PRESENTASI KASUS KECIL SIROSIS HEPATIS
Pembimbing: dr. Ma’mun, Sp. PD
Disusun oleh: Dytha Fitriyani Ida Lulu Hidayah
G4A016028 G4A016029
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2017
LEMBAR PENGESAHAN PRESENTASI KASUS KECIL SIROSIS HEPATIS
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Disusun Oleh : Dytha Fitriyani Ida Lulu Hidayah
Pada tanggal,
G4A016028 G4A016029
Maret 2017
Mengetahui Pembimbing,
dr. Ma’mun, Sp. PD
BAB II STATUS PASIEN
A. Identitas Penderita Nama
:
Tn. K
Umur
:
48 tahun
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Karangrau RT 01/06, Banyumas
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Agama
:
Islam
Tgl. Masuk RS
:
8 Februari 2017
Tgl Periksa
:
9 Februari 2017
Ruang
:
Asoka
B. Anamnesis 1.
Keluhan utama Nyeri perut kanan atas
2.
Keluhan tambahan Perut membesar, kaki bengkak, mata kuning, kulit kuning, BAK warna seperti teh, perut terasa penuh, nafsu makan berkurang, berat badan turun, jari – jari tangan cembung seperti tabuh.
3.
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 7 bulan sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasa seperti ditusuk, tidak menjalar dan tidak menjalar dan tidak bertambah sakit bila dilakukan perubahan posisi. Nyeri dirasa berkurang jika menekuk kedua kaki kearah badan, bertambah sakit jika pasien beraktivitas dan semakin lama semakin nyeri. Sejak 3 bulan yang lalu pasien mengeluh kulit badan dan bagian putih bola mata menjadi berwarna kekuningan, serta BAK warna menjadi seperti air teh. Sejak 1 bulan yang lalu pasien mengaku perut menjadi semakin membesar. Perut seperti berisi air dan terasa berpindah – pindah. Saat
berdiri perut terasa seperti jatuh ke bawah dan saat berbaring perutnya menjadi melebar ke samping kanan dan kiri pasien. Selain itu, pasien juga mengeluh BAB encer dan berwarna kehitaman, terasa penuh dan cepat kenyang, kedua kaki bengkak. Pasien mengaku pernah mengalami muntah darah. Pasien juga mengeluhkan mual dan nafsu makan berkurang sehingga berat badan turun, serta jari – jari tangan membesar seperti tabuh.
4.
5.
6.
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
`
Riwayat sakit kuning
: diakui
Riwayat operasi
: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
`
Riwayat Sosial Ekonomi a.
Community Pasien saat ini tinggal di lingkungan pedesaan yang padat penduduk dan memiliki hubungan yang dekat dengan tetangga sekitar rumah.
b.
Home Pasien saat ini tinggal di rumah bersama istri dan 2 anak. Hubungan pasien dan keluarga baik.
c.
Occupational Pasien merupakan seorang wiraswasta.
d.
Personal habit
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak lama (±10 tahun), namun sudah berheti merokok sejak 1 tahun yang lalu. Lalu pasien juga gemar meminum jamu-jamu jika merasa tidak enak badan. Pasien tidak senang olahraga, makan tidak teratur, dan jarang minum. C. Objektif 1.
Keadaan umum
: sedang
2.
Kesadaran
: compos mentis (E4M6V5)
3.
Tinggi badan
: 160 cm
4.
Berat badan
: 41 kg
5.
IMT
: 16,01 kg/m2
6.
Tanda vital a.
Tekanan darah : 130/90 mmHg
b.
Nadi
: 88 kali/menit, regular, isi dan tegangan cukup
c.
Pernafasan
: 22 kali/menit, reguler
d.
Suhu
: 36.7
o
C
D. Pemeriksaan Fisik 1.
Pemeriksaan kepala a.
Bentuk kepala
: Mesochepal,simetris,venektasi temporal (-)
b.
Rambut
: Warna hitam, mudah rontok, distribusi
merata c. 2.
3.
4.
Wajah
: Berwarna coklat kehitaman seperti lumpur
Pemeriksaan mata a.
Konjungtiva anemis
: (-/-)
b.
Sklera ikterik
: (+/+)
c.
Edem palpebra
: (-/-)
d.
Reflek cahaya langsung/tidak langsung : (+/+) / (+/+)
Pemeriksaan telinga a.
Simetris
: (+/+)
b.
Kelainan bentuk
: (-/-)
c.
Serumen
: (-/-)
Pemeriksaan hidung
5.
6.
7.
a.
Nafas cuping hidung
: (-/-)
b.
Discharge
: (-/-)
Pemeriksaan mulut a.
Bibir sianosis
:-
b.
Lidah sianosis
:-
c.
Lidah kotor
:-
Pemeriksaan leher a.
Deviasi trakea
:-
b.
Pembesaran tiroid
:-
Pemeriksaan thoraks a.
Pulmo 1) Inspeksi
: Simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
2) Palpasi
: Vokal fremitus apex kanan sama dengan apex kiri Vokal fremitus basal kanan sama dengan basal kiri
3) Perkusi
: Sonor di seluruh lapang paru Batas paru hepar di SIC V linea midclavicular dextra
4) Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-), Wheezing (-/-) b.
Jantung 1) Inspeksi
: Ictus cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS pulsasi epigastrium (-)
2) Palpasi
: Ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS
3) Perkusi
: Batas kanan atas SIC II LPSD Batas kiri atas SIC II LPSS Batas kanan bawah SIC IV LPSD Batas kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
4) Auskultasi : S1>S2, Reguler, murmur (-), gallop (-) 8.
Pemeriksaan abdomen a.
Inspeksi
: Cembung, venektasi abdomen (+), spider naevi
(+), caput medusa (+) b.
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
c.
Palpasi
: Nyeri tekan (+) region hipokondriaka dextra,
undulasi (+) d. 9.
Perkusi
: Pekak alih (+), pekak sisi (+)
Pemeriksaan hepar Sulit teraba
10. Pemeriksaan lien Teraba schuffner II 11. Pemeriksaan ekstremitas Tabel 2.1. Hasil Pemeriksaan Ekstremitas. Ekstremitas superior
Ekstremitas inferior
Dextra
Sinistra
Dextra
Sinistra
Edema (pitting)
-
-
+
+
Sianosis
-
-
-
-
Ikterik
+
+
+
+
Clubbing finger
+
+
-
-
Akral
Hangat
hangat
hangat
hangat
Pemeriksaan
E. Pemeriksaan Penunjang 1.
Darah lengkap Tabel 2.2. Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap Pemeriksaan
07/02/17
Hemoglobin
9.7 (L)
Leukosit
9280
Hematokrit
28 (L)
Eritrosit
3.1 (L)
Trombosit
257.000
MCV
90.6
MCH
31.3
MCHC
34.5
Hitung Jenis
2.
Basofil
0.5
Eosinofil
1.0 (L)
Batang
1.4 (L)
Segmen
75.6 (H)
Limfosit
14.2 (L)
Monosit
7.3
Laboratorium lainnya Tabel 2.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (07/02/17) Pemeriksaan SGOT SGPT Total protein Albumin Globulin Bilirubin total Bilirubin direk Bilirubin indirek Alkali fosfatase Gamma GT
Hasil 71 (H) 32 6.96 1.91 (L) 5.05 (H) 1.28 (H) 0.70 (H) 0.58 253 (H) 327 (H)
3. Urin rutin Tabel 2.5. Hasil Pemeriksaan Urin rutin (07/02/17) Pemeriksaan
Hasil
Eritrosit Protein Bakteri
10 100 +
F. Diagnosis Sirosis Hepatis
G. Terapi 1.
Farmakologi a. IVFD RL 20 tpm b. Inj. Impugan 2x2 c. Inj. Ceftriaxone 2x1
d. Propanolol 2x1 2.
Nonfarmakologi a.
Edukasi pasien dan keluarga mengenai kemungkinan penyebab penyakit.
b.
Edukasi untuk meminum obat secara teratur
c.
Bed rest
d.
Diet rendah lemak, tinggi karbohidrat, tinggi protein
H. Prognosis Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam
: dubia ad malam
Ad fungsionam
: dubia ad malam
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronik yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatis yang berlangsung secara progresif, yang ditandai dengan distorsi struktur hepar dan pembentukan nodul regeneratif (Nurdjanah, 2009). Secara anatomis, sirosis hepatis ialah terjadinya fibrosis yang sudah meluas dengan terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian hati dan terjadinya terjadinya fibrosis tidak hanya pada satu lobulus saja (Hadi, 2013). Sirosis hepatis ditandai oleh proses radang difus menahun pada hati, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan proliferasi jaringan fibrous dimana seluruh jaringan hati menjadi rusak disertai dengan pembentukan regenerasi nodul. Sirosis hepatis pada akhirnya dapat menggangu sirkulasi darah intrahepatik dan pada kasus lanjut dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertahap (Nurdjanah, 2009).
B.
Epidemiologi dan Insidensi Prevalensi pasti sirosis hepatis di dunia masih belum diketahui. Sirosis hepatis termasuk ke dalam 10 besar penyebab kematian di dunia Barat. Penelitian Mary (2010) di Inggris menunjukkan insidensi dan prevalensi sirosis hepatis di Inggris meningkat 45%. Selama setahun sebanyak 25 % meninggal pada penderita sirosis dekompensata. Kematian pada subyek penderita sirosis kompensata dan dekompensata adalah 93 dan 178 per 1000 orang pertahun. Penderita sirosis hepatis di Amerika Serikat sendiri mengalami sekitar 35.000 kematian setiap tahunnya. Sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab atas 1,2% dari seluruh kematian. Setiap tahun, 2000 kematian bertambah karena penyakit ini. Hal ini dikaitkan dengan adanya komplikasi sirosis yaitu
fulminant hepatic failure (FHF) yang memiliki angka kematian 50-80 % kecuali jika dilakukan transplantasi hati (Wolf, 2010). Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis didapat melalui laporan dari beberapa pusat pendidikan. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1 % dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 pasien dari seluruh pasien penyakit di bagian penyakit dalam (Nurdjanah, 2009). Menurut Hadi (2013), jumlah rata-rata penderita sirosis hepatis sekitar 3,4 % dari total penderita penyakit hati dan berada di peringkat kedua sebagai faktor penyebab penyakit hati, setelah hepatitis virus akut Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6:1 dengan usia terbanyak antara golongan 30-59 tahun dengan puncak usia sekitar 40-49 tahun.
C.
Etiologi Etiologi sirosis hepatis dapat diketahui dari riwayat pasien, dikombinasikan dengan pemeriksaan serologis dan histologis. Alcoholic liver disease atau alcohol abuse dan infeksi hepatitis C adalah penyebab tersering di dunia Barat, sementara infeksi hepatitis B menyelimuti hampir seluruh bagian Asia dan sub-Sahara Afrika (Starr & Raines, 2011; Schuppan & Afdhal, 2008). Etiologi di Indonesia terutama akibat infeksi hepatitis B dan C. Berdasarkan penelitian, hepatitis B di Indonesia menyebabkan sirosis sebesar 40 – 50% dan hepatitis C sebesar 30 – 40%. Alkohol di Indonesia sebagai penyebab sirosis hepatis memang belum ada data validnya dikarenakan belum ada hasil penelitian, namun tidak menutup kemungkinan alkohol juga menjadi penyebab di Indonesia (Nurdjanah, 2006). Selain itu, nonalcoholic fatty liver disease pun menjadi etiologi penting pada sirosis hepatis (Starr & Raines, 2011). Setiap penyebab kerusakan kronis pada hati dapat menyebabkan terjadinya sirosis. Tak jarang etiologi multipel menyebabkan sirosis,
misalnya konsumsi alkohol rutin meski moderat, usia di atas 50 tahun, dan jenis kelamin laki-laki (Schuppan & Afdhal, 2008). Karenanya, penting untuk mengetahui etiologi sirosis hepatis sehingga dapat memperkirakan kemungkinan
komplikasi
yang
terjadi
dan
memulai
manajemen
penatalaksanaan (Starr & Raines, 2011; Schuppan & Afdhal, 2008). Tabel 3.1. Etiologi tersering sirosis hepatis. Jenis Inflamasi
Toksik Genetik/Kongenital
Sistemik
D.
Etiologi Viral: hepatitis B, hepatitis C Parasit: schistosomiasis Autoimun: tipe 1, 2, 3 Sarcoidosis Alkohol Methotreksat Primary biliary cirrhosis α1-antitrypsin deficiency Hemakromatosis Non-alcoholic fatty liver disease Wilson disease Congestive heart failure (CHF): kongesti pasif kronik Venooclusive disease (Budd-Chiari syndrome) Idiopatik
Patogenesis Tiga kombinasi mekanisme patologik utama untuk menjadi fibrosis antara lain kematian sel hati, regenerasi sel, dan fibrosis progresif. Berbagai hal dapat menyebabkan kerusakan sel hati, sehingga menimbulkan respon normal tubuh berupa regenerasi sel. Hepar normalnya mengandung sel kolagen interstisial tipe I, III, dan IV di saluran porta dan sekitar vena sentralis. Celah Disse, celah antara hepatosit dan endotel sinusoid, terdapat kolagen IV dan retikulin halus. Ketika terjadi kerusakan, kolagen tipe I dan III serta matriks ekstraseluler mengendap di semua bagian lobulus, serta sel endotel sinusoid kehilangan fenestrasinya, sehingga terjadilah proses fibrogenesis dan terbentuklah fibrosis. Progresivitas dari fibrosis bergantung terhadap etiologi dari penyakit hati, kondisi environment, dan faktor dari host itu sendiri (Schuppan & Afdhal, 2008; Crawford, 2007).
Seiring semakin rusaknya hepatosit dan semakin banyaknya kematian hepatosit, kemampuan hepar dalam memetabolisme bilirubin dan menyintesis protein, seperti faktor pembekuan dan transaminase, akan terganggu. Akibatnya, terjadi peningkatan kadar bilirubin serum dan INR, serta penurunan/normal kadar transaminase. Fibrosis yang terus berlanjut menyebabkan peningkatan tekanan pada sistem porta (Starr & Raines, 2011). Peningkatan tekanan pada sistem porta akan menyebabkan perubahan pada struktur vaskulatur hepar. Perubahan struktur tersebut, dari sinusoid endotel yang berlubang-lubang (fenestra), menjadi saluran vaskuler bertekanan tinggi dan beraliran cepat; sehingga pertukaran zat terlarut antara plasma pada sinusoid hepar dan sel parenkim hepar menjadi hilang. Perpindahan protein, seperti albumin, faktor pembekuan, lipoprotein, antara hepatosit dan plasma menjadi terganggu (Schuppan & Afdhal, 2008; Crawford, 2007). Fibrosis pun akan meluas hingga celah Disse terisi oleh sel-sel fibrosa. Fibrosis hepar yang meluas disertai perubahan sistem vaskularisasi hepar inilah yang menyebabkan kondisi sirosis, sehingga disebut sirosis hepatis (Schuppan & Afdhal, 2008).
Gambar 3.1. Perubahan vaskularisasi dan struktur hepar pada sirosis
E.
Klasifikasi 1.
Klasifikasi Morfologi a.
Sirosis mikronoduler Nodul yang berbentuk uniform, diameter kurang dari tiga milimeter dimana penyebabnya antara lain: alkoholisme, hemokromatosis, obstruksi bilier, obstruksi venahepatika, pintasan jejuno-ileal sirosis pada anak india. Sirosis mikronoduler sering berkembang menjadi sirosis makronoduler.
b. Sirosis makronoduler Nodul bervariasi dengan diameter lebih dari tiga milimeter. Penyebabnya antara lain: hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, dan defisiensi α-1-antitripsin. c.
Sirosis campuran Yaitu golongan mikronudular dan makronudular. Nodul terbentuk dengan ukuran < 3mm dan ada nodul yang berukuran >3 (Nurdjanah, 2009).
2.
Klasifikasi Fungsional a.
Sirosis hepatis kompensata Sering disebut dengan latent cirrosis hepar. Pada stadium ini belum terlihat gejala- gejala nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan skrining.
b.
Sirosis hepatis dekomsata Dikenal dengan active cirrocis hepar. Pada stadium ini biasanya disertai dengan gejala-gejala yang sudah jelas seperti asites, edema, dan ikterik (Nurdjanah, 2009).
F. Manifestasi Klinis Pada stadium awal (kompensata), dimana kompensasi tubuh terhadap kerusakan hati masih baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala sehingga sering ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala-gejala awal sirosis meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada
laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil dan dada membesar, serta hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut, (berkembang menjadi sirosis dekompensata) gejala-gejala akan menjadi lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi kerontokan rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi. Selain itu, dapat pula disertai dengan gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, hematemesis, melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma (Nurdjanah, 2009). Akibat dari sirosis hepatis, maka akan terjadi 2 kelainan yang fundamental yaitu kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Manifestasi dari gejala dan tanda-tanda klinis ini pada penderita sirosis hati ditentukan oleh seberapa berat kelainan fundamental tersebut (Wolf, 2012).
Tabel 3.2. Gejala kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta.
Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan terjadinya perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik dan penurunan perfusi jaringan hati sehingga mengakibatkan nekrosis pada hati.
Hipertensi porta merupakan gabungan hasil peningkatan resistensi vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem porta. Resistensi intra hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara mekanik dan dinamik. Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang terjadi pada sirosis, sedangkan secara dinamik berasal dari vasokontriksi vena portal sebagai efek sekunder dari kontraksi aktif vena portal dan septa myofibroblas, untuk mengaktifkan sel stelata dan sel-sel otot polos. Tonus vaskular intra hepatik diatur oleh vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin II, leukotrin dan trombioksan A) dan diperparah oleh penurunan produksi vasodilator (seperti nitrat oksida). Pada sirosis peningkatan resistensi vaskular intra hepatik disebabkan juga oleh ketidakseimbangan antara vasokontriktor dan vasodilator yang merupakan akibat dari keadaan sirkulasi yang hiperdinamik dengan vasodilatasi arteri splanknik dan arteri sistemik. Hipertensi porta ditandai dengan peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi vaskular sistemik (Wolf, 2012).
G. Penegakan Diagnosis Diagnosis
sirosis hepatis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. 1.
Gambaran Klinik a. Anamnesis 1) Mudah lelah dan lemas 2) Nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan 3) Perut kembung, mual 4) Penurunan berat badan 5) Gangguan tidur (Nurdjanah, 2009) b. Pemeriksaan Fisik 1) Kegagalan fungsi hati (spidernavi, alopesia pectoralis ginekomasti, atrofi testis, gangguan siklus haid, eritema palmaris, white nail) 2) Hipertensi porta (tekanan sistem porta >10mmHg) ditandai dengan splenomegali, asites, perdarahan saluran pencernaan seperti BAB hitam dan muntah hitam atau darah.
3) Ikterus dengan air kemih seperti teh 4) Epistaksis, gusi berdarah (Wolf, 2012). 2. Pemeriksaan Penunjang a. Tes Fungsi Hati 1) SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat aminotransferase)
dan
SGPT
(serum
glutamil
piruvat
transferase) atau ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat dibanding ALT, namun bila enzim ini normal, tidak menyingkirkan kecurigaan adanya sirosis 2) Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer. 3) Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan ALP. Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya meninggi karena alkohol dapat menginduksi mikrosomal hepatik dan menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit. 4) Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata) 5) Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan, antigen bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang selanjutnya menginduksi immunoglobulin. 6) Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis faktor koagulan. 7) Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas. 8) Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan
dengan
hipertensi
porta
hipersplenisme. 9) Seromarker hepatitis (Nurdjanah, 2009)
sehingga
terjadi
b. Pemeriksaan penunjang lain : 1) Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya hipertensi porta 2) USG, untuk untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta untuk melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma hati pada pasien sirosis. 3) Kolesistografi/kolangiografi : Memperlihatkan penyakit duktus empedu yang mungkin sebagai faktor predisposisi. 4) Esofagoskopi : Dapat melihat adanya varises esophagus 5) Portografi Transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal, 6) Scan/biopsy hati : Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati (Nurdjanah, 2009).
H. Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan sirosis hepatis dipengaruhi etiologinya. Tujuan terapi mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Secara umum, penatalaksanaan sirosis hepatis sebaga berikut (Hadi, 2013): 1. Bed rest sampai gejala membaik 2. Diet tinggi protein, tinggi karbohidrat (diet hati III: protein 1g/kgBB, 2000-3000 kkal). Jika ada asites diberikan diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1000-2000 mg) Apabila sudah ditemukan ascites, maka penatalaksanaannya sebagai berikut (Hadi, 2013): 1. Bed rest 2. Diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan. 3. Diuretik Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya
kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid. Bila pengobatan konservatif tidak berhasil, dapat dilakukan parasintesis cairan asites, dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Selain itu pemberian terapi terhadap penderita sirosis juga perlu ditinjau apakah sudah ada hipertensi portal dan kegagalan faal hati atau belum (Hadi, 2013). 1. Sirosis tanpa kegagalan faal hati dan hipertensi portal, penatalaksanaannya sebagai berikut (Hadi, 2013): a. Diet tinggi protein dan karbohidrat serta lemak tidak perlu dibatasi. b. Diberikan vitamin: vitmin C, thiamin, riboflavin, asam nikotin, B12, essensial phosfolipid (EPL), cursil dan obat yang mengandung protein tinggi seperti superton. c. Hindari minuman beralkohol, zat hepatotoksik, dan makanan yang disimpan lama diudara terbuka lebih dari 48 jam. 2. Sirosis
dengan
kegagalan
faal
hati
dan
hipertensi
portal,
penatalaksanaannya sebagai berikut (Hadi, 2013): a. Istirahat Aktifitas fisik dibatasi, dianjurkan untuk istirahat ditempat tidur lebih kurang setengah hari setiap harinya terutama bagi yang disertai asites. b. Diet Bila tidak ada tanda-tanda koma hepatikum diberikan diet 15002000 kal dengan protein sekurang-kurangnya 1 gr/kgBB/hari. Perlu juga diberikan roboransia. Makanan dan minuman yang mengandung alkohol dihentikan secara mutlak. Hindari makanan yang lebih dari 48 jam di udara bebas. Penderita asites dan edema sedikit dapat hilang
dengan diet kaya protein (1-2 gr/kgBB/hari), rendah Na (200-500 mg Na/hari) dan pembatasan cairan 1-1,5 liter/hari. c. Diuretik Dilakukan jika selama 4 hari diet tidak ada respon, diberikan spironolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bila pemberian spironolakton tidak adekuat, dapat dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari). Sebagai pengganti spironolakton dapat dipakai triamterene atau amiloride yang mempunyai fungsi sama, yaitu bekerja di tubuli distal dan tidak mengeluarkan K. Pemberian spironolacton dimulai dengan dosis rendah misalnya 25 mg/hari, bila selama 3 hari tidak ada respons baru dosis ditingkatkan sedikit demi sedikit sampai memperoleh respons yang cukup. Kontraindikasi pemberian diuretik ialah perdarahan gastrointestinal, penderita dengan muntah-muntah atau diare, prekoma atau koma hepatikum. Sebagai akibat pemberian diuretik akan timbul: 1) Hipokalemi: maka pemberian diutretik dihentikan, dan diberikan penambahan KCl. 2) Hiponatremi: diatasi dengan pemberian cairan yang dibatasi 500 cc/hr atau pemberian 2 L manitol 20% intravena bekerja sebagai diuretik osmotik. 3) Alkalosis hipokloremik; karena kehilangan Na dan Cl, dan dapat dibatasi dengan pemberian klorida. 4) Koma hepatikum sekunder; karena hipokalemi, kehilangan cairan. Bila terlihat tanda-tanda prekoma atau koma sebaiknya pemberian diuretik dihentikan. d. Obat-obatan Prednison hanya diberikan pada penderita yang diduga dengan posthepatik sirosis, hepatitis aktif kronis dimana masih terdapat ikterus, gama globulin dan transaminase yang masih meninggi.
e. Peritoneo-venous shunt Operasi kecil peritoneous shunt untuk mengurangi cairan asites secara teratur dan memasukkan melalui suatu pipa yang diberi katub, sehingga memberikan satu arah kedalam vena jugularis pada penderita dengan asites yang tidak berhasil diobati dengan diuretik. Hasilnya 76,5% pasien dapat dihilangkan asitesnya, bahkan kadar serum protein dan ratio albumin-globulin kembali normal, hal ini disebabkan karena kadar protein
yang ada didalam cairan asites dialirkan kembali ke
tubuh penderita. Juga kadar ureum yang tinggi kembali normal. f. Parasintesis Tujuan parasintesis adalah (1) Diagnostik : tujuan untuk mengevaluasi cairan asites, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap jumlah sel dan hitung jenis, protein, macam mikroorganisme, (2) Terapi : untuk mengeluarkan cairan asites yang sangat banyak sehingga dapat menggangu pernapasan penderita. Bila terlalu sering dilakukan akan menimbulkan komplikasi yaitu infeksi luka bekas parasintesis, kebocoran cairan asites pada luka bekas tusukan, hiponatremi, koma hepatikum karena gangguan keseimbangan elektrolit, kehilangan protein tubuh, gangguan faal ginjal, perdarahan, perforasi usus.
Pengobatan sirosis hati berdasarkan etiologi juga seringkali dilakukan seperti pada pasien dengan infeksi virus Hepatitis C penatalaksanaannya sebagai berikut (Hadi, 2013): a. Terapi kombinasi IFN 3 juta unit 3 x seminggu dan Ribavirin 1000-2000 mg/hari tergantung berat badan (1000 mg untuk berat badan kurang dari 75 kg) dalam jangka waktu 24-48 minggu. b. Terapi induksi Interferon dengan dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu, dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan Ribavirin. c. Terapi dosis interferon setiap hari dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.
Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati yang diberikan jika telah terjadi komplikasi lain seperti (Hadi, 2013): 1. Spontaneous bacterial peritonitis Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime), secara parenteral selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu. 2. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan : a.
Pasien diistirahatkan dan dipuasakan
b.
Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
c.
Diberikan obat penyekat beta (propanolol)
d.
Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktriotide, antifibrinolitik, vitamin K
e.
Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi darah
f.
Lakukan Pemasangan Ballon Tamponade, tindakan skleroterapi dan Ligasi atau Oesophageal Transection untuk menghentikan perdarahan
3. Sindroma Hepatorenal Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif. Oleh karena itu, pencegahannya harus mendapat perhatian utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan. 4. Ensefalophaty hepatic a.
Pengobatan dengan pemberian laktulosa untuk mengeluarkan amonia.
b.
Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia.
c.
Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.
I. Komplikasi 1. Ensepalopati Hepatikum Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang bersifat reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati setelah mengeksklusi kelainan neurologis dan metabolik. Derajat keparahan dari kelainan ini terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan fungsi kognitif yang masih bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah jatuh ke keadaan koma. Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh karena adanya gangguan metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas sawar darah otak. Peningkayan permeabelitas sawar darah otak ini akan memudahkan masuknya neurotoxin ke dalam otak. Kelainan laboratoris pada pasien dengan ensefalopati hepatik adalah berupa peningkatan kadar amonia serum (Wolf, 2012). 2. Varises Esophagus Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh hipertensi porta yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien saat diagnosis sirosis dibuat (Wolf, 2012). 3. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS) Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang sering dijumpai yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa adanya bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen. PBS sering timbul pada pasien dengan cairan asites yang kandungan proteinnya rendah (<1 g/dL) yang juga memiliki kandungan komplemen yang rendah, yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya aktivitas opsonisasi. Diagnosis PBS berdasarkan pemeriksaan pada cairan asites, dimana ditemukan sel polimorfonuklear lebih dari 250 sel/mm3 dengan kultur cairan asites yang positif (Wolf, 2012). 4. Sindrom Hepatorenal Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oligouri, peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya kelainan
organic ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus (Wolf, 2012). 5. Sindrom Hepatopulmonal Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal (Nurdjanah, 2009). J. Prognosis Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut 100%, 80% dan 45% (Nurdjanah, 2009). Skor Fibrosis F0 (tidak ada fibrosis) F1 (fibrosis porta tanpa septa) F2 (fibrosis porta dengan septa) F3 (banyak septa, namun belum terjadi sirosis) F4 (sirosis)
Skor Aktivitas A0 (tidak ada aktivitas) A1 (aktivitas ringan) A2 (aktivitas sedang) A3 (aktivitas berat)
Tabel 2.1 Skor METAVIR untuk penilaian fibrosis dan inflamasi (Klarisa et al., 2016).
Tabel 3.3 Klasifikasi Child-Pugh-Turcotte (CPT) Poin Ensefalopati Asites Bilirubin (mg/dL) Albumin (gr/dL) INR
1
2 Terkontrol obat
3 Terkontrol buruk
Terkontrol obat
Terkontrol buruk
2–3
>3
< 3,5
2,8 – 3,5
<2,8
< 1,7 CPT A (5 – 6 poin)
< 1,7 – 2,2 CPT B (7 – 9 poin)
>2,2 CPT C (10 – 15 poin)
Tidak ditemukan Tidak ditemukan <2
Ekspektasi hidup (tahun) Mortalitas perioperatif (%)
15 – 20
4 – 14
1–3
10
30
80
BAB IV KESIMPULAN
1.
Diagnosis pasien Tn K 48 tahun adalah sirosis hepatis
2.
Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3.
Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus ini adalah dengan tatalaksana rumatan.
4.
Prognosis pasien pada kasus ini adalah: Ad fungsional
: dubia ad malam
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam
: dubia ad malam
DAFTAR PUSTAKA
Crawford, James M. 2007. Hati dan Saluran Empedu. Dalam: Robbins: Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC. 671-672. Hadi, Sujono. 2013. Gastroenterologi Edisi Pertama. Bandung: PT Alumni. Mary, Catherine. 2010. The Epidemiology of Cirrhosis and Abnormal Liver Function in the General Population of the UK. PhD Thesis. University of Notthingham. Nurdjanah Siti, 2009. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. hal. 668-673. Schuppan, Detlef and Afdhal, H. Nezam. 2008. Liver Cirrhosis. Dalam: Lancet. 371 (9615): 838-851. Starr, S. Paul and Raines, Daniel. 2011. Cirrhosis: Diagnosis, Management, and Prevention. Dalam: American Family Physician. 84 (12);1353-1359. Vilstrup, H., Amodio, P., Bajaj, P., et al. 2014. Hepatic Encephalopathy in Chronic Liver Disease: 2014 Practice Guideline by the American Association for the Study of Liver Diseases and the European Association for the Study of the Liver. Official journal of the American association for study of liver disease. Dalam: American Association for the Study of Liver Disease. 60 ( 2 ) : 715 - 735. Wolf, David C. 2012. Cirrhosis. http://emedicine.medscape.com/article/ 185856overview#showall. Diakses pada tanggal 26 September 2016.