjungtivitis sika, suatu inflamasi pada mata anterior akibat kekeringan. Bila seseorang mengalami rupture bola mata, atau lubang pada kornea, jangan sekali-sekali diberikan tetes mata, karena dapat masuk kedalam mata dan diingat, pewarna topical dapat menodai lensa kontak; jadi, lensa harus dilepas sebelum pemberian warna.

5

Limbus harus diperiksa adanya penyebaran pembuluh darah atau adanya warna merah gelap, yang terlihat pada inflamasi traktus uvea. Pasien usila terkadang mengalami arkus senilis, suatu cincin keabuan jinak di sekeliling batas kornea. Namun, bila terdapat pada pasien muda, menunjukkan adanya peningkatan kadar kolesterol serum. 8) Pupil Pupil normal berbentuk bulat, letak sentral, dan berada pada ukuran yang sama antara kiri dan kanan (isokor). Terdapat ±5% individu yang secara normal memiliki perbedaan dalam ukuran pupil. Perbedaan ini disebut anisokor. (Vaughan dalam ) 9) Pemeriksaan fundus 10) Pemeriksaan iris dan kamera anterior Sementara memeriksa kornea, humor aqueus di kamera anterior dikaji mengenai kejernihannya. Pada keadaan tertentu, terdapatnya sel dan pengkabutan (flare) dalam humor aqueus dapat terlihat. Pengkabutan ini disebabkan oleh peningkatan bahan seperti protein akibat inflamasi di dalam kamera anterior, meninggalkan sel darah putih dan debris infeksius. Pengumpulan nanah di kamera anterior dinamakan hipopion. Pembuluh darah dalam struktur kamera anterior dapat mengalami cedera atau rapuh atau rupture, menyebabkan tertumpahnya darah ke dalam rongga ini. Darah di dalam kamera anterior dinamakan hifema. Kedua keadaan ini dapat dilihat lebih jelas setelah pasien duduk tegak sehingga gravitasi menarik material kebawah, membentuk batas cairan yang dapat terlihat di kamera anterior. Iris diperiksa bentuk, simetri dan warnanya. Tidak ada dua iris yang sama, sehingga setiap orang adalah unik. Iris diinspeksi kontinuitasnya dan adanya gambaran yang tidak biasa. Bila pembuluh darah berkembang atau pembuluh darah yang ada mengalami distensi, seperti pada proses inflamasi, baru dapat terlihat pada iris. Pembuluh darah berkelok-kelok yang terdapat pada penderita diabetes dinamakan rubeosis irides.

6

Struktur eksternal mata diperiksa terutama dengan inspeksi. Struktur ini meliputi alis, kelopak mata, bulu mata, apparatus lakrimalis, konjungtiva, kornea, kamera anterior, iris dan pupil. Ketika melakukan pemeriksaan dari luar kedalam, perawat pertama-tama melakukan observasi keadaan umum mata dari jauh, mencatat adanya simetri umum dan posisi dan kesejajaran mata. Meskipun tak ada satu pun mata yang benar-benar identik, pada dasarnya ukuran dan konfigurasinya sama. Variasi dari satu sisi dengan sisi lainnya menunjukkan adanya atrofi atau peningkatan dimensi, seperti terjadi pada tumor atau pembengkakan dalam rongga orbita. Kedua mata harus relative sama warnanya, meskipun mungkin ada yang warnanya berbeda. Warna mata menjadi pucat sesuai pertambahan usia, penyakit depigmentasi, dan berbagai penyakit autoimun. Alis diobservasi mengenai

kuantitas

dan

penyebaran

rambutnya. Kelopak mata diinspeksi warna, keadaan kulit, dan ada tidaknya serta arah tumbuhnya bulu mata. Batas kelopak diperiksa adanya lesi seperti bintitan atau tumor. Tergantung pada patah tulang dasar tengkorak fosa anterior, darah dapat merembes dari robekan

dura

ke

rongga

orbita;

hematoma

yang

terjadi

menyebabkan gambaran mata hitam yang dikenal sebagai mata raccoon. Pasien dengan patah tulang dikaji adanya kebocoran cairan cerebrospinal dari hidung yang menyertainya (rinorea). Batas orbita dipalpasi untuk adanya defek. Iregularitas tepi tulang orbita bisa terjadi pada patah tulang blow-out orbita atau patah tulang wajah. Dapat terjadi terjeratnya otot ekstraokuler atau traktus saraf krania. Juga dicatat adanya jaringan parut, pembengkakan, lepuh, laserasi, cedera lain dan adanya benda asing. b. Lakukan tes mata, satu per satu

7

1) Lakukan tes ketajaman penglihatan di kedua mata, misalnya dengan kartu snellen untuk penglihatan jauh dan dengan kartu jaeger untuk penglihatan dekat. Mata memberikan stimuli visual ke korteks oksipital. Tajam penglihatan sangat penting untuk diuji, karena merupakan fungsi mata yang terpenting. Harus dilakukan paling awal sehingga penglihatan

sudah

dapat

dikaji

sebelum

kita

benar-benar

menyentuh mata. Uji formal ketajaman penglihatan harus merupakan bagian dari setiap data dasar pasien. Tajam penglihatan diuji dengan kartu mata (kartu Snellen) yang diletakkan 6 meter (20 kaki) dari pasien atau menggunakan kartu dekat. Pasien diminta untuk menutup salah satu mata dengan selembar kertas atau karton, agar kedua mata tetap terbuka, dan membaca setiap baris pada kartu sampai hurus yang tercetak tak dapat lagi dikenali. Bila pasien menggunakan lensa koreksi, ketajaman penglihatan harus diuji dengan dan tanpa menggunakan lensa. Tes tajam penglihatan (visual acuity, VA) menilai kekuatan resolusi mata. Tes standar adalah dengan menggunakan kartu snellen, yang terdiri dari baris-baris huruf yang ukurannya semakin kecil. Tiap baris diberi nomor dengan jarak dalam meter dan blebar tiap huruf membentuk sudut 1 menit dengan mata. Tajam penglihatan dicatat sebagai jarak baca (missal 6 meter) pada nomor baris, dari huruf terkecil yang dilihat. Jika jarak baca ini adalah garis 6 meter, maka tajam penglihatan adalah 6/6; jika jarak baca ini adalah garis 60 meter, maka tajam penglihatan adalah 6/60. Penglihatan diperiksa dengan kacamata bila pasien menggunakan kacamata, namun tes pinhole akan mengoreksi kelainan refraksi sedang. Buta huruf dapat diatasi dengan menggunakan kartu (kartu snellen) yang menampilkan huruf E dengan empat posisi yang berbeda. Kartu ini juga berguna untuk mengkaji ketajaman penglihatan anak berumur 5 tahun. Pemeriksaan kasar ketajaman penglihatan dapat

8

dilakukan di tempat tidur menggunakan teknik dasar. Pengkajian tersebut, seperti persepsi terhadap cahaya, gerakan tangan, menghitung jari, dan membaca, sangat mudah dilakukan dan dapat member informasi praktis mengenai penglihatan pasien. Pada anak, digunakan berbagai metode untuk menilai tajam penglihatan : a) Anak yang masih sangat kecil diamati untuk mengetahui apakah mereka dapat mengikuti objek atau mengambil “ratusan dan ribuan” dekorasi kue. b) Tes tajam penglihatan Cardiff dapat digunakan untuk menilai penglihatan anak usia satu hingga tiga tahun. Metode ini merupakan tes penglihatan pilihan berdasarkan fakta bahwa anak lebih suka melihat target yang kompleks dibandingkan target sederhana. Kartu berwarna abu-abu memperlihatkan berbagai gambar yang dikelilingi oleh pita putih dan dibatasi dengan dua pita hitam. Gambar menjadi lebih sulit dilihat dengan latar belakang abu-abu bila lebar pita berkurang. Pandangan anak diamati dan pemeriksa memperkirakan apakah objek yang dilihat berada pada bagian atas atau bawah kartu. Saat pemeriksa tidak dapat mengidentifikasikan posisi objek dari pandangan anak, diasumsikan bahwa anak tidak dapat melihat gambar. c) Anak yang lebih besar mampu mengidentifikasi atau memasangkan satu gambar dan huruf dengan berbagai ukuran (tes Sheridan-Gardiner). Ketajaman penglihatan diekspresikan dalam rasio yang membandingkan bagaimana seseorang dengan penglihatan normal melihat dari jarak 20 kaki dengan yang dilihat pasien dari jarak 20 kaki. Ketajaman penglihatan 20/50 berarti pasien dapat melihat dari 20 kaki jauhnya sedangkan orang normal mampu melihatnya pada jarak 50 kaki; 20/200, batas kebutaan legal, menunjukkan bahwa pasien dapat melihat pada 20 kaki sedangkan mata normal dapat melihatnya pada jarak 200 kaki. Pasien seperti ini hanya 9

dapat membaca dengan akurat huruf besar di baris paling atas kartu senellen. Pasien yang tajam penglihatannya masih kurang dari 20/20 ketika sudah dikoreksi dengan kaca matanya sendiri harus dirujuk ke ahli oftalmologi atau optometris. Setelah usia 40 tahun, lensa mata mulai menjadi kaku dan tak mampu mengakomodasikan bentukya terhadap pandangan jarak dekat (presbiopia). Dengan meminta pasien membaca surat kabar dengan jarak satu kaki adalah uji skrining umum untuk presbiopia. Pasien yang mengalami kesulitan dengan pemeriksaan ini harus dirujuk ke spesialis untuk evaluasi lebih lanjut. 2) Lakukan tes penglihatan warna; misalnya dengan menggunakan kartu ishihara. 3) Lakukan pemeriksaan pengukuran tekanan okuler, yaitu tonometri schiotz dan tonometri applanasi. 4) Lakukan tes lapang pandang dengan tes konfrontasi dan periksa adanya bintik buta. Lapang pandang memetakan perluasan perifer dunia visual. Tiap lapang pandang dapat direpresentasikan sebagai satu seri kontur atau isopter, mendemonstrasikan kemampuan untuk melihat satu target dengan ukuran dan kecerahan tertentu. Lapang pandang tidak rata; daerah pusat mata dapat mendeteksi objek yang jauh lebih kecil dibandingkan di perifer. Hal ini menghasilkan “bukit penglihatan” dimana objek yang dilihat dengan detail terbaik berada pada puncak bukit. (di fovea). Di sisi temporal lapang pandang terletak bintik buta. Ini berhubungan dengan papil saraf optic dimana tidak terdapat fotoreseptor. Bersamaan dengan ketajaman penglihatan, lapang pandang juga harus dikaji. Kebanyakan, manusia mempunyai lapang pandang bulat, termasuk bintik buta di mana saraf optik memasuki mata dan di mana tidak terdapat sel retina fotosensitif. Meskipun lapang pandang dapat dikaji dengan tepat oleh optalmologis, estimasi kasar dapat dibuat di kantor atau di tempat tidur pasien ketika pemeriksaan memperhatikan adanya gangguan umum lapang

10

pandang, misalnya, pada pasien dengan cedera serebrovaskuler (stroke) atau glaucoma. Pasien dengan stroke dapat kehilangan seperempat atau setengah lapang pandang pada kedua matanya. Defisit penglihatan akibat glaukoma cenderung mengikuti pola tertentu kehilangan pandangan perifer progresif (tunnel vision = pandangan terowongan), yang sayangnya merupakan temuan yang sudah terlambat. Metoda yang mudah dan dapat dipercaya untuk menguji penuhnya lapang pandang adalah konfrontasi langsung dan menggunakan uji telunjuk. Pemeriksa dan pasien duduk dengan jarak 1 sampai 2 kaki, saling berhadapan. Pasien diminta menutup salah satu mata dengan karton, tanpa menekan, sementara ia harus memandang hidung pemeriksa. Sebaliknya pemeriksa juga menutup salah satu matanya sebagai pembanding. Bila pasien menutup mata kirinya, misalnya, pemeriksa menutup mata kanannya. Pasien diminta melirik tetap pada hidung pemeriksa dan menghitung jumlah jari yang ada di medan superior dan inferior lirikan temporal dan nasal. Jari pemeriksa digerakkan dari posisi luar terjauh ke tengah dalam bidang vertical, horizontal, dan oblik, seperti pada pemeriksaan pengkajian medan lirikan kardinal. Medan nasal, temporal, superior dan inferior dikaji dengan memasukkan benda dalam penglihatan dari berbagai titik perifer. Pada setiap manuver, pasien member informasi kepada pemeriksa saat ketika benda mulai dapat terlihat sementara mempertahankan arah lirikannya ke depan. Untuk menguji medan pandangan nasal lirikan pada mata yang sama, pemeriksa menggesar benda dari tangan kanan ke tangan tiri. Keseluruhan prosedur dilakukan dengan cara sebaliknya untuk mengkaji medan pandangan mata yang satunya. Penentuan secara kasar medan penglihatan dapat dideteksi dengan cara ini. Bila pada uji konfrontasi memperlihatkan penurunan medan penglihatan, atau bintik buta, maka pasien harus dirujuk ke ahli oftalmologi untuk evaluasi lebih lanjut. 11

Selain uji medan penglihatan di tempat tidur, ada cara yang lebih canggih dan dapat dihitung untuk mengukur medan pandangan. Perimeter Goldman atau alat uji perimetri automatis yang baru menggunakan plotting sistematis persepsi titik-titik cahaya yang diproyeksikan pada mangkuk bulat dengan kepala diletakkan di pusatnya.  Tes konfrontasi Satu mata

pasien

ditutup

dan

pemeriksa

duduk

diseberangnya, menutup matanya pada sisi yang sama. Satu objek, biasanya kepala jarum berukuran besar, kemudian digerakkan dalam lapang pandang mulai dari perifer menuju ke pusat. Pasien diminta mengatakan kapan ia pertama kali melihat objek tersebut. Tiap kuadran diperiksa dan lokasi bintik buta

ditentukan.

Selanjutnya

lapang

pandang

pasien

dibandingkan dengan lapang pandang pemeriksa. Dengan latihan dapat juga diidentifikasi skotoma sentral (skotoma adalah daerah fokal dalam lapang pandangan dengan sensitivitas yang berkurang, dikelilingi oleh area yang lebih 

sensitive). Tes lapang pandang kasar dapat dilakukan sebagai berikut : a. Mintalah pasien untuk menutup satu matanya. Duduklah di depan pasien dan angkat kedua tangan anda di depan mata yang tidak ditutup, dengan telapak tangan menghadap pasien, satu tangan pada masing-masing sisi. Tanyakan apakah kedua telapak tangan terlihat sama. Ulangi tes dengan mata satunya. Tes ini dapat berguna dalam mendeteksi hemianopia bitemporal (pasien mungkin juga tidak dapat melihat huruf temporal pada kartu snellen ketika dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan). b. Mintalah pasien untuk menghitung jumlah jari yang

diperlihatkan pada tiap kuadran lapang pandang. 5) Lakukan tes gerak bola mata; tanyakan mengenai diplopia dan cari nistagmus. 12

6) Reaksi pupil Ukuran pupil (miosis, konstriksi; midriasis, dilatasi) dan responsnya terhadap cahaya dan akomodasi memberikan informasi penting mengenai : a. Fungsi jalur aferen yang mengontrol pupil (saraf dan traktus optic); b. Fungsi jalur eferen Pemeriksaan pupil dimulai dengan penilaian ukuran pupil dengan cahaya uniform. Jika terdapat asimetri (anisokoria) harus ditentukan apakah pupil yang kecil atau yang lebar yang merupakan pupil abnormal. Pupil kecil yang patologis (setelah kerusakan system saraf simpatis) akan menjadi lebih jelas pada pencahayaan redup, karena dilatasi pupil normal akan menjadi lebih besar. Pupil lebar yang patologis (didapatkan pada penyakit system saraf parasimpatis) akan menjadi lebih jelas dalam cahaya. Pasien dengan riwayat inflamasi mata anterior (iritis), trauma, atau

pembedahan

mata

sebelumnya

mungkin

mengalami

perubahan struktur iris yang secara mekanik mempengaruhi bentuk pupil. Beberapa individu memiliki diameter pupil asimetris yang tidak terkait dengan penyakit. Pada pasien yang ukuran pupilnya sama, langkah berikutnya adalah mencari defek fungsi saraf optic, dengan menggunakan “tes sentolop berayun”. Pemeriksaan ini merupakan petunjuk sensitive untuk defek konduksi aferen. Pasien duduk di ruangan dengan pencahayaan redup dan memandang objek yang jauh. Senter diarahkan pada tiap mata secara bergantian sementara pupil diamati. Defek unilateral pada konduksi saraf optic diperlihatkan sebagai defek pupil aferen relative (relative afferent pupil defect, RAPD). Untuk memeriksa aferen reflex pupil, pasien kemudian diminta untuk melihat objek yang dekat; pupil yang normal mengalami kontriksi bersama dengan akomodasi dan konvergensi. Ini dinamakan reflex dekat.

13

Pupil adalah lubang ditengah iris. Ketika kita memeriksa pupil, kita mengkaji reaksi terhadap cahaya dan pandangan dekat dengan konvergensi, misalnya untuk mengevaluasi gangguan system saraf pusat (SSP) atau pada tekanan intracranial. Iris dapat berubah ukurannya untuk mengontrol cahaya yang masuk kedalam mata. Ketika sel fotosensitif retina terkena cahaya terang, pupil yang normal akan segera berkonstriksi secara regular dan konsentris. Reaksinya harus cepat dan simetris. Akan terjadi reaksi konstriksi simultan pada pupil mata yang lain. 7) Pergerakan mata Pergerakan mata dinilai ketika duduk menghadap pasien. Perhatikan hal-hal berikut ; a. Posisi mata, b. Kisaran pergerakan mata, c. Jenis pergerakan mata. Arah yang abdormal pada salah satu mata dalam posisi primer pandangan (melihat lurus ke depan) dapat menandakan adanya strabismus. Hal ini dapat di konfirmasi dengan melakukan tes cover. Kisaran pergerakan mata dinilai meminta subjek untuk mengikuti objek yang bergerak. Pergerakan horizontal, vertical, dan oblik diperiksa dari posisi primer pandangan dengan cara meminta pasien melaporkan adanya penglihatan ganda (diplopia). Adanya pergerakan mata yang berosilasi (nistagmus) juga dicatat. Pergerakan mata ketika mengikuti objek diperiksa. Pergerakan mata ini (gerakan mengikuti) biasa lancar namun dapat berubah bila ada penyakit. Kemampuan untuk mengarahkan pandangan dengan cepat dari satu objek ke objek lain (pergerakan mata sakadik) dapat diperiksa dengan meminta pasien untuk melihat target (seperti jari) yang diletakkan pada tiap sisi kepala. Pergerakan ini harus cepat, halus, dan akurat (yaitu tidak overshoot atau undershoot target). 14

Otot ekstraokuler adalah enam otot kecil yang melekat pada tiap mata yang menggerakkan bola mata. Diinervasi oleh tiga saraf otak (SO III,IV, dan VI). Aksi sinergis (sesuai) otot ekstraokuler kedua mata menghasilkan gerakan parallel. Mekanisme bagaimana cara kerjanya sangat kompleks, dan analisis abnormalitasnya memerlukan konsultasi dengan dokter. Kesejajaran paralel mata tersebut dapat dengan mudah dideteksi dengan mengarahkan sinar langsung ke mata sementara pasien memandangi sumber cahaya. Tempat pantulan cahaya pada mata harus identik. Refleks cahaya yang berbeda antara satu mata dengan lainnya menunjukkan gangguan penglihatan parallel. Uji Menutup. Disamping kesejajaran normal kedua mata ketika keduanya berfungsi bersama, ada kecenderungan salah satu mata untuk bergeser ke sisi nasal atau sisi temporal (dan perlunya untuk mengkompensasi secara involunter dengan usaha) dapat dikaji dengan uji menutup. Salah satu mata pasien ditutup dengan karton atau tangan pemeriksa, dan pasien diminta memfokuskan mata yang tidak tertutup pada satu benda diam sementara mata yang ditutup karton/tangan tetap terbuka. Kemudian karton atau tangan tiba-tiba disingkirkan, dan akan tampak gerakan abnormal mata. Bila mata, saat ditutup, bergeser kesisi temporal, akan kembali ke titik semula ketika penutup dibuka. Sebaliknya, bila bergeser kesisi nasal, fenomena sebaliknya akan terjadi. Kecenderungan mata untuk bergeser, ketika ditutup, ke sisi temporal dinamakan eksoforia; kecenderungan mata untuk bergeser ke sisi nasal disebut esoforia. Lirikan Terkoordinasi. Integritas control saraf otot mata dapat dikaji dengan mengarahkan pasien, sementara kepala dijaga tetap diam, untuk menggerakkan matanya keenam posisi cardinal lirikan

15

dengan mengikuti sebuah benda. Benda digerakkan ke lateral ke kedua sisi sepanjang sumbu horizontal dan kemudian sepanjang sumbu oblik, masing-masing membentuk sudut 60 derajat dengan sumbu horizontal. Tiap posisi kardinal lirikan menggambarkan fungsi salah satu dari keenam otot ekstraokuler yang melekat pada tiap mata. Bila terjadi diplopia atau pandangan ganda, selama transisi dari salah satu posisi kardinal lirikan, pemeriksa dapat mengetahui adanya salah satu atau lebih otot ekstraokuler yang gagal untuk berfungsi dengan benar. Keadaan ini bisa juga terjadi bila salah satu mata gagal bergerak bersama dengan yang lain. Ketika gerakan ekstraokuler sedang dikaji, mata diobservasi bila ada nistagmus, suatu gerakan mata mendadak ireguler seperti gerakan lirikan ke posisi lateral. Nistagmus mempunyai dua komponen; komponen cepat pada satu arah atau arah lainnya dan komponen lanjutannya yang lebih lambat yang mengembalikan mata ke posisi yang diharapkan. Namun, nistagmus pada lirikan lateral ekstrem adalah temuan yang normal, dan dapat dihindari dengan tidak meletakkan benda terlalu jauh ke lateral. Ada banyak keadaan, seperti pada sklerois multiple dan tingginya kadar Dilantin (fenitoin), dapat menimbulkan nistagmus. Meskipun kebanyakan keadaan tersebut bersifat jinak, namun ada juga yang mencerminkan proses patologi yang berat. Mata harus bergerak bersama secara simetris dan dengan arah yang sama. Ketika tidak bergerak bersama, fenomena ini dinamakan strabismus. Hal ini akan menimbulkan pandangan ganda atau kabur karena gambar yang diprojeksikan pada masingmasing retina berbeda. Strabismus merupakan salah satu penyebab ambliopia.

16

Pemeriksaan Kalori. Ketika mengkaji viabilitas otak, dapat dilakukan

pemeriksaan

kalori.

Dilakukan

dengan

cara

memasukkan air hangat maupun dingin ke dalam telinga. Pada orang sehat, akan menimbulkan nistagmus cepat kearah atau menjauhi penetasan air. Saat melakukan uji kalori pada orang sehat dapat membangkitkan muntah dan nyeri hebat. Tidak adanya nistagmus selama uji kalori merupakan salah satu tanda klinis kematian otak. 8) Kelopak mata Biasanya kelopak mata letaknya sejajar. Tepi kelopak terletak dekat bola mata pada mata yang sehat. Jika tepi kelopak mengarah keluar dari bola mata maka terdapat ektropion, jika tepi ini mengarah kedalam dan bulu mata bergesekan dengan bola mata maka terdapat entropion. Kelopak mata yang jatuh (ptosis) dapat menunjukkan : a. Kelainan anatomis (misalnya kegagalan tendon levator untuk berinsersi dengan benar dikelopak). b. Masalah organic (misalnya kelemahan otot levator pada miastenia gravis atau gangguan persarafan pada palsi saraf ketiga). Dalam menilai ptosis, jarak antara kelopak mata atas dan bawah diukur dengan psien melihat lurus kedepan. Kemudian dicatat ekskursi kelopak mata atas dari pandangan ke bawah yang ekstrim

ke pandangan

ke atas

ekstrim.

Pada

miastenia,

pengulangan gerakan kelopak mata keatas dan kebawah akan meningkatkan ptiosis karena otot levator mengalami kelelahan. Posisi kelopak mata dikaji dalam hubungannya dengan bola mata. Posisi kelopak dan simetri merupakan bagian sangat penting pada pemeriksaan saraf otak (SO). Untuk mengkaji SO III, perawat meminta pasien untuk menutup mata secara ringan untuk menentukan apakah mata bisa tertutup secara penuh. Pembukaan mata mengkaji SO VII.

17

Setelah mata terbuka, posisi kelopak diobservasi untuk melihat apakah keduanya simetris dan batas bawahnya berhenti pada bagian iris sama tinggi. Tidak boleh terlihat sclera di atas atau di bawah kornea. Posisi kelopak harus simetris, dan kelopak mata atas harus tepat melintasi limbus kornea dan di atas pupil. Kelopak tidak boleh menutupi pupil, yang dapat mengganggu penglihatan. Iris, kornea atau sclera tidak dapat terlihat secara utuh pada keadaan istirahat saat wawancara. Terlihatnya bagian mata yang lebih

dari

biasa

mengindikasikan

adanya

protrusi,

atau

eksoftalmos, yang mungkin diakibatkan oleh hipertiroidisme atau masa dalam orbita. Eksoptalmus klasik,

seperti

pada

penyakit

Grave

(hipertiroidisme), diperkirakan merupakan proses autoimun yang berakibat inflamasi orbita dan pembengkakan otot dan lemak. Protusi unilateral dapat berhubungan dengan masa dalam orbita, seperti tumor, sementara protrusi bilateral menunjukkan adanya edema umum. Retraksi kelopak dapat menyerupai keadaan seperti mata yang mengalami protrusi. Mata dan kelopak mata orang yang kekurangan nutrisi atau dehidrasi Nampak seperti tenggelam atau cekung karena lemak dan cairan yang tersimpan di belakang bola mata hilang. Ptosis (turunnya kelopak) dapat disebabkan oleh edema, kelemahan otot, defek congenital, atau masalah neurologis (SO III) yang disebabkan oleh trauma atau penyakit. Kelopak mempunyai peran penting pada integritas mata. Kelopak melindungi mata dari benda asing dengan reflex mengejapkan mata. Pengkajian reflex mengejap yang utuh merupakan bagian pemeriksaan saraf pusat. Dan penentuan tingkat kesadaraan. Interval mengejap volunter sangat individual sifatnya dan harus dikaji dengan baik. Akhirnya, perawat mengobservasi arah kelopak mata. Kelopak harus terletak merata pada permukaan mata. Kelopak yang

18

melengkung keluar dinamakan ektropion; kelopak mata seperti ini tak dapat menutup dengan baik dan mata eksternal dapat terpajan dan kering. Kelopak yang melengkung ke dalam dinamakan entropion. Bulu mata pada kelopak yang begini akan menjadi senjata tajam, dan terjadi iritasi kornea ketika mengejapkan mata dan kontak dengan kulit dan rambut. Penyakit kronik kelopak mata dapat merusaknya, menghasilkan posisi dan penutupan kelopak yang abnormal. Kenyataannya, banyak pasien dengan infeksi kelopak kronik kemudian mengalami kekeringan mata dan ulkus abrasi kornea akibat iritasi persisten dan kehilangan bulu mata. 3. Pemeriksaan Penunjang Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berdasarkan Smeltzer & Bare (2013) dan adalah: a. Oftalmoskopi Sebuah alat yang digunakan untuk melihat struktur eksterior dan inferior mata dalam ofalmoskop. Paling mudah untuk mengkaji fundus saat runag gelap karena pupil akan dilatasi. Saat menggunakan oftalmoskop direk, perawat memegang instrument dengan tangan kanan saat mengkaji OD dan tangan kiri saat mengkaji OS. perawat berdiri pada sisi yang nyaman dan sama dengan mata klien yang akan diperiksa. Klien diminta melihat ke arah depan pada objek yang terletak di dinding belakan perawat. Bagian yang diperksa dari pemeriksaan ini yaitu, diskusoptikus, pembuuh optikus, fundus, makula. Dapat dilihat melalui oftalmoskop, yaitu suatu instrumen yang digunakan dengan cara dipegang yang memproyeksikan cahaya melalui prisma dan membelokkan cahaya dengan sudut 90 °, memungkinkan

pemeriksa

melihat

retina.

Dalam

melakukan

pemeriksaan ruangan harus digelapkan untuk melebarkan dilatasi pupil. Pemeriksaan ini meliputi evaluasi diskus optikus, pembuluh darah retina, karakteristik retina, area makula, dan humor aqueus. b. Tonometri

19

Tonometri adalah teknik untuk mengukur tekanan intraokuler (TIO).Tonometri Schiotz memakai instrumen metal yang dipegang (tonometer) dan diletakkan pada permukaan kornea yang dianastesi. Hasilnya bervariasi namun cukup baik untuk mengistimasi TIO. Alat pengukur tekanan lainnya yaitu Tonometer aplanasi dari Goldman, dihubungkan dengan lampu slit. Dianggap sebagai bentuk alat ukur TIO yang paling akurat.Pemberian pewarna fluoresen dan anestesi topikal diperlukan sebelum tonometer aplanasi. Peningkatan TIO merupakan tanda kardinal pada glaukoma. c. Lampu-Slit Lampu-slit adalah instrumen yang biasa dijumpai dikamar periksa ahli oftalmologi atau di tempat dimana dilakukan evaluasi oftalmik. Pemerisaan dilakukan dengan cara mengarahkan cahaya berbagai bentuk dan warna ke permukaan depan mata. Instrumen ini akan memperbesar kornea, sklera, dan kamera anterior, dan memberikan pandangan oblik ke dalam trabekulum dengan lensa khusus. Kebanyakan lampu-slit dilengkapi dengan tonometer applanasi. Untuk pemeriksaan, ruangan harus gelap dan klien harus kooperatif. Sebelum pemeriksaan

perawat

atau

teknisi

biasanya

membantu

memberikantetes mata untuk mendilatasi pupil. d. Ultrasonografi (USG) USG dapat digunakan untuk mengukur dimensi, struktur kuler, dan untuk mengukur kedalaman serta bentuk bola mata. Pada USG, gelombang dengan frekwensi tinggi diemisi dari sebuah tranduser kecil seperti probe diletakkan dimata. Setelah mengenai jaringan okuler, gelombang suara kemudian memantul dan ditangkap oleh transduser yang sama. Kemudian dikonversi menjadi pola gelombang dan dan ditampilkan pada osilokop. Prosedur ini tidak menimbulkan nyeri namun memerlukan anestesi lokal. Setelah dilakukan pengujian sarankan pada klien agar tidak menggosok matanya. Ada dua tipe primer ultrason yang digunakan, yaitu A-scan dan B-scan.

20

1. A-scan-ultrason : untuk membedakan tumor maligna dan benigna, mengukur mata untuk pemasanga implan lensa okuler dan memantau adanya glaukoma kongenital 2. B-scan-ultrason : Untuk memndeteksi berbagai struktur dalam mata yang kurang jelas akibat adanya pendarahan katarak atau opasitas lain. e. Angiografi Fluoresen Untuk mengevaluasi pembuluh darah oftalmik. Pewarna kontras disuntikkan ke vena perifer. dan diambil foto serial fundus. Uji ini membantu menentukan luasnya kelainan pembuluh darah retina, seperti yang berhubungan dengan diabetes dan hipertensi, papiledema, dan sumbatan arteri retina sentralis. f. Prosedur Pencitraan Kadang-kadang kita perlu melihat mata terhadap hubungan dengan tengkorak atau jaringan lunak lainnya. Karena mata terletak di dalaam rongga intracranial, maka abnormalitas tengkorak dapat memengaruhi bola mata dan struktur oftalmik. Fraktur blowout orbita dapat menjebak otot atau saraf ekstraokuker sehingga membatasi gerakan bola mata yang terkena. Sinar-x tengkorak dapat mengidentifikasi abnormalitas cranium. MRI (computerized tomografi) dapat digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan dan anatomi intraokuler dan ekstraokuler. g. Hitung Sel Endotel Alat fotografi yang dihubungkan ke lampu slit dan menghasilkan bayangan dengan resolusi tinggi terhadap detil morfologi sel endotel: ukuran, bentuk, destansi, dan batas sel. Merupakan uji praoperatif yang sangat penting untuk mengidentifikasi kerusakan endotel, yang akan meningkatkan resiko komplikai pascaoperasi. h. Refraksi dan Akomodasi Defek minor dan ketidak segarisan mata dapat ter;ihat hampir ke semua orang. Koreksi refraksi biasanya tidak diperlukan defek seperti ini. Namun bila terpaksa dilakukan koreksi reflaksi, tujuannya adalah untuk menghilangkan gejala seperti pandangan kabur, nyeri kepala atau keletihan mata, dan tidak untuk meningkatkan kesehatan mata itu

21

sendiri. Beberpa tipe pembedaha reflaksi kornea tersedia untuk mengoreksi myopia, hyperopia, dan astigmatisma. Prosedur tersebut dapat mengurangi pemakaian kacamata atau mengurangi kekuatan presskripsi yang diperlukan untuk mengoreksi pengelihatan. Kesalahan refleksi dan penanganannya bisa dipahami dengan baik bila dihubungkan dengan akomodasi. Akomodasi terjadi bila otot silier berkontraksi, mengakibatkan relaksasi zonula, dan meningkatkan kelengkungan lensa. Hal ini menyebabkan peningkatan refraksi (akomodasi), kekuatan mata (pembelokan cahaya), untuk memusatkan fokus mata pada benda dekat. Ketika otot siler berelaksasi, kekuatan otot mata berada pada kekuatan rendah yang paling mungkin dicapai, seperti tampak pada paranalis badan silier (sikloplegia).

B. Pengkajian Hidung 1. Riwayat a. Kesehatan Masa Lalu Gangguan fungsi hidung dapat berupa kehilangan kemampuan mencium, ketidak mampuan untuk menyaring atau membersihkan udara, atau masalah melembabkan udara inspirasi. Kehilangan kemampuan untuk mencium merupakan suatu peristiwa fisiologis yang terjadi dalam proses penuaan. Biasanya keluhan yang timbul bukan seperti itu tetapi sebagai kehilangan daya pengecap karena kedua fungsi ini berkaitan erat. Penyaringan dan pembersihan dilakukan oleh silia epitel traktus respiratoris dan sel-sel penghasil mucus. Iritasi meningkatkan sekresi mucus, yang jika berlebihan atau berkaitan dengan gangguan fungsi silia, mengganggu pasien sebagai rinore, “hidung tersumbat”, atau tetesan postnasal. Epitel hidung banyak mengandung sel plasma yang menghasilkan antibody sekretoris IgA dan antibody alergik IgE dengan demikian dapat terjadi rhinitis karena hayfever dan bersin karena reaksi alergi. Dalam konteks ini, riwayat penyakit yang timbul secara musiman atau setelah pemaparan dengan

22

zat tertentu bermanfaat. Sifat secret juga pernting. Secret yang jernih mengarah kepada alergi, infeksi virus, atau respons vasomotor. Secret purulen mengarah kepada superinfeksi oleh bakteri. Cairan yang keluar dari membrane mukosa menghangatkan dan melembabkan udara inspirasi. Pasien yang mengeluh nyeri kalau bernapas di udara dingin mungkin menderita pengeringan mukosa hidung. Gejala nyeri biasanya berkaitan dengan sinus. Peradangan dengan obstruksi menimbulkan nyeri hebat karena sekresi terus berlangsung tetapi pengeluarannya terhambat. Pada sinus maksilaris dan frontalis nyeri timbul pada lokasi sinus tersebut. Sinusitis sfenoidalis menimbulkan nyeri oksipital. Nyeri sinus diperberat oleh segala sesuatu yang meningkatkan tekanan di dalam sinus. Jadi pasien akan menghindari membungkuk, batuk, bersin, atau membuang ingus. Epistaksis adalah suatu pengamatan yang mengejutkan tetapi biasanya tidak nyeri. Tanyakanlah riwayat trauma ringan, infeksi saluran nafas bagian atas, atau iritasi sebagai penyebab local, tetapi jangan

mengabaikan

kemungkinan

hipertensi

atau

gangguan

perdarahan sebagai penyebab yang lebih berbahaya. Mendengkur adalah pengamatan yang lebih sering menimbulkan keluhan pada pasangannya daripada pada pasien itu sendiri. Keadaan ini sering menunjukkan obstruksi hidung, dan tidak boleh di abaikan begitu saja, terutama pada anak-anak. Cairan spinal dapat keluar dengan bebas ke dunia luar melalui hiduung. Fraktur dasar tengkorak dengan robekan kecil pada lamina kribrosa membuat cairan serebrospinal dapat mengalir dengan bebas. Gejalanya adalah keluarnya cairan yang jernih, dan dapat timbul meningitis yang berulang-ulang. Pengamatan lain yang berkaitan dengan hidung adalah perubahan warna nada suara. Saluran hidung berfungsi sebagai ruang resonansi untuk berbicara. Obstruksi menghalangi gema suara. [ CITATION Bur95 \l 1033 ] b. Riwayat Pengobatan

23

Adakah riwayat pemakaian obat yang mungkin menyebabkan gejala gangguan penghidu atau obat untuk mengobati penyakit hidung? 2. Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi (melihat) keadaan hidung apakah ada kelainan : 1) Apakah ada peradangan/iritasi selama rhinitis/sinusitis 2) Kelainan konginetal 3) Furonkulosiss (bisul) 4) Proses infeksi disekitar hidung 5) Kekeringan pada selaput lendir 6) Sering bersin-bersin 7) Obstruksi nasal 8) Secret pada hidung encer, mukopurulent atau purulent 9) Adakah polip Ketika menginspeksi hidung eksternal, perawat mengobservasi bentuk, ukuran, warna kulit, dan adanya deformitas atau inflamasi. Hidung normalnya halus, simetris, dan berwarna sama dengan wajah. Trauma pada hidung menyebabkan edema dan perubahan warna. Jika terdapat pembengkakan atau deformitas, perawat memalpasi dengan hati-hati punggung dan jaringan lunak hidung dengan menempatkan satu jari di setiap sisi lengkungan hidung dan secara hati-hati menggerakkan jari-jari tersebut dari batang hidung ke ujung hidung. Perawat mencatat adanya nyeri tekan, massa, dan penyimpangan. Struktur hidung biasanya keras dan stabil. Normalnya udara mengalir bebas melewati hidung pada saat seseorang bernapas. Untuk mengkaji kepatenan lubang hidung, perawat menempatkan jari disisi hidung klien dan menyumbat salah satu lubang hidung. Klien diminta untuk bernapas dengan mulut tertutup. Pemeriksaan ini diulang pada lubang hidung berikutnya. Pada saat menyinari nares anterior, perawat menginspeksi mukosa untuk warna, lesi, rabas, pembengkakan dan adanya perdarahan. Jika terdapat rabas, gunakan sarung tangan. Mukosa normalnya berwarna merah muda dan lembab tanpa lesi. Mukosa yang pucat, rabas, dan jernih mengindikasikan adanya alergi. Rabas mukoid mengindikasikan adanya rhinitis. Infeksi sinus terjadi jika terdapat rabas kekuningan atau kehijauan. Kebiasaan menggunakan kokain dan opioid intranasal

24

dapat menyebabkan pembengkakan dan peningkatan vaskularitas mukosa hidung. Untuk klien yang memakai selang nasogastrik atau nasofaring, perawat secara rutin memeriksa adanya kerusakan kulit local (ekskoriasi) pada lubang hidung yang ditandai dengan kemerahan dan kelupasan kulit. b. Palpasi Palpasi sinus frontalis, maksilaris, ethmoid, dan sphenoid untuk adanya nyeri tekan. c. Pemeriksaan sinus paranasal Pemeriksaan sinus melibatkan palpasi dan transiluminasi. Pada kasus alergi atau infeksi, sinus interior menjadi terinflamasi dan bengkak. Cara paling efektif untuk mengkahji adanya nyeri tekan adalah dengan memalpasi secara eksternal area fasialis frontal dan maksiler. Sinus frontal dipalpasi dengan memberi tekanan dengan ibu jari ke atas dan di bawah alis klien. Secara perlahan, mengarahkan tekanan keatas dengan mudah akan memunculkan adanya nyeri tekan bila terdapat iritasi sinus dan menunjukkan tingkat keparahan iritasi sinus. Tekanan tidak boleh diberikan pada mata. Inspeksi, palpasi, perkusi sinus paranasal 1) Pemeriksaan menggunakan rinoskopi anterior dan posterior 2) Pemeriksaan transiluminasi sinus maksila dan sinus frontal (gunakan lampu khusus dan dalam ruangan yang gelap) 3) Transiluminasi dengan cara memasukkan sumber cahaya melalui mulut dan bibir dikatupkan sehingga sumber cahaya sumber cahaya tidak kelihatan lagi 4) Setelah beberapa menit terlihat terang seperti bulan sabit pada daerah infraorbita 5) Untuk pemeriksaan sinus frontal lampu diletakkan di daerah bawah sinus frontal dekat kantus medius dan cahaya terang terlihat didaerah sinus frontal. Secret dihidung dan secret turun ketenggoro (post nasal drip) 1) Apakah secret pada kedua rongga hidung 2) Konsistensi secret (encer / bening seperti cair kental, nanah, atau bercampur nanah)

25

3) Apakah keluarnya secret pada pagi hari atau pada waktu tertentu (missal pada musim hujan) 4) Bila penyebab secret dari hidung (bilateral) jernih s/d purulen 5) Secret yang jernih seperti air dan banyak alergi hidung 6) Secret kuning kehijauan biasanya dari sinusitis hidung 7) Secret bercampur darah pada pada satu rongga hidung (hati-hati tumor hidung) Bersin yang berulang 1) Alergi hidung 2) Apakah bersin timbul akibat mencium sesuatu 3) Apakah bersin diikuti dengan secret yang encer dan rasa gatal hidung, mata, tenggorok, dan telinga Rasa nyeri di daerah muka dan kepala (b/d keluhan dihidung) 1) Nyeri di daerah dahi 2) Nyeri pangkal hidung 3) Nyeri pada pipi 4) Tengah kepala adalah merupakan tanda sinusitis 5) Rasa nyeri atau rasa berat timbul bila menunduk dan dapat berlangsung beberapa jam s/d beberapa hari Perdarahan dari hidung (epitaksis) berasal dari anterior/posterior rongga hidung apakah : 1) Perdarahan dapat terjadi dari satu/dua hidung 2) Lama perdarahan (beberapa kali) 3) Mudah dihentikan hanya dengan memencet hidung 4) Riwayat trauma hidung/muka sebelumnya 5) Menderita penyakit kelainan darah 6) Hipertensi 7) Pemakai obat-obat koagulansia Gangguan penghidu, apakah : 1) Hilangnya penciuman (anosmia) 2) Penciuman berkurang (hiposmia) 3) Riwayat infeksi hidung 4) Sinusitis 5) Trauma kepala 6) Lama keluhan Cara pemeriksaan Inspeksi bagian, apakah : 1) Deviasi tulang hidung 2) Depresi tulang hidung 3) Pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang Hidung (Hetharia, 2011)

26

a. Rinoskopia Anterior, pemeriksaan untuk melihat rongga hidung dan anterior, dilakukan menggunakan speculum. b. Renoskopia Posterior, pemeriksaan untuk melihat rongga hidung dari belakang dilakukan dengan bantuan kaca yang diletakkn diorofaring. c. Transluminasi/Diafanoskopi, pemeriksaan untuk melihat sinus maksilaris dan fronalis dilakukan dikamar gelap. d. X-Foto sinus yang paling sering dibuat adalah posisi water. e. CT Scan f. Biopsy Pemeriksaan Laboratorium a. Pengambilan sputum

C. Pengkajian Telinga 1. Riwayat a. Kesehatan Masa Lalu 1) Apakah pasien mengalami gangguan pendengaran seperti pekak 2) 3) 4) 5)

(tuli) Suara mendengung/mendenging (tinnitus) Rasa pusing yang berputer (vertigo) (kapan, lama terjadi) Keluar cairan dari telinga/otore (kapan, jumlah, warna, bau) Rasa nyeri dalam telinga/otalgia (kapan, intensitas, kkarakter, skala

nyeri) 6) Kapan keluhan dirasakan saat beraktivitas 7) Keluhan pada satu sisi/dua sisi telinga 8) Timbulnya tiba-tiba 9) Waktu/lama derita 10) Riwayat trauma kepala 11) Apakah pasien pernah menderita penyakit infeksi (parotis) 12) Pernah mengalami influenza berat dan meningitis 13) Bila penyakit diderita dari bayi dapat mengalami gangguan bicara dan gangguan komunikasi 14) Gangguan ini lebih terasa pada tempat yang bising b. Riwayat Pengobatan 1) Tanyakan pada pasien tentang pemakaian ototoksik 2. Pemeriksaan Fisik Perawat menginspeksi dan memalpasi struktur telinga

luar,

menginspeksi struktur telinga tengah dengan otoskop, dan menguji telinga dalam dengan mengukur ketajaman pendengaran. Struktur telinga luar terdiri dari aurikula, kanal telinga luar, dan membrane tympani (gendang telinga). Kanal telinga normalnya melengkung dengan panjang ±2,5 cm 27

pada orang dewasa. Dilapisi dengan kulit berbulu halus, ujung-ujung saraf, kelenjar yang menyekresi serumen. Telinga tengah adalah rongga berisi udara yang terdiri atas tiga tulang osikel (maleus, inkus, stapes). Tuba eustasius menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Tekanan antara atmosfer luar dan telinga tengah distabilkan melalui tuba eustasius. 1) Aurikula Dengan posisi klien duduk nyaman, perawat menginspeksi ukuran, bentuk, kesimetrisan, garis batas, posisi, dan warna aurikula. Aurikula normalnya sejajar satu sama lain. Titik atas perlekatan berada pada satu garis lurus dengan kantus lateral atau sudut mata. Posisi aurikula juga hamper vertical. Aurikulus dan jaringan sekitarnya diinspeksi adanya deformitas, lesi, adanya cairan, serta ukuran, simetri, dan sudut penempelan ke kepala. Perawat memalpasi aurikula untuk tekstur, nyeri tekan, dan lesi kulit. Aurikula normalnya halus tanpa lesi. Jika klien mengeluh nyeri, perawat dengan hati-hati menarik aurikula dan menekan tragus serta memalpasi di belakang telinga pada prosesus mastoideus. Jika palpasi telinga luar meningkatkan nyeri, maka kemungkinan terjadi infeksi telinga luar. Jika palpasi aurikula dan tragus tidak memengaruhi nyeri, maka klien mungkin saja mengalami infeksi telinga tengah. Nyeri tekan pada area mastoideus dapat mengidentifikasikan mastoideus. Terkadang, kista sebaseus dan tofus (deposit mineral subkutan) terdapat pada pinna. Kulit bersisik pada atau di belakang aurikulus biasanya

menunjukkan

adanya

dermatitis

sebore

(dermatitis

seborrheica) dan dapat terdapat pula di kulit kepala dan struktur wajah. Perawat menginspeksi lubang kanal telinga untuk ukuran dan adanya rabas. Rabas dapat disertai bau. Meatus tidak boleh membengkak atau tersumbat. Zat lilin kuning disebut serumen merupakan hal yang umum. Rabas kuning atau hijau, berbau busuk dapat mengidentifikasikan adanya infeksi atau benda asing. 2) Kanal telinga dan gendang telinga

28

Untuk memeriksa kanalis auditorius eksternus dan membrane timpani, kepala pasien sedikit dijauhkan dari pemeriksa. Otoskop dipegang dengan satu tangan sementara aurikulus dipegang dengan tangan lainnya dengan mantap kemudian ditarik keatas, kebelakang, dan sedikit keluar. Cara ini akan membuat lurus kanal pada orang dewasa sehingga memungkinkan pemeriksa melihat lebih jelas membrane timpani. Speculum dimasukkan dengan lembut dan perlahan ke kanalis telinga, dan mata didekatkan ke lensa pembesar otoskop untuk melihat kanalis dan membrane timpani. Speculum terbesar yang dapat dimasukkan ketelinga (biasanya 5 mm pada orang dewasa) dipandu dengan lembut ke bawah ke kanal dan agak kedepan. Karena bagian distal kanalis adalah tulang dan ditutupi selapis epitel yang sensitive, maka tekanan harus benar-benar ringan agar tidak menimbulkan nyeri (Smeltzer dalam ) Setiap adanya cairan, inflamasi, atau benda asing di dalam kanalis auditorius eksternus dicatat. Membrane timpani sehat berwarna mutiara keabuan dan terletak oblique pada dasar kanalis. Penanda harus dilihat bila mungkin; pars tensa dan kerucut cahaya, umbo, manubrium mallei, dan prosesus brevis. Gerakan memutar lambat speculum memungkinkan penglihatan lebih jauh pada lipatan melleus dan daerah perifer. Posisi dan warna membrane begitu juga tanda yang tidak biasa atau deviasi kerucut cahaya dicatat. Adanya cairan, gelembung udara, atau massa ditelinga tengah harus dicatat. Pemeriksaan otoskop kanalis auditorius eksternus dan membrane timpani yang baik hanya dapat dilakukan bila kanalis tidak terisi serumen yang besar. Serumen normalnya terdapat dikanalis eksternus, dan

bila

jumlahnya

sedikit

tidak

akan

mengganggu

pemeriksaanotoskop. Bila membrane timpani tak dapat dilihat karena adanya serumen, kanalis eksternus harus diirigasi dengan lembut jika tak ada kontraindikasi. Bila serumen sangat lengket, maka sedikit minyak atau pelunak serumen yang dapat dibeli bebas dapat diteteskan dalam kanalis telinga dan pasien diinstruksikan kembali lagi untuk 29

pengambilan serumen dan inspeksi telinga. Penggunaan instrument seperti seperti kuret serumen untuk mengangkat serumen hanya boleh dilakukan oleh ahli otolaringologi atau perawat yang telah dilatih spesialis karena dapat terjadi bahaya perforasi membrane timpani dan ekskoriasi

kanalis

auditorius

eksternus.

Penumpukan

serumen

merupakan penyebab biasa dari kehilangan pendengaran dari iritasi local. (Smeltzer dalam ) 3) Pengkajian ketajaman auditorius Perkiraan umum pendengaran pasien dapat disaring secara efektif dengan mengkaji kemampuan pasien mendengarkan bisikan kata atau detakan jam tangan. Bisikan lembut dilakukan oleh pemeriksa, yang sebelumnya telah melakukan ekshalasi penuh. Masing-masing telinga diperiksa bergantian. Agar telinga yang satunya tak mendengar, pemeriksa menutup telinga yang tak diperiksa dengan telapak tangan. Dari jarak 1 sampai 2 kaki dari telinga yang tak tertutup dan di luar batas penglihatan, pasien dengan ketajaman normal dapat menirukan dengan tepat apa yang dibiskkan. Bila yang digunakan detak jam tangan, pemeriksa memegang jam tangan sejauh tiga inci dari telinganya sendiri (dengan asumsi pemeriksa mempunyai pendengaran normal) dan kemudian memegang jam tangan pada jarak yang sama dari aurikulus pasien. Karena jam tangan menghasilkan suara dengan nada yang lebih tinggi daripada suara bisikan, maka kurang dapat dipercaya dan tidak dapat dipakai sebagai satu-satunya cara mengkaji ketajaman auditorius. Penggunaan uji membedakan

Weber

kehilangan

dan

akibat

Rinne

memungkinkan

konduktif

atau

kita

kehilangan

sensorineural ketika terjadi gangguan pendengaran. Uji ini bukan merupakan bagian pemeriksaan fisik penyaring rutin, namun sangat berguna bila diperlukan pengkajian yang lebih tajam, bila diketahui adanya kehilangan pendengaran, atau bila hasil substansi audiometric diperlukan.

30

Uji Weber memanfaatkan konduksi tulang untuk menguji adanya lateralisasi suara. Sebuah garpu tala dipegang erat pada gagangnya dan pukulkan pada lutut atau pergelangan tangan pemeriksa. Kemudian diletakkan pada dahi atau gigi pasien. Pasien ditanya apakah suara terdengar ditengah kepala, ditelinga kanan, atau telinga kiri. Individu dengan pendengaran normal akan mendengar suara seimbang pada kedua telinga atau menjelaskan bahwa suara terpusat di tengah kepala. Bila ada kehilangan pendengaran konduktif (otosklerosis, otitis media), suara akan lebih jelas terdengar pada sisi yang sakit. Ini disebabkan karena obstruksi akan menghambat ruang suara sehingga akan terjadi peningkatan konduksi tulang. Bila terjadi kehilangan sensorineural, suara akan mengalami lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik. Uji Weber berguna untuk kasus kehilangan pendengaran unilateral. (Smeltzer dalam ) Uji Rinne, gagang garpu tala yang bergetar ditempatkan di belakang aurikula pada tulang mastoid (konduksi tulang) sampai pasien tak mampu lagi mendengar suara. Kemudian garpu tala dipindahkan pada jarak 1 inci dari meatus kanalis auditorius eksternus (konduksi udara). Pada keadaan normal, pasien dapat terus mendengarkan suara, hal ini menunjukkan bahwa konduksi udara berlangsung lebih lama dari konduksi tulang. Pada kehilangan pendengaran konduktif, konduksi tulang akan melebihi konduksi udara; begitu konduksi tulang melalui tulang temporal telah menghilang, pasien sudah tak mampu lagi mendengar garpu tala melalui mekanisme konduktif yang biasa. Sebaliknya, kehilangan pendengaran sensorineural memungkinkan suara yang dihantarkan melalui udara lebih baik dari tulang, meskipun keduanya merupakan konduktor yang buruk dan segala suara diterima seperti sangat jauh dan lemah. (Smeltzer dalam )

31

Untuk memulai pengkajian pendengaran, perawat meminta klien melepas alat bantu dengar yang dipakai. Perawat mencatat respons klien terhadap pertanyaan. Normalnya klien akan berespons tanpa meminta perawat secara berlebihan untuk mengulang pertanyaan. Jika dicurigai terdapat kehilangan pendengaran, perawat memeriksa respons klien terhadap suara berbisik. Telinga dites satu per satu, dengan klien menyumbat telinga yang satu dengan jari. Perawat meminta klien untuk menggerakkan jari ke atas dan ke bawah selama tes. Sambil berdiri 1 sampai 2 kaki (30 sampai 60 cm) dari telinga yang dites, perawat menutup mulut sehingga klien tidak dapat membaca bibir. Setelah ekshalasi penuh, perawat terlebih dahulu berbisik lembut kearah telinga yang tidak disumbat, mengucapkan angka secara acak yang memiliki aksen suku kata yang sama. Jika perlu, perawat secara bertahap meningkatkan intensitas suara sampai klien dapat mengulang dengan benar angka-angka tersebut. Telinga satunya kemudian dites untuk perbandingan. 3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Diagnostik 1) Pendengaran Pemeriksaan diagnostik berdasarkan Smeltzer & Bare (2013): a) Audiometri Dalam mendeteksi kehilangan pendengaran, audiometer nerupakan satu-satunya instrumen diagnostik yang paling penting. Uji audiometri ada 2 macam, yaitu: - Audiometri Nada murni, dimana stimulus suara terdiri atas nada murni atau musik (semakin keras nada sebelum pasien bisa -

mendengar

berarti

semakin

besar

kehilangan

pendengarannya). Audiometri Wicara, dimana kata yang diucapkan digunakan untuk menetukan kemampuan mendengar dan membedakan

suara. b) Timpanogram atau Audiometri Impedans Mengukur refleks otot telinga tengah terhadap stimulus suara, selain kelenturan membran timpani, dengan mengubah 32

tekanan udara dalam kanalis telinga yang tertutup. Kelenturan akan berukuran pada penyakit telinga tengah. c) Elektrokokleografi (EcoG) Elektrokokleografi (EcoG) adalah perekaman potensial elektrofisiologis koklea dan nervus kranialis VIII sebagai respon stimuli akustik. Rasio yang dihasilkan digunakan untuk membantu dalam mendiagnosa kelainan keseimbangan cairan telinga dalam seperti penyakit Meniere dan fistula perilimfe. Prosedur ini dilakuakn dengan menempatkan elektroda sedekat mungkin dengan koklea. Untuk persiapan pengujian, pasien diminta untuk tidak memakai diuretika selama 48 jam sebelum uji dilakukan, sehingga keseimbangan cairan ditelinga tidak berubah. 2) Keseimbangan a) Elektronistamografi (ENG) Elektronistamografi (ENG) adalah sebuah test yang mendeteksi secara sensitif penyakit sentral dan perifer dari sistem vestibular pada telinga. ENG mendeteksi dan merekam Nistagmus (pergerakan mata involunter) karena mata dan telinga saling berhubungan untuk keseimbangan. Elektroda direkam pada kulit di area dekat mata, dan satu atau banyak prosedur (test kalori, pergantian posisi pandangan atau pergantian posisi kepala) yang dilakukan untuk menstimulus nstagmus.

Kegagalan nistagmus terjadi dengan kegagalan

stimulasi serebral yang mengindikasikan abnormalitas pada apparatus vestibulokoklea, korteks serebral, saraf auditori, atau batang otak. ENG dapat membantu diagnosis seperti penyakit Meniere dan tumor kanalis auditoriusinternus atau fosa posterior (Ignatavicius & Workman, 2013). Persiapan klien untuk melakukan ENG: - Menjelaskan prosedur dan maksud dari test. Pemeriksa akan bertanya kepada klien untuk menamai sesuatu atau

33

untuk mengerjakan hitungan mudah ketika test untuk -

mengetahui apakah klien tersebut masih sadar. Minta klien untuk berpuasa dalam beberapa jam sebelum test dan menghindari minuman berkafein selama 24-48 jam

-

sebelum test. Pada klient yang menggunakan pacemaker atau pemacu jantung tidak perlu mengikuti test karena sinyal pacemaker

-

dapat mengganggu sensitivitas ENG. Berikan cairan oral setelah test untuk menghindari mual

dan muntah. b) Tes Kalori Mengevaluasi porsi vestibula pada saraf auditori. Air atau udara hangat dimasukkan ke telinga. Respon normal pada permulaan

vertigo

dan

nistagmus

antara

20-30

detik

(Ignatavicius dan Workman , 2013). Persiapan klien untuk test kalori antara lain, yaitu: - Menjelaskan prosedur dan tujuan dari test. - Minta klien untuk berpuasa beberapa jam sebelum test - Katakan pada klen bahwa bagian yang mengalami -

gangguan di tes dahulu. Jelaskan pada klien untuk beristirahat setelah prosedur,

berikan cairan oral untuk menghindari mual dan muntah. c) Tes Dix-Hallpike untuk vertigo Dilakukan dengan membantu klien duduk di meja pemeriksaan dengan posisi berdiri di samping klien dan memposisikan klien dari duduk kesupinasi secara cepat dengan kepala ekstensi

keluar dari ujung sisi meja. Klient dengan

vertigo posisi benigna akan mengalami robekan nistagmus setelah

5-10 detik kemudian (Ignatavicius dan Workman ,

2013). Persiapan klien untuk test Dix-Hallpike. - Jelaskan prosedur dan tujuan - Katakan pada klien terus membuka mata dan jangan -

berkedip Jelaskan pada klien bahwa pandangan berbayang dapat terjadi pada saat tes 34

d) Posturografi Platform Posturografi platform adalah uji untuk menyelidiki kemampuan mengontrol postural. Diuji integrasi antara bagian visual, vestibuler dan proprioseptif (integrasi sensoris dengan keluaran respons motoris dan koordinasi anggota bawah.Pasien berdiri pada panggung (platform), dikelilingi layar, dan berbagai kondisi ditampilkan. Respons klien terhadap 6 kondisi yang berbeda diukur dan menunjukkan sistem mana yang terganggu (Smeltzer & Bare, 2013). b. Pemeriksaan Laboratorium Umumnya bukan untuk menilai

dalam menentukan ketajaman

pendengaran. Tetapi untuk melihat adanya infeksi pada telinga, organisme yang menyebabkan, dan pengobatan yang tepat. Jika terapi antibiotik tidak berhasil, maka dapat dilakukan kultur mikroba dan uji sensitivitas (Ignatavicius & Workman, 2013)

D. Pengkajian mulut 1. Riwayat a. Kesehatan Masa Lalu  Adakah riwayat penyakit mulut khususnya lidah sebelumnya? b. Riwayat Keluarga  Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit lidah c. Riwayat Pengobatan  Adakah obat yang digunakan oleh pasien?  Adakah terapi yang dijalani oleh pasien? 2. Pemeriksaan Fisik Lidah diinspeksi dengan cermat pada semua sisi, dan bagian dasar mulut juga diperiksa. Terlebih dahulu klien harus merilekskan mulut dan sedikit

menjulurkan

lidah

ke

luar.

Perawat

mencatat

adanya

penyimpangan, tremor, atau keterbatasan gerak. Hal tersebut dilakukan untuk menguji fungsi saraf hipoglosum. Jika klien menjulurkan lidahnya terlalu jauh, dapat terlihat adanya reflex muntah. Pada saat lidah dijulurkan, lidah berada di garis tengah. Pada beberapa keadaan gangguan neurologis akan didapatkan ketidaksimetrisan lidah akibat kelemahan otot lidah, contohnya pada klien yang mengalami Miastenia gravis dengan 35

tanda khas triple forrowed. Untuk menguji mobilitas lidah, perawat meminta klien untuk untuk menaikkan lidah keatas dan kesamping. Lidah harus dapat bergerak dengan bebas. Dengan menggunakan senter untuk pencahayaan, perawat memeriksa warna, ukuran, posisi, tekstur, dan adanya lapisan atau lesi pada lidah. Lidah harus berwarna merah sedang atau merah pudar, lembap, sedikit kasar pada bagian permukaan atasnya, dan halus sepanjang tepi lateral. Permukaan bawah lidah dan bagian dasar mulut sangat bersifat vascular. Kecermatan ekstra harus dilakukan pada saat menginspeksi area-area ini, daerah umum tempat terjadinya lesi kanker oral. Klien mengangkat lidahnya dengan menempatkan bagian ujungnya pada palatum dibagian belakang taring. Perawat memeriksa warna, adanya pembengkakan, dan lesi seperti nodul atau kista. Permukaan ventral dari lidah berwarna merah muda dan halus dengan vena besar diantara lipatan frenulum. Untuk memalpasi lidah, perawat menjelaskan prosedur dan kemudian meminta klien untuk menjulurkan lidahnya. Perawat memegang ujung lidah menggunakan sarung tangan, perawat memalpasi sepanjang lidah dan juga bagian dasarnya untuk adanya pengerasan atau ulserasi. Selain itu juga dapat terlihat adanya varises (vena yang membangkak dan berkelok-kelok). Varises jarang menimbulkan masalah, tetapi banyak terjadi pada lansia. 3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Diagnostik [ CITATION Sme13 \l 1033 ]  Biopsy eksisi  Biopsy insisi  Punch biopsy  Needle biopsy  Biopsy aspirasi  Media transpor b. Pemeriksaan laboratorium [ CITATION Sme13 \l 1033 ]  Hematologi  Mikrobiologi

E. Pemeriksaan Kulit 1. Riwayat

36

a. Kesehatan Masa Lalu Pada saat merawat pasien dengan gangguan dermatologic, perawat mendapatkan informasi penting melalui riwayat kesehatan paien dan observasi langsung. Dalam banyak kasus, pasien atau keluarganya merasa lebih nyaman berbicara dengan perawat dan menyampaikan informasi penting yang mungkin disimpannya atau lupa disampaikan ketika berbicara dengan dokter atau petugas kesehatan yang lain. Keterampilan perawat dalam pengkajian fisik dan pemahamannya terhadap anatomi dan fungsi kulit dapat menjamin bahwa setiap penyimpangan dari keadaan normal akan dapat dikenali, dilaporkan dan didokumentasikan. Selama wawancara riwayat kesehatan, ajukan pertanyaan tentang alergi kulit, reaksi alergik terhadap makanan, obat serta zat kimia, masalah kulit sebelumnya dan riwayat kanker kulit. Nama-nama kosmetika , sabun, sampo atau produk hygiene personal lainnya juga harus ditanyakan jika terdapat masalah kulit yang terjadi setelah memakai produk tersebut. Riwayat kesehatan akan berisi informasi yang spesifik mengenai awitan, tanda dan gejala, lokasi, dan durasi nyeri, gatal-gatal, ruam atau gangguan rasa nyaman lainnya yang dialami pasien. [ CITATION Sme014 \l 1033 ] b. Riwayat Keluarga  Apakah ada diantara anggota keluarga anda yang mengalami masalah kulit atau ruam? c. Riwayat Pengobatan  Obat-obat apa yang sedang anda gunakan?  Obat oles (krim, salep, lotion) apakah yang anda pakai untuk mengobati lesi tersebut (termasuk obat-obat yang dapat dibeli 

bebas ditoko obat)? Produk kosmetik atau preparat perawatan kulit apa yang anda

gunakan? 2. Pemeriksaan Fisik Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit, termasuk membrane mukosa, kulit kepala dan kuku. Kulit merupakan cermin dari kesehatan

37

seseorang secara menyeluruh dan perubahan yang terjadi pada kulit umumnya berhubungan dengan penyakit pada system organ lain. Inspeksi dan palpasi merupakan prosedur utama yang digunakan dalam memeriksa kulit, dan pemeriksakan ini memerlukan ruangan yang terang dan hangat. Penlight dapat digunakan untuk menyinari lesi. Pasien dapat melepaskan seluruh pakaiannya dan diselimuti dengan benar. Sarung tangan harus selalu dipakai ketika melakukan pemeriksaan kulit. Tampilan umum kulit dikaji dengan mengamati warna, suhu, kelembaban, kekeringan, tekstur kulit (kasar atau halus), lesi, vaskularitas, mobilitas dan kondisi rambut serta kuku. Turgor kulit, edema yang mungkin terjadi dan elastisitas kulit harus dinilai dengan palpasi. Warna kulit bervariasi antara orang yang satu dengan lainnya, dan berkisar dari warna gading hingga cokelat gelap. Kulit bagian tubuh yang terbuka, khususnya dikawasan yang beriklim panas dan banyak cahaya matahari, cenderung lebih berpigmen daripada bagian tubuhlainnya. Efek vasodilatasi yang ditimbulkan oleh demam, sengatan matahari dan inflamasi akan menimbulkan bercak merah muda atau kemerahan pada kulit. Pucat merupakan keadaan tidak adanya atau berkurangnya tonus serta vaskularitas kulit yang normal dan paling jelas terlihat pada konjungtiva. Warna kebiruan pada sianosis menunjukkan hipoksia seluler dan mudah terlihat pada ekstrimitas, dasar kuku, bibir serta membrane mukosa. Ikterus, yaitu kulit yang menguning, berhubungan langsung dengan kenaikan kadar bilirubin serum dan acapkali terlihat pada sclera serta membrane mukosa.  Mengkaji pasien dengan kulit gelap Gradasi warna yang terjadi pada orang yang berkulit gelap terutama ditentukan oleh transmisi genetic; gradasi ini dapat dinyatakan sebagai warna yang cerah, sedang atau gelap. Pada orang yang berkulit gelap, melanin diproduksi dengan kecepatan yang lebih besar dan jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada orang yang kulitnya lebih cerah. Kulit yang gelap dan sehat memiliki dasar

38

kemerahan atau undertone. Mukosa pipi, lidah, bibir dan kuku dalam keadaan normal tampak merah muda. Dalam memeriksa pasien yang berkulit gelap, cahaya ruangan harus baik dan pemeriksaan dilakukan terhadap kulit serta dasar kuku disamping mulut. Semua daerah yang dicurigai harus dipalpasi. Derajat pigmentasi pada kulit pasien yang berwarna gelap dapat mempengaruhi penampakan suatu lesi. Lesi dapat berwarna hitam, uangu atau abu-abu dan bukannya berwarna merah atau cokelat kekuningan seperti yang terlihat pada pasien yang berkulit cerah. Eritema. Karena adanya kecenderungan pada kulit yang gelap untuk berwarna kelabu kebiruan ketika terdapat reaksi inflamasi, eritema (kemerahan pada kulit yang disebabkan oleh kongesti kapiler) mungkin sulit terdeteksi. Untuk menentukan inflamasi yang mungkin terdapat, kulit dipalpasi agar bertambahnya kehangatan atau kelicinan (edema) atau kekerasan pada kulit dapat diketahui. Kelenjar limfe disekitarnya juga harus dipalpasi. Ruam. Pada kasus-kasus pruritus (gatal-gatal), kepada pasien harus diminta untuk menunjukkan bagian tubuh yang terasa gatal. Kemudian kulit diregangkan dengan hati-hati untuk mengurangi tonus kemerahan dan membuat ruam tersebut menghilang. Perbedaan tekstur kulit dinilai dengan menggerakkan ujung-ujung jari tangan yang menyentuh secara ringan pada permukaan kulit. Biasanya bagian tepi ruam dapat diraba. Mulut dan telinga pasien harus turut diperiksa. (kadang-kadang rubeola atau campak akan menimbulkan ruam berwarna merah pada ujung telinga). Akhirnya, suhu pasien dinilai dan kelenjar limfe dipalpasi. Sianosis. Bila seorang pasien yang berkulit gelap mengalami syok, kulit biasanya berwarna kelabu. Untuk mendeteksi sianosis, daerah di sekitar mulut serta bibir dan daerah tulang pipi serta daun telinga harus diamati. Indicator lainnya adalah kulit yang basah dan dingin; denyut nadi yang cepat dan lembut; dan respi yang cepat serta dangkal. Ketika dilakukan pemeriksaan konjungtiva palpebra untuk menemukan petekie (bintik-bintik halus berwarna merah akibat keluarnya darah), 39

tanda ini tidak boleh dikelirukan dengan endapan melanin yang normal. Perubahan warna. Perubahan warna kulit pada orang yang berkulit gelap dapat diketahui dan biasanya menimbulkan distress pada pasiennya.

Sebagai

contoh,

hipopigmentasi

(kehilangan

atau

berkurangnya warna kulit) yang dapat disebabkan oleh vitilago (suatu keadaan yang ditandai oleh penghancuran melanosit padda daerah kulit yang terbatas atau luas) dapat menimbulkan keprihatinan yang lebih besar pada orang yang berkulit gelap karena lesi tersebut lebih mudah terlihat. Hiperpigmentasi (peningkatan warna) dapat timbul sesudah terjadi penyakit atau cedera pada kulit. Lapisan nasal berpigmen di bawah mata mungkin merupakan tanda eksternal alergi. Namun, guratan berpigmen pada kuku dianggap sebagai keadaan yang normal. Pada umumnya orang yang kerkulit gelap akan menderita kelainan kulit yang sama seperti orang yang berkulit cerah, kendati lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami penyakit kanker kulit dan scabies. Sebaliknya, orang yang berkulit gelap memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami pembentukan keloid atau jaringan parut dan kelainan yang mengakibatkan oklusi atau penyumbatan folikel 

rambut. Mengkaji lesi kulit Lesi kulit merupakan karakteristik yang paling menonjol pada kelainan dermatologic. Lesi pada kulit memiliki ukuran, bentuk serta penyebab yang beragam, dan diklasifikasikan menurut penampakan serta asalnya, Lesi kulit dapat diuraikan sebagai lesi primer atau sekunder. Lesi primer merupakan lesi inisial dan karakteristik penyakit itu sendiri. Lesi sekunder terjadi akibat sebab-sebab eksternal, seperti garukan, trauma, infeksi atau perubahan yang disebabkan oleh kesembuhan luka. Bergantung pada stadium perkembangannya, lesi kulit dapat dipilah lebih lanjut menurut tipe dan penampakannya. Pengkajian pendahuluan terhadap erupsi atau lesi harus membantu mengenali tipe dermatosis (keadaan kulit yang abnormal) dan

40

menunjukkan apakah lesi tersebut primer ataukah sekunder. Pada saat yang sama, distribusi anatomi erupsi harus dicatat karena beberapa penyakit tertentu cenderung mengenai lokasi tubuh tertentu dan tersebar dengan corak serta bentuk yang khas. Untuk menentukan luas distribusi regional, bagian sisi kiri dan kanan tubuh harus dibandingkan sementara warna dan bentuk lesi dicatat. Sesudah tekstur, bentuk serta tepinya, dan untuk melihat apakah lesi tersebut teraba lunak atau berisi cairan, atau teraba keras dan terfiksasi pada jaringan di sekitarnya. Sebuah penggaris dapat digunakan untuk mengukur besar lesi sehingga setiap pembesaran lebih lanjut dapat dibandingkan dengan ukuran awalnya. Keadaan dermatosis tersebut kemudian dicatat pada catatan kesehatan pasien; catatan ini harus dijelaskan secara rinci dengan terminology yang tepat. Sesudah distribusi lesi yang khas ditentukan, informasi berikut harus diperoleh dan dijelaskan secara rinci: - Bagaimana warna lesi tersebut? - Apakah terdapat kemerahan, panas, nyeri atau pembengkakan? - Berapa besar daerah kulit yang terkena? Dimana lokasinya? - Apakah erupsi tersebut berbentuk macula, papula, skuama, lesi



dengan eksudasi, diskrit atau konfluen? - Bagaimana distribusi lesi simetris, linier, sirkuler? Mengkaji vaskularitas dan hidrasi Setelah warna kulit diinspeksi dan keadaan lesi dicatat, pengkajian terhadap perubahan vaskuler pada kulit harus dilakukan. Uraian tentang perubahan vaskuler mencakup lokasi, distribusi, warna, ukuran dan adanya pulsasi. Perubahan vaskuler yang lazim ditemukan adalah petekie, ekimosis, telangiektasis, angioma dan venous stars. Kelembaban kulit, suhu dan tekstur kulit dinilai terutama dengan cara palpasi. Elastisitas (turgor) kulit yang menurunpada proses penuaan yang normal dapat menjadi salah satu factor untuk menilai



status hidrasi seorang pasien. Mengkaji kuku dan rambut Kuku. Inspeksi siingkat pada kuku mencakup observasi untuk melihat konfigurasi, warna dan konsistensi. Banyak perubahan pada 41

kuku atau dasar kuku (nailbed) yang mencerminkan kelainan local atau sistemik yang sedang berlangsung atau yang terjadi akibat peristiwa di masa lalu. Alur transversal yang dinamakan garis-garis Beau pada kuku dapat mencerminkan retardasi pertumbuhan matriks kuku yang terjadi sekunder akibat sakit yang berat atau yang lebih sering lagi akibat trauma local. Penonjolan, hipertrofi dan berbagai perubahan lainnya dapat pula terjadi pada trauma local. Paronikia, suatu inflamasi kulit disekitar kuku, biasanya akan disertai gejala nyeri tekan dan eritema. Sudut antaraa kuku yang normal dan pangkalnya (basis unguium) adalah 160 derajat. Ketika dipalpasi, pangkal kuku biasanya teraba keras. Clubbing (jari tabuh) terlihat sebagai pelurusan sudut yang normal (menjadi 180 derajat atau lebih) dan pelunakan pada pangkal kuku. Pelunakan ini akan terasa seperti sponts ketika dipalpasi. Rambut. Pengkajian rambut dilaksanakan dengan cara inspeksi dan palpasi. Sarung tangan harus dikenakan dan ruang pemeriksaan harus memiliki penerangan yang baik. Sibak rambut pasien agar kondisi kulit yang ada di baliknya dapat dilihat dengan mudah; kemudian perawat harus mencatat warna, tekstur serta distribusinya. Setiap lesi yang abnormal, gejala gatal-gatal, inflamasi atau tandatanda infestasi parasit (tuma atau kutu) harus dicatat. Warna dan tekstur. Warna rambut yang alami berkisar dari putih hingga hitam. Warna rambut mulai berubah menjadi kelabu (beruban) ketika seseorang menjadi tua, dan perubahan ini pertama kali terlihat dalam decade usia ketiga ketika hilangnya melanin mulai terjadi. Walaupun demikian, rambut orang muda tidak jarang sudah beruban karena sifat herediter keluarga. Orang dengan albinisme (tidak adanya pigmentasi yang parsial atau total) mempunyai predisposisi genetic untuk terjadinya uban seejak lahir. Kondisi alami rambut dapat berubah dengan penggunaan pewarna rambut, pemutih dan produk untuk mengeritingkan atau meluruskan rambut. Tipe-tipe produk yang digunakan harus diketahui dalam pengkajian.

42

Tekstur rambut kulit kepala berkisar dari halus hingga tebal; ulet hingga mudah patah; berminyak hingga kering; dan lurus, berombak atau keriting. Rambut yang keriting dan mudah patah dapat terjadi akibat penggunaan pewarna rambut yang berlebihan, pengering rambut dan alatpengering atau akibat gangguan fungsi tiroid. Rambut berminyak biasanya disebabkan oleh peningkatan sekresi kelenjar sebasea didekat kulit kepala (Grimes & Burns dalam [ CITATION Sme014 \l 1033 ]). Jika tekstur rambut menunjukkan perubahan yang baru saja terjadi, etiologi yang mendasarinya harus dicari. Perubahan tersebut dapat terjadi hanya karena pemakaian produk rambut komersial yang berlebihan atau penggantian shampoo. Distribusi. Distribusi rambut tubuh bervariasi menurut lokasinya. Rambut yang tumbuh diseluruh badan memiliki tekstur yang halus kecuali rambut didaerah aksila dan pubis yang kasar serta tumbuh pada usia pubertas. Distribusi rambut pada laki-laki memiliki bentuk wajik yang meluas sampai daerah umbilicus. Rambut pubis wanita menyerupai bentuk segitiga terbalik. Jika pola distribusi yang ditemukan tampak lebih khas dari jenis kelamin yang berlawanan, penyelidikan lebih lanjut harus dilakukan karena hal ini mungkin menunjukkan masalah endokrin. Perbedaan rambut karena factor rasras diperkirakan terdapat, seperti rambut yang lurus pada orang Asia dan rambut yang kasar serta keriting pada orang Afro-Amerika. Laki-laki cenderung memiliki rambut pada wajah dan badan yang lebih banyak ketimbang wanita. Kerontokan rambut, alopesia, dapat terjadi diseluruh tubuh atau terbatas pada suatu daerah tertentu. Kerontokan rambut kepala dapatterlokalisasi pada daerah tertentu atau dapat berkisar mulai dari penipisan rambut yang menyeluruh hingga kebotakan total. Ketika menilai kerontokan rambut kepala, kita harus menyelidiki penyebab yang mendasari bersama pasien. Kerontokan rambut yang terlokalisasi (patchy loss) dapat terjadi akibat kebiasaan “mencabut

rambut”

atau

traksi

yang

berlebihan

pada

rambut;pemakaian bahan pewarna, pelurus atau minyak rambut yang 43

berlebihan; pemakaian preparat kemoterapi (doksorubisin atau siklofosfamid0; infeksi jamur; atau penyakit kanker atau mola pada kulit kepala. Pertumbuhan rambut kembali dapat abnormal dan distribusinya tidak pernah mencapai ketebalan seperti semula. Kerontokan rambut. Penyebab kerontokan rambut yang paling sering adalah kebotakan tipe pria yang mengenai lebih dari separuh populasi laki-laki dan diyakini ada kaitannya dengan hereditas, penuaan serta kadar hormone androgen (hormone laki-laki). Androgen diperlukan untuk terjadinya kebotakan pola pria. Pola kerontokan rambut tersebut dimula dengan surutnya garis rambut di daerah frototemporal dan kemudian berlanjut dengan penipisan gradual serta kehilangan total rambut pada puncak kepala. Perubahan lainnya. Distribusi rambut pola pria yang dinamakan hirsutisme (peningkatan rambut tubuh) dapat terlihat pada sebagian wanita pada sebagian wanita pada saat menopause ketika hormone estrogen tidak lagi diproduksi oleh ovarium. Pada wanita yang mengalami hirsutisme, rambut yang berlebihan dpat tumbuh di daerh wajah, dada, bahu dan pubis. Kalau menopause sudah disingkirkan sebagai etiologi yang mendasarinya, kelainan hormonal yang 

berhubungan dengan disfungsi hipofise atau adrenal harus dicari. Pengkajian terhadap masalah psikososial Karena pasien kelainan kulit (1 di antara 20 penderita) dapat melihat dan merasakan masalah, mereka lebih cenderung untuk terganggu oleh penyakitnya ketimbang penderita gangguan lain. Kelainan kulit dapat menimbulkan masalah kosmetik, isolasi social, kehilangan pekerjaan dan persoalan ekonomi. Beberapa kelainan kulit dapat membuat pasiennya menderita sakit yang berkepanjangan sehingga timbul perasaan depresi, frustasi, kesadaran diri dan penolakan. Gatal-gatal serta iritasi kulit juga dapat terus mengganggu dan sering dijumpai pada sebagian besar penyakit kulit. Konsekuensi dari gangguan rasa nyaman ini dapat berupa gangguan tidur, ansietas dan depresi yang keseluruhannya akan meningkatkan distress serta keletihan yang sering menyertai kelainan 44

kulit. Di samping itu, penyakit kulit kerap kali menimbulkan keprihatinan yang berhubungan dengan citra-diri dan berhubungan interpersonal. Bagi pasien-pasien yang menderita ketidaknyamanan fisik dan psikologis semacam ini, perawat harus memperlihatkan pengertiannya, menjelaskan masalah dan memberikan instrusi yang tepat yang berkenaan dengan pengobatan, dukungan keperawatan, kesabaran serta dorongan semangat yang kontinu. Diperlukan waktu untuk membantu pasien mendapatkan wawasan terhadap masalahnya dan mengatasi kesulitannya. Karena itu, mengatasi timbulnya keengganan yang mungkin terasa ketika merawat penderita kelainan kulit yang tidak atraktif tersebut merupakan hal yang mengesankan. Perawat tidak boleh memberikan kesan ragu-ragu ketika melakukan pendekatan pada penderita kelainan kulit. Perilaku semacam ini hanya akan menambah trauma psikologik dri kelainan tersebut. [ CITATION Sme014 \l 1033 ] 3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan Penunjang pada kulit menurut [ CITATION Sme13 \l 1033 ], yaitu: 1) Biopsi Kulit Biops kulit yang bertujuuan untuk mendapatkan jaringan bagi pemeriksa mikroskopik dilakukan lewat eksesi dengan scalpel atau penusukan dengan alat khusus (skin punch) yang akan mengambil sedikit bagian tengah jaringan. Biposi dilakukan terhadap nodul kulit yang asalnya tidak jelas untuk menyingkirkan kemungkinan malignitas dan terhadap plak dengan bentuk serta warna yang tak lazim; biopsi kulit dilakukan untuk memastikan diagnosis yang tepat pada pembentukan lepuh dan kulit lainnya. 2) Imunofluoresensi (IF) Untuk mengidentifikasi lokasi suatu reaksi imun, pemeriksaan IF mengkombinasikan antigen atau antibody dengan zat warna fluorokrom (antibody dapat dibuat berpedar dengan meningkatnya pada zat warna). Tes IF pada kulit (direct IF test) merpakan teknik pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi terhadap bagian45

bagian kulit. Indirect IF test mendeteksi antibody yang spesifik dalam serum pasien. 3) Patch Test Pacth test yang dilakukan untuk mengenali substansi yang menimbulkan alergi pada pasien, meliputi aplikasi alergi yang dicurigai pada kulit normal dibawah plester khusus (occlusive patches).jika terjadi dermatitis, gejala kemerahan, tonjolan halus atau gatal-gatal dianggap sebagai reaksi positif lemah. Blister yang halus, papula dan gatal-gatal yang hebat menunjukkan reaksi positif sedang, sementara blister (bullae), nyeri serta ulserasi menunjukkan reaksi positif kuat. 4) Pengerokan Kulit Sempel jaringan dikerok dari lokasi jamuryang dicurigai. Pengerokan ini dilakukan dengan mata pisaua skapel yang sudha dibasahi dengan minyak sehingga jaringan kulit yang dikerok melekat pada mata pisau tersebut. Bahan hasil kerokan dipindahkan ke slide kaca, tutup dengan kaca objek dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop. 5) Pemeriksaan Apus Tzanck Tes ini dilakukan untuk memeriksa sel-sel dari kulit yang mengalami pelepuhan, seperti herpes zoster, varisela, herpes simpleks dan semua bentuk pemfigus. Secret dari lesi yang dicurigai dioleskan pada slide kaca, diwarnai dan diperiksa. 6) Pemeriksaan Cahaya Wood Tes ini bergantung pada lampu khusus untu memproduksi cahaya ultraviolet gelombang panjang (black light) yang akan menghasilkan sinar perpendar berwarna ungu gelap yang khas. Warna sinar perpedar ini terlihat paling jelas pada kamar gelap dan digunakan untuk membedakan lesi epidermis dengan lesi dermis dan lesi hipopigmentasi serta hiperpigmentasi dengan kulit yang normal. Kepada pasien harus dijelaskan bahwwa cahaya tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan kulit ataupun mata. 7) Pembuatan Foto Klinis

46

Foto klinis dibuat memperlihatkan sifat serta luasnya kelainan kulit, dan digunakan untuk menentukan progresivitas atau perbaikan setelah dilakukan terapi. b. Pemeriksaan laboratorium 1) Pemeriksaan bakteriologi dilakukan pada penyakit infeksi kulit karena bakteri 2) Pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosis.

BAB II

ANALISIS KASUS

Penderita IWT, laki-laki 4 tahun 11 bulan, Sanur, Denpasar. Pada tanggal 14 Maret 2010 pukul 21.30 wita datang di IRD RSUP Sanglah diantar oleh pamannya dengan keluhan keluar darah dan nanah dari telinga kanan, sedangkan dari telinga kiri hanya keluar nanah saja. Kedua telinga dirasakan gatal dan seperti ada yang bergerak-gerak sehingga penderita sempat mengorek telinganya dengan cotton bud. Dari kedua telinga penderita keluar bau busuk. Keluhan sakit kepala yang hebat tidak ada. Sebelum datang di IRD penderita sempat berobat di dokter umum

dan kemudian disarankan berobat ke dokter spesialis THT-KL. Penderita mengalami keluar cairan dari telinga kanan dan kiri sejak usia 1 tahun dan sudah dibawa berobat 2 kali ke dokter umum, akan tetapi keluhan keluar cairan tetap berulang. Penderita juga pilek dan batuk saat datang di IRD, tidak disertai dengan panas badan. Saat ini kedua orangtua penderita mengalami gangguan jiwa, sehingga penderita tidak mendapat perhatian dan perawatan dari orangtuanya. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, berat

47

badan 18 kg, nadi 90 x/menit, respirasi 26 x/menit, suhu aksila 36,6 0C. Status lokalis THT-KL, pada pemeriksaan telinga didapatkan adanya larva yang masih hidup pada kanalis akustikus eksternus kanan dan kiri, tampak sekret mukopurulen pada kedua telinga, sedangkan pada telinga kanan tampak sekret mukopurulen bercampur dengan darah. Membran timpani belum bisa dievaluasi. Regio mastoid tidak tampak tanda-tanda radang. Pemeriksaan hidung tampak mukosa hiperemi dengan

sekret mukoid, tidak tampak larva pada kavum nasi. Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan mukosa faring hiperemi, tonsil T2/T2 hiperemi, detritus tidak tampak, serta terdapat kripte yang melebar. Penderita didiagnosis dengan otomyiasis bilateral + otitis media supuratif kronis bilateral + rinotonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut. Kemudian dilakukan ekstraksi larva dengan alligator forcep, diirigasi dengan NaCl 0,9% dan bantuan suction. Dari telinga kanan berhasil dikeluarkan sebanyak 5 larva sedangkan dari telinga kiri sebanyak 3 larva. Setelah itu dilanjutkan dengan toilet telinga sampai benar-benar bersih sehingga membran timpani bisa dievaluasi secara maksimal. Tampak membrane timpani kanan dan kiri mengalami perforasi subtotal serta tampak sekret keluar dari lubang perforasi. Dengan pemeriksaan otoskopi tidak tampak adanya larva dalam kavum timpani. Selanjutnya penderita diberikan obat ofloksasin tetes

telinga 2 x 3 tetes, co-amoksiklav sirup forte 3 x ¾ sendok takar, parasetamol sirup forte ¾ sendok takar kalau perlu, pseudoefedrin / triprolidin HCl / ambroksol 3 x 1 pulv. Pasien disarankan control ke poliklinik THT-KL. Larva yang didapat dimasukkan ke dalam botol, difiksasi dengan alcohol 70% selanjutnya dikirim ke bagian parasitologi

Pengkajian Fisik pada Klien dengan Masalah Otitis Media Supuratif Akut A. Pengkajian 1. Biodata a. Identitas Klien

48

Nama : An. S Umur : 4 tahun 11 bulan Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Sanur, Denpasar Agama : Islam Suku Bangsa : Melayu Pendidikan : Pekerjaan : No. CM : Tanggal Masuk RS : 14 Maret 2010 pukul 21.30 wita Diagnosa Medis : bilateral + otitis media supuratif kronis bilateral + rinotonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut b.

Identitas Penanggung Jawab Nama : Tn. S Umur : 40 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Alamat : Sanur, Denpasar Agama : Islam Suku Bangsa : Melayu Hubungan Dgn Klien : Paman pasien 2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama : pasien mengeluh keluar darah dan nanah dari telinga kanan, sedangkan dari telinga kiri hanya keluar nanah saja. Kedua telinga dirasakan gatal dan seperti ada yang bergerak-gerak sehingga penderita sempat mengorek telinganya dengan cotton bud. Dari kedua telinga penderita keluar bau busuk. b. Riwayat Kesehatan Sekarang : pasien mengeluh keluar darah dan nanah dari telinga kanan, sedangkan dari telinga kiri hanya keluar nanah saja. Penderita juga pilek dan batuk saat datang di IRD, tidak disertai dengan panas badan. c. Riwayat Kesehatan Dahulu : Penderita mengalami keluar cairan dari telinga kanan dan kiri sejak usia 1 tahun dan sudah dibawa berobat 2 kali ke dokter umum, akan tetapi keluhan keluar cairan tetap berulang. d. Riwayat Kesehatan Keluarga : Kedua orang tua mengalami gangguan jiwa e. Riwayat Kesehatan Lingkungan : f. Genogram 3. Pemeriksaan Fisik

49

a. Keadaan Umum Keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis. b. Tanda-tanda vital Berat badan 18 kg, nadi 90 x/menit, respirasi 26 x/menit, suhu aksila 36,60C. c. Pemeriksaan Head to Toe  Telinga Adanya larva yang masih hidup pada kanalis akustikus eksternus kanan dan kiri, tampak sekret mukopurulen pada kedua telinga, sedangkan pada telinga kanan tampak sekret mukopurulen bercampur dengan darah. Membran timpani belum bisa dievaluasi. Regio mastoid tidak tampak tanda-tanda radang. d. Pemeriksaan Penunjang Kemudian dilakukan ekstraksi larva dengan alligator forcep, diirigasi dengan NaCl 0,9% dan bantuan suction. Dari telinga kanan berhasil dikeluarkan sebanyak 5 larva sedangkan dari telinga kiri sebanyak 3 larva. Setelah itu dilanjutkan dengan toilet telinga sampai benar-benar bersih sehingga membran timpani bisa dievaluasi secara maksimal. Tampak membrane timpani kanan dan kiri mengalami perforasi subtotal serta tampak sekret keluar dari lubang perforasi. Dengan pemeriksaan otoskopi tidak tampak adanya larva dalam kavum timpani. Larva yang didapat dimasukkan ke dalam botol, difiksasi dengan alcohol 70% selanjutnya dikirim ke bagian parasitologi e. Pengobatan Selanjutnya penderita diberikan obat ofloksasin tetes telinga 2 x 3 tetes, co-amoksiklav sirup forte 3 x ¾ sendok takar, parasetamol sirup forte ¾ sendok takar kalau perlu, pseudoefedrin / triprolidin HCl / ambroksol 3 x 1 pulv. Pasien disarankan control ke poliklinik THT-KL.

50

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan Pengkajian fisik yang dapat kita lakukan pada system sensori persepsi berupa 4 indra yaitu mata, hidung, telinga dan lidah. Pengkajian bertujuan untuk memeriksa keempat indra pasien dan untuk mengetahui apakah ada kelainan pada keempat indra. Mata : penglihatan, penggunaan kaca mata atau lensa kontak, pemeriksaan terakhir, rasa nyeri, kemerahan, air mata berlebihan, penglihatan ganda, penglihatan kabur, bintik, bayangan seperti noda kecil, silau, glaucoma, katarak. Pendengaran : kemampuan pendengaran, tinitus, vertigo, sakit telinga, infeksi, rabas. Jika kemampuan pendengaran berkurang, apakah klien menggunakan alat bantu dengar atau tidak. Hidung dan sinus :kemampuan penciuman, sering flu, hidung tersumbat, rabas hidung atau gatal-gatal, hay fever, perdarahan hidung, masalah hidung. Mulut : kemampuan pengecapan, keadaan gigi dan gusi, nyeri pada lidah, mulut kering.

B. Saran Saran penulis yaitu agar perawat dapat menerapkan pengkajian pada sistem sensori persepsi secara baik dan benar serta marilah kita belajar dengan sungguh-sungguh agar kita dapat menjadi perawat yang professional.

51

DAFTAR PUSTAKA

Bickley, L. S. (2008). Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan Bates Edisi 5. Jakarta: EGC. Gleadle, J. (2006). At A Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga. Hetharia, Rospa, Sri, Mulyani. (2011). Asuhan Keperawatan Telinga Hidung Tenggorokan. Jakarta: CV.Trans Info Media. Hidayati, M. N. (2013). ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA Tn. S DENGAN MASALAH ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA Tn. S DENGAN MASALAH BRONTOWIRYAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KARTASURA. NASKAH PUBLIKASI , 1-15. Ignatavicius, Donna D. dan M. Linda Workman. (2013). Medical-Surgical Nursing, 7th edition. Missouri: Elsevier Saunders. James, B. C. (2006 ). Lecture Motes Oftalmologi Edisi Kesembilan. Jakarta: Erlangga. McGlynn, B. &. (1995). ADAMS Diagnosis Fisik Edisi 17. Jakarta : EGC. Muttaqin, Arif. (2011). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik. Jakarta: Salemba Medika. Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner& Suddarth. Jakarta: EGC. Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC.

52

W, Suwandara, Sudipta M, Eka Putra Setiawan. (2012). Otomyiasis Bilateral pada Anak dengan Otitis Media Supuratif Kronik. Medicina Volume 43 Nomor 2 : 127-130

53

More Documents from "Rambuema"