Serentak Memulai Puasa Ramadhan

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Serentak Memulai Puasa Ramadhan as PDF for free.

More details

  • Words: 1,402
  • Pages: 7
Serentak Memulai Puasa Ramadhan (Sebuah Kenyataan, atau Tinggal Harapan) Oleh: Agus Saputera

Badan Hisab Rukyat Departemen Agama Republik Indonesia, tidak beberapa hari lagi akan mengadakan sidang itsbat untuk menentukan tanggal 1 Ramadhan dimana kaum muslimin mulai melaksanakan ibadah puasa. Penentuan awal bulan qomariyyah adalah hal yang sangat penting dalam Islam - khususnya dalam menetapkan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, 9 dan 10 Dzulhijjah - karena menyangkut pelaksanaan ibadah seperti puasa, hari raya, dan haji. Pemerintah melalui Departemen Agama berupaya agar itsbat yang dilakukan benar-benar cermat dan akurat, sehingga tidak menimbulkan keraguan bagi masyarakat. Karena itu metode yang dilakukan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat anak bulan) - biasanya di akhir bulan menjelang masuknya bulan baru - tetapi tetap mengkonfirmasikannya dengan metoda hisab. Namun sayangnya tidak ada keharusan bagi masyarakat untuk ikut ketetapan pemerintah, mereka boleh berpedoman kepada metode selain yang digunakan pemerintah sehingga terjadi berbagai macam pendapat mengenai masuknya awal bulan. Karena beragamnya pendapat tersebut, hampir setiap tahun umat Islam Indonesia mengalami perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan, merayakan Idul Fitri dan Idul Adha. Perbedaan ini bukan saja terjadi antara umat Islam se-Indonesia, bahkan dengan banyak umat Islam di negara-negara lain. Salah satunya adalah Arab Saudi yang selalu menjadi kiblat muslim sedunia dalam menentukan perayaan hari-hari besar Islam, terutama pada saat terjadinya wukuf di Arafah. Bagi masyarakat awam di Indonesia, kesamaan dengan Arab Saudi dalam menetapkan

1

dan memperingati hari-hari besar tersebut benar-benar dijadikan ukuran afdolnya ibadah, bahkan sah tidaknya ibadah. Kesamaan di dalam merayakan hari-hari besar Islam adalah sangat penting karena merupakan simbol kesatuan dan persaudaraan umat Islam. Perbedaan di dalam menetapkan harihari besar tersebut cukup menimbulkan “gangguan”, karena menimbulkan keresahan, mengurangi kekhusukan dalam menjalankan ibadah, dan mengurangi kemantapan ukhuwwuah sesama muslim. Adanya sebagian saudara kita yang sudah berhari raya Idul Firi, sementara yang lain masih berpuasa, bagi orang awam merupakan hal yang cukup memicu keretakan rasa persaudaraan, karena masing-masing merasa dirinyalah yang paling benar dan orang lain salah. Kendatipun bagi segelintir orang persoalan tersebut dianggap kurang berarti, namun bagi sebagian besar umat Islam, perbedaan memulai puasa, merayakan hari raya, merupakan masalah yang sangat penting dan mendasar. Perbedaan yang terjadi bukan saja menyangkut persoalan kapan memulai dan merayakan, tetapi lebih dari itu menjadi masalah “afdol-tidaknya”, bahkan “sah-batalnya” suatu peribadatan. Itulah sebabnya perbedaan penetapan bulan qomariyyah benarbenar menjadi problematika bagi kalangan komunitas muslim awam. Seperti contoh, misalnya terjadi kasus perbedaan dalam menentukan tanggal 1 Syawal antara mereka yang lebih dahulu merayakan Idul Fitri dengan yang belakangan merayakannya. Bagi yang lebih dahulu ber-Idul Fitri, timbul pertanyaan: apakah kita berdosa karena sudah berbuka (tidak menjalankan puasa) padahal masih berada dalam bulan Ramadhan (orang lain masih berpuasa). Sedangkan bagi yang belakangan merayakan idul Fitri mempertanyakan: bagaimanakah hukumnya berpuasa sedangkan orang lain sudah merayakan Idul Fitri. Atau dengan kata lain, apakah kita mendapat dosa karena berpuasa di hari yang diharamkan untuk berpuasa (Idul Fitri). Pertanyaan-pertanyaan yang dianggap remeh tetapi sangat mendasar 2

tersebut merefleksikan kondisi kejiwaan masyarakat yang diliputi keresahan/keraguan karena tidak ada ketegasan apakah harus ikut ketentuan pemerintah atau bukan. Karena itu pemerintah harus berkomitmen menjelaskan sebab-sebab perbedaan tersebut dan menyosialisasikannya secara luas, sehingga masyarakat (khususnya orang awam) merasa paham kenapa hal tersebut terjadi. Sangat disayangkan, kebijakan tersebut selama ini tidak pernah dilakukan. Pengulangan kesalahan serupa (tidak menjelaskan sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam penetapan bulan qomariyyah) berakibat kepada berkurangnya kewibawaan pemerintah. Negarapun akibatnya berada pada posisi lemah disebabkan oleh adanya perbedaan khilafiyah tersebut. Bukan itu saja, wibawa Islam sebagai agama ikut jatuh dimata penganut agama-agama lain. Hanya untuk menetapkan awal bulan qomariyyah dan kapan memulai puasa/berhari raya saja, umat Islam masih belum mampu mencapai kesepakatan. Sehingga timbul kesan seolah-olah terjadi perpecahan di kalangan umat Islam. Dalam prakteknya selama ini pemerintah melalui Badan Hisab Rukyat Departemen Agama sebagai otoritas penyelenggara agama di Indonesia melakukan sidang itsbat untuk menetapkan awal bulan qomariyyah. Tetapi masyarakat tidak terikat harus ikut ketetapan pemerintah. Mereka bebas untuk memilih sesuai keinginan hati nuraninya, apakah mau ikut pendapat Muhammadiyah, NU, Persis, Jama’ah Al-Nazhir, ataupun organisasi massa keislaman lainnya. Kondisi ini jauh berbeda dengan keadaan di negara-negara Islam lain seperti Malaysia, Singapura, Turki, Brunai, Arab Saudi, dan negara-negara Islam di Timur Tengah. Pada umumnya mereka satu suara ikut ketetapan pemerintah/“mazhab negara“ tentang penanggalan

3

qomariyyah dan penetapan hari-hari besar Islam, baik itu dengan memakai sistem hisab rukyat, dan/atau dengan bantuan ilmu astronomi dan penggunaan teknologi optik/teleskop modern.

Perbedaan Kriteria Pada dasarnya perbedaan yang terjadi selama ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh perbedaan kriteria dalam menetapkan awal bulan qomariyyah. Kriteria tersebut adalah hisab dan rukyat, yang nota benenya diwakili oleh dua kelompok ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyyah dan Nahdhatul Ulama. Keduanya mengambil landasan dalil fiqh yang sama. Diantara dalil yang menjadi rujukan antara lain hadits: “Berpuasalah kalian ketika melihat hilal (bulan sabit/anak bulan) dan berbukalah tatkala melihat hilal. Jika terhalang awan maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. (H. R. Bukhari dan Muslim). Kemudian ada hadits yang berbunyi: ”Janganlah kalian berpuasa sehingga melihat hilal (ru’yat al-hilal) dan jangan pula berbuka sehingga melihatnya (hilal). Jika terhalang awan mendung maka perkirakanlah (hisab). (H. R. Bukhari dan Muslim). Hadits riwayat Abu Daud dari Aisyah menjelaskan bahwa Nabi saw sangat memperhatikan akhir bulan Sya’ban melebihi bulan-bulan lain. Beliau berpuasa jika telah melihat hilal Ramadhan. Apabila hilal terhalang awan beliau menggenapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Kemudian beliau mulai berpuasa. Setelah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, pengertian tentang ru’yat al-hilal mengalami pergeseran. Ada yang memakainya tetap seperti semula, yaitu ru’yat bi-alfi’li seperti di zaman Nabi saw dan ada yang memaknainya dengan ru’yat bi-al‘lmi. Ru’yat bi-alfi’li yaitu

4

menyaksikan wujudnya hilal/anak bulan dengan mata kepala langsung. Sedangkan ru’yat bial’ilmi yaitu memperkirakan telah hadirnya hilal dengan hisab/ilmu astronomi. Kemudian ada lagi istilah yang disebut dengan imkan al-ru’yah, artinya awal bulan ditetapkan berdasarkan perhitungan hisab asalkan posisi hilal berada pada ketinggian yang mungkin dilihat/diru’yat. Kriteria imkan al-ru’yat inipun termasuk hal yang diperselisihan apakah minimal ½ , 2, atau 5 derajat di batas ufuk. Mathla (rentang wilayah) juga menjadi masalah yang diperselisihkan. Mathla artinya adalah sejauh mana jangkauan berlakunya hasil ru’yat. Apakah meliputi wilayah hukum (negara) itu sendiri atau berlaku untuk seluruh dunia. Atau jika wilayah suatu negara sangat luas seperti Indonesia, apakah ru’yatul hilal di suatu daerah berlaku untuk semua daerah lain. Sistem hisab sendiri memiliki landasan yang kuat karena berdasarkan atas perhitungan astronomi terhadap pengalaman beratus tahun atas keteraturan periodesasi fase benda-benda langit sehingga dapat diketahui posisi bulan dan matahari secara tepat. Akurasi perhitungan astronomi dengan adanya teknologi optik/teleskop modern dari waktu ke waktu semakin tinggi, sehingga sampai kepada ketepatan hitungan detik. Pada prinsipnya kedudukan hisab dan ru’yat untuk menetapkan awal bulan qomariyyah adalah sama-sama kuat dan saling melengkapi. Keduanya merupakan persoalan ijtihadiyah yang apabila benar ataupun salah tetap akan mendapat pahala. Yang menjadi masalah adalah perbedaan kriteria yang dipakai dalam hisab dan ru’yat. Bukan itu saja bahkan di kalangan ahli hisab dan ahli ru’yat sendiri terdapat berbagai macam versi. Seperti diketahui di Indonesia saat ini terdapat lebih dari puluhan sistem dan referensi hisab yang masih dipakai oleh berbagai macam golongan dan ormas Islam. Sedangkan kesaksian rukyatul hilal sendiri masih diragukan keakuratannya karena dibatasi oleh keadaan cuaca, lokasi 5

pengamatan, tidak meyakinkan secara ilmiah, tidak memenuhi syarat tinggi bulan dan ketentuan lainnya. Kemudian terdapat pula faktor non-teknis hisab rukyat sendiri yang juga mempengaruhi, misalnya ada informasi tentang jatuhnya hari wukuf yang berbeda di Arab Saudi dengan ketetapan di Indonesia.

Upaya Menuju Kesepakatan Bersama Perbedaan kriteria dalam menetapkan awal bulan qomariyyah hendaklah dipandang sebagai rahmat bagi umat Islam Indonesia. Karena masing-masing ijtihad yang dilakukan bertujuan untuk kemaslahatan bersama dan berdasarkan dalil fiqh yang sama. Hanya saja kriteria yang dipakai berbeda sehingga hasilnya menjadi berlainan. Ikhtilafiah tersebut hendaknya tidak sampai membawa kepada perpecahan umat dan menjatuhkan wibawa pemerintah sebagai otoritas pemegang penyelenggaraan agama karena terkesan tidak bisa menyelesaikan masalah penetapan awal bulan. Oleh karena itu setiap ormas Islam perlu mengkaji ulang cara dan kriteria yang digunakan dalam penentuan awal bulan tersebut untuk memperoleh solusi terbaik. Hilangkan prinsip bahwa metode kelompoknyalah yang paling shahih dan paling baik. Untuk itu perlu dilakukan upaya penyatuan dari berbagai pihak (ormas Islam, ahli astronomi, pakar ilmu falak, dan pemerintah), untuk duduk bersama guna menghasilkan kesepakatan dalam menetapkan awal bulan qomariyyah terutama awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dengan berorientasi kepada kemaslahatan umat. Dan selama ini di Indonesia belum ada “mazhab resmi negara” atau undang-undang tentang penetapan awal bulan qomariyyah yang wajib diikuti oleh seluruh rakyat, terutama bagi

6

penentuan hari-hari besar Islam. Perlu dipertimbangkan untuk mewujudkan “mazhab negara” tersebut agar kaum muslimin serentak memulai puasa Ramadhan dan berhari raya.

7

Related Documents