SEJARAH TURUNNYA AL-QUR'AN DI S U S U N OLEH : AYU MAQFIRAH NIM : 17111003
UNIVERSITAS ABULYATAMA ACEH TAHUN 2019
SEJARAH TURUNNYA AL-QUR’AN
Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat. Bagian-bagian Al-Qur’an Al-Qur’an mempunyai 114 surat, dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat, yaitu Al Baqarah, dan terpendek terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-‘Ashr, Al-Kautsar, dan An-Nashr. Sebagian ulama menyatakan jumlah ayat di Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan 6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin, Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak mengikutsertakannya sebagai ayat. Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al-Qur’an dalam 30 juz yang sama panjang, dan dalam 60 hizb (biasanya ditulis di bagian pinggir Al-Qur’an). Masing-masing hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub’ (seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat). Selanjutnya Al-Qur’an dibagi pula dalam 554 ruku’, yaitu bagian yang terdiri atas beberapa ayat. Setiap satu ruku’ ditandai dengan huruf ‘ain di sebelah pinggirnya. Surat yang panjang berisi beberapa ruku’, sedang surat yang pendek hanya berisi satu ruku’. Nisf Al-Qur’an (tanda pertengahan Al-Qur’an), terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf yang artinya: “hendaklah ia berlaku lemah lembut”.
Sejarah Turunnya Al-Qur’an Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui berbagai cara, antara lain: 1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya.
2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan katakata di hadapan Nabi SAW. 3. Wahyu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng. 1. Menurut Nabi SAW, cara inilah yang paling berat dirasakan, sampai-sampai Nabi SAW mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin. 4. Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli. Setiap kali mendapat wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh Malaikat Jibril. Al-Qur’an diturunkan dalam 2 periode, yang pertama Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat. Kedua adalah Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat. Ciri-ciri Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah Makkiyah
Madaniyyah
Ayat-ayatnya pendek-pendek, Ayat-ayatnya panjang-panjang, Diawali dengan yaa ayyuhan-nâs (wahai manusia), Diawali dengan yaa ayyuhal-ladzîna âmanû (wahai orang-orang yang beriman). Kebanyakan mengandung masalah tauhid, iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, dan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan akhirat (ukhrawi), Kebanyakan tentang hukum-hukum agama (syariat), orang-orang yang berhijrah (Muhajirin) dan kaum penolong (Anshar), kaum munafik, serta ahli kitab. Ayat Al-Qur’an yang pertama diterima Nabi Muhammad SAW adalah 5 ayat pertama surat Al-‘Alaq, ketika ia sedang berkhalwat di Gua Hira, sebuah gua yang terletak di pegunungan sekitar kota Mekah, pada tanggal 17 Ramadhan (6 Agustus 610). Kala itu usia Nabi SAW 40 tahun. Kodifikasi Al-Qur’an Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya di
hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka. Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup satu surat, Nabi SAW memberi nama surat tsb untuk membedakannya dari yang lain. Nabi SAW juga memberi petunjuk tentang penempatan surat di dalam Al-Qur’an. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al-Qur’an juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan AlQur’an yang dilakukan di masa Nabi SAW tsb berlangsung sampai Al-Qur’an sempurna diturunkan dalam masa kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari. Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, setiap tahun Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya. Malaikat Jibril mengontrol bacaan Nabi SAW dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama dengan mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian terpeliharalah Al-Qur’an dari kesalahan dan kekeliruan. Para Hafidz dan Juru Tulis Al-Qur’an Pada masa Rasulullah SAW sudah banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal AlQur’an), baik hafal sebagian saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’b, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik. Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu Bakar asSiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’b, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As. Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tsb belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.
HADIS DAN SUNNAH Pengertian Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah bantuk dari perkembangan perdaban manusia dan Islam. Kemajuan ini tidak terlepas dari pelajaran sejarah yang sangat panjang yang kemudian mengantarkan kehidupan manusia dari beberapa kategori zaman. Seiring dengan perkambangan tersebut sebagai ummat Islam tentunya sudah pasti harus percaya dan menyakini keberadaan Allah sebagai pencipta dan Muhammad SAW sebagai pembawa risalah dan penyempurna dari risalah sebelumnya. Pada saat ini kita Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Hadis Nabi merupakan penafsiran al-Qur’an dalam peraktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi saw merupakan perwujudan dari al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan hadis (sunnah) sebagai khazanah amat berharga bagi Islam dan umat pemeluknya, karena hadis merupakan sumber ajaran yang berlaku hingga hari kiamat. Kedudukan tersebut amat erat hubungannya dengan kerasulan maupun nubuwwah Muhammad saw. yang menjadi pamungkas sejarah kerasulan. Oleh karenanya, pengertian tentang hadis (sunnah) harus terus dikaji dari kemungkinan kesalahan dan penyimpangan. Lebih anehnya, mulai muncul sekte atau kelompok pengingkar terhadap hadis (inkar al-Sunnah) yang memicu ketidakpedulian umat Islam terhadap hadis atau sunnah yang seharusnya menjadi sumber ajaran Islam.[1] Pengertian Hadis dan Sunnah Al-Hadis menurut bahasa adalah masdar dari baru yang berlawanan dengan kata al-qadim yang artinya terdahulu. Hadis berarti pembicaraan, perkataan, percakapan, certitra, kabar dan kejadian.[3] Adapun pengertian al-Hadis menurut istilah, para ulama berbedah-beda dalam memberi definisi kata hadis seperti yang dikemukakan oleh mereka, antara lain:[4] Ulama hadis memberi definisi hadis sebagai berikut: Apa yang ditinggalkan oleh Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat kepribadian, atau perjalanan hidupnya baik sebelum maupun sesudah baliau diangkat menjadi Rasul. Ulama Ushul memberi definisi hadis sebagai berikut: Apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW, berupa perkataan perbuatan, dan taqrir sesudah diangkat menjadi Nabi.
Kemudian ulama fiqhi berbeda dengan ulama lainnya dalam memberi definisi hadis, mereka berkata: Sesuatu yang ditetapkan Nabi yang bukan wajib (sunat) salah satu dari lima.
Dengan demikian al-hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan dan pengakuannya. Sedangkan al-sunnah adalah sesuatu yang telah diperaktekkan oleh Nabi SAW. Yang patut diikuti dan dilaksanakan oleh umatnya. Manzur mengemukakan bahwa hadis menurut bahasa adalah sebagia berikut: Hadis lawan dari kata qadim,[5] yaitu adanya sesuatu yang sebelumnya tidak ada, misalnya ungkapan yang mengatakan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan makhluk itu adalah hadis. Hadis adalah sesuatu yang baru.[6] Hadis adalah berita, baik sedikit ataupun banyak [7] misalnya firman Allah dalam QS. alGhasiyah (88):1 “Sudah datang kepaadamu berita tentang hari pembalasan? Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa hadis adalah segala sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan kata al-sunnah (berasal dari bahasa Arab) yang akar katanya terdiri dari sin dan nun memiliki arti sesuatu yang mengalir atau sesuatu yang berurutan.[11] Dari makna tersebut, kata al-sunnah diartikan sebagai perilaku seseorang, baik itu positif maupun negatif.[12] Oleh sebab itu, penekanan al-Sunnah lebih kepada perilaku seseorang sejak dia lahir hingga dia meninggal, tanpa membedakan antara yang baik dengan yang buruk, sementara hadis penekanannya pada sesautu yang baru yang terkait dengan kisah atau berita. Namun secara termenologi, ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi terhadap hadis maupun sunnah disebabkan karena perbedaan tujuan keilmuan dan objek yang menjadi pembahasan atau penelitiannya.[13] Untuk mengetahui perbedaan tersebut, berikut masing-masing definisi hadis (sunnah) menurut ulama hadis, ulama ushul al-fiqhi, ulama fiqhi dan ulama Aqidah. Ulama Muhaddisin mendefinisikan hadis/sunnah sebagai “segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan (taqrir ), sifat, atau sejarah hidup[14]. Ulama Ushul al-Fiqhi (ushuluyyin) memberikan definisi Sunnah adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Saw selain al-Qur’an, baik dari segi perkataan, perbiatan, atau pun taqrir yang dapat dijadikan sebagai dalil atas sebuah hukum syari’at.[15] Ulama Fiqhi (Fuqaha’ ) menjelaskan bahwa sunnah adalah; Segala yang bersumber dari Nabi Saw yang tidak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat fardhu atau pun wajib.[16] Ulama Aqidah mendefinisikan sunnah/hadis dengan sesuatu yang berlawanan denganbid’ah.[17]
Perbedaan pendefinisian ini disebabkan karena perbedaan metodologis dimana Muhaddisin di dalam penelitiannya memposisikan Rasulullah Saw sebagai Imam tertinggi, pemberi jalan menuju kepada hidayah, pemberi nasehat sebagaimana berita yang disampaikan Allah Swt bahwa Rasulullah Saw merupakan uswah dan qudwah bagi kaum muslimin, sehingga para Muhaddisin mengambil seluruh yang bersumber dari Nabi Saw baik dari masalah sirah (perjalanan hidup), Akhlaq, kecenderungan, berita-berita, perkataan, dan perbuatan beliau Saw tanpa melihat apakah yang nuqil tersebut memiliki kandungan hukum syari’at atau pun tidak. Adapaun Ushuliyyin memposisikan Nabi Saw sebagai Musyarri’ (pembuat hokum) yang menjelaskan kepada manusia tentang pranata sosial, dan sebagai peletak kaidah-kaidah dasar untuk para Mujtahidin setelah wafat beliau. Oleh karena itu, mereka melihat sunnah hanya sebatas apa yang datang dari Nabi Saw dinatar tiga kategori utama yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum syari’at. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraikan sebagai berikut: Hadis Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, hadis adalah perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat atau moral Rasulullah saw. Sehingga dengan demikian, hadis mencakup empat aspek yaitu qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqriri (ketetapan) dan washfi (sifat/moral).[21] Sunnah Kata sunnah juga telah dijelaskan sebelumnya yaitu secara etimologi sunnah berarti cara, perilaku yang terpuji atau tercelah, sedangkan terminologinya sunnah adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat/moral (mayoritas ulama menyamakan definisi sunnah dengan hadis.[22] Kedudukan dan Fungsi Hadis Dilihat dari segi kedudukannya, hadis dapat dibagi kepada dua hal. Pertama, hadis sebagai sumber hukum. Ini terkait dengan perintah untuk mentaati beliau sebagai rasulullah dan segala apa yang datang dari beliau hendaknya dijadikan landasan/hujjah. Kedua, hadis sebagai sumber keteladanan yang didasarkan pada kedudukan nabi sebagai uswatun hasanah,[47] sehingga semua aspek dari hadis nabi patut untuk diteladani. Adapun dari segi fungsinya, hadis nabi berfungsi sebagai bayan/penjelas terhadap al-Qur’an karena ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri masih ada yang mubham, mujmal dan khas.[48] Seperti hadis mengenai tata cara shalat yang dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara rinci, disinilah hadis berfungsi menjelaskannya. Selain itu, hadis juga berfungsi sebagai pendukung terhadap ketetapan yang ada dalam al-Qur’an.[49]
Pembentukan Dan Sejarahnya Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits. 1.
Masa Pembentukan Al Hadist
Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. 2.
Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Al Hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya. 3.
Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima Al Hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan ‘aqidah dengan munculnya Al Hadits palsu. Para sahabat dan tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada Al Hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa Al Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan Al Hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan Al Hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Al Hadits marfu’ dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu’. 4.
Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Al Hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk marfu’ (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu’ (berisi prilaku tabi’in). Usaha pembukuan Al Hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Al Hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada
abad 4 H, usaha pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Al Hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Al Hadits abad 4 H.
Ijtihad Pengertian Ijtihad Menurut Para Pakar Islam, sebagai berikut :
Menurut Hanafi, Pengertian Ijtihad adalah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara’) melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu. Pengertian Ijtihad Menurut Yusuf Qardlawi adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Penggunaan kata ijtihad hanya terhadap masalah-masalah penting yang memerlukan banyak perhatian dan tenaga. Menurut Al-Amidi, Pengertian Ijtihad ialah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Imamal-Gazali mengungkapkan, Pengertian Ijtihad merupakan upaya maksimal seorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Zuhdi mengatakan, Pengertian Ijtihad ialah mengerahkan segenap kemampuan berpikir untuk mencari dan menetapkan hukum-hukum Syara’ dari dalil-dalilnya yang tafshily. Menurut Para Sahabat, Pengertian Ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul, baik melalui suatu nash, yang disebut “qiyas” (ma’qul nash) maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syariat, yang disebut “maslahat“. Pengertian Ijtihad Menurut Mayoritas Ulama Ushul ialah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhann mengenai sesuatu hukum syara’, ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad yaitu untuk mengeluarkan hukum syara’ amaliy statusnya zhaanny. Dengan demikian Ijtihad tidak berlaku dibidang akidah dan akhlak.
Adapun Minoritas Ulama Ushul, Pengertian Ijtihad adalah pengerahan segala kekuatan untuk mencari hukum sesuatu peristiwa dalam nash Al-qUran dan Hadits shahih. Demikianlah Pembahasan mengenai Pengertian Ijtihad Menurut Para Pakar, semoga tulisan saya mengenai Pengertian Ijtihad Menurut Para Pakar dapat bermanfaat.