Scrib.docx

  • Uploaded by: evanfaishal
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Scrib.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,381
  • Pages: 35
i

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sebagian besar masih kurang dikenali oleh masyarakat luas (GOLD, 2016). PPOK merupakan penyakit yang secara umum dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara yang terus menerus progresif dan dapat berhubungan dengan meningkatnya respon inflamasi kronis di dalam saluran pernapasan dan paru-paru (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease [GOLD], 2016). Gejala utamanya memiliki sifat kronis meliputi dyspnea, batuk, dan produksi sputum (Espinosa de los Monteros MJ, 2012). Pemeriksaan Radiologis merupakan memang tidak efektif dalam mendiagnosis PPOK, namun pemeriksaan radiologis penting dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding klinis seperti fibrosis paru, bronkiektasis, penyakit pleura, dan penyakit jantung (misalnya, kardiomegali) yang memiliki gejala klinis yang mirip (GOLD, 2016).

1.2. Tujuan Tujuan umum pembuatan referat ini adalah untuk dapat mengetahui tentang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) meliputi definisi, epidemiologi, etiopatogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis. Serta diharapkan dapat menambah wawasan penulis mengenai tata cara melakukan penulisan referat secara baik dan benar.

1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Penyakit paru obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif dan nonreversibel atau revesibel parsial (PDPI, 2011). Pengertian lainnnya PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan dapat diobati, dengan karakteristik hambatan aliran udara yang menetap dan progresif yang disertai dengan peningkatan respon inflamasi kronis pada saluran napas dan paru terhadap partikel berbahaya (Decramer, et al., 2018). PPOK terdiri dari bronkitis kronis dan emfisema. Bronkitis kronis adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal tiga bulan dalam setahun, sekurang – kurangnya dua tahun berturut – turut, tidak disebabkan penyakit lain (PDPI, 2011). Emfisema adalah keadaan pelebaran abnormal yang permanen dari rongga udara bagian distal dari bronkiolus terminalis, disertai dinding tanpa fibrosis yang signifikan (Kumar, Abbas, & Aster, 2015).

2.2. Epidemiologi World Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 600 juta orang menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang hingga berat. Pada tahun 2002 PPOK adalah penyebab utama kematian kelima di dunia dan diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia tahun 2030. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2005, yang setara dengan 5% dari semua kematian secara global.2 Prevalensi kejadian PPOK di dunia rata-rata berkisar 3-11% (Decramer, et al., 2018). Pada tahun 2013, di Amerika Serikat PPOK adalah penyebab utama kematian ketiga, dan lebih dari11 juta orang telah didiagnosis dengan PPOK.3 Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral PPM & PL di lima rumah sakit provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (PDPI, 2011). Menurut Riset Kesehatan Dasar, pada

2

tahun 2007 angka kematian akibat PPOK menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia dan prevalensi PPOK rerata sebesar 3,7% 2.3. Faktor Risiko Faktor risiko yang menyebabkan PPOK berdasarkan Decramer et al (2018) adalah : 2.3.1. Pajanan asap rokok Kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama dalam kasus PPOK ini, yaitu sekitar 90% kasus PPOK disebabkan oleh kebiasaan merokok (Barnett, 2006). Asap rokok hasil dari pembakaran tembakau dapat mengiritasi bronkiolus dan memicu perubahan permanen pada kelenjar yang memproduksi mukus sehingga menimbulkan hiperekskresi mucus (Barnett, 2006). Merokok juga dapat menyebabkan inflamasi pada dinding organ saluran napas dan dapat merusak dinding alveolar, serta akan memperparah kondisi emfisema pada pasien yang rentan (Barnett, 2006). Selain dikarenakan oleh kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama, faktor genetik dan faktor lingkungan juga berpengaruh dalam memicu timbulnya kondisi PPOK (Barnett, 2006). Dalam pencatatannya menurut PDPI (2003) dapat dilakukan dengan  Riwayat merokok o

Perokok aktiff

o

Perokok pasif

o

Bekas perokok

 Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB). Perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : o

Ringan : 0-200

o

Sedang : 200-800

o

Berat : >600

2.3.2. Polusi udara di dalam ruangan Polusi udara yang dimaksud adalah bahan bakar bio massa yang digunakan untuk memasak dan memanaskan di hunian dengan ventilasi yang kurang baik adalah sebuah faktor yang mempengaruhi pada wanita di negara berkembang (Decramer, et al., 2018).

3

2.3.3. Polusi udara luar Polusi udara juga terbukti memiliki peran penting untuk memicu terjadinya PPOK meskipun resikonya lebih kecil bila dibandingkan dengan merokok (Bourke, 2003). Polusi udara mengandung material berat seperti karbon dan sulfur dioksida yang merupakan hasil pembakaran batu bara dan bahan bakar fosil petroleum (Barnett, 2006). Material-material tersebut memiliki peran penting dalam meningkatnya risiko PPOK (Barnett, 2006). 2.3.4. Genetik Salah satu faktor genetik sebagai faktor resiko PPOK yaitu kekurangan α-1 antritipsin, yaitu suatu pelindung sistem antiprotease pada paru (Barnett, 2006). α1 antitripsin dapat memproteksi sel paru dari dekstruksi oleh elastase yang diproduksi oleh neutrofil karena adanya fagositosis maupun kematian sel (Permatasari, 2016). Keadaan ini jarang terjadi, yaitu 1:4000 dalam suatu populasi (Barnett, 2006). 2.3.5. Usia dan jenis kelamin Bertambahnya usia dan perempuan meningkatkan risiko seseorang mengalami PPOK. 2.3.6. Pertumbuhan dan perkembangan paru Kondisi lain yang dapat meningkatkan risiko seseorang lebih mudah untuk terkena PPOK yaitu terjadinya gangguan pada perkembangan paru janin selama dalam masa kandungan dan pada masa kanak-kanak, misalnya berat badan kurang saat lahir, infeksi pada saluran napas, dan lain-lain (Decramer, et al., 2018). 2.3.7. Status Sosioekonomi Status sosioekonomi terbukti berbanding terbalik dengan risiko terjadinya PPOK (10). 2.3.8. Asma dan Hiperaktifitas Saluran Napas Asma merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hambatan udara dan PPOK. 2.3.9. Bronkitis Kronik Bronkitis kronik dapat meningkatkan frekuensi dan keparahan dari eksaserbasi.

4

2.3.10. Infeksi Riwayat infeksi saluran napas berapa pada masa kanak – kanak dapat mengurangi fungsi paru dan meningkatkan gejala klinis pada masa dewasa. 2.4. Patogenesis Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran napas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit (McNee, 2005); (Spurzem & Rennard, 2005). Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru (Williams & Bourdet, 2014). Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada di permukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah

5

menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero denganhalida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl). Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap rokok (McNee, 2005); (Spurzem & Rennard, 2005); (Reilly, et al., 2005); (Barnes, 2007).

Gambar 2.1 Proses Patogenesis PPOK (PDPI, 2011)

Gambar 2.2 Perbandingan Alveolus Emfisema dan Normal (Adam, 2015)

6

Gambaran alveoli yang mengalami emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (PDPI, 2011). Peran protease akibat defisiensi antitripsin alfa-1 memiliki peran penting dalam kerusakan dinding alveoli (PDPI, 2011). Pada emfisema terjadi peningkatan alveoli yang rusak. Kerusakannya berdasarkan Kumar, Abbas, dan Aster (2015) dapat dibagi menjadi beberapa jenis seperti  Emfisema sentrisinar (sentrilobular) Bagian yang rusak adalah bagian tengah atau proksimal asinus, yang dibentuk oleh bronkiolus repiratorik, sementara alveoli distal tidak.  Emfisema panasinar (panlobular) Asinus membesar seragam, dari bronkiolus respiratorik sampai alveoli distal.  Emfisema asinar distal (paraseptal) Asinus bagian proksimal masih normal, sedangkan asinus distal mengalami kerusakan.  Emfisema irreguler Asinus yang terlibat kerusakan tidak teratur.

Gambar 2.3 Jenis Emfisema Berdasarkan Lokasi Kerusakan (Kumar, Abbas, & Aster, 2015)

7

Gambar 2.4 Perbandingan Bronkus Normal dan pada Bronkitis (Adam, 2015)

Gambaran yang terjadi pada bronkus yang mengalami bronkitis kronik terdapat pembasaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis (PDPI, 2011). Degenerasi dari jaringan alveolar dan inflamasi kronik cabang-cabang bronkhial, memegang peranan penting dalam hilangnya elastisitas di saluran pernafasan, yang nantinya akan menghambat kemampuan saluran udara kecil untuk tetap membuka selama proses inspirasi dan ekspirasi dan menyebabkan kolapsnya bronkiolus (Widowati, 2010). Sesak nafas (dyspnea) yang sering dialami penderita PPOK saat mengeluarkan tenaga merupakan perasaan sesak dan berat saat bernafas, diiringi kesadaran untuk menggiatkan pernafasan (Gosselink, 2003). Penderita menjadi merasa panik, gelisah dan akhirnya frustasi (Gosselink, 2003). Gejala ini adalah penyebab utama penderita menjadi tidak aktif dan akhirnya jatuh ke dalam keadaan penurunan fungsi fisik (Gosselink, 2003). Dan apabila tidak ditangani dengan segera, maka kemampuan kardiopulmonal akan bertambah turun (Gosselink, 2003). PPOK merupakan penyakit yang berlanjut secara perlahan, serta didalam perjalanannya terdapat fase-fase eksaserbasi akut (Gosselink, 2003). Pada setiap keadaan eksaserbasi akut akan terjadi perburukan atau pengurangan nilai faal paru dan nilai ini tidak akan kembali ke baseline setelah fase eksaserbasi ini sembuh

8

(Gosselink, 2003). Maka sangat perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat agar eksaserbasi akut tidak terjadi dan bilamana terjadi diusahakan agar fase tersebut terjadi sesingkat mungkin karena semakin lama fase eksaserbasi berlangsung, maka akan semakin turun faal paru penderita tersebut (Gosselink, 2003). Gambaran klinik yang menonjol adalah perburukan atau perlambatan arus udara ekspirasi (Gosselink, 2003). Dyspnea merupakan gejala penting yang melemahkan penderita dengan PPOK (Gosselink, 2003). Beberapa faktor patofisiologi diketahui berkontribusi terhadap dyspnea meliputi (Gosselink, 2003): 1). peningkatan muatan mekanik intrinsik otot inspirasi 2). peningkatan pembatasan mekanis dinding dada 3). kelemahan fungsional otot inspirasi 4). abnormalitas pertukaran gas 5). kompresi jalan nafas. Menghilangkan dyspnea adalah tujuan penting dari penatalaksanaan PPOK (Gosselink, 2003). Selain beberapa perawatan konvensional, seperti bronchodilator terapi, pelatihan olahraga, dan terapi oksigen, pengendalikan pernapasan juga diterapkan untuk mengurangi dyspnea (Gosselink, 2003).

2.5. Diagnosis Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga gejala berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan PDPI (2011): 1. Gambaran klinis a. Anamnesis 1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan 2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja 3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

9

4) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi atau anak, misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas yang berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara 5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak 6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi b. Pemeriksaan fisis PPOK dini umumnya tidak ada kelainan 1) Inspeksi a) Purse-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) b) Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding) c) Penggunaan otot bantu napas d) Hipertrofi otot bantu napas e) Pelebaran sela iga f) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai, g) Penampilan pink puffer atau blue bloater

Gambar 2.3 Perbedaan Gejala Klinis Pink Puffer dan Blue Bloater (Barnes, et al, 2015)

2) Palpasi a) Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar. 3) Perkusi a) Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma

10

rendah, dan hepar terdorong ke bawah. 4) Auskultasi a) Suara napas vesikuler normal, atau melemah. b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa. c) Ekspirasi memanjang. d) Bunyi jantung terdengar jauh. c. Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan Spirometri Pasien yang dicurigai menderita PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan spirometry (Suryadinata & Soeroto, 2014). The National Heart, Lung, and Blood Institute merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten (Suryadinata & Soeroto, 2014). Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis PPOK yang berguna untuk menggambarkan derajat obstruksi fungsi paru pada suatu individu (Suryadinata & Soeroto, 2014). Salah satu syarat diagnosa PPOK adalah hasil rasio pengukuran volume ekspirasi paksa (forced expiratory volume [FEV1]) / kapasitas vital paksa (forced vital capacity [FVC]) yang bernilai < 0,7 (GOLD, 2016). Derajat PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4 (GOLD, 2016). Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara paksa dari titik inspirasi maksimal (forced vital capacity [FVC]), kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (forced expiratory volume in one second [FEV1]), dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC)

(GOLD,

2016).

Hasil

pemeriksaan

spirometri

dapat

menggambarkan keadaan obstruksi yang terjadi saluran pernapasan suatu individu (GOLD, 2016).

11

2) Radiologi Foto toraks tidak berguna untuk menegakkan diagnosa pada PPOK, tetapi berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain dan menilai adanya komorbiditas seperti fibrosis paru, bronkiektasis, penyakit pleura, dan penyakit jantung (misalnya, kardiomegali) (GOLD, 2016). Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung pendulum (tear drop), sementara pada bronkitis kronik terlihat gambaran normal, corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus (PDPI, 2011).

Gambar 2.5 Pada gambaran foto toraks diatas terlihat gambaran hiperinflasi pada paru dan hemidiafragma yang mendatar. Pada proyeksi lateral terlihat peningkatan diameter anteroposterior “barrel chest” karena peningkatan udara di ruang retrosternal, celah interkosta melebar.

12

Gambar 2.6 Gambar di atas merupakan foto toraks seorang pria dengan riwayat merokok lama. Terlihat gambaran lusen pada lapangan atas paru kiri dan kanan emfisema setrisinar.

Gambar 2.7 Gambar di atas menunjukkan foto toraks penderita emfisema tipe bullous. Tanda panah menunjukkan dinding bula yang terlihat seperti garis lengkung.

13

Gambar 2.8 Gambar di atas menunjukkan foto toraks penderita emfisema panasinar. Terlihat gambaran lusen di lapangan bawah paru kiri dan kanan.

Gambar 2.9 Gambar di atas menunjukkan foto thoraks penderita PPOK dan sudut kostofrenikus yang menumpul, jantung berbentuk tear drop, paru hiperekspansi dan corak bronkovaskular yang meningkat.

14

Gambar 2.10 Gambar di atas menunjukkan foto thoraks penderita PPOK dengan diafragma yang mendatar ditandai costa 5 – 7 anterior seharusnya berpotongan dengan hemidiagfragma di garis mid klavikula, namun pada foto tersebut tidak.

Gambar 2.11 Perbandingan foto thorax normal (A dan B), dan PPOK (C dan D) menunjukkan foto thoraks penderita PPOK dengan diafragma yang mendatar ditandai costa 5 – 7 anterior seharusnya berpotongan dengan hemidiagfragma di garis mid klavikula, namun pada foto tersebut tidak.

15

Gambar 2.12 Gambar emfisema yang disertai bula yang besar di lapangan atas paru kanan dan kiri yang digambarkan lebih lusen dan diselubungi garis-garis halus seperti rambut.

Gambar 2.13 Gambar emfisema dan bronkitis kronik tampak hiperinflasi pada paru lebih radiolusen, corak bronkovaskular paru kanan bertambah lebih dari 2/3.

16

Gambar 2.14 Gambar emfisema dan bronkitis kronik tampak jantung berbentu teardrop corak bronkovaskular paru kanan bertambah lebih dari 2/3. Sudut costofrenikus yang menumpul

Selain pemeriksaan foto polos thorax dapat juga dilakukan pemeriksaan CT – Scan resolusi tinggi untuk melihat emfisema dan melihar derajat, jenis emfisema dan bula yang tidak tampak pada pemeriksaan foto polos throax (PDPI, 2011).

Gambar 2.13 Gambar kiri merupakan ilustrasi emfisema centrilobular, gambar kanan merupakan hasil CT-Scan yang menggambarkan hipodense di proksimal bronkiolus respiratorius.

17

Gambar 2.14 Gambar kiri merupakan ilustrasi emfisema paraseptal, gambar kanan merupakan hasil CT-Scan yang menggambarkan hipodense di dekat pleura.

Gambar 2.12 Gambar kiri merupakan ilustrasi emfisema panlobular, gambar kanan merupakan hasil CT-Scan yang menggambarkan hipodense di seluruh lobus. Gambar ketiga dari coronal tampak hipodense pada paru kiri.

18

Gambar 2.15 Gambar diatas menggambarkan hasil CT-Scan emfisema dengan bula di paru kanan dengan gambaran hipodense.

3) Pemeriksaan lainnya Pemeriksaan darah lengkap pada pasien PPOK untuk menyingkirkan kemungkinan pasien mengalami polisitemia atau anemia (Longe, 2008). Pemeriksaan ini dapat membantu dokter menentukan apakah seorang pasien dalam stadium lanjut dari penyakit (Longe, 2008). Hal ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tandatanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru (Alsagaff H, 2008). Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen tambahan (Alsagaff H, 2008).

2.6. Diagnosis Banding  Pneumothorax Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena. Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua menurut Bowman (2010), yaitu : 1. Pneumotoraks spontan

19

Yaitu

setiap

pneumotoraks

yang

terjadi

secara

tiba-tiba.

Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu : a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru. 2. Pneumotoraks traumatik, Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu : a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma. b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura. 2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate) Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.

20

Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah Sudoyo (2003): 1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka. 2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan. 3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien. 4. Denyut jantung meningkat. 5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang. 6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer. 7. Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut Sudoyo (2003): 1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat 2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat 3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain serta ada tidaknya jalan napas. 4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan pengisian yang kurang.

A. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (Bowman (2010),: 1. Inspeksi : a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding dada) b.

Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal

c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat

21

2. Palpasi : a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit 3. Perkusi : a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi

4. Auskultasi : a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif

B. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Röntgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks antara lain : a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru. b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan. c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

22

d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai berikut (3): 1)

Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.

2)

Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum.

Udara

yang

tadinya

terjebak

di

mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang. 3)

Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

2. Analisa Gas Darah Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%. 3. CT-scan thorax CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

23

Gambar 2.16 Foto kiri adalah pneumothorax dengan gambaran hiperlusen yang avaskular pada lobus kanan paru. Foto kanan adalah emfisema dengan bulla yang besar terdapat gambaran hiperlusen dengan batasan garis opak, dengan corak bronkovaskular yang masih tampak.

Gambar 2.17 Foto kiri adalah CT-Scan dada Pneumotorax tampak paru yang kolaps terdapat daerah hipodense yang dibatasi pluera, sementara efisema hiperdense yang dibatasi dengan jaringan paru.

2.7. Tatalaksana A. Penatalaksanaan umum PPOK Tujuan penatalaksanaan : - Mengurangi gejala - Mencegah eksaserbasi berulang - Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru - Meningkatkan kualiti hidup penderita Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : 1. Edukasi 2. Obat - obatan 3. Terapi oksigen 4. Ventilasi mekanik

24

5. Nutrisi 6. Rehabilitasi PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut. 1. Edukasi Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK : 1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan 2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal 3. Mencapai aktiviti optimal 4. Meningkatkan kualiti hidup Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah 1. Pengetahuan dasar tentang PPOK 2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya

25

3. Cara pencegahan perburukan penyakit 4. Menghindari pencetus (berhenti merokok) 5. Penyesuaian aktiviti Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut : 1. Berhenti merokok Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan 2. Pengunaan obat - obatan - Macam obat dan jenisnya - Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser) - Waktu penggunaan yang tepat (rutin dgn selangwaku tertentu atau kalau perlu saja) - Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya 3. Penggunaan oksigen - Kapan oksigen harus digunakan - Berapa dosisnya - Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen 4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen 5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya Tanda eksaserbasi : - Batuk atau sesak bertambah - Sputum bertambah - Sputum berubah warna 6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi 7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK

merupakan

penyakit kronik progresif yang ireversibel

26

Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit : Ringan - Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel - Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok - Segera berobat bila timbul gejala Sedang - Menggunakan obat dengan tepat - Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini - Program latihan fisik dan pernapasan Berat - Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi - Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan - Penggunaan oksigen di rumah 2. Obat - obatan a. Bronkodilator Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting). Macam - macam bronkodilator : - Golongan antikolinergik Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari). - Golongan agonis beta - 2 Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak

27

dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2 Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. - Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. b. Antiinflamasi Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. c. Antibiotika Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan : - Lini I : amoksisilin makrolid - Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat sefalosporin kuinolon makrolid baru Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih - Amoksilin dan klavulanat - Sefalosporin generasi II & III injeksi - Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas - Aminoglikose per injeksi

28

- Kuinolon per injeksi - Sefalosporin generasi IV per injeksi d. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin e. Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. f. Antitusif Diberikan dengan hati – hati, Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis Tanpa gejala Tanpa obat, Gejala intermiten (pada waktu aktiviti) Agonis ß2 Inhalasi kerja cepat Bila perlu Gejala terus menerus Antikolinergik Ipratropium bromida 20 μgr, 2 - 4 semprot → 3 – 4x/hari Inhalasi Agonis ß2 kerja cepat Fenoterol 100μgr/semprot 2 - 4 semprot → 3 - 4 x/hari Salbutamol 100μgr/semprot 2 - 4 semprot → 3 - 4 x/hari Terbutalin 0,5μgr/semprot 2 - 4 semprot → 3 - 4 x/hari Prokaterol 10μgr/semprot 2 - 4 semprot → 3 x/hari

Kombinasi terapi Ipratropium bromid 2 - 4 semprot 20μgr+salbutamol 100μgr → persemprot → 3 - 4 x/hari Pasien memakai Inhalasi agonis ß2 kerja Inhalasi Agonis ß2 kerja lambat ( tidak dipakai untuk eksaserbasi ) Formoterol 6μgr, 12μgr/semprot 1 - 2 semprot → 2 x/hari tidak melebihi 2 x/hari Atau timbul gejala pada waktu malam atau pagi hari.

29

Salmeterol 25μgr/semprot 1 - 2 semprot → 2 x/hari tidak melebihi 2 x/hari Teofilin Teofilin lepas lambat, Teofilin/ aminofilin 150 mg x 3 - 4x/hari 400 - 800mg/hari 3 - 4 x/hari Anti oksidan N asetil sistein 600mg/hr Pasien tetap mempunyai gejala dan atau terbatas dalam aktiviti harian meskipun mendapat pengobatan bronkodilator maksimal Kortikosteroid oral (uji kortikosteroid ). Prednison Metil prednisolon 30 - 40mg/hr selama 2mg Uji kortikosteroid memberikan respons positif Inhalasi Kortikosteroid Beklometason 50μgr, 250μgr/semprot 1 - 2 semprot → 2 - 4 x/hari. Budesonid 100μgr, 250μgr, 400μgr/semprot 200 - 400μgr → 2x/hari maks 2400μgr/hari. Sebaiknya pemberian kortikosteroid inhalasi dicoba bila mungkin untuk memperkecil efek samping Flutikason 125μgr/semprot 125 - 250μgr → 2x/hari maks 1000μgr/hari 3. Terapi Oksigen Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Manfaat oksigen -

Mengurangi sesak

-

Memperbaiki aktiviti

-

Mengurangi hipertensi pulmonal

-

Mengurangi vasokonstriksi

-

Mengurangi hematokrit

-

Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

-

Meningkatkan kualiti hidup.

30

BAB 3 PENUTUP

Penyakit Paru Obstruktif (PPOK) PPOK penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif non-reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Dan baku emas untuk menegakkan PPOK adalah uji spirometri. Prognosa PPOK tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain. Pemeriksaan Radiologi berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit – penyakit lain seperti fibrosis paru, bronkiektasis, penyakit pleura, dan penyakit jantung (misalnya, kardiomegali). CT-Scan resolusi tinggi digunakan untuk melihat emfisema dan melihar derajat, jenis emfisema dan bula yang tidak tampak pada pemeriksaan foto polos throax.

31

DAFTAR PUSTAKA

A.D.A.M. Medical Encyclopedia. (2015). Emphysema. Retrieved 2017 14-Februari from https://medlineplus.gov/ency/imagepages/17055.htm Alsagaff H, Mukty A. Penyakit obstruksi saluran napas. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya: Airlangga University Press; 2008: 231 Barnett, M. (2006). Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Primary Care. Chicester: John Wiley & Son. Bourke, S.J., (2003). Respiratory Medicine. Oxford : Blackwell Publishing Ltd. pp 50-233. Decramer, M., Vestbo, J., Nishimura, M., Stockley, R., Bourbeau, J., & Voglemeler, C. (2018). Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Diseses. Diambil kembali dari Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and PRevention: https://goldcopd.org/.../wms-GOLD-2017Pocket-Guide.pdf GOLD, Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. (2016). Global Strategy For The Diagnosis,Management, And Prevention Ofchronic Obstructive Pulmonary Disease. Gosselink, R. (2003). Controlled breathing and dyspnea in patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Journal of Rehabilitation Research and Development. Vol. 40, No. 5. Supplement 2. 25-34 Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2015). Buku Ajar Patologi Robbins (4 ed.). Singapore: ElSevier Longe, J. L. (2008). Gale Encyclopedia of Medicine. New York: The Gale Group. McNee, W. (2005). Pathogenesis of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Edinburgh: NCBI. PDPI. (2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Diambil kembali dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: https://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensusppok/ppok.pdf Suryadinata, Hendarsyah dan Arto Yuwono Soeroto. (2014). Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Ina J Chest Crit and Emerg Med Vol. 1, No. 2 : Divisi Respirologi dan Kritis Respirasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Dr Hasan Sadikin – FK Unpad. Spurzem, J. R., & Rennard, S. L. (2005). Pathogenesis of COPD. NCBI.

32

Widowati, Ria. (2010). Efektivitas Pursed-Lip Breathing Exercise terhadap Frekuensi Serangan Pasien PPOK. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Skripsi. WHO (World Health Organisation). 2008. The Top Ten Causes of Death 2004. http://www.who.int/whr/ Williams, Dennis M., Bourdet, Sharya V. 2014. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In : DiPiro, J., et al., (Eds). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach seventh edition. New York: Mc Graw-Hill. pp. 528-550.

33

More Documents from "evanfaishal"

Lapsus.docx
December 2019 22
Scrib.docx
December 2019 8
Tetanus.docx
December 2019 11
Tutorial.docx
December 2019 12
Afifah (vesikolitiasis).docx
December 2019 14
Diba (chondrosarcoma).docx
December 2019 10