Sistem Pemerintahan Indonesia.docx

  • Uploaded by: Aldino Pratama
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sistem Pemerintahan Indonesia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,768
  • Pages: 13
Pengertian Sistem Politik Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara Sistem Politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng Pengertian Sistem Politik di Indonesia Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya. Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara (termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusankeputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya citacita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah merupakan infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat Setiap sistem politik memiliki kekuatan dan kelemahan, hal ini terjadi dikarenakan sistem politik itu memiliki bagian-bagian yang membentuk sistem, seperti bagian yang inheren dalam

sifat manusia, bagian mencerminkan sifat dan tradisi masyarakat, bagian bersifat struktural, bagian bersifat kontemporer dan minor, bagian merupakan harga kemajuan karena prestasi lembagalembaga dan praktek-praktek lama, bagian sebagai konsekuensi dari keengganan merevisi prosedur-prosedur yang masih lemah, dan bagai hasil dari perkembangan di luar batas masyarakat (Byrnes, 1984). Setiap sistem politik pasti harus menyesuaikan diri dengan masalah-masalah yang sering menonjol, yang berubah dalam masyarakatnya sendiri dan di seluruh dunia yang diciptakannya. Memang beberapa fakta negara dan sistem sosial belum tanggap mengendalikan munculnya berbagai kekuatan baru dengan memperkenalkan perubahan sedangkan yang lainnya dengan susah payah dan sukses melestarikan sistem politiknya dari waktu ke waktu (Byrnes, 1984). Secara riil politik, perkembangan sistem politik di Indonesia mengalami 3 (tiga) masa periode , yaitu masa orde lama, orde baru dan orde reformasi. Ketiga sebenamya penyumbang dan saling melengkapi perkembangan sistem politik di dari masa ke masa. Di mana kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam sistem politik orde lama di perbaiki dan disempurnakan dalam sistem politik orde baru. Kemudian kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam sistem politik orde baru diperbaiki dan disempurnakan dalam sistem politik orde reformasi. Adapun perkembangan antar sistem politik Indonesia dari masa ke masa, sebagai berikut, yaitu: Masa Orde Lama Awalnya sistem politik dibangun dalam rangka mengisi kekosongan kekuasaan dalam kehidupan politik negara dan kehidupan masyarakat sebagai konsekuensi dari negaruyang merdeka dari penguasa penjajahan. Proses pembangunan bangsa Indonesia ini pada masa sistem politik orde lama menimbulkan berbagai gejolak-gejolak dalam tubuh penyelenggaraan negara sehingga terjadi 2 kali perubahan tatanan sistem politik dengan istilah sebutan sistem politik demokrasi liberal parlementer dan sistem politik demokrasi terpimpin. Namun kecenderungan persamaannya dalam kedua sistem politik demokrasi liberal parlementer dan sistem politik demokrasi terpimpin pada masa orde lama ini menunjukkan kekuasaan dominan pada presiden selaku kepala negara dan penguasa lembaga eksekutif. Sistem politik masa orde lama sama sekali tidak sesuai dengan amanat konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945, hal ini terjadi dikarenakan

kondisi saat itu Negara Indonesia yang baru merdeka dan kondisi dalam tahapan sedang akan membangun politik kelembagaannegara dan pembangunan bangsa (nation building). Sekitar tahun 1945 sampai 1949 sistem politik berjalan dengan kelembagaannegara yang tidak lengkap dan tidak berfungsi, yang secara otomatis berimbas pada lebih banyak peran lembaga eksekutif melalui adanya otoritas dominan presiden dan koalisi partai-partai politik dalam komite nasional Indonesia pusat (KNIP). Secara detilnya, pada waktu itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden, kekuasaan legislatif dipegang oleh KNIP (komite nasional Indonesia pusat) dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh MA. Apabila dilihat dari format kelembagaan negara yang ada maka secara formal memang terlihatpemisahankekuasaan (separationpower) antar kelembagaan negara yang ada, tetapi secara substansi pemisahan kekuasaan (separation of power) ini tidak optimal berjalan dan cenderung pada pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal ini dikarenakan belum adanya mekanisme tata aturan kerja yang signifikan dan belum adanyaperangkat-perangkat pendukun antar ketiga lembaga ini, seperti tiadanya kekuasaan legislatif. Pada segi politik, menunjukkan fenomena politik banyak diwarnai koalisi partaipartai politik terjadi dalam tubuh kabinet, yang terdiri dari partai politik hasil kolaborasi kelompokkelompok di masyarakat yang berbeda spektrum ideologi, seperti PNI, Masyumi, PSI, PSII, PRN, PIR, Parindra, PKI, Partai Buruh, BTI, PBI, Parkindo, dan PKRI. Ternyata koalisi partai politik dan perbedaan jarak ideologi yang tajam antar partai politik maka menyebabkan kegoncangan dalam kabinet-kabinet, sehingga kabinet ini berjalan tidak stabil, di mana tercatat pada kurun masa itu terjadi 9 (sembilan) kali penggantian kabinet, yang mana umur masing-masing kabinet antara minggu-an dan bulan-an. Kemudian baru sekitar tahun 1950-an, dengan diberlakukan UUDS 1950, terjadi perubahan tatanan sistem politik melalui penetapan kelembagaan negara yang baru, yaitu kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen (DPR), Kekuasaan eksekutif dipegang oleh perdana menteri beserta kabinet, kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung. Tambahan lembaga negara lainnya, yaitu Dewan Pengawas Keuangan dan Badan Konstituante. Sebagai mekanisme pelengkap dalam sistem politik demokrasi parlementer diselengsarakanlah pemilihan umum dengan menggunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar pada tahun 1955 yang diikuti sekitar 52 partai politik. Pemilihan umum tahun 1955 ini dilakukan sebagai sarana legitimasi

penguasa negara dan pengisian jabatan-jabatan politik pada lembaga legislatif. Alhasil ternyata pemilihan umum 1955 tidak menghasilkan partai politik yang mayoritas diparlemen dan apalagi terjadinya perbedaan ideologi yang tajam antar partai politik yang berimbas pada kestabilan jalannya pemeritahan. Kabinet dan pemerintahan juga mengalami kegoncangan konflik kepentingan antar partai politik, seperti masa tahun 1915-1949. Pada tahun 1959 sistem demokrasi parlementer diganti dengan sistem politik demokrasi terpimpin, maka sejak saat itu dimulailah babak baru sistem politik demokrasi terpimpin sebagai realisasi pengganti sistem politik demokrasi parlementer. Secara teoritis sistem politik demokrasi terpimpin berdasarkan pada mekanisme aruran yang terdapat pada konstitusi UUD 1945,yaitu diberlakukannya lembaga-lembaga negara, seperti MPRS, DPR, MA dll. Tetapi secara praktek perjalanan sistem politik demokrasi terpimpin tidak konstitusional dikarenakan kekuasaan presiden yang sangat kuat dan absolut di seluruh lembaga-lembaga negara ini. Presiden pada waktu itu memegang seluruh kekuaaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pemusatan seluruh kekuasaan lembaga negaru di tangan presiden akhimya tidak melahirkan pembagian kekuasaan antar lembaga-lembaga negara, hal ini ditambah lagi tidak adany a mekanisme proses penyelengg araan pemilihan umum. Sehingga fenomena-fenomena politik di atas menyebabkan sistem politik demokrasi terpimpin menimbulkan respon yang tidak kondusif di kelompok-kelompok masyarakat, melalui munculnya beberapa demonstrasi dan kekac auan y ang menginginkan penggantian presiden, sehingga sampai akhirnya sistem politik demokrasi terpimpin juga mengalami keambrukan dan kehancuran. Kehancuran dan keambrukan sistem politik demokrasi terpimpin diwarnai proses penggantian presiden dan peristiwa G 30 S PKI. Sejak saat itu dimulailah babak masa baru sistem politik yang dikenal dengan masa orde baru. Masa Orde Baru Memasuki masa orde baru, oleh para ahli politik dan penguasa waktu itu istilah sistem politik demokrasi terpimpin diubah menjadi sebutan sistem politik demokrasi Pancasila. Istilah Pancasila digunakan sebagai sumber segala sumber hukum dan menjadi landasan idiil kehidupan politik negara sedangkan landasan formilnya adalah UUD 1945. Sistem demokrasi pancasila membagi secara sederhana lapangan politik kenegaraan ke dalam istilah infrastruktur politik dan suprastruktur politik negara. Infrastruktur politik negara terdiri dari partai-partai politik dan

organisasi masyarakat sedangkan suprastruktur politik negara terdiri dari lembaga tertinggi negara, yaitu MPR dan lembaga tinggi negara, yaitu DPR, Presiden, DPA, BPK dan MA. Pada sistem demokrasi pancasila dalam pengisian jabatan politik di lembaga legislatif menggunakan mekanisme pemilihan umum, di mana proses pemilihan umum diadakan untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif, yang selanjutnya para anggota legislatif memilih presiden. Pemilihan umum sepanjang masa orde baru menggunakan mekanisme sistem proporsional yang dikaitkan dengan stelsel daftar. Sistem politik demokrasi pancasila ini juga mampu menstabilkan pemerintahan melalui berbagai strategi kebijakan, seperti strategi fusi partai politik, penerapan asas tunggal Pancasila dan rekayasa politik di dalam komposisi lembaga legislatif sehingga banyak program-program pembangunan dari pemerintahan dapat terwujud dan terlaksana. Strategi fusi partai politik dilakukan sekitar tahun 1973, melalui kebijakan yang dibuat presiden dengan menyederhanakan 10 (sepuluh) partai politik menjadi 3 (tiga) partai politik. Penerapan asas tunggal Pancasila dimaksudkan dengan keharus an partai politik yang ada untuk menggunakan 1 asas tunggal, yaitu Pancasila, sedangkan rekayasa politik di lembagaan legislatif dilakukan melalui politik standar ganda, dimana sebagian anggota lembaga legislatif dipilih melalui mekanisme pemilihan umum dan sebagian lagi melalui mekanisme pengangkatan oleh presiden. Strategi-strategi kebijakan politik di atas, ternyata lama kelamaan, tepatnya terakhir di usia ke 30 tahun menyebabkan sistem politik demokrasi Pancasila mengalami kemunduran dan keruntuhan, dikarenakan terjadi perkembangan kondisi masyarakat domestik dan masyarakat internasional, yang menunjukkan ketidakpuasan dan cenderung mendesak perubahan aspek kehidupan dengan slogan istilah reformasi. Ternyata akumulasi problem pembusukan politik sangat fatal terjadi melalui pengaturan fusi partai politik dan penerapan asa tunggal Pancasila serta rekayasa politik dalam kelembagaan legislatif dengan mekanisme pengangkatan dan pemilihan anggotanya, ditambah lagi dengan rekayasa hasil pemilu melalui birokrasi menjadi mesin politik bagi pemenangan partai politik tertentu. Alhasil kesemuaan rekayasa politik ini memunculkan dominasi kekuasaan presiden yang mutlak (absolute) dan tanpa batas, yang berimbas pada terjadinya ketidakseimbangan mekanisme kekuasaan yang berjalan. Kekuasaan eksekutif (presiden) menjadi besar/ kuat, yang otomatis menjadikan presiden sebagai aktor utama segala keputusan politik kenegaraan. Kevokalan politisi

dan tuntutan demontrasi dibungkam melalui istilah recolling partai politik dan adanya keterlibatan militer yang sangat kuat dengan pendekatan keamanan semakin menggelembungkan tuntutan aspirasi masyarakat tersebut. Sekitar tahun 1998, gelembung aspirasi masyarakattersebutmeledak denganramainya bermunculan gerakan demontrasi oleh mahasiswa di berbagai daerah yang menuntut untuk penggantian presiden dan tatanan politik orde baru. Tahun 1999 sampai seterusnya merupakan simbol diubahnya sistem demokrasi Pancasila masa orde baru dengan istilah sistem politik reformasi. Kegagalan Sepanjang sejarah di Indonesia sejak kemerdekaannya tahun 1945 sampai sekarang mengalami kegagalan sistem politik sebanyak 2 kali masa, yaitu masa orde lama dan masa orde baru, dan mengalami perubahan sistem politik sebanyak 3 kali masa, yaitu masa orde lama, masa orde baru dan masa orde reformasi. Kegagalan sistem politik pada masa orde lama dan masa orde baru terjadi dikarenakan ketidakseimbangan proses kekuasaan dalam lembaga legislatif, eksekutif dan lembaga yudikatif, sehingga out put yang dihasilkan sebuah sistem politik tanpamengakar aspiratif masyarakat, tanpa kendali dan tidak ada check and balance. Pada masa orde lama yang dikarenakan kondisi yang masih awal kemerdekaan yang menunjukkan ketidakstabilan dibeberapa daerah dan gonjang-ganjing parlemen saat itu, menyebabkan presiden Soekarno melakukan pemusatan kekuasaan pada satu orang (presiden), yang secara otomatis berimbas pada matinya kekuasaan pada lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Matinya atau tidak berfungsinya lembaga legislatif dan lembaga yudikatif menyebabkan kekuasaan presiden dan orang sekelilingnya menjadi tidak terkendali sehingga sepertinya politik kenegaraan akomodasi dari perasaan like and dislike seorang presiden. Hal ini lama-kelamaan berdampak pada 2 sisi kehidupan politik kenegaraan, yaitu satu sisi politik kenegaraan pada waktu itu hanya melambangkan kemegahan seorang presiden dan Sisi lainnya kesejahteraan masyarakat yang tidak mengalami peningkatan dan perekonomian negara yang dibawah standar. Puncak kegagalan sistem politik masa orde lama ditunjukkan melalui adanya persaingan ideologis komunis dan Pancasila di antara elit-elit politik yang menguasai kelembagaan pemerintahan saat itu, yang merembes ke gerakan-gerakan pemuda dan mahasiswa.

Sementara pada masa orde baru lebih dikarenakan kemampuan rekayasa politik rczim yang berkuasa dalam memelintir hukum dan politik kenegaraan. Rekayasa politik tersebut banyak terjadi pada proses pemilihan umum dan kelembagaan legislatif. Pada proses pemilihan umum terlihat keberadaan birokrasi yang dijadikan mesin politik mulai dari proses pemenangan sebuah partai politik sampai menjadi wasit yang tidak adil dalam proses penyelenggaraan pemilu. Sementara di Lembaga legislatif (MPR dan DPR) dijadikan wadah pengesah kebijakan eksekutif tanpa dapat melakukan fungsifungsi pengawasan dan hak interpelasi dll. Lembaga legislatif direkayasa sedemikian rupa sehingga hanya menjadi sebuah lembaga yang mandul kekuasaan. Puncak kegagalan sistem politik masa orde baru ditunjukkan melalui adanya persaingan ide-ide demokrasi di antara elit-elit politik yang menguasai kelembagaan pemerintahan dan kelembagaanpartai politik serta keiembagaan pendidikan (universitas) saat itu, yang lama kelamaan merembes ke gerakan-gerakan mahasiswa. Apabila ke gagalan dua masa sistem politik ini dihubungkan dengan teori sistem politik maka dapat disimpulkan keberlangsungan sebuah sistem poiitik sangat tergantung adanya interaksi terbuka antara input, konversi, output dan umpan ba1ik apabila mekanisme arus interaksi politik ini tidak terjadi maka dapat diprediksi kelangsungan sistem politik tidak bertahan lama. Peristiwa-peristiwa berupa tuntutan dan dukungan ) yang mendorong ke arah pembangunan politik berasal dari lingkungan internasional, dan masryarakat domestik, atau dari elit-elit politik dalam sistem politik itu sendiri. Suatu sistem politik negara dapat merasa terancam oleh negara bangsa yang menjadi saingan. Dalam hal ini menghadapi tantangan tersebut ternyata dibutuhkan lebih banyak sumber daya dan cara-cara yang lebih efektif dalam mengorganisir dan mengerahkan sumber-sumber dayanya - angkatan bersenjata regular, misalnya, atau dinas pegawai yang bertugas memungut pajak. Mungkin harus dilakukan adaptasi diri secara struktural, yaitu mengembangkan perananperanan baru, bila ingin tetap hidup. Bila ancaman internasional berlanjut dalam masa yang panjang, sistem itu harus mengadaptasi dirinya secara budaya, menanamkan sikap-sikap militan dan mendapatkan keterampilan dan nilai-nilai yang berhubungan dengan perang (Almond & Powel dalam Siregar, L999).

Konstruksi Masa Reformasi

Secara letterlux reformasi adalah perubahan secara bertahap atau gradual yang ditekankan pada empat pondasi sistem politik (Andrian, 1992). Relevan dengan pengertian ini, reformasi sering dimaknai sebagai perubahan-perubahan yang terbatas pada arena sistem politik sehingga konsekuensinya reformasi merupakan perubahan yang bertahap. Namun argumen lain dari para pemikir sering menggambarkan dengan istilah-istilah reformasi yang ditujukan pada dua wilayah kekuasaan, yaitu wilayah kekuasaan negara dan wilayah kekuasaan masyarakat, atau dengan ungkapan lain reformasi di tingkat negara dan reformasi di tingkat masyarakat. Kerangka reformasi mendiskripsikan salah satu tekanan perubahan secara bertahap yaitu pada tatanan atau struktur politik. Artinya struktur politik yang diciptakan cenderung ke arah demokrasi (Oksenberg & Dickson, 1998). Masa reformasi ditandai dengan kejatuhan presiden orde baru dan gejolak demontrasi di masyarakat yang dimotori mahasiswa. Gejolak demontrasi ini sebagai bentuk respon dari ketidakpercayaan (detegitimet) pada sistem politik pada masa orde baru. Segera setelah presiden mengundurkan diri, Mahkamah Agung mengambil sumpah kepresidenan Bacharuddin Yusuf Habibie, yang sudah dipilih Soeharto sendiri menjadi wakil presiden sejak bulan Maret dan sudah menjadi menteri dalam kabinet orde baru secara terus menerus selama dua dekade sebelumnya (Emmerson, 2001). Solusi satu-satunya dari gejolak demontrasi ini adalah perlunya dilakukan perubahan melalui rekayasa ulang terhadap sistem politik yang ada, yang diwujudkan melalui gagasan penciptakan format politik kelembagan negara yang baru dan format politik kemasy arakatan yang baru melalui produk UU di bidang politik yang baru. Pemerintahan Presiden Habibie, dalam rnenghadapi tuntutan kearah perubahan, tampaknya tak punya pilihan lain kecuali menempatkan reformasi dalam segala bidang, terutama bidang politik sebagai agenda. Agenda perubahan bidang politik ini mulai dilakukan dengan rneninjau kembali semua pengaturan bidang perpolitikkan yang dibuat oleh pemerintahan orde baru. Dan yang paling mendesak untuk dilakukan adalah mengganti sejumlah UU Politik, seperti UU tentang sistem pemilihan umum, UU sistem kepartaian dan uu tentang susunan dan kedudukan MPR/DPR (Gafar, 1999). Sebagai langkah awal, tahun 1999-2002 merupakan tahun-tahun momentum bagi UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara, yang mengalami perubahan-perubahan dengan istilah Amandemen sebanyak 4 kali.

Amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan sebagi syarat dasar perubahan kerangka bangunan sistem politik Indonesia, yang akan mendorong perubahan lainnya. Amandemen ke IV UUD 1945 menunjukkan format sistem politik sangat berbeda dan prospek cerah bagi pengembangan kehidupan politik dernokratis. kelembagaan negara diformat hanva ke dalam 7 (tujuh) lembaga tinggi negara, yang terdiri dari MPR (DPR + DPD), Presiden, MA, MK, KY dan BPK. Artinya dengan format seperti di atas muncul pemisahan kekuasaan (separation of power) yang jelas dan tidak ada lembag ayangmerasa tertinggi dari lembaga lain, sehingga diharapkan muncul check and balance antar lembaga tinggi yang ada dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi kekuasaan negara. Selain itu pada sistem politik di masa reformasi, menunjukkan kemunculan lembaga-lembaga baru seperi DPD, MK dan KY yang ketiga lembaga ini pada sistem politik masa sebelumnya (orde lama, orde baru) tidak pernah ada. Kekuasaan-kekuasaan lembaga negara tidak difokuskan pada satu lembaga tertentu tetapi dipisah dan dibagi habis dalam lembaga-lembaga negara yang ada. Seiring dengan itu dilakukan perubahan pada sektor politik masyarakat dengan gagasan reproduksi ulang eksistensi partai-partai politik yang ada di masyarakat. Partai-partai politik di daftar ulang dan dibuka arus kebebasan mendirikan partai politik. Selain itu dibentuk mekanisme aturan main bagi parlai politik dalam mendudukkan calonnya di lembaga legislatif, dengan istilah pemilihan umum yang bebas dan jurdil serta lembaga penyelenggara pemilu yang independen. Pada masa reformasi kemunculan partai politik juga lebih banyak disponsori oleh kebijakan-kebijakan negara yang sebagai respon atas suara masyarakat yang menghendaki penegakan nilai-nilai demokratisasi. Sehingga kebebasan politik ini di manfaatkan masyarakat dengan beramai-ramai mendirikan partai politik, alhasilnya kemunculan partai politik ibarat cendawan di musim hujan merebak kesana kemari tak tentu arah. Pada tahun 1999 terdata di Defkeh jumlah partar politik yang mendaftar dan sah untuk ikut pemilu 1999 sebanyak 141(seratus empat puluh satu) partai politik. Banyaknya jumlah partai politik ini sebenarnya bukti bahwa kebebasan berpolitik itu sangat dimanfaatkan masyarakat. Namun dikarenakan seleksi administrasi secara faktual cleh tim 11 yang dibentuk pemerintah menyebabkan jumlah partai politik yang resmi ikut pemilu 1999 merosot tajam jumlahnya dari 141 partai politik menjadi hanya 48 partai politik. Seleksi faktual ini seperti eliminasi bagi partai politik yang tidak memenuhi syaratsyarat ketentuan pemilihan umum tahun 1999 misalnya ada saja partai politik yang tidak

memiliki kantor di cabang kabupaten atau double-nya KTP penduduk sebagai pengurus di dunia partai politik, partai politik yang tidak memiliki kepengurusan di tingkat kabupaten, dll. Pemilu tahun 1999 merupakan kemunculan partai politik baru dengan muka lama pada masa reformasi, artinya sekitar 32 tahun baru pada saat ini negara Indonesia kembali ke era multipartai politik, yang star awal jumlahnya sekitar 48 partai politik. Kemudian pada pemilu 2004 terjadi perubahan kembali pada tatanan kehidupan politik, yang berupa keluarnya produk baru UU politik dan otomatis menggantikan UU politik sebelumnya. Undang-Undang politik baru ini memuat aturan lebih ketat mengenai syarat bagi partai politik untuk ikut pada pemilihan umum tahun 2004. Syarat atau seleksi ini tercantum pada pasal-pasal yang terdapat pada UU No. 31 tahun 2002 tentang partai politik dan UU No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum. Pasal-pasal dalam UU ini mengatur partai politik dengan istilah electoral threshold (ambang batas) dan syarat-syarat perolehan jumlah kursi DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Bagi partai politik yang tidak memenuhi syarat ini akan dieliminasi untuk tidak ikut pemilu tahun 2004. Alhasilnya dari jumlah partai politik semula hasil pemilu 2004 sebagai 48 partai politik mengalami pengerucutan kembali menjadi hanya 24 partai politik yang secara resmi dan sah untuk ikut pemilu pada tahun 2004. Pemilu 2004 dengan jumlah peserta pemilunya sebanyak 24 partai politik merupakan reformasi partai politik babak ke 2 pasca reformasi di negara Indonesia. Pengurangan jumlah partai politik ini diakibatkan karena adanya suara-suara sumbang di masyarakat mengenai partai politik. Partai politik yang multi dianggap sebagai salah satu sebab ketidakfokusan jalannya proses reformasi. Partai politik yang multi lebih banyak memperlihatkan bentuk perilaku yang arogan. Partai-partai politik lebih banyak bekerja dan mempertentangkan kepentingannya sehingga banyak mengabaikan kepentingan-kepentingan masyarakat. Dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun sistem politik refomasi berjalan, dengan 4 (empat) kali penggantian presiden memperlihatkan kondisi check and balance yang begitu kuat dari kelembagaan legislatif terhadap kekuasaan eksekutif. Apabila check and balance yang begitu kuat ini berlangsung lama tanpa adanya keseimbangan peran lembaga negara lainnya, maka ada beberapa catatan kemungkinan problem-problem besar yang dihadapi dan dapat meruntuhkan sistem politik reformasi, sebagai berikut:

Pertama, problem jumlah partai yang banyak selama 2 kali pemilu cukup mengganggu jalan program dan roda pemerintahan. Apalagi saat ini tidak ada partai yang mayoritas di parlemen sehingga kecenderungan perilaku politik anggota DPR hanyalah melakukan koalisi dan bargaining-bargaining vest interest yang kurang menunjukkan aspirasi rakyat Indonesia. Koalisi dan bargaining yang terjadi mengarah pada pembentukan kabinet wakil-wakil partai politik dengan istilah kabinet bersatu dll. Persoalannya kabinet persatuan partai politik ini sangat rentan konflik yang mengganggu jalannya penyelenggaraan pmerintahan. Sebagai contoh ketika ada tuntutan atau persinggungan antar partai politik yang tidak terakomodasi maka berdampak pada gangguan dalam program-program kabinet. Kedua, problem sistem pemilu yang kecenderungan pengaturannya kearah penguatan partai politik bukan calon wakil sehingga mendorong peran partai politik yang masih dominan dibandingkan calon-calon anggota legislatifnya. Hal ini kurang kondusif bagi para wakil rakyat yang ada di lembaga legislatif untuk lebih interest pada aspirasi masyarakat umum. Ketiga, Problem presiden bukan dari partai politik mayoritas di lembaga legislatif. Di lembaga legislatif selama masa reformasi berkembang sernangat poiitik dagang sapi, melalui koalisi (deal-deal politik) yang berdampak pada presiden yang terpilih bukan karena memiliki partai politik mayoritas di lembaga legislatif tetapi memiliki mayoritas koalisi partai politik. Sehingga yang tercipta model presiden yang dimiliki banyak patai politik, yang otomatis selama menjabat presiden lebih sibuk melayani kepentingan partai politik ini dibandingkan kepentingan rakyat. Keempat, problem masih banyaknya partai politik yang dikelola secara tradisional dibandingkan secara modern. Partai-partai politik setelah pemilihan umum tidak menciptakan hubungan erat dengan pemilihnya. Parta-partai politik tidak menciptakan sistem administrasi dan pelayanan aspirasi masyarakat yang baik dan efektif. Partai-partai politik lebih menyukai menikmati kekuasaan yang diperolehnya. Kondisi ini akan memperlemah peran partai politik sebagai jembatan aspirasi masyarakat. Dalam hal ini Olle Torquis dalam wawancara di media Banjarmasin Pos tahun 2007, menyebutnya dengan istilah partai politik di Indonesia sangat jauh dari konstituannya. Kelima, problem fungsi DPD yang semu atau lemah dalam lembaga legislatif sehingga kurang mendorong pertumbuhan demokrasi di lembaga legislatif itu sendiri dan tidak

terperhatikannya masalah pada aras lokal. Walaupun DPD seringkali melakukan lintas pertemuan di daerah-daerah namun termentahkan ketika di lembaga legislatif. Pengaturan DPD yang seperti ini atau tidak ada penguatan kelembagaan DPD dalam lembaga legislatif cenderung menjadikan anggota legislatif yang berasal dari partai politik tanpa pesaing kompetisi sehingga gerak legislatif lebih pada perwujudan kepentingan individu dan kelompok legislatif itu sendiri. Keenam, problem pendidikan politik rakyat yang masih belum tersebarluas. Pendidikan politik lebih banyak terjadi di wilayah-wilayah perkotaan dibandingkan di wilayah pedesaan. Sehingga hal ini berdampak pada kecenderungan yang lambannya kemunculan kontrol kuat dari masyarakat terhadap jalannya kekuasaan lembaga-lembaga negara.

Mariam Budiarjo, dkk, “Dasar-dasar ilmu Politik”, Gramedia, 2003 Sukarna, “Sistem Politik Indonesia, Jilid 4”, Mandar Maju, 1993 Byrnes, Robert F, 1984. Change in the Soviet Political Stsrem Lirnit and Likelihoods, Review of Politics, University of Notre Dame Andrain, Charles F,1992. Perubahan Politik dan Perubahan Sosial, Penerjemah Lugman H, Yogyakarta: Tiara Wacana. Almond, Gabriel A dan Bingham G Powel, 1966. Contparotive Politics: A Developmental Approach, Boston: Brown Comp Little. Emmerson, Donald K (ed.), 2001. Indonesia Beyond Soeharto Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gaffar, Affan, 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Macridis, Roy C and Bernard E Brown,7992. Perbandingan Politik, Alih Bahasa Henry S, Jakarta: Erlangga. Oksenberg, Michael dan Dickson, Bruce J, 1998. Kerangka Analisis Reformasi Politik, Seri Publikasi Reformasi. Varma, S.P, 1995. Teori Politik Modern, Penyunting Tohir E, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Undang-Undang DasarAmandemen Ke 4, Penerbit Citra Umbara, Bandung,2002. UndangUndang Politik, Penerbit Fokusmedia, Bandung, 2003

Related Documents


More Documents from "M Rofiq"