Sejarah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh

  • Uploaded by: rara
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sejarah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh as PDF for free.

More details

  • Words: 3,067
  • Pages: 17
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Islam dalam perjalanan panjangnya senantiasa mengalami dinamika. Masa perjalanan hukum Islam sendiri sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase, yaitu masa Rasulullah, masa sahabat dan masa tabi’in. Pada masa Rasulullah persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam terbilang belum begitu kompleks. Selain itu penetapan suatu hukum atas persoalan yang terjadi masih diserahkan penuh kepada Rasulullah SAW. Kemudian pasca beliau wafat, persoalan yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks, dan terkadang suatu permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam pada saat itu belum dijumpai pada zaman Rasulullah. Atas dasar itu lahirlah sebuah ilmu ushul fiqh sebagai jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Jika ditilik lebih jauh lagi, sebenarnya perkembangan ushul fiqh telah ada sejak Rasulullah masih hidup. Kemudian setelah beliau wafat kajian mengenai ushul fiqh semakin mendapatkan perhatian yang cukup besar besar dari kalangan ahli hukum Islam. Ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai asal dari ushul fiqh. Secara teoritis, ilmu ushul fiqh lebih dahulu lahir dari ilmu fiqh, karena ushul fiqh sebagai alat untuk melahirkan fiqh. Akan tetapi, fakta sejarah menjukkan, ushul fiqh bersamaan lahirnya fiqh. Sedangkan dari segi penyusunannya, ilmu fiqh lebih dahulu lahir dari pada ilmu ushul fiqh. Namun, Terlepas dari hal itu, dalam pembahasan makalah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai sejarah perkembangan ushul fiqh.

B. RUMUSAN MASALAH

1

1. Apakah yang dimaksud dengan Fiqh dan Ushul fiqh 2. Bagaimanakah perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh dimasa Rasulullah, Sahabat, dan Tabi’in? 3. Bagaimakah tahap-tahap perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh? 4. Bagaimanakah perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh di Indonesia?

C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan permasalahan diatas tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah: 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Fiqh dan Ushul Fiqh 2. Untuk mengetahui perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh dimasa Rasulullah, Sahabat, dan Tabi’in 3. Untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh 4. Untuk mengetahui perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh di Indonesia

D. MANFAAT PENELITIAN Sesuai dengan latar belakang masalah dan tujuan penelitian maka diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada dosen dan kalangan mahasiswa tentang sejarah perkembangan fiqh dan ushul fiqh.

2

BAB2 PEMBAHASAN A. PENGERTIAN FIQH DAN USHUL FIQH 1. PENGERTIAN FIQH Menurut bahasa “fiqih” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang berarti mengerti atau paham berarti juga paham yang mendalam. Dari sini ditariklah perkataan fiqih, yang memberi pengertian kepahaman dalam hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi, Fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Definisi fiqih secara umum, ialah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syariat atau hukum islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial. 2. PENGERTIAN USHUL FIQH

3

Menurut Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, definisi ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum). Sedangkan definisi ushul fiqih menurut Abdul Wahab Khalaf, adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan (Atau kumpulan-kumpulan kaidah dan pembahasan ) yang merupakan cara untuk menemukan hukum-hukum syara’ yang amaliyah dari dalil-dalilnya secara rinci.

B. PERKEMBANGAN FIQH DAN USHUL FIQH PADA MASA RASULULLAH, SAHABAT, DAN TABI’IN

1. PADA MASA RASULULLAH Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu AlQuran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah. Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut: “Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepadamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.”

4

(HR. Abu Daud dari Ummu Salamah) Jadi, pada masa Rasulullah masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Namun,pada masa Rasulullah juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz: ِ َّ ‫سو َل‬ ٍ‫ب‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬ ِ ‫ضي ِب َما فِي ِكت َا‬ ِ ‫ضي فَقَا َل أ َ ْق‬ ِ ‫ف ت َ ْق‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬ َ ‫سلَّ َم بَعَثَ ُمعَاذًا ِإلَى ْاليَ َم ِن فَقَا َل َك ْي‬ َّ َّ َ َ َ ُ ُ َّ‫سن ِة‬ َّ ِ َّ ‫سو ِل‬ ِ َّ ‫ب‬ ِ َّ َّ ‫صلى‬ ُ ‫سل َم قَا َل فَإ ِ ْن ل ْم يَك ْن فِي‬ ُ ‫سن ِة َر‬ ُ ِ‫َّللا قَا َل فَب‬ ِ ‫َّللا قَا َل فَإ ِ ْن ل ْم يَك ْن فِي ِكت َا‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫عل ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو ِل‬ ِ َّ ِ ‫سلَّ َم قَا َل أَجْ ت َ ِه ُد َرأْيِي قَا َل ْال َح ْم ُد‬ ِ َّ ‫سو ِل‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫سو َل َر‬ ُ ‫ّلِل الَّذِي َوفَّقَ َر‬ ُ ‫َر‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ ُ‫َّللا‬ ‫سلَّ َم‬ َ َ ‫علَ ْي ِه َو‬

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah (HR. Bukhari). Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran,

5

kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.

2. PADA MASA SAHABAT Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad telah mulai dikembangkan. Para sahabat menggunakan istilah “al-Ra’yu”, istilah ini dalam pandangan sahabat seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya. Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum. Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat 6

bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :

‫ضة َو َمتِعوه َّن عَ َلى ا ْلمو ِسع ِ َقدَره‬ َ ‫ال جنَا َح عَ َليْك ْم إ ِ ْن َط َّل ْقتم النِسَا َء َما َل ْم تَ َمسُّوه َّن َأ ْو تَ ْف ِرضوا َله َّن َف ِري‬ َ‫وف َح ًّقا عَ َلى ا ْلم ْح ِسنِين‬ ِ ‫َوعَ َلى ا ْلم ْقتِ ِر َقدَره َمتَاعا بِا ْل َمعْر‬ Artinya : “Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteriisterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-Baqarah : 236). Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturanaturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak

7

disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur’an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasardasar syara’ dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah. 3. PADA MASA TABI’IN Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabi’in. Pada masa ini, sejalan dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk Islam semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban , ilmu pengetahuan, teknologi dan perekonomian, banyak bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagiannya belum dikenal sama sekali pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat. Untuk menjawab kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh Islam yang bertindak sebagai pemberi fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka. Para ahli hukum generasi tabi’in ini, antara lain, Said bin al-Musayyab (15-94H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula Alqamah bin al-Qais (w. 62H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96H), di samping para ahli hukum lainnya.

8

Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasitabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ashshahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat. Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan memilih metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian ulama tabi’in ada yang menggunakan metode qiyas, dengan cara berusaha menemukan ‘illah hukum suatu nashsh dan kemudian menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi memiliki‘illah yang sama. Sementara sebagian ulama lainnya lebih cenderung memilih metodemashlahah, dengan cara melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip-prinsip syara’. Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok tabi’in ini, terutama timbul karena perbedaan pendapat: apakah fatwa ash-shahabi dapat menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakah ijma’ ahl alMadinah merupakan ijma’ sehingga berkedudukan sebagai hujjah qath’iah (dalil hukum yang bersifat pasti)? Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran besar dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’ atau hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di Irak. C. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN FIQH DAN USHUL FIQH

9

Secara garis besarnya, perkembangan Ushul Fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap awal ( abad 3 H ) ; Tahap perkembangan ( abad 4 H ), dan tahap penyempurnaan ( abad 5 H). 1.

Tahap Awal ( Abad 3 H )

Pada abad 3, di bawah Abbasiyah Wilayah Islam semakin meluas ke bagian Timur. Pada masa ini terjadi suatu kebangkitan ilmiah di kalangan Islam, dimulai sejak masa pemerintahan harun Ar-Rasyid. Pemikiran pada masa ini ditandai dengan timbulnya semangat penerjemahan di kalangan ilmuan Muslim. Salah satu hasil dari kebangkitan berpikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh, yang pada gilirannya mendorong untuk disusunnya metode berfikir Fiqh yang disebut Ushul Fiqh. Pada abad 3 ini telah tersusun pula sejumlah kitab Ushul Fiqh Ar-Risalah dan kitab Ushul Fiqh lainnya. 2.

Tahap Perkembangan ( Abad 4 H )

Pada tahap ini ada beberapa ciri khas dalam perkembangan ilmu Ushul Fiqh. Yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Selain itu, materi berfikir dan materi penulisan dalam kitab-kitab itu berbeda dengan kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukkan bentuk yang lebih sempurna.[13] Pada abad ini pula mulai tampak adanya pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu Manthiq dalam Ilmu Ushul Fiqh. 3.

Tahap Penyempurnaan ( Abad 6 H )

Pada masa ini terjadi kelemahan polotik di Bagdhad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan di bidang Ushul 10

Fiqh yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya; Al-Baqhilani, Al-Qahdhi Abd. Al-jabr, Abd. Al-Wahab AlBaghdadi, dan lain-lain. Mereka itulah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktifitas ilmiah dalam bidang ilmu Ushul Fiqh yang tidak ada bandingannya dalam penulisan dan pengkajian Islam. Itulah sebabnya pada zaman itu , generasi Islam pada kemudian hari senantiasa menunjukkan minatnya pada produk-produk Ushul fiqh dan menjadikannya sebagai sumber pemikiran. Kitab-kitab ushul Fiqh pada zaman ini, di samping mencerminkan adanya kitab Ushul Fiqh bagi masing-masih mazhabnya, juga menunjukkan adanya dua aliran Ushul Fiqh, yakni aliran Hanafiah atau yang dikenal sebagai aliran Fuqaha dan aliran mutakallimin. Dalam sejarah perkembangan ilmu Ushul Fiqh pada abad 5 dan 6 H. Ini merupakan periode penulisan kitab Ushul Fiqh terpesat, yang di antaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu Ushul Fiqh selanjutnya. Kitab-kitab Ushul Fiqh yang paling penting, antara lain: 

Kitab Al-Mughni fi Al-Ahwab Al-‘Adl wa At-Tawhid, ditulis oleh AlQadhi Abd. Al-jabbar.



Kitab Al-Mu’ amad fi Al-Ushul Fiqh, ditulis oleh Abu Al-husain Al-

Bashri.[18] Aliran-Aliran Ushul Fiqh Dalam sejarah perkembangan Ushul fiqh, dikenal dua aliran, yang terjadi antara lain akibat adanya perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh untuk menggali hukum Islam. Aliran pertama disebut aliran Safi’iyah dan jumhur mutakallimin. Aliran ini

11

membangun Ushul Fiqh secara toeretis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan aqidah, aliran ini menggunakan alasan baik dalil naqli maupun aqli, tanpa mempengaruhi masalah furu’ dan mazhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.[19] Aliran kedua dikenal dengan istilah aliran fuqaha yang dianut oleh mazhab Hanafi. Dinamakan fuqaha karena dalam menyusun teori aliran ini banyak dipengaruhi oleh furu’ yang ada dalam mazhab mereka. Aliran ini berusaha untuk menerapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu’. Apabila sulit untuk diterapkan, mereka mengubah atau membuat kaidah baru supaya tidak diterapkan pada masalah furu tersebut.[20] Pada abad 8 muncul imam As-Syatibhi yang menyusun kitab AlMuwafakat fi Al-Ushul As-Asy-Syari’ah. Pembahasan Ushul Fiqh yang dikemukakan dalam kitab tersebut berhasil memberikan corak baru, sehingga para ulama ushul menganggap sebagai kitab Ushul Fiqh kontemporer yang komprehensif untuk zaman sekarang.[21]

D. PERKEMBANGAN FIQH DAN USHUL FIQH DI INDONESIA Sebagaimana yang telah disebutkan tadi bahwa para ulama telah berusaha untuk membukukan ilmu ushul fiqh, sedangkan pada waktu itu ulama-ulama di Indonesia sibuk untuk mempelajari ilmu fiqh mazhab Imam Syafii dan mengajarkan Tafsir Jailanin, juga hal-hal yang berhubungan dengan ilmu Nahu dan Sharaf. Orang yang bisa mempelajari bermacam-macam ilmu dengan menerjemahkannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu pada masa itu 12

mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat. Sedangkan sebagian para Ulama pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan untuk menambah ilmu-ilmu agama, bahkan untuk mencukupkan bermacam-macam Ilmu.sesampai mereka di Mekah mereka berusaha untuk mempelajari bermacam-macam ilmu di masjidil Haram. Yang pertama kali mempelajari di bidang ilmu pengetahuan adalah Alm. Syekh Ahmad Khatib orang Minangkabau (Sumatera Barat), salah seorang imam yang tekun dalam belajar. Alm Ahmad Khatib mendapat penghargaan yang amat tinggi dan keuntungan yang banyak dalam bermacam-macam ilmu Agama, bahkan dalam ilmu pasti. Setelah itu barulah mereka mempelajari Ilmu Ushul Fiqh, Tauhid, Musththalah Hadist, BAyan, Ma’aniy, Badi’Arud, Qawafiy, dan lainlain. Selesainya mereka mempelajari dan menuntut Ilmu Di Mekah barulah mereka pulang ke negerinya masing-masing dan mulailah mereka menebarkan ilmu-ilmu tersebut, di antar mereka yang terkenal di Sumatera Barat ialah Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Abdul Karim Amarullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abbas Abdullah, sayekh Ibrahim Musa, Syekh Sulaiman Ar Rusuli, Syekh Jamil JAbo, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Abdullah Halaban, serta beberapa ulam lainnya.Semenjak itu tersiarlah ilmu tersebut di daerah-daerah dan pelosok-pelosok, bahkan diwaktu itu mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada orang-orang yang mempunyai minat dan keinginan untuk mempelajarinya, ini terjadi pada tahun 1310 H. Walaupun ilmu Ushul Fiqh sudah menjadi berita yang termasyhur di Indonesia, bahkan ulama-ulama di waktu itu tekun mempelajarinya. Mengharapkan masalah-masalah fiqh, sehingga mereka tidak langsung

13

menerima apa yang di katakn oleh Fuqaha sebelumnya, tetapi adalah dengan menyelidiki secara mendalam, bahkan mereka memakai dalil yang kuat dalam undang-undang yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh. Kemudian barulah mengatur pelajaran Ushul Fiqh dalam bermacam-macam tingkatan. Seperti:Tingkatan Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah dan lain-lain .

E. PEMBUKUAN FIQH DAN USHUL FIQH Adapun beberapa faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul fiqh, di antaranya : 

Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi dengan bangsa lain terutama Persia.



Perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.



Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.

14

BAB 3 PENUTUP

A. KESIMPULAN Ushul fiqh sudah ada sejak zaman Rasulullah, namun belum memiliki nama keilmuan.Seiring dengan perkembangan zaman yang diikuti permasalahan-permasalahan dunia yang semakin kompleks sepeninggalnya Rasulullah maka para kaum ulama pun malakukan ijtihad yang dilakukan melalui proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi

15

kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian dan membukukan nya yang dinamakan ilmu Fiqh.

B. SARAN Makalah ini jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini

DAFTAR PUSTAKA

16



http://nurulaiiini.blogspot.com/2015/08/pengertian-ilmu-fiqih-dan-ushulfiqih.html



https://hariswandi.wordpress.com/2011/10/19/sejarah-pertumbuhan-danperkembangan-fiqh-dan-ushul-fiqh/



http://makalah-jadi.blogspot.com/2016/01/sejarah-perkembangan-ushulfiqih.html



https://zulhusainihero.wordpress.com/2012/10/17/makalah-ushul-fiqh-sejarahperkembangan-fiqh/



https://kholid1993.wordpress.com/2015/06/05/tahapan-perkembangan-usulfiqih/



http://muhnanang23.blogspot.com/2015/04/pembukuan-fiqih-dan-ushulfiqih.html

17

Related Documents


More Documents from "Fuad Elfas"