Resume Sejarah Hukum Laut Internasional dan Nasional Oleh: Ayuli Serlia (03311740000007)
1.
Hukum Laut Internasional Setelah berlangsungnya Perang Dunia II, sejumlah besar negara di dunia mengajukan klaim untuk memperluas otoritas atau wewenang, dengan serangkaian objektif, salah satunya adalah kontrol terhadap sumber daya di wilayah laut dari garis pantai masing-masing1. Salah satu gagasan yang diajukan adalah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) pada awal 1970-an sebagai bentuk usaha dari negara-negara tersebut untuk menyelesaikan konflik kepentingan tiap negara sebagai komunitas international, salah satunya adalah kebebasan dalam hal navigasi 2. Dengan landasan tersebut, dimulailah perjalanan bersejarah yang menjadi tonggak lahirnya konsep hukum laut internasional. Hal mendasar yang melatarbelakangi hal ini bertujuan untuk membentuk kesepakatan mengenai gagasan ZEE yang pada mulanya belum bersifat tetap serta mencerminkan usaha dari komunitas internasional untuk menyelesaikan masalah mare clausum/mare liberum yang pada saat itu belum terselesaikan. 1.1. Mare Clausum vs Mare Liberum Hukum negara modern secara historis dan konseptual berkaitan erat selaku akar dari gagasan mengenai aturan hukum laut internasional. Dalam sistem ini, tujuan utama yang hendak diraih adalah mendukung kepentingan bersama dan menjalankannya secara setara sehingga tidak ada kepentingan pihak terlibat yang diselewengkan, dan prinsip ini dipandang sebagai satu-satunya konsep yang masuk akal oleh badan yang menganutnya—yang mengacu kepada konsep bellum omnium3. Hukum internasional dibandingkan area hukum lainnya cenderung lebih sering berhadapan dengan konflik kepentingan pada penghujung pengesahannya, yang mana seharusnya menghasilkan kesepakatan dan kekuatan yang berimbang pada sistem internasional. Hal ini tidak terkecuali pada hukum laut internasional, selaku cabang dari hukum internasional. Dalam bagian ini akan dijelaskan lebih mendalam mengenai konflik kepentingan memanjang terkait hukum laut internasional. Dalam hal ini penting bagi kita untuk memahami secara mendasar mengapa setiap negara harus ikut bernegosiasi dalam hal menentukan kebijakan dari hukum laut internasional. Menurut McDougal dan Burke, ahli bidang terkait, hukum laut diakui bertujuan untuk menyeimbangkan: a. Klaim ekslusif terhadap wilayah lepas pantai atau pengibaran flag state aka bendera negara di kapal-kapal yang berlisensi/tidak legal (contohnya dalam hal penangkapan ikan di lepas pantai atau aturan bendera kapal di wilayah laut). Bermakna bahwa penggunaan otoritas terhadap suatu wilayah ataupun aktivitas tertentu tidak dapat dilakukan oleh negara mana pun, kecuali negara yang memangku otoritas terhadap wilayah laut tersebut4. b. Klaim inklusif atau menyeluruh bagi semua negara (termasuk dalam hal kebebasan navigasi serta penangkapan ikan di laut lepas) yang bermakna bahwa “klaim untuk
1
Attard D.J (1987) The Exclusive Economic Zone in International Law, Oxford: Clarendon Press, p.1 Aturan Zona Ekonomi Ekslusif 3 Konskiennemi M. (1990) “The Politics of International Law” in European Journal of International Relations, Vol 4 (1), pp. 4-32, p.1 4 McDougal M.& Burke W. (1987) The Public Order of the Oceans A Contemporary International Law of the Sea, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers 2
menggunakan otoritas terhadap suatu wilayah atau melakukan aktivitas tertentu oleh negara pengklaim, pada keadaan tertentu, dapat dilakukan secara bersama”5. Klaim pertama membawa kita kepada pandangan bahwa kekuasaan hukum terhadap laut ataupun wilayah perairan lainnya hanya dapat dilakukan oleh negara yang memiliki otoritas, tanpa melibatkan negara lain, dikenal dengan mare clausum6. Sementara klaim kedua yang mengacu kepada pandangan Grotian terhadap laut, dikenal dengan mare liberum, menyatakan bahwa “laut adalah kepemilikan bersama, dikarenakan sifatnya yang tidak terbatas dan tidak bisa diklaim sebagai kepemilikan siapa pun, dan seharusnya dapat dimanfaatkan oleh semua pihak, baik dalam hal navigasi ataupun penangkapan ikan”7. Perdebatan mengenai dua klaim ini dibahas dalam teori yang dikembangkan oleh Garret Hardin (1968) The Tragedy of Common, yang menyatakan bahwa setiap individu (mengacu kepada negara) bersikap independen dan mengutamakan kepentingan pribadi, terlepas dari segala bentuk kepentingan bersama sebagai kesatuan, dengan mengeksploitasi sumber daya milik bersama. Perbedaan pandangan inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya hukum laut internasional modern8. Terlepas dari keadaan di mana pada masa itu pemanfaatan laut secara bersama, mare liberum, selama berabad-abad diterapkan sebagai doktrin paling dominan hukum laut.
1.2. Konferensi Hague 1930 Sepanjang abad ke-20, pandangan mare clausum telah menjadi subjek khusus dalam amandemen hukum laut tertentu. Terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa (The League of Nations) diikuti dengan selesainya Perang Dunia I menjadi permulaan adanya kodifikasi (penggantian aturan secara tertulis) serta pengembangan secara progresif (negosiasi aturan baru) terkait hukum laut internasional. Hal inilah yang mendorong dilaksanakannya Rapat Liga BangsaBangsa untuk memintakan adanya pertemuan oleh Komite Ahli (Committee of Experts) yang bertugas untuk merancang perundingan terkait hukum laut internasional. Pada tahun 1930, Liga Bangsa-Bangsa melaksanakan Konferensi Kodifikasi Hague, dihadiri oleh 44 negara9. Meskipun demikian, para peserta konferensi tidak dapat membentuk kesepakatan bersama, sehingga tidak ada perjanjian baru yang diberlakukan. Terlepas dari kegagalan konferensi ini, pembagian lautan menjadi laut teritorial serta laut lepas (high seas), dengan zona berdekatan yang saling tumpang-tindih, secara umum telah diterima sebagai suatu hukum adat dan praktiknya di negara-negara mulai berkembang10.
5
Ibid. Istilah ini pertama kali diciptakan oleh John Selden yang hasil karyanya pada 1635 merupakan respons substantif terhadap pemikiran Grotius, untuk menegaskan kekuasaan Inggris atas lautan sebagai negara yang paling lama menguasai lautan secara umum. 7 Grotius H. (1633 rep 1911), The Freedom of the Seas or the Right which Belongs to the Dutch to Take Part in the East Indian Trade, New York: Oxford University Press, p.27-28 pada Rothwell D.& Stephens T. (2010) The International Law of the Sea, Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, p. 4 Rothwell D.& Stephens T. (2010) The International Law of the Sea, Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, p. 4 8 Fulton Th. W (1911 rep 1976), The Sovereignty of the Sea, Edinburgh: Blackwood found in Rothwell D.& Stephens T. (2010), p. 2 9 Rothwell D.& Stephens T. (2010); 4 10 Douglas Guilfoyle Presentasi Video: Law of the Sea Introduction and Overview UCL Laws Centre for Law and Environment 6
1.3. UNCLOS I dan UNCLOS II Setelah terjadinya Perang Dunia II, kesadaran terhadap pentingnya sumber daya di wilayah laut semakin bertumbuh dan mendorong meningkatkannya jumlah negara yang mengajukan klaim untuk memperluas otoritas mereka terkait sejumlah objek di wilayah laut dari garis pantai masing-masing11. Aksi awal yang dampaknya paling signifikan terhadap hukum laut adalah oleh Amerika Serikat. Walaupun sebelumnya Amerika Serikat merupakan pendukung aturan hukum otoritas 3 mil laut dari garis pantai, negara ini menjadi pendukung adanya perluasan klaim maritim. Presiden Truman pada tahun 1945 pada Proklamasi 2667 menyatakan, “terkait dengan Sumber Daya Alam Lapisan Tanah serta Dasar Laut dari Landasan Kontinen”, dipicu oleh peningkatan masif dalam teknik pengekploitasian dasar laut dan penangkapan ikan. Berdasarkan proklamasi ini, “Amerika Serikat, selain untuk sumber daya alam yang berada di lapisan tanah dan dasar laut dari landasan kontinen di wilayah laut lepas, khusus untuk wilayah lepas pantai yang berdekatan dengan Amerika Serikat, diajukan untuk dijajakan aturan hukum serta kontrol terkait.”12 Langkah tersebut merupakan salah satu bentuk awal perkembangan munculnya kodifikasi terhadap hukum laut sebagai suatu kebutuhan yang dianggap penting, sehingga Komisi Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UN International Law Commission (ILC) mulai membentuk rancangan terkait hukum laut yang dalam waktu mendatang dapat ditetapkan sebagai aturan baku. ILC bekerja mulai dari 1949 hingga 1956 dan menyampaikan ‘Artikel terkait Hukum Laut’ pada sesi kedelapan dari Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa atau the United Nations General Assembly13. Topik terkait menjadi dasar dari negosiasi yang berlangsung di Jenewa pada 1958 di mana Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Conference on the Law of the Sea pertama (UNCLOS I) dilaksanakan. Konferensi ini menghasilkan empat simpulan kesepakatan: a. terkait Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (Contiguous Zone) b. terkait Landasan Kontinen. c. terkait Laut Lepas (high seas). d. terkait penangkapan ikan dan konservasi sumber daya makhluk hidup di lepas pantai. Sebanyak 86 negara peserta setuju dengan Penandatanganan Protokol Opsional (Optional Protocol of Signature) terkait Penyelesaian Perselisihan Wajib (Compulsory Settlement of Disputes) dari Konvensi Hukum Laut14. Meskipun konferensi ini telah berkontribusi dalam mengodifikasi hukum adat laut internasional dan memberikan konten signifikan terkait aturan baku hukum terkait laut teritorial, masih terdapat sejumlah masalah yang belum diselesaikan: konferensi ini gagal untuk menentukan luas wilayah dari laut teritorial. Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa kedua (UNCLOS II) diselenggarakan di Jenewa dua tahun selanjutnya, pada 1960. Tujuan utama dari konferensi ini adalah untuk berkontribusi dalam menyelesaikan masalah yang belum disepakati pada konferensi pertama, yaitu luas area laut teritorial. Konferensi yang berlangsung selama enam minggu ini terbagi menjadi dua grup, yaitu pihak yang mendukung laut teritorial 6 mil dan yang mendukung laut teritorial 12 mil. Proposal yang diajukan oleh Amerika Serikat dan Kanada,
11
Attard D. J (1987) The Exclusive Economic Zone in International Law, Oxford: Clarendon Press, p. 1 United States Presidetial Proclamation No. 2667 (28.9.1945) “Policy of the United States With Respect to the Natural Resources of the Subsoil and Sea Bed of the Continental Shelf” http://www.presidency.ucsb.edu/ws/?pid=12332 13 Douglas Guilfoyle Presentasi Video: Law of the Sea Introduction and Overview UCL Laws Centre for Law and Environment 14 Rothwell& Stephens (2010), p. 6-7 12
yang menyarankan sistem 6 mil laut teritorial dan 6 mil jalur tambahan (6+6) gagal mencapai dua pertiga dukungan dengan memperoleh hanya 19 suara15.
1.4. UNCLOS III UNCLOS II gagal mencegah praktek negara-negara dalam mengklaim suatu wilayah laut tanpa kesepakatan dengan negara lain yang juga berdekatan dengan wilayah laut tersebut, jauh berbeda dengan konsensus yang telah dibentuk pada Konvensi Jenewa sebelumnya16. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai UNCLOS III, penting bagi kita untuk memahami bahwa periode antara UNCLOS II (1960) dan UNCLOS III (1973-1982) disertai dengan sejumlah perkembangan yang berperan penting dalam merancang dan membentuk aturan baku hukum laut mendatang, di antaranya: Kemerdekaan: Bentang wilayah dari komunitas internasional secara masif telah berubah semenjak tahun 1950-an hingga 1960-an dengan “kelahiran kembali” banyak negara merdeka baru. Sehingga lebih banyak lagi negara yang mendorong adanya pengkajian dalam Konferensi Hukum Laut17. Jika pada periode sebelumnya sejumlah 86 negara berpartisipasi dalam konferensi, pada tahun 1970-an jumlah negara peserta meningkat sekitar 50% dengan jumlah final pada sesi tahun 1982 bertotal 151 negara. Dengan besarnya jumlah negara yang turut serta, dinamika politik pada UNCLOS I dan UNCLOS II pun berkembang. Pada konferensi ini, ‘Grup 77’ muncul sebagai blok negosiasi yang berfokus pada perspektif negara-negara berkembang terkait hukum laut18. Lebih jauh lagi, walaupun rasio persetujuan terhadap Konvensi Jenewa tidaklah cukup tinggi, tetapi banyak di antara negara peserta justru sudah membuat perjanjian unilateral ataupun bilateral dalam mengembangkan aturan tertentu dalam hal klaim zona wilayah penangkapan ikan. Banyak dari mereka yang menyetujui sistem zona penangkapan ikan 12 mil dikenal dengan zona ekslusif penangkapan ikan atau exclusive fishing zones (EFZ). Meskipun ada pula klaim dengan wilayah yang lebih jauh lagi dari garis pantai, di antaranya 50 mil, 100 mil, 200 mil hingga 400 mil. Aturan untuk wilayah dasar laut: Konvensi Jenewa tahun 1958 tidak menentukan aturan khusus mengenai dasar laut sebab pada masa itu negara-negara belum mampu melakukan eksploitasi bawah laut serta meletakkan kabel bawah laut atau jaringan pipa di wilayah laut lepas. Berkembangnya teknologi menjadi pembuka jalan adanya eksplorasi dan eksploitasi terhadap wilayah dasar laut19. Sebagian besar dari wilayah dasar laut, terlepas dari kedaulatan hukum nasional, diketahui mengandung banyak kandungan logam bernilai jual, seperti nikel, kobalt, dll. Hal inilah yang menjadi pertimbangan untuk melakukan pertambangan di dasar laut dengan memanfaatkan teknologi terbaru. Meskipun demikian, muncul pertanyaan apakah seluruh kekayaan ini hanya untuk negara-negara maju yang sudah mengembangkan teknologi memadai pada proses pembuangan limbah hasil pengeboran yang justru membawa kerugian bagi negara-negara berkembang20. Mempertimbangkan konflik kepentingan di antara negara maju dan negara berkembang, kesepakatan baru yang akan dibentuk haruslah bersifat jangka panjang dan melalui proses negosiasi yang tidah mudah. Duta besar Malta untuk PBB, Arvid Pardo, meminta “hukum internasional yang efektif dalam hal mengatur wilayah dasar 15
Guilfoyle (2011) Rothwell&Stephens (2010); 10 17 McDougal&Burke (1987); xxvii 18 Rothwell&Stephens (2010); 10 19 Rothwell&Stephens (2010); 11 20 Douglas Guilfoyle 16
laut dengan aturan kedaulatan hukum negara yang jelas”. Selanjutnya, “hal ini merupakan satu-satunya alternatif yang diharapkan dapat menghindari meningkatnya perselisihan yang tidak terhindari apabila situasi seperti saat ini terus berlanjut”21. Duta besar Malta menuntut adanya hukum laut baru yang bersifat komprehensif. Hal ini diartikan sebagai suatu konvensi tanpa negara mana pun dapat mengajukan keberatan, kecuali secara mutlak menerima atau menolak. Aturan ini disertai konsensus pembuatan keputusan dengan menyeimbangkan nilai-nilai kepentingan dari setiap pihak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi dasar dari terbentuknya UNCLOS III yang berlangsung selama hampir satu dekade (1973-1982). Peraturan ini oleh Duta Besar Tommy Koh sebagai ‘Konstitusi Laut’. Dalam UNCLOS III, terdapat 320 artikel, 9 perpanjangan, serta 2 kesepakatan terapan yang mengatur detail mengenai laut. 1.5. Ketetapan UNCLOS III – Zona Maritim Konvensi terkait ketetapan pada UNCLOS III dibuka penandatanganannya pada 10 Desember 1982 di Teluk Montego, dan melalui proses ratifikasi kembali pada 16 November 1994. Pada Januari 2015, terdapat 166 negara dan Uni Eropa yang telah bergabung dengan konvensi ini. Empat negara yang menyatakan tidak setuju dengan Konvensi 1982 dan masih bukan merupakan bagian dari konvensi adalah Israel, Turki, Amerika Serikat, dan Venezuela. Perlu ditekankan bahwa sejumlah ketetapan tertentu pada UNCLOS III telah berstatus sebagai bagian dari hukum internasional22. UNCLOS III membagi wilayah laut yang termasuk ke dalam kedaulatan hukum negara menjadi beberapa zona, yaitu: a. Laut teritorial (12 mil dari garis pantai23) b. Jalur tambahan (contiguous zone) tambahan dari 12 mil c. Zona Ekonomi Ekslusif (sepanjang 200 mil) d. Landasan Kontinen (sepanjang 200 mil atau 350 mil dalam kondisi tertentu). Adanya UNCLOS III selaku ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang kedaulatan negara atas wilayah laut menjadi pokok utama dari konvensi ini. Selain ketentuan zona di atas, UNCLOS III juga menetapkan aturan mengenai zona maritim yang termasuk ke dalam kedaulatan penuh, seperti perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters) bagi negara kepulauan, dll. UNCLOS III juga mengatur tentang negara pantai dan negara kepulauan dengan kedaulatan atas perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, laut yang merupakan selat, ruang udara di atasnya, dan juga dasar laut di bawahnya beserta isinya. Kedaulatan ini juga disertai dengan adanya kewajiban, di antaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak lintas damai serta hak lintas alur laut kepulauan melalui laut teritorial dan perairan kepulauan yang dimiliki oleh kapal-kapal asing.
21
PBB (1998) “The United Nations Convention on the Law of the Sea (A historical perspective)” http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/convention_historical_perspective.htm#Third%20Conf erence 22 Gurel A., Mullen F.&Tzimitras (2013) The Cyprus Hydrocarbons Issue: Context Positions and Future Scenarios, PRIO Cyprus Center Report 23 UNCLOS III Art.5 “Except where otherwise provided in this Convention, the normal baseline for measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal State”.
Gambar 1 Pembagian Zona Maritim berdasarkan UNCLOS
Untuk pembagian jenisnya, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial tergolong ke dalam zona maritim di bawah kedaulatan penuh. Zona maritim yang berada di bawah wewenang dan hak khusus negara pantai adalah jalur tambahan, zona ekonomi ekslusif, dan landasan kontinen. Terdapat pula zona maritim yang berada di luar yurisdiksi nasional, yaitu laut lepas (high seas) dan kawasan dasar laut internasional (international seabed area)24.
2. Hukum Laut Nasional Pada era kolonial Hindia-Belanda, berlaku peraturan yang disebut Ordonansi Laut Teritorial serta Lingkungan Maritim Indonesia (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie atau disingkat TZMKO) yang berlaku sejak 1939. Berdasarkan ordonansi ini, setiap pulau baik pulau yang berukuran besar maupun kecil di dalam lingkungan wilayah Hindia-Belanda memiliki laut teritorial tersendiri. Adapun yang dimaksud dengan laut teritorial Hindia-Belanda adalah jalur laut yang membentang ke arah laut sampai jarak 3 mil laut yang diukur dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah daratan Indonesia (Mochtar Kusumaatmadja, 1987:187). Lebar sejauh hanya 3 mil laut ini ternyata membentuk kantung-kantung laut bebas internasional antara satu pulau dengan pulau yang lain sehingga dianggap merugikan kedaulatan dan keutuhan teritorial Indonesia masa itu. Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pengaturan hukum laut kolonial ini dihentikan dan diatasi melalui hukum laut nasional. Permasalahan hukum laut nasional ini pertama kali terdapat pada Aturan Peralihan (Pasal II) UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Selanjutnya dilanjutkan dengan adanya Pernyataan Pemerintah RI pada 13 Desember 1957 yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Juanda menyangkut wilayah perairan Indonesia (Mochtar Kusumaatmadja, 1978: 25-30). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, karena bersangkut paut dengan masalah kewilayahan, terutama wilayah perairan Republik Indonesia, Konsepsi Nusantara adalah konsepsi yang bersifat geografis, yang menunjukkan wilayah Indonesia yang terdiri dari wilayah daratan dan lautan dianggap sebagai suatu kesatuan yang utuh. Disebutkan bahwa perairan Indonesia luasnya mencapai dua pertiga dari keseluruhan wilayah Indonesia dan tidak dapat dipisahkan dan seharusnya dianggap sebagai bagian integral dari wilayah daratannya sebagai kesatuan. Setelah adanya Deklarasi Juanda, kemudian ditetapkan undang-undang dengan prosedur Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang berlaku pada tanggal 18 Februari 1960 yang kemudian lebih dikenal dengan UU NO.4/Prp. 1960 dengan bunyi sebagai berikut: 1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya ditarik garisgaris pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar; 2. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di dalam garis-garis pangkal lurus, ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya, maupun ruang udara di atasnya dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; 3. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur atau terhitung dari garis-garis pangkal lurus ini; 4. Lalu lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara (archipelagic waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan mengganggu keamanan serta ketertibannya. Aturan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Konvensi Jenewa 1958 yang mengatur tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan yang kemudian akan dikembangkan lagi pada Pasal 7 Konvensi Hukum Laut 1982. Setelah Peraturan Perundang-Undangan tersebut ditetapkan, Republik Indonesia secara kontinu mengeluarkan aturan tentang hukum laut nasional, beberapa di antaranya adalah: 24
Prof. Dikdik Mohamad Sidik, S.H., M.H., Ph.D. 2014. Hukum Laut Internasional. Refika Aditama.
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia; c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 yang mengatur tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEE Indonesia; d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 yang mengatur tentang Pengelolaan Sumber Daya Ikan dalam Wilayah Perikanan Republik Indonesia; e. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia; f. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan yang Ditetapkan; g. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Geografis TitikTitik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia; h. dsb. Lebih lanjut, terkait pentingnya penetapan hukum laut nasional di Indonesia, dibentuklah Dewan Kelautan Indonesia sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 21 Tahun 2007 dengan pertimbangan berikut: a. Bahwa dengan berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, diperlukan langkah-langkah penanganan yang menyeluruh dan terpadu dalam rangka lebih meningkatkan pemanfaatan, pelestarian, perlindungan laut, dan pengelolaan wilayah laut nasional secara terpadu, serasi, efektif, dan efisien; b. Bahwa kebijakan publik di bidang kelautan merupakan kebijakan yang meliputi berbagai bidang pemerintahan, sehingga memerlukan keterpaduan dalam perumusan kebijakan kelautan tersebut sejak awal; c. Bahwa dalam rangka keterpaduan perumusan kebijakan kelautan telah dibentuk Dewan Maritim Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 161 Tahun 1999; d. Bahwa nomenklatur atau istilah atau penamaan Dewan Maritim Indonesia memiliki pengertian yang terbatas sehingga tidak sesuai dengan cakupan tugas dan fungsi yang dimiliki oleh Dewan tersebut; e. Bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d, memandang perlu untuk mengubah Dewan Maritim Indonesia menjadi Dewan Kelautan Indonesia dengan Keputusan Presiden. Adapun Dewan Kelautan Indonesia adalah forum konsultasi bagi penetapan kebijakan umum dalam bidang kelautan. Tugas utama dari dewan ini adalah memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam kapasitasnya selaku Ketua Dewan Kelautan Indonesia dalam rangka menetapkan kebijakan yang bersifat umum dalam bidang kelautan 25. Dewan Kelautan Indonesia bekerja hingga tahun 2016 sebelum kemudian dibubarkan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 116 Tahun 2016 oleh Presiden Joko Widodo.
25
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 (21.09.2007) “Dewan Kelautan Indonesia”
Daftar Pustaka Attard, D.J., A. (1987). The Exclusive Economic Zone in International Law. Oxford: Clarendon Press. Karakasis, V. P. (2014). Sailing over the History of the International Law of the Sea. Cyprus: Bridging Europe. McDougal, M, Burke, W. (1987). The Public Order of the Oceans A Contemporary International Law of the Sea. Dordrecht: Nijhoff Publishers. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 (21.09.2007) “Dewan Kelautan Indonesia”