Short Case
PTERYGIUM NASALIS GRADE III OD Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSMH Palembang
Oleh: Femmy Destia, S.Ked 04054821820036
Pembimbing: dr. Riani Erna, Sp.M
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2018
i
HALAMAN PENGESAHAN Judul Kasus Pterygium nasalis grade III OD
Oleh: Femmy Destia, S. Ked.
040854821820036
Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 17 September s.d 22 Oktober 2018.
Palembang, Oktober 2018
dr. Riani Erna Sp.M
ii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan berkat-Nya laporan kasus yang berjudul “Pterygium nasalis grade III OD” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Riani Erna Sp.M atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Palembang, Oktober 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1 BAB II STATUS PASIEN .....................................................................................2 BAB III TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................8 3.1 Pterygium .........................................................................................................8 3.1.1 Definisi ....................................................................................................8 3.1.2 Etiologi dan faktor risiko .........................................................................8 3.1.3 Penegakkan Diagnosis .............................................................................9 3.1.4 Tatalaksana ...........................................................................................11 BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................14 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................16
iv
BAB I PENDAHULUAN Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. jaringan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Penyebab pterigium diduga adanya exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata berhubungan dengan sinar UV. Selain itu faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi lainnya juga bisa berpengaruh. 1,2 Pterigium banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Karena Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi mengalami pterigium. Dari hasil penelitian G Gazzard dari Singapore National Eye Center, yang melakukan penelitian di daerah Riau, didapatkan bahwa prevalensi pterigium pada usia di atas 21 tahun adalah 10% sedangkan di atas 40 tahun adalah 16,8%.3 Pterigium menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya frekuensi pterigium rekuren. Selain itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi mengganggu penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan terhadap komplikasi.2,3
1
BAB II STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien Nama
: Tn. KM
Umur
: 41 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Maryana
Pekerjaan
: Petani
Agama
: Islam
Status
: Menikah
No. RM
: 237873
2. Anamnesis a. Keluhan Utama Rasa mengganjal pada mata sebelah kanan sejak ± 1 bulan.
b. Riwayat Perjalanan Penyakit Sejak 9 bulan yang lalu pasien mengeluh timbul selaput putih pada mata kanannya. Awalnya selaput tersebut berukuran kecil, namun semakin lama semakin meluas dan hampir mengenai hitam mata. Sejak ± 1 bulan yang lalu pasien mulai merasa tidak nyaman pada matanya dan mata terasa seperti ada yang mengganjal. Keluhan lain seperi, penglihatan kabur (-) perih (-), nyeri (-), mata merah (+), mata berair (+), gatal (-), silau (-), kotoran mata (-), melihat dalam terowongan (-), sakit kepala (-) seperti melihat asap (-). Pasien mengatakan baru pertama kali terkena penyakit ini dan pasien belum pernah berobat. Akhir-akhir ini 2 minggu terakhir pasien mengeluh semakin mengganjal pada mata kanan, Kemudian pasien beobat ke RSKMM Palembang.
2
c. Riwayat Pengobatan
Riwayat penggunaan obat-obatan disangkal
Riwayat operasi mata disangkal
Riwayat penggunaan kaca mata disangkal
d. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat trauma pada mata disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
Riwayat rematik/ nyeri sendi disangkal
e. Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat sakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal
Riwayat alergi pada keluarga disangkal
3. Pemeriksaan Fisik a. Status Generalis Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 91 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas
: 20 kali/menit
Suhu
: 36,7 oC
Status Gizi
: Baik
3
b. Status Oftalmologikus Okuli Dekstra
Okuli Sinistra
Visus
6/9 ph 6/6
6/6
Tekanan intraocular
14 mmHg
10 mmHg
Ortoforia
KBM GBM Tenang
Tenang Tenang
Kornea
Terdapat jaringan fibrovaskular sebelah nasal berbentuk segitiga terbalik dengan puncak tepi pupil Jernih
BMD
Sedang
Sedang
Iris
Gambaran baik
Gambaran baik
Pupil
Bulat, Central, Refleks Cahaya (+), diameter 3 mm
Bulat, Central, Refleks cahaya (+), diameter 3 mm
Lensa
Jernih
Jernih
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Papil
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Makula
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Retina
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Palpebra Konjungtiva
Jernih
Segmen Posterior Refleks Fundus
4
4. Pemeriksaan Penunjang Slit lamp
5. Diagnosis Banding 1. Pterygium nasalis grade III OD 2. Pseudopterygium nasal OD 3. Pingeukula OD
6. Diagnosis Kerja Pterygium nasalis grade III OD
7. Tatalaksana 1. Informed Consent 2. Komunikasi, Informasi dan Edukasi
Menjelaskan
mengenai
penyakit
pasien,
meliputi
definisi,
etiologi,
pencegahan, dan penatalaksanaan.
Menjelaskan kepada pasien tentang rencana pengobatan dan pemeriksaan yang akan dilakukan.
Menyarankan kepada pasien untuk menghindari faktor penyebab seperti debu dan paparan sinar matahari
Menyarankan kepada pasien untuk memakai kacamata hitam atau topi lebar saat beraktivitas diluar rumah pada siang hari
3. Non Farmakologi
Rujuk ke Sp.M
Pro eksisi pterygium + autograft konjungtiva OD
4. Farmakologi
Artificial tears (cendo lyteers ED) 4 gtt 1 OD
5
8. Prognosis Okuli Sinistra
Ad vitam
: bonam
Ad fungsionam
: bonam
Ad sanationam
: bonam
6
LAMPIRAN
Gambar 1. Okuli dekstra dan sinista kondisi terbuka
Gambar 2. Okuli dekstra dan sinistra kondisi tertutup
Gambar 3. Pemeriksaan okuli dekstra
Gambar 4. Pemeriksaan okuli sinistra 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pterigium 3.1.1 Definisi Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea1,4
3.1.2 Etiologi dan faktor risiko Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.4 Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter. 3 a.
Radiasi Ultraviolet Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
b.
Faktor Genetik Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
c.
Faktor lain Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu, kelembaban yang 8
rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab dari pterigium.
3.1.3 Diagnosis Anamnesis Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3 Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.1,3 Pemeriksaan Fisik Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif. Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu: a. Berdasarkan perjalanan penyakit 1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium) 2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran tetapi tidak pernah hilang. b. Berdasarkan luas pterigium 1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea 9
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea 3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm) 4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan5
Gambar 3. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea lebih dari 2mm, namun belum melewati pupil. (sumber: www.icoph.org)
Secara
klinis
pterigium
dapat
dibedakan
dengan
pinguekula
pseudopterigium.
Pembeda
Pterigium
Pinguekula
Pseudopterigium
Definisi
Jaringan
Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular
konjungtiva
bulbi dengan kornea yang
konjungtiva
bulbi
cacat
Putih
Putih-kuning
Putih kekuningan
kekuningan
keabu-abuan
konjungtiba
bulbi berbentuk segitiga Warna
Letak
Celah bagian atau
kelopak Celah kelopak Pada daerah konjungtiva nasal mata terutama yang temporal bagian nasal
arah kornea ♂>♀
♂=♀
10
dengan
proses kornea sebelumnya
yang meluas ke 6♂:♀
terdekat
♂=♀
dan
Progresif
Sedang
Tidak
Tidak
Reaksi
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Lebih menonjol
Menonjol
Normal
kerusakan permukaan kornea sebelumnya Pembuluh darah konjungtiva Sonde
Tidak
dapat Tidak
diselipkan
dapat Dapat diselipkan di bawah
diselipkan
lesi karena tidak melekat pada limbus
Puncak
Ada pulau
pulau- Tidak ada
Tidak ada (tidak ada head,
Funchs
cap, body)
(bercak kelabu) Histopatologi
Epitel
ireguler Degenerasi
Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan hialin
dalam submukosa
stromanya
konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor,
Riordan
Eva-Paul.
Oftalmologi
Umum.
Edisi
14.Jakarta:
Widya
Medika,2000,hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto)
3.1.4 Tatalaksana Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. 1
11
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.1 Indikasi Operasi pterigium 1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus 2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil 3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus 4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.4
Teknik Pembedahan 1.
Teknik Bare Sclera Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
2.
Teknik Autograft Konjungtiva Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
3.
Cangkok Membran Amnion Mencangkok
membran
amnion
juga
telah
digunakan
untuk
mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan 12
fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1
Gambar 4. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium, (b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined, (e).Graft sutured into place (diambil dari www.baysideeyes.com.au diakses 21 Mei 2010)
13
BAB IV ANALISA KASUS Ny. KM datang ke Poliklinik Mata RSKMM dengan keluhan rasa mengganjal pada mata sebelah kanan sejak ± 1 bulan Sejak 9 bulan yang lalu pasien mengeluh timbul selaput putih pada mata kanannya. Awalnya selaput tersebut berukuran kecil, namun semakin lama semakin meluas dan hampir mengenai hitam mata. Sejak ± 1 bulan yang lalu pasien mulai merasa tidak nyaman pada matanya dan mata terasa seperti ada yang mengganjal. Keluhan lain seperi, penglihatan kabur (-) perih (-), nyeri (-), mata merah (+), mata berair (+), gatal (-), silau (-), kotoran mata (-), melihat dalam terowongan (-), sakit kepala (-) seperti melihat asap (-). Pasien mengatakan baru pertama kali terkena penyakit ini dan pasien belum pernah berobat. Riwayat operasi mata disangkal. Riwayat penggunaan kaca mata/lensa kontak disangkal. Riwayat alergi pada keluarga disangkal. Riwayat rematik/nyeri sendi disangkal. Riwayat kencing manis disangkal. Riwayat kencing manis disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 91 kali per menit dengan isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 20 kali per menit, dan suhu 36,7 oC. Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan VOD 6/9 ph 6/6 dan VOS 6/6, TIODS dalam batas normal. Pada konjungtiva terdapat jaringan fibrovaskular sebelah nasal berbentuk segitiga terbalik dengan puncak tepi pupil. Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Penduduk Indonesia memiliki risiko tinggi terkena pterigium. Hal ini diduga berkaitan dengan paparan sinar matahari berlebihan yang diterima oleh mata. Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Pada pemeriksaan terlihat lesi pterigium sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura interpalpebralis, berwarna putih kekuningan. Bedakan lesi pterigium dengan pinguekula dan pseudopterigium. Derajat pterigium dapat dinilai dengan melihat luas pterigium. Penentuan derajat pterigium sangat penting untuk penatalaksanaan selanjutnya. Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup 14
dengan pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi derajat 2. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita ini memenuhi kriteria diagnosis pterigium grade III. Karena didapatkan adanya selaput fibrovaskular sebelah nasal berbentuk segitiga terbalik dengan puncak tepi pupil didukung dengan pekerjaan pasien yaitu seorang petani yang memungkinkan pasien untuk terpapar sinar matahari (UV) lebih sering dan banyak. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan slit lamp untuk melihat lebih jelas segmen anterior. Pengobatan yang diberikan pada penderita ini adalah untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan selamjutkan pasien disarankan untuk rujuk ke dokter spesialis mata untuk dilakukan eksisi. Prognosis pada penderita ini baik, Namun tetap harus memperhatikan faktor penyebab untuk mengurangi kekambuhan.
15
DAFTAR PUSTAKA 1. Sidarta Ilyas. 2008. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Jakarta: FK UI. 2. Chandra DW et al. 2007. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared with subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive primary pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu Kedokteran. 39(4): 186-19. 3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. 2002. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology. 86(12): 1341–1346. 4. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan. 5. T H Tan Donald et all. 2005. Pterygium clinical Ophtalmology – An Asian Perspective. Singapore: Saunders Elsevier.
16