Sejarah Perkembangan Teori Belajar.docx

  • Uploaded by: Muhammad Shof Rijal
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sejarah Perkembangan Teori Belajar.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,054
  • Pages: 5
Sejarah perkembangan Teori Belajar dibagi menjadi 3 (tiga) teori belajar yang berlandaskan psikologi belajar, yakni: a. Teori belajar menurut psikologi daya (Faculty Theori) Teori tentang belajar yang berlandaskan psikologi daya merupakan teori belajar yang pertama kali muncul. Menurut para ahli psikologi daya, mental itu terdiri dari sejumlah daya yang satu sama lain terpisah. Seperti daya mengamati, mengingat, menanggapi, menghayal, dan berpikir. Setiap daya dapat diatih. Mengingat misalnya, dapat dilatih dengan melalui hafalan, berpikir melalui berhitung, demikan pula dengan daya yang lain. Belajar menurut teori ini adalah meningkatkan kemampuan daya-daya melalui latihan. Nilai suatu bahan pelajaran terletak pada nilai formalnya, bukan pada nilai materialnya. Jadi, apa yang penting tidak dipersoalkan. Sebab yang penting dari suatu bahan pelajaran adalah pengaruhnya dalam membentuk daya-daya tertentu. Kemampuan daya yang sudah terbentuk dan berkembang pada seseorang dialihkan pada situasi baru dalam kehidupan. Teori daya tidak berkembang luas seperti teori asosiasi dan teori gestalt sehingga tidak begitu populer. b. Teori Belajar Asosiasi Penelitian tentang belajar secara lebih cermat pada umumnya baru dimulai pada abad keduuapuluh. Herman Ebbinghaus (1913) dan Bryan and Harter meletakkan dasar-dasar eksperimen tentang belajar. Ebbinghaus mengadakan eksperimen tentang “nonsence syllables atau suku-suku kata tak bermakna” yang dilakukan terhadap dirinya sendiri. Ia menemukan tentang asosiasi verbal. Ia pun menemukan pula tentang kurva ingatan dan lupa. Peletakan dasar teori Ebbinghaus mengenai asosiasi verbal dilanjutkan oleh tokoh-tokoh psikologi asosiasi. Para ahli psikologi asosiasi mempunyai pandangan berlainan dengan ahli psikologi daya. Menurut psikologi asosiasi, perilaku individu pada hakikatnya terjadi karena adanya pertalian atau hubungan antara stimulus (rangsangan) dan respon. Individu mengeluarkan air liur karena tercium oleh bau masakan sedap. Berteriak “aduh” karena kakinya terjepit.

Bila hal ini dianalogikan dengan bahan pelajaran, misalkan 3x4 = 12 atau ibu kota Filipina adalah Manila. Dari contoh tersebut 3x4 dan Filipina adalah stimulus sedang 12 dan Manila adalah respon, dapat dikatakan, bahwa S mempunyai suatu ikatan atau bond dengan R tertentu. Oleh sebab itu, teori ini juga dikenal dengan S

R Bond Theory.

Teori ini besar sekali pengaruhnya terhadap proses belajar mengajar atau pembelajaran. Terutama sekali yang berkembang dewasa ini menggunakan alat mekanik dan elektronik. Mesin mengajar yang ditemukan oleh Sydney L. Pressey (1926), dikembangkan menjadi pengajaran berprogram atau Programmed Instruction oleh Baron F. Skinner (1954); bahkan dewasa

ini dikenal dengan Pengajaran

Komputer/Computer Assisted Instruction atau CAI cara kerjanya berlandaskan kepada teori asosiasi. Teori asosiasi mulai dipopulerkan oleh Edward Lee Thorndike berdasarkan penelitian dilakukan pada tahun 1913. Hasil penelitian Thorndike terutama sekali menekankan pentingnya kesiapan, latihan, dan pada hasil yang menyenangkan (good effect) dalam belajar. Dalam situasi problematis, belajar dilakukan dengan melalui trial and error atau cara coba-coba. Bila individu menerima suatu stimulus yang terdiri dari sejumlah kemungkinan respons, pembentukan ikatan/hubungan S

R dilakukan dengan cara coba-coba. Dalam hal ini

individu berusaha menemukan kemungkinan yang tepat untuk merespon stimulus tersebut. Bila berhasil terbentuklah hubungan S

R tersebut.

Teori kemudian berkembang dan penelitian berikutnya dilanjutkan oleh Pavlov, Watson, Skinner dan para behavirist lainnya. c. Teori Belajar Gestalt Pandangan para ahli psikologi gestalt tentang belajar berbeda dengan ahli psikologi asosiasi. Psikologi gestalt memandang bahwa belajar terjadi

bila

diperoleh melalui

pemahaman. Pemahaman

atau insight timbul secara tiba-tiba, bila individu telah dapat melihat hubungan antara unsur-unsur dalam siituasi problematis. Dapat pula dikatakan bahwa insight timbul pada saat individu dapat memahami

struktur yang semula merupakan suatu masalah. Dengan kata lain insight adalah semacam reorganisasi pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba, seperti ketika seseorang menemukan ide baru atau menemukan pemecahan suatu masalah. Belajar dengan insight sebagai dasar teori gestalt tercermin dalam tulisan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wolfgang Kohler (1929) dan Kurt Koffka (1929). Kohler melakukan percobaan terhadap seekor simpanse yang dimasukkan ke dalam sebuah kandang. Di atas kandang terdapat pisang. Dengan hanya menjulurkan tangan, pisang tidak dapat dijangkau. Di dalam kandang terdapat tiga buah kotak. Dalam situasi demikian, simpanse selalu berupaya untuk menjangkau pisang. Akhirnya, ia menemukan hubungan antara dirinya, tiga buah kotak dan pisang. Dengan menumpukkan ke tiga kotak tersebut, ia dapat menjangkau pisang begitu

berdiri

di

atasnya.

Kohler

menamakan

hal

ini

dengan insight. Insight diperoleh secara tiba-tiba begitu ia menemukan hubungan antara unsur-unsur dalam situasi yang semula merupakan suatu masalah bagi dirinya. Max Wartheimer (1945) dan Katona (1940) mencoba mempelajari tentang insight pada manusia. Wartheimer menggambarkan bagaimana anak-anak dapat memecahkan soal geometri. Dengan hanya mengetahui rumus luas sebuah segi empat, disuruh memecahkan sebuah soal, mencari luas sebuah jajaran genjang. Sementara anak ada yang mengalikan panjang dengan lebar (analogi dengan rumus luas segi empat). Tentu hal ini merupakan cara yang salah. Tetapi anak lain yang dapat melihat inti dari struktur jajaran genjang, mendapatkan bahwa dengan menarik sebuah diagonal akan didapati dua buah segitiga sama dan sebangun (kongruen). Dengan mencari luas dua buah segitiga dikalikan dua, anak tersebut dapat memperoleh pemecahan soal. Jadi, insight pada dasarnya dapat pula diperoleh dengan melihat struktur esensial dalam situasi problematis. Bila kita kaji lebih jauh, ternyata teori gestalt berlandaskan pada segi

kognitif.

hubungan S

Sedangkan R.

teori

asosiasi

berlandaskan

pada

Berdasarkan penjelasan tersebut dengan kata lain bahwa teori belajar asosiasi merupakan teori belajar behaviorisme yang berlandaskan psikologi asosiasi atau psikolgi behaviorisme yang berorientasi pada perilaku, teori belajar gestalt merupakan teori belajar kognitif yang berlandaskan pada psikologi gestalt atau psikologi kognitif. Dalam perkembangannya, teori belajar humanisme merupakan respon dari dua buah teori belajar behaviorisme dan teori belajar kognitif. a. Psikologi Behaviorisme Ahli-ahli psikologi behaviorisme merumuskan teori dengan melakukan eksperimen terhadap binatang dengan tujuan untuk mengamati perilaku dari binatang itu. Para behaviorist memberikan pandangan bahwa perilaku menjadi indikator utama bagi seseorang melakukan kegiatan belajar. Faktor internal tidak begitu diperlukan. Manusia merupakan makhluk reaktif yang memberikan responsnya terhadap lingkungannya. Pengalaman masa lampau dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Teori belajar yang berlandaskan pada psikologi behaviorisme mengutamakan tingkah laku sebagai indikator dalam belajar. Ahli-ahli pada aliran ini yaitu Thorndike, Pavlov, Watson, Skiner, Guthrie, dan Hull. b. Psikologi Kognitifisme Aliran ini berpendapat bahwa ranah kognitif lebih merupakan faktor penggerak utama seseorang melakukan kegiatan belajar. Secara umum, orang lebih mengutamakan rasionalitas ketika berada dalam kegiatan belajar. Ahli-ahli yang menganut aliran ini yaitu Piaget, Ausubel, Bruner, Gagne, dan Stenberg. c. Psikologi Humanisme Psikologi humanisme merupakan aliran psikologi yang berlandaskan pada eksistensialisme, yaitu paham yang menolak menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil hereditas atau lingkungan. Aliran ini menganggap bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau eksistensinya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan eksistensinya

itu. Ahli-ahli yang mendukung psikologi humanisme antara lain Maslow, Rogers, Vygotsky, Kohlberg, Bandura, dan J.J Rosseau.

Related Documents


More Documents from ""