Sejarah Tafsir Asia Tenggara

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sejarah Tafsir Asia Tenggara as PDF for free.

More details

  • Words: 5,604
  • Pages: 13
Catatan Tentang Sejarah Tafsir Al-Qur’an di Asia Tenggara 1 R. Michael Feener Diterjemahkan oleh Irvan Awaluddin [email protected] www.irvanminerva.wordpress.com NOTE:

Penterjemah tidak mencantumkan footnote, untuk melihat footnote yang ada di dalam teks ini silahkan lihat tulisan aslinya di Jurnal Studia Islamika Meskipun kita diberi tahu di seluruh bagian al-Qur'an bahwa ia merupakan wahyu yang ‘jelas’, tetapi beberapa penjelasan lebih lanjut mengenai ayat-ayat tertentu diperlukan penjelasannya pada masa hidup Muhammad. Selama masa hidup Nabi, secara umum hal ini disampaikan dengan kata-kata dan perbuatan-perbuatan Muhammad sendiri. Pada generasi-generasi selanjutnya, mereka telah melakukan berbagai usaha keras untuk menafsirkan al-Qur’an yaitu dengan menggunakan metode penggabungan cerita-cerita Yahudi dan Kristen tentang Nabi-Nabi sebelumnya (israiliyyat) untuk mensiasati analisis filologis al-Qur'an sehingga metode ini menciptakan ilmu yang spesifik dalam penafsiran kitab suci yang sekarang dianggap sebagai metode tafsir yang layak dipakai. Ada beberapa studi tentang genre litelatur Arab ini, walau bagaimana pun seluruh usaha untuk melakukan studi ini menggunakan karya pertama yang ditulis oleh Ignaz Goldziher, Die Richtungen der islamischen Koranauslegung. Tidak ada yang menyangkal kehebatan dari karya ini, ketersusunan karya ini yang menentukan batasan-batasan yang jelas tentang cakupannya yang masih tidak terkalahkan oleh studi-studi belakangan mengenai tema ini. Goldziher menyusun karyanya berdasarkan pada bab-bab tertentu, setiap bab membahas suatu ‘tendensi/tema’ (richtung) tertentu termasuk tafsir yang beraliran tradisional, dogmatik, mistik, sektarian dan modern. Dalam melakukan hal ini, beberapa karya penting nampak diabaikan dan hanya disebutkan di dalam sisipan saja. Banyak karya yang diabaikan ini diklasifikasikan sebagai tafsir ‘didaktis’ yang dikumpulkan secara spesifik untuk digunakan sebagai sumber-sumber pedagogis dengan pemikiran yang bersejalan dengan para pelajar tingkat awal. Contohnya karya al-Tabari, pembahasan linguistik yang mendalam karya Zamakhshari, dan pengkajian seluk-beluk metafisik dari Ibn Arabi atau Ikhwan al-Safa. Biarpun demikian, karya-karya di atas telah menjadi jembatan kepada beberapa karya dan memiliki peranan yang berharga di dalam mempertahankan pembelajaran Islam di berbagai belahan dunia selama berabad-abad, walau bagi para pelajar yang mempelajarinya hanya dari teksteks perkenalan. Di dalam essay ini kami akan menguji beberapa teks dengan

1

Tulisan ini adalah terjemahan dari artikel yang berjudul 'Notes Towards the History of Qur'anic Exegesis in Southeast Asia' ditulis oleh R.Michael Feener di dalam Studia Islamika vol.5 no.3 1998. hlm. 52-66

1

mengkaji peranan mereka di dalam perkembangan kajian tafsir al-Qur’an di kalangan Muslim Asia Tenggara. Kejelasan tekstual yang paling awal yang kita miliki tentang aktivitas penafsiran alQur’an di kalangan Muslim Asia Tenggara adalah berbentuk manuskrip Melayu yang disimpan di Cambridge yang pada awalnya dimiliki oleh Dutch Arabist Erpenius, yang diperoleh setelah manuskrip tersebut dibawa dari Aceh di peralihan abad ke-17. Penulisan surat 18 yaitu surat al-Kahf dalam bahasa Arab ini ditulis dengan tinta merah yang diikuti dengan terjemahan Melayu serta penulisan tafsirnya dengan warna hitam. Seluruh surah diselang-selangi dengan ‘penyisipanpenyisipan anekdotis yang panjang’ dengan bahasa Melayu. Peter Riddel mengatakan bahwa teks ini terutama didasarkan pada tafsir al-Khazin yang berjudul Ma’alim al-Tanzil, juga mengambil beberapa penafsiran dari al-Baydawi. Tentang tafsir Baydawi kami akan mengkajinya lebih jauh pada kesempatan yang lain. Kami akan memfokuskan pada karya pertama al-Khazin, yang memiliki peran penting di seluruh gaya penafsiran dari karya yang disimpan di Cambridge MS. ini. Ala al-Din Abu Hasan Ali b.Muh.Ibrahim Umar b.Khalil al-Shihi al-Baghdadi alShafi’i al-Sufi al-Khazin telah menulis banyak karyanya di Syiria dan meninggal di Aleppo tahun 740/1340. Dia terkenal dengan karya tafsirnya yang berjudul, Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil yang sangat dipengaruhi karya al-Baghawi di mana alBaghawi dikenal dengan dua karyanya; sebuah tafsir yang berjudul al-Kashf wa alBayan ‘an Tafsir al-Qur’an dan ‘Arais al-Majalis, sebuah kitab yang berisi kumpulan cerita-cerita tentang Nabi atau Qissas al-Anbiya. Setelah al-Tha’labi dan al-Khazin, ‘aliran’ tafsir ini dilanjutkan di dalam karya Abu Muhammad al-Husayn b.Masud b.Muhammad al-Farra’ al-Baghawi (w.516/1122 atau 510/1117). Sangat sedikit bukti bahwa dia telah menulis tafsir yang berjudul Ma’alim al-Tanzil, tulisan Professor Robson di dalam Encyclopedia of Islam pun tidak mengatakan bahwa al-Baghawi telah menulisnya. Al-Baghawi secara luas dikenal dengan karyanya Masabih al-Sunna (atau al-Duja), sebuah kumpulan perilakuperilaku Nabi yang disusun secara tematis. Di Asia Tenggara teks ini ditemukan di awal abad ke-16. Beberapa masa kemudian sebuah teks berbahasa Jawa telah secara eksplisit merujuk Masabeh Mafateh. Professor Drewes mengidentifikasinya sebagai karya berbahasa Jawa dari kitab “Mafatih al-Raja’ fi Sharh Masabih al-Duja (atau) al-Sunna), karya tafsir yang ditulis al-Wasiti (w.797/1394) yang selanjutnya oleh al-Baghawi direvisi dengan judul Masabih al-Duja (atau al-Sunna). Karya-karya tafsir al-Khazin, al-Tha’labi, dan al-Baghawi berisi sejumlah kisah israiliyyat. Pencantuman kisah israiliyyat ini telah dikecam oleh sejumlah pakar karena kisah tersebut lemah (dha’if); dengan alasan ini mereka menjadi objek kekejian dan kepalsuan yang ditolak di wilayah-wilayah berbahasa Arab di dunia Muslim, dan juga ditolak selanjutnya di wilayah kesarjanaan Barat. Meskipun begitu, hubungan antara israiliyyat dan kisah-kisah yang ‘ajaib’ itu (karena hal ini lah tafsir-tafsir yang mencantumkannya telah dikecam) nampaknya tidak menjadi halangan yang serius di kalangan Muslim awal di Asia Tenggara, bahkah mungkin

2

cerita israiliyyat dan kisah-kisah yang ‘ajaib’ tersebut telah mempermudah prosesnya. Buktinya penggunaan cerita dan israiliyyat untuk menjelaskan tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang disebutkan di dalam al-Qur’an tidak sepenuhnya hilang dari litelatur-litelatur Islam di kalangan Muslim Asia Tenggara. Salah satunya dapat ditemukan di dalam kumpulan cerita nabi-nabi al-Qur’an yang dikumpulkan bersamaan sebagaimana yang telah dilakukan Professor van Wijk. Ada tiga manuskrip yang sebelumnya berada di dalam Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen karya Entjik Hoesain Boegis. Karya ini berisi kisah israiliyyat, atau kisah-kisah yang diambil dari kitab suci-kitab suci pra-Islam. Kisah-kisah tersebut tidak termasuk studi tafsir tetapi termasuk genre Qissas al-Anbiya. Meskipun demikian, saat salah satu dari tiga teks yang dikaji van Wijk memuat judul ini, teks yang mendahuluinya yang berjudul Kitab Ahloe’ltafsir, menunjukkan bahwa teks ini oleh penulisnya serta penyalinnya telah ditujukan untuk pendengar tertentu. Saat beberapa karya mungkin tidak layak dikategorikan sebagai karya klasik, seperti kriteria yang dibuat oleh al-Suyuti di dalam al-Itqan nya ( yang menurut para oritentalis karya ini menegakkan sesuatu secara dogmatis), seharusnya mereka tidak harus bersikap a priori dikarenakan mereka tidak termasuk yang dibahas di dalam sejarah tafsir al-Qur’an. Karya-karya yang lebih modern ditulis pada masa Indonesia kontemporer, walaupun tidak di dalam kualitas tafsir yang lebih ‘standar’. Salah satu terbitan yang telah dicetak sampai beberapa edisi dan yang menggabungkan elemen-elemen qissas yang memuat kejadian-kejadian historis pada masa Nabi yang diceritakan di dalam al-Qur’an adalah karya Bey Arifin yang berjudul Rangkaian Tjerita dalam alQur’an. Pertama karya ini memuat rangkaian cerita israiliyyat dan kedua cerita tersebut diambil dari litelatur hadith dan sirah yang menggabungkan dasar-dasar historiografi Muslim. Beberapa karya tafsir yang ditulis di dunia Melayu-Indonesia nampaknya telah berhati-hati sejak pertengahan abad ke-17 untuk menyusun karya tafsir yang lebih ‘sistematik’. Kita menemukan karya yang sangat kental dengan gaya tersebut adalah Tarjuman al-Mustafid karya ‘Abd al-Ra’uf Singkeli. ‘Abd al-Ra’uf (dikenal di Aceh sebagai Teungku di Kuala) lahir di Aceh pada pertengahan pertama abad ke17, pada tahun 1642 ia melakukan ibadah haji dan belajar di Arab. Di sana ia tinggal selama 19 tahun, ia berkunjung dan belajar di pusat-pusat pembelajaran seperi Zabid, Bayt al-Fiqh, Mekkah, dan Madinah. Di Madinah ia banyak menghabiskan waktunya untuk belajar di bawah bimbingan Sufi pembaharu Shaykhs Ahmad al-Qushayshi (w.1661) dan Ibrahim al-Kurani (w.1101 H./1690). Dan setelah al-Qushayshi wafat pada tahun 1661, ‘Abd al-Ra’uf kembali ke Aceh dan menulis beberapa karya tentang fiqh, hadith, kewajiban guru dan murid, tasawwuf, dan tafsir sampai kematiannya pada tahun 1700. Sampai saat ini kuburannya terus dikunjungi oleh para pengikutnya yang menganggapnya sebagai sufi besar aliran Shattariyyah, dia dikenal secara luas dengan karya tafsir nya, yaitu Tarjuman al-Mustafid.

3

Tarjuman dianggap sebagai terjemahan Melayu dari karya tafsir al-Baydawi, pendapat ini dikatakan oleh Snouck Hurgronje, barangkali pendapat ini muncul karena Snouck membaca Tarjuman, cetakan Istanbul, dengan sekilas. Pemahaman yang rancu ini kemudian digaungkan oleh beberapa sarjana termasuk Rinkes dan Voorhoeve, bahkan telah dicetak di Singapura pada tahun 1951 sebagai karya terjemahan al-Baydawi. Kajian yang lebih mendalam dilakukan oleh Peter Riddell yang menyatakan bahwa faktanya rujukan-rujukan dan kutipan-kutipan dari tafsir al-Baydawi jarang ditemukan di dalam Tarjuman. Karya ini lebih condong merupakan saduran dari Tafsir al-Jalalayn yang sekali-kali mengutip Baydawi, alKhazin, dan Abdurra’uf sendiri, juga dengan sedikit penambahan dari Baba Da’ud Jawi, seorang murid ‘Abd al-Ra’uf. Karya ini adalah karya pertama yang menafsirkan al-Qur’an dengan lengkap, berbahasa Melayu dan sampai sekarang masih diajarkan di beberapa pesantren dan di beberapa institusi di Indonesia, Malaysia, dan di selatan Thailand (Patani). Tarjuman al-Mustafid karya Abdurra’uf Singkeli tetap menjadi karya standar tafsir dan terjemahan dalam bahasa Melayu, karya-karya lain membuktikan eksistensi karya yang serupa dalam bahasa-bahasa daerah di Asia Tenggara. Pada permulaan abad ke-19, Sir Stamford Raffles telah mendapatkan sebuah teks yang secara keliru diteliti oleh rekannya Dr. Leyden sebagai teks yang ditulis dalam bahasa Bugis. Teks tersebut sebenarnya ditulis dalam bahasa Makasar begitu pula dengan uraianuraiannya tentang al-Qur’an. Uraian surah pertama dari dua surah telah diedit dan diterjemakan ke dalam bahasa Belanda oleh B.F. Matthes pada tahun 1856. Teks itu sendiri lebih merupakan terjemahan lepas dari bahasa Arab dan lebih condong merupakan teks tafsir daripada murni terjemahan. Sekalipun demikian, metode ‘penerjemahan’ dan penafsiran al-Qur’an yang lain dapat ditemukan di dalam litelatur berbahasa Jawa, kita mendapatkan sebuah tradisi yang menterjemahan ke dalam bahasa Jawa (tertulis dalam huruf pegon, atau huruf Arab) di antara baris teks al-Qur’an. Contoh dari karya seperti ada dalam bentuk salinannya dan sedikit edisi yang dicetak oleh Lange&Co. di Batavia yang diterbitkan pada tahun 1858. Terjemahan dan tafsir al-Qur’an berbahasa Jawa selanjutnya telah mengadopsi format berbeda. Beberapa teks, yang ditulis sejak cetakan tahun 1930 dalam menulis teks Arab al-Qur’an pada setengah halaman dengan terjemahan Jawa disebrangnya, baik dalam tulisan Jawa maupun Latin. Sekali-kali tafsir-tafsir yang lebih elaboratif dalam membahas surat-surat yang diterjemahkan ditemukan dalam bentuk catatan kaki. Dalam perkembangan tafsir al-Qur’an, format tata letak dan format cetak dari teks ini nampak jelas pengaruh Barat, terutama dalam teknologi dan pengorganisasiannya, setidaknya pada salah satu aliran. Perubahan yang serupa dapat juga dilihat di dalam karya tafsir dan terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Salah satu contoh yang mencolok dari model ini dapat dilihat pada terjemahan populer yang ditulis oleh seorang reformis berlatar belakang pendidikan di Kairo yaitu Mahmud Junus. Pada edisi pertama karya ini format cetakannya betul-betul tradisional – merepresentasikan praktek berbahasa Arab yang menjadi tradisi pada kesarjanaan Muslim yaitu dengan teks Arab al-Qur’an di tengah halaman dan dikelilingi terjemahan pada margin kertas di ketiga sisi halaman. Sementara tafsirnya diletakkan pada bagian yang terpisah di

4

bagian bawah margin kertas. Pada cetakan belakangan karya-karya seperti ini diformat ulang sesuai dengan format ‘teks paralel’ yang terus menerus menjadi populer. Gaya ini telah menjadi format yang dominan untuk terbitan-terbitan tafsir berbahasa Indonesia selanjutnya. Sekarang beralih kepada karya yang lain dari tafsir al-Qur’an yang berbahasa Jawa, kami menemukan sejumlah teks yang beraliran sufistik, khususnya sejumlah teks yang membahas surat al-fatihah (surat pertama al-Qur’an) secara khusus, karyakarya seperti ini telah di lingkungan sekitar istana Jawa Tengah selama abad ke-18 dan seterusnya. Dua contoh dari genre ini ditulis dengan versi macapat, Suluk Tagesipun Patekah dan Suluk Suraosipun Patekah, teks-teks ini disimpan di Perpustakaan Kerajaan di Surakarta. Selanjutnya tradisi seperti ini tidak begitu diramaikan pada abad sekarang seperti yang ditemukan di dalam Samudera al Fatikhah karangan Mpu Wesi Geni, di mana penafsiran mistik dalam bentuk numerologi begitu mendominasi. Beberapa perkembangan dapat pula dilihat pada Indonesia Modern dengan buku Kandungan al-Fatihah karya Bahrum Rangkuti, Butir-Butir Mutiara al-Fatihah karya Labin & Ahnan, dan karya Ben Arifin (yang juga berjudul Samudera al-Fatihah), di mana karya Ben Arifin ini sekarang telah dicetak di Surabaya, Malaysia, dan Singapura. Lebih belakangan, Dawam Rahardjo juga telah berusaha untuk “menafsirkan kandungan-kandungan al-Qur’an melalui al-fatihah – menggunakan surah al-fatihah sebagai ‘pembuka’ atau kunci untuk memahami surat-surat [yang lain] di dalam al-Qur’an.” Terlepas dari seluruh aktifitas ini, ternyata tafsir jarang sekali dimasukkan di dalam kurikulum pesantren tradisional sampai pertengahan abad ini. Pada situasi tertentu di Tanah Tinggi Gayo (Aceh, Indonesia), Professor Bowen mencatat, “pada tahun 1930 banyak para ‘ulama tradisional bersepakat bahwa para santri tidak wajib mempelajari tafsir, karena hanya orang dengan pendidikan yang cukup yang dapat menafsirkan kitab suci.” Pada waktu dan tempat yang sama terdapat tanda-tanda perubahan dari sejumlah penyair lokal seperti Tengku Yahye yang telah menterjemahkan surat-surat tertentu (dan hadist Nabi) ke dalam bahasa Gayo. Sejumlah surat telah disusun dan telah diterbitkan di Kairo pada tahun 1938 di bawah judul Tafsir al-Gayo. Perlu dicatat bahwa versi tercetak ini tetaplah tidak terlalu berpengaruh pada lingkungan tradisi lisan meski di dalam lingkungan di mana teks tersebut berasal, berbagai penafsiran surat ini secara umum hanya dikenal melalui pengkajiannya secara publik. Jenis penyampaian dengan tradisi lisan yang serupa juga digunakan oleh seorang modernis Sunda yang bernama Ahmad Soorkati yang telah memberikan kuliah-kuliah al-Qur’an di Batavia (Jakarta) pada tahun 1930 yang telah menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu dengan spontan. Sampai saat ini, perkembangan penulisan teks-teks tafsir di Asia Tenggara masih terbilang lambat. Pada tahun 1908, Muhammad Yusuf To’ Kenali (1866-1933), telah kembali ke negerinya Kelantan setelah hampir 20 tahun belajar di Timur Tengah. Di sana dia aktif menstimulasi perkembangan pendidikan Islam dengan menyusun kamus dan tabel-tabel kata kerja Bahasa Arab untuk digunakan oleh para pelajar di Melayu. Dia juga ditugaskan oleh Dewan Kelantan pada Agama dan

5

Kebudayaan Melayu untuk menerjemahkan karya-karya tafsir karangan al-Khazin dan Ibn Kathir ke dalam bahasa Melayu; malangnya terjemah-terjemahan ini tidak pernah diterbitkan. Walaupun demikian karya-karya yang dipilih oleh dewan tetap menjadi hal yang menarik perhatian negara pada waktu itu. Kita telah menyinggung dengan singkat tentang karya yang tadi disebutkan yaitu al-Khazin dan oleh karena kita harus membatasi pembahasan ini kepada karya yang terakhir disinggung yaitu Ibn Kathir. ‘Imad al-Din Isma’il b.Umar b.Kathir (w.774/1373) adalah seorang sejarawan dan seorang tradisionalis yang sangat dipengaruhi Ibn Taymiyya (w. 728/1328) dan telah banyak menempati berbagai jabatan di bawah pemerintahan Bahri Mamluk di Syiria. Dia dikenal dengan karya-karyanya seputar sejarah dan ilmu hadith serta tafsir, H. Loust telah mencatat tentang tafsirnya sebagai berikut: Ibn Hadjar al-‘Askalani mengatakan bahwa Ibn Kathir telah menulis tafsir al-Qur’an. Tafsir Ibn Kathir (Kairo 1342/1923), pada dasarnya merupakan karya filologi, tafsir ini sangat mendasar dan memberi gambaran yang jelas di mana gaya ini juga ditiru selanjutnya oleh alSuyuti. Rujukan yang terakhir adalah kepada Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti (w. 911/1505) bersama dengan gurunya Imam Jalal al-Din Muhammad al-Mahalli (w. 864/1459) menyusun Tafsir al-Jalalyn, sebuah karya ringkas yang bertujuan: Menguraikan apa yang bisa difahami dari Kata-Kata Tuhan, memilih pendapat-pendapat yang lebih mendukung, untuk menjelaskan kalimat-kalimat dengan penjelasan yang lebih baik, menjelaskan bacaan-bacaan yang sudah dikenal,... tanpa menuliskan pendapatpendapat yang lemah atau mencantumkan masalah-masalah yang panjang yang lebih baik didiskusikan dalam tulisan tentang filologi Arab. Sebagaimana dibahas di atas, karya ini telah membentuk dasar dari Tarjuman alMustafid -nya ‘Abdurra’uf Singkeli, sampai hari ini teks asli bahasa Arab Jalalyn diajarkan di seluruh bumi Melayu dan telah dicetak ulang beberapa kali, dan dengan mencantumkan kutipan-kutipan kecil dari al-Sawi dan al-Jamal. Salah satu salinan manuskrip dari karya ini tersimpan di Dewan Bahasa dan Pustaka di Kuala Lumpur yang dibubuhi keterangan di antara barisnya. Pada survey tahun 1886 mengenai buku-buku Arab yang digunakan pada Pendidikan Agama Islam tradisional di Jawa dan Madura, van den Berg menyebutkan bahwa hanya satu karya tafsir yang diajarkan di daerah tersebut pada waktu itu, dengan komentar umum bahwa tafsir merupakan cabang ilmu-ilmu keislaman yang sedikit dipelajari di lingkungan itu. Karya tersebut adalah Tafsir Jalalayn. Pada survey yang lebih belakangan tentang buku-buku yang digunakan, Martin van Bruinessen mencatat dominasi kuat Jalalayn dalam pendidikan pesantren, walaupun sejumlah buku seperti karya al-Tabari (Jami’ al-Bayan),

6

Baydawi, dan Ibn Kathir telah dimasukkan ke dalam kurikulum. Selain karya-karya ini kita harus menyebutkan Tafsir al-Munir karya Shaykh Muhammad al-Nawawi Tanara Banten (1813-1897), di dalam institusi-institusi yang lebih berorientasi modern ditemukan pula Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh (w.1905) dan Rashid Rida (w. 1935), dan juga al-Maraghi diajarkan di sana. Penulis Tafsir al-Munir, Shaykh Muhammad al-Nawawi Tanara Banten dilahirkan di Jawa Barat pada tahun 1813, sebagai seorang pemuda yang belajar di Mekkah di bawah bimbingan beberapa ‘ulama besar, termasuk di antaranya: Shaykh Ahmad Zayni Dahlan, Sayyid Ahmad an-Nahrawi dan Shaykh Ahmad Dimyati. Kemudian Ia melanjutkan belajarnya di Madinah (bersama Shaykh Muhammad Khatib alHanbali) dengan mengkaji fiqh dan tafsir al-Qur’an. Karya tafsirnya adalah Marah Labid, Snouck Hurgronje telah melaporkan bahwa tafsir karya al-Nawawi ini telah dicetak di Mekkah tahun 1884. Pada waktu itu di bawah judul Tafsir al-Munir yang telah dicetak ulang di Kairo pada tahun 1887 dengan tambahan tafsir al-Wajiz fi Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz karya al-Wahidi di pinggir halamannya. Ini merupakan kemunculan karya tafsir ‘bergaya klasik’ yang agak terlambat dan melambangkan akhir dari tulisan hiasan dari tradisi ini di ambang reformulasi modern genre ini. Professor Johns telah mengomentari pengaruh Tafsir al-Kabir karya Fakhr al-Din Razi terhadap karya Nawawi Banten. Dengan hubungan ini Professor Johns menulis: Walaupun tafsir al-Nawawi adalah tradisional, untuk tidak mengatakannya kuno – karena misalnya karya ini mengambil astronomi Ptolomous secara utuh – pendekatannya konsisten dengan ide-ide reformis, dan barangkali turut membantu meratakan jalan reformasi untuk ide-ide tersebut, terkarakterisasi dengan tiga untaian rasionalisme, dan sering merujuk kepada kehidupan Muhammad – sebagai makhluk yang paling baik – di dalam penjelasan teks alQur’an, karya ini juga memasukkan mistisisme atau spiritualitas yang ‘seadanya’ juga kepada karya-karyanya yang lain. Dengan mengambilnya sebagai karya yang penting, kita mungkin dapat mengapresiasi dengan lebih baik pentingnya karya Shaykh Nawawi Banten sebagai jembatan antara genre tafsir yang ada, sebagaimana diajarkan di lingkungan pesantren secara tradisional dengan penulisan tafsir yang lebih ‘modern’ yang telah tumbuh subur di seluruh dunia Muslim semenjak peralihan abad ke-19. Barangkali karya yang paling penting adalah tafsir al-Manar yang telah ditulis oleh Muhammad ‘Abduh dan dilanjutkan setelah ia wafat oleh Rashid Rida. Sebelumnya, ‘Abduh telah menulis sebuah tafsir juz ‘amma, atau juz ketiga puluh dari al-Qur’an, yang telah diterbitkan di Kairo pada tahun 1903. Pada tahun 1923, sebuah terjemahan Indonesia dari karya ini muncul di Batavia, yang telah dicetak bersama dengan essay sejarah tentang Nabi dan para sahabatnya mengenai hukum peribadahan berdasarkan Madzhab Shafi’i. Penambahan terakhir ini tentunya

7

mengejutkan karena ‘Abduh ternyata bersikap setia secara konsisten terhadap salah satu ‘aliran hukum’ yang formal. Semenjak terjemahan pertama, sejumlah edisi Indonesia dari tafsir karya ‘Abduh telah muncul dengan berbagai versi terjemahan. Yang paling terbaru adalah terjemahan Muhammad Bagir yang dicetak oleh penerbitan terkenal di Bandung yaitu Mizan pada tahun 1998. Bermula dari terjemahan ‘Abduh yang disebutkan di atas, sejumlah karya baru berbahasa asing dan modern telah muncul di Asia Tenggara. Barang kali yang paling kontroversial dari penerjemahan ini adalah karya Maulana Muhammad Ali yang berjudul The Holy Qur’an yang dibubuhi komentar Tjokroaminoto. Pada tahun 1928, Muhammadiyah dan kelompok yang lain memprotes proyek penerjemahan ini dengan alasan bahwa karya yang diterjemahkan ini berisi elemen-elemen Ahmadiyah. Walaupun Majlis Ulama tidak mengeluarkan hukuman resmi apapun, publikasi dari terjemahan Indonesianya telah ditunda selama beberapa dekade. Tetapi karya ini tersedia di Indonesia yang diterbitkan dalam bentuk yang berbeda. Contohnya, terjemahan berbahasa Belanda oleh seorang beretnik Jawa yang diterbitkan di Suriname, terjemahan berbahasa Belanda The Holy Qur’an dapat dijumpai di rak-rak buku Nusantara, dan sebuah terjemahan bahasa Jawa yang berhuruf Latin telah diterbitkan pada tahun 1963. Pada tahun 1998 penulis juga dapat menemukan salinannya dalam bahasa Inggris di toko buku-toko buku supermarket di sekitar Jakarta. Lebih jauh lagi, seorang ahli ekonomi dan editor dari Jurnal Ulumul Qur’an Dawam Rahardjo telah mengutip karya ini sebagai ‘model yang patut ditiru” oleh para penafsir Muslim Indonesia. Kemunculan karya-karya asing ini bukan merupakan akhir dari karya-karya tafsir yang ditulis di dalam negeri. Buktinya, sekarang kita menemukan ledakan besar di dalam penulisan karya-karya tafsir di beberapa bahasa di Asia Tenggara. Sejajar dengan kesarjanaan Melayu, kita menemukan Shaykh Haji Abdul Karim Amrullah (a.k.a. Haji Rasul) dari daerah Minangkabau di Sumatera Barat. Ia menerbitkan beberapa karya dengan tulisan jawi (berbahasa Melayu tetapi memakai tulisan Arab) di antaranya al-Burhan: Tafsir Juz ‘Amma, tafsir al-Qur’an juz ketiga puluh. Di dalam nada yang serupa kita juga menemukan karya Tafsir al-Ibriz karya Bisri Mustofa, sebagai karya lain dari genre kitab kuning, Hanya saja karya ini ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab (pegon). Meskipun lebih dari karya al-Burhan nya Amrullah, karya ini nampaknya lebih merefleksikan konteks kultural Indonesia di mana karya ini diciptakan. Para penulis kedua karya ini, yang merupakan ‘ulama dengan latar belakang pendidikan klasik, juga berbagi sebuah pararel yang unik di mana mereka adalah ayah dari putra mereka yang menulis tema-tema keagamaan dan sastra yang menonjol. Amrullah adalah ayahnya Hamka (kami akan membicarakannya di bawah ini), sementara Bisri Mustofa adalah ayah dari Mustofa Bisri, seorang penulis puisi kontemporer yang terkenal juga penulis berbagai prosa di dalam tema-tema keagamaan yang lebih spesifik. Pada abad kedua puluh, karya-karya bertuliskan jawi dan pegon hampir dilupakan – hanya dipakai di beberapa pesantren di tengah bayangan banyaknya karya-karya yang menggunakan Bahasa Indonesia dan tulisan Latin yang mengkaji berbagai

8

ilmu keagamaan. Pelopor dari gerakan ini adalah Tafsir al-Furqan karya A. Hassan (a.k.a. Hassan Bandung/Hassan Bangil, w. 1958), yang secara berkala muncul dari sejak awal1928, yang pada akhirnya diterbitkan dalam bentunknya yang utuh pada tahun 1956. Karya yang ditulis oleh tokoh organisasi reformis garis keras yang bernama Persis (Persatuan Islam) ini lebih merupakan karya terjemahan dibandingkan sebagai karya tafsir karena penafsirannya hanya ditlis dalam bentuk footnote yang pendek. Namun di dalamnya terdapat pembukaan yang cukup panjang di mana penulisnya menerangkan metode penafsirannya; membeberkan prinsip-prinsip penafsiran mendasar yang membedakannya dari kebanyakan karya yang ditulis di Asia Tenggara baik sebelum karya ini ditulis ataupun sesudahnya. Hal ini dapat dilihat sebagai sebuah bagian yang utuh dari proyek A. Hassan yang lebih besar yaitu membuka ‘pintu ijithad’ – sebuah gerakan yang memiliki efek yang sangat besar pada generasi kaum Muslim Indonesia selanjutnya walaupun mereka tidak dapat mengikutinya secara utuh di dalam kesimpulan-kesimpulannya yang sama radikal. Pada tahun yang sama versi yang lengkap dari al-Furqan karya Hassan dicetak, karya penting yang lain telah diterbitkan oleh seorang reformis Jawa Tengah yang berrnama Moenawar Chalil (w. 1961). Karyanya berjudul, Kembali kepada Qur’an dan Sunnah yang juga bertujuan sebagai sebuah komponen penting dari proyek pembaharuan (islah/tajdid) yang lebih besar, khususnya di dalam bidang fiqh (yurisprudensi). Secara teknis dapat dikatakan bahwa karya ini bukanlah karya tafsir, bagian pertama dari delapan bagian disusun dalam secara tematis (maudhu’i) yang menginterpretasikan setiap ayat-ayat al-Qur’an dalam hubungannya dengan istilah dari ayat yang lain berdasarkan temanya (bil-ma’thur). Misalnya untuk tema “Qur’an sebagai Sumber Hukum Pertama,” ia menghadirkan sembilan surat dalam satu tema yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari berbagai bagian teks alQur’an, pertama ditulis dalam bahasa Arab dan kemudian ditulis terjemahan Indonesianya. Metode ini pun terus ia pakai, ia membuat tafsir yang lebih luas untuk membangun penafsiran yang lebih seimbang dan lebih lengkap dari berbagai pernyataan al-Qur’an di dalam satu tema. Selain karya ini, Chalil juga mulai menulis apa yang telah direncanakan menjadi tafsir multi-volume di dalam bahasa Jawa. Sayangnya karya tersebut tidak rampung ia selesaikan sampai ia meninggal, usaha untuk menafsirkannya hanya sampai sepertiga terakhir surat al-Baqarah. Pada tahun 1950, umumnya kita dapat menyelidiki perkembangan yang besar di dalam karya-karya tafsir yang ditulis di dalam bahasa Indonesia modern dengan huruf Latin. Contoh yang paling penting dari karya ini adalah karya Hasbi Ash Shiddieqy yang berjudul Tafsir an-Nur, diterbitkan pertama kali tahun 1956. Tercatat bahwa di dalam karya ini, Hasbi memakai rujukan Muslim modernis Timur tengah dengan selektif, sebagaimana Professor Johns menulis: Setidaknya dalam menyusun kajian, di sana terdapat pengaruh ‘Abduh dalam melakukan pendekatannya. Tapi apa yang telah dilakukan ‘Abduh, apa yang ia tinggalkan? Jelas yang ia tinggalkan adalah pelajaran moral, dan penjagaan ‘isma Nab. Ash-Shiddieqy telah menghilangkan ‘Abasa yang positivistik, tipe deistik dari rasionalisme,

9

kumpulan intelegensia yang bersih yang membawa seorang pria buta kepada Muhammad pada tempat pertama, menjadi penting bagi ‘Abduh’ dan di dalam al-Falaq dia menghilangkan pericope nya ‘Abduh pada karakter yang relatif dari setan “apa yang buruk untuk anda adalah baik untuk singa yang menelan anda.”...” Meskipun begitu ada satu elemen penting dari karya Hasbi yang tidak disebutkan di dalam tinjauan Prof. Johns; Hasbi sangat terpengaruh oleh mufassir Mesir belakangan yaitu al-Maraghi (w. 1945). Jika dilihat dari penghakiman suatu hukum yang senada dari kedua penulis, pilihan ini tentunya menjadi tepat adanya. Hasbi meniru gaya al-Maraghi untuk menggunakan istilah yang tidak membuat bingung agar karyanya dimengerti masyarakat luas. Pararel antara dua karya ini pada faktanya banyak terjadi misalnya saja edisi pertama dari Tafsir an-Nur telah dituliskan di situ lebih kurang sebagai terjemahan karya al-Maraghi. Kritik ini nampak terlalu menekankan kasus ini kepada beberapa bagian, di dalam karya Hasbi ditemukan juga penggabungan-penggabungan yang menarik dari penafsiranpenafsiran sebelumnya dari Indonesia atau dari manapun. Contohnya dia mengutip tidak hanya dari karya-karya ‘standar’ seperti dari Kashshaf karangan Zamakhshari, tetapi juga mengutip Fath al-Qadir karya seorang mujtahid Yaman abad ke delapan belas yaitu al-Shawkani. Penulisan elemen-elemen modernisme Muslim yang kreatif nantinya akan dihadirkan untuk mengkarakterisasi karya-karya yang lain dari terjemahan dan penafsiran al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia pada abad kedua puluh. Hal tersebut merupakan bagian dari proses yang barangkali telah mencapai puncaknya pada karya Hamka yang berjudul Tafsir al-Azhar, yang pada akhirnya telah muncul dalam sebuah bentuk yang lengkap, tepat satu dekade setelah penerbitan karya Hasbi. Tafsir al-Azhar karya Hamka (Haji Abdul Karim Amrullah) adalah salah satu usaha keras penafsiran al-Qur’an secara modern, bukan hanya di Asia Tenggara, tetapi di Dunia Muslim secara umum. Karya ini berjumlah 30 jilid yang pada mulanya merupakan kuliah-kuliah shubuh di mesjid al-Azhar di Kebayoran, Jakarta yang juga diterbitkan secara berkala di dalam majalah Gema Islam. Meskipun begitu tidak lama setelah proyek ini dimulai, Hamka dimasukkan ke dalam penjara oleh pemerintah Soekarno yang terpengaruh oleh faham komunis dan karyanya telah dirampungkan selama dua tahun di dalam kurungan. Banyaknya cetakan tafsir Hamka menggambarkan beberapa pengaruh yang dominan dari tafsir modern Mesir, khususnya dari Sayyid Qutb. Tafsir ini bukanlah merupakan pengulangan modernisme Mesir di dalam tafsir al-Qur’an, tetapi lebih kepada penggabungan beberapa elemen yang dipilih dari modernisme Mesir dan aspek-aspek berbeda dari tradisi Muslim yang lain – yang berisi atau menampakkan beberapa kisah pribadi. Karya ini berlanjut untuk memperoleh popularitas yang besar bukan hanya di Indonesia, tetapi di bagian-bagian lain di Asia Tenggara, termasuk Malaysia dan Singapura di mana ‘Edisi Mewah’ tafsir ini diterbitkan oleh Pustaka Nasional dari 1982-1993. Dengan adanya Orde Baru bukan hanya tokoh seperti Hamka yang mampu menerbitkan karya-karya utama tentang tafsir al-Qur’an, tetapi pemerintah sendiri

10

telah mensposori proyek-proyek ambisius di dalam wilayah tafsir. Pada tahun 1967, Menteri Agama meresmikan sebuah yayasan khusus yang diberi tugas membuat karya-karya terjemahan dan tafsir al-Qur’an. Proyek ini telah menghasilkan penerbitan dari dua karya utama: Al-Qur’an dan Terjemahnya, serta Al Quran dan Tafsirnya. Kedua karya ini mungkin dapat dipandang sebagai suatu usaha yang disponsori secara resmi untuk menyediakan Muslim Indonesia dengan satu rujukan ‘standar’ dan meyakinkan keseragaman yang lebih besar di dalam wacana nasional perihal teks suci. Namun semenjak kedua buku itu diterbitkan sejumlah karya terjemahan dan tafsir yang secara khusus dirancang dan diterbitkan menjadi lebih berkembang. Hanya beberapa tahun setelah perampungan karya-karya ini, sebuah terjemahan alQur’an dalam bahasa Indonesia yang baru telah diterbitkan oleh seorang kritikus sastra terkenal yaitu H.B. Jassin. Karyanya berjudul, Bacaan Mulia (sebuah terjemahan bahasa Indonesia dari al-Qur’an al-Karim) yang telah menuai kritik dari ulama konservatif yang menolak terjemahan Jassin itu karena karya tersebut adalah terjemahan yang ‘puitis’. Usaha terjemahan sastranya hanya dibela oleh Hamka seorang diri, yang menulis sebuah pendahuluan yang apresiatif kepada terjemahan Jassin. Meskipun demikian dukungan dari pemimpin ummat Muslim seperti Hamka tidak cukup menjaga karya ini dari celaan kalangan tradisionalis. Responrespon yang kritis telah muncul di dalam sejumlah majalah dan koran, dan beberapanya ditemukan di dalam monograf-monograf polemik. Meskipun begitu, Jassin nampaknya tidak meremehkan semua ini, sekitar 15 tahun selanjutnya Jassin menerbitkan edisi al-Qur’an yang lain, di dalam bahasa Arab. Karya terakhir Jassin ini merupakan eksperimen dengan tatanan tipografis yang baru dari teks Arab alQur’an, kebanyakan para pembaca Indonesia terus memakai terjemahan yang tradisional, cetakan yang terus menerus dari teks Arab al-Qur’an sebagaimana dilakukan oleh H. Oemar Bakry di dalam Tafsir Rahmat atau pembagian ayat-perayat di dalam Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an: Huruf Arab dan Latin karya Bachtiar Surin. Dikatakan bahwa buku H.Oemar Bakry memiliki fokus kepada penyajian tulisan Arab yang jelas di dalam bentuknya yang tradisional, dan karya Bachtiar Surin juga membuat transliterasi huruf Arab untuk menyederhanakan penerjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia dengan maksud memudahkan tujuan-tujuan pedagogis. Selama tahun 70-an di sana juga ada kebingunan di dalam karya ‘terjemahan’ dan tafsir al-Qur’an dalam bahasa-bahasa Asia Tenggara yang lain selain bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia. Sebuah contoh yang penting dari karya ini adalah terjemahan bahasa Sunda dengan teks Arab yang sejajar serta tafsirnya dalam bentuk catatan kaki yang diterbitkan oleh tiga rangkai ulama Jawa Barat pada tahun 1971. Aktivitas penerjemahan ini tidak dihalangi oleh bahasa-bahasa yang banyak dipakai orang Muslim. Karenanya, pada waktu ini kita menemukan terjemahan lengkap pertama dalam bahas Thailand yang dirampungkan oleh Direk Kulsiriswasd (a.k.a. Ibrahim Qureyshi), yang selanjutnya melakukan penerjemahan kumpulan hadith al-Bukhari ke dalam bahasa Thailand pada tahun 1977. Kita juga harus menyebutkan di sini dua karya di dalam bahasa Tagalog yang diterbitkan di awal tahun 1980-an. Yang pertama adalah, Ang Banal na Kuran, yang merupakan

11

karya murni ‘terjemahan’ yang dicetak tanpa teks Arab. Yang kedua adalah tulisan yang membahas hukum serta konsep-konsep hukum yang berkaitan yang disusun secara tematik di dalam al-Qur’an. Setiap bagian ayat ditulis dalam bahasa Inggris (teks dari terjemahan Yusuf Ali) dan selanjutnya diikuti dengan penerjemahan Tagalog tanpa tafsir. Pada tahun 1980-an, dapat pula dikaji sebuah kecenderungan tafsir Indonesia dari jenis penyusunan secara tematis (maudhu’i), dibandingkan dengan pendekatan tartib al-ayat, yaitu dalam karya yang berjudul Tafsir Syari’ah (at-Tafsir fisy-sharia’ah walahkam). Di dalam susunan tematis ini, setiap bagian al-Qur’an yang dibahas ditulis dalam bahasa Arab yang diikuti dengan terjemahan berbahasa Indonesia; dan setelahnya ditulis beberapa paragraf dari penjelasan kata-per-kata bahasa Arab yang sukar, dan pada akhirnya, ‘tafsir’ yang disajikan dalam bentuk paragrafparagraf ini membahas tema umum yang ditulis dalam bagian tertentu dan menghubungkannya dengan pernyataan-pernyataan al-Qur'an itu sendiri. Dengan karya ini kita memasuki sebuah periode baru dalam sejarah penafsiran al-Qur’an berbahasa Indonesia; di sini metodologi-metodologi tradisional telah memberikan jalan menuju kebutuhan pembaca yang lebih umum yang pendidikannya bukan dari ilmu-ilmu islam tradisional. Contoh-contoh dari berbagai pendekatan untuk menulis al-Qur’an sekarang dapat ditemukan di seluruh dunia Muslim, di dalam bahasa-bahasa yang berbaris dari Arab ke Inggris. Wakil penting dari genre ini adalah Major Themes of the Qur’an karangan Fazlur Rahman, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1983. Semenjak itu sejumlah karya asli dari tafsir ‘tematis’ telah muncul dalam Bahasa Indonesia, termasuk karya-karya Jalaluddin Rakhmat dan Dawam Rahardjo. Sebagai tambahan kepada genre ini di sana juga ada beberapa monograf tertentu, yang kebanyakan membahas aspek-aspek ‘ibadah, yang juga bisa diklasifkasikan sebagai contoh tafsir maudhu’i Indonesia kontemporer. Salah satu contoh dari jenis ini dapat ditemukan di dalam Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Pelbagai Mazhab karya K.H. Muchtar Adam. Karya ini menggabungkan dua aspek penting dari Modernisme Islam belakangan, seperti tafsir maudhu’i dan metodologi perbandingan antara berbagai aliran hukum yang ada (muqaranah al-madhahib), keduanya menjadi dikenal di Indonesia melalui karya-karya mantan Rektor alAzhar yaitu Shaykh Mahmud Shaltut (w. 1963). Terlepas dari monograf-monograf tertentu, sejumlah karya yang membahas jarak yang lebih luas dari isu-isu tematik juga diterbitkan oleh kebanyakan intelektual Muslim ternama Indonesia. Di sini kita harus menyebutkan karya Jalaluddin Rakhmat, seorang penulis dari Bandung yang secara profesional terlatih di dalam bidang komunikasi modern yang terkenal dengan karya-karyanya tentang tematema keislaman. Selama bulan Ramadan, 1413 H. (Februari/Maret 1993), Rakhmat telah menulis sejumlah artikel berkala tentang berbagai tema yang berkaitan denagn ayat al-Qur’an dalam rangka kerja sama antara ICMI-Republika. Artikelartikel ini selanjutnya dikumpulkan sebagai buku dan diterbitkan dengan judul: Tafsir Bil Ma’tsur: Pesan Moral Alqur’an. Di dalam essay-essay pendek ini, Rakhmat mengadopsi metode tafsir bil-ma’thur, atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan

12

ayat-ayat lain yang berkaitan di dalam al-Qur’an itu sendiri; pada waktu yang sama tidak menolak sunnah Nabi sebagai penjelas berikutnya. Yang menarik di sini adalah kenyataan bahwa dia menggunakan metodologi ini bukan dalam karya panjang tafsir yang mengikuti urutan ayat sebagaimana ditemukan di dalam teks alQur’an standar (tartib al-ayat), tapi lebih condong tematis (sebuah jenis dari tafsir maudhu’i) dalam bentuk refleksi-refleksi tentang ‘pesan moral’ yang dikandung di dalam setiap ayat. Di sini kita menemukan konvergensi sejumlah tren populer di dalam Indonesia kontemporer, termasuk mengenai ‘tujuan-tujuan’ di balik berbagai teks-teks religius (nusus) dan putusan-putusan hukum yang diambil darinya. Berbagai usaha penting yang lain dalam hal yang serupa dapat ditemukan di dalam Ensiklopedi al-Qur’an karya Dawam Rahardjo yang berjumlah 700 halaman, yang sebenarnya menggabungkan bab-bab yang membahas ‘tema-tema utama’ seperi “Keadilan”, “Rahmat”, “Agama”, “Pengetahuan”, dan lain sebagainya. Sebagai tambahannya, karya ini juga berisi bab-bab penting mengenai metodologi penafsirannya dan pemahamannya tentang “Visi Sosial” dari al-Qur’an. Latar belakang ilmu pengetahuannya (ekonomi) membawa pendekatan baru kepada alQur’an yang lebih mendalam karena ia terlepas dari berbagai prakonsepsiprakonsepsi yang ada yang kerapkali terbawa secara tak sadar di dalam banyaknya tingkat pendidikan dan kemampuan di dalam bahasa Arab serta ilmu-ilmu agama (‘ulum al-din). Contohnya, ia mengambil titik berangkat bukan dari aspek-aspek teknis ataupun filologis dari kata-kata tertentu, tetapi berangkat dari makna-makna yang telah ‘dipengaruhi budaya’ di dalam konteks masyarakat Indonesia. Baru-baru ini, tafsir maudhu’i telah dipopulerkan secara luas melalui karya-karya M. Quraish Shihab, seorang mantan Rektor IAIN Jakarta yang pada bulan Maret 1998 telah dipilih sebagai Menteri Agama di bawah kabinet kedelapan Presiden Soeharto. Barangkali Shihab masih dikenal dengan baik untuk kumpulan essay nya yang berjudul ‘Membumikan al-Qur’an’, yang memuat pengantar konsep tafsir maudhu’i yang paling terkenal di dalam Bahasa Indonesia. Pendekatan yang lebih praktisnya dalam bentuk isi mungkin dianggap sebagai satu pembaharuan, sebagaimana nampak di dalam kutipan-kutipan dan rujukan-rujuan berbahasa Arab kontemporer yang lebih kaya dibandingkan di dalam berbagai penafsiran yang sama sekali baru atau penafsiran yang benar-benar dari dia sendiri. Saat ini, dia juga menerbitkan sebuah tafsir khusus dengan pendekatan yang lebih tradisional tentang tartib al-ayat yang nampaknya meniru tujuan umum yang sama. Jadi hal tersebut nampaknya tidak mungkin bahwa gaya yang lebih tradisional serta pengorganisasian karya-karya tafsir akan benar-benar terlantar dari posisi yang terhormatnya di dalam warisan intelektual dari peradaban keislaman. Barang kali karya-karya yang ‘bisa diakses’ tersebut membahas pemahaman dan penafsiran teks suci menjadi lebih penting di mana kaum Muslim memahami hubungan antara wahyu dan pemahaman. Karena alasan ini pula, orang-orang Muslim menjadikan karya-karya tafsir ini penting yang tidak boleh disepelekan oleh pelajar yang serius manapun di dalam peradaban Islam yang modern.

13

Related Documents