Saya Pun Berhak Berpendapat ( Baca: Menggugat) Setelah seharian penuh, pada tanggal 11 November 2009, saya bersama jajaran UPK Kelurahan Sudajayahilir melakukan sosialisasi Pinjaman bergulir PNPM-MP tahap ke-dua kepada masyarakat, telah ditentukan masyarakat yang kami undang pada kesempatan itu adalah para Kelompok Swadaya Masyarakat peminjam ekonomi bergulir tahap pertama. Omong punya omong pada bulan ini akan dilakukan pelunasan pinjaman tahap pertama ini. Dari enam belas (16) KSM peminjam, 50% nya akan melunasi pinjaman pada bulan ini, dan enam dari KSM tersebut sampai tulisan ini dibuat telah melunasi pinjamannya. Kapasitas saya pada acara sosialisasi tersebut hanya sebagai UPK ( Unit Pengelola Keuangan), yang pada acara itu diberi kesempatan oleh pemandu acara untuk menyampaikan satu pencerahan kepada beberapa KSM yang hadir. Terus terang, dan ini memang saya akui, kualitas saya dalam member pencerahan – terutama seputar pemberdayaan keuangan- sama sekali belum bisa dikatakan mumpuni atau ahli. Hanya saja, masyarakat memang perlu diberi penjelasan , terutama seputar pinjaman bergulir ini. Fungsi dari penjelasan kepada masyarakat atau peminjam adalah untuk menafikan tekad kurang baik dari beberapa pihak yang berusama menggembosi pinjaman bergulir ini. Ada sebuah indikasi, dimana menurunnya tingkat pengembalian dari masyarakat kepada UPK selama dua bulan terakhir ini disebabkan oleh factor-faktor historis, dimana sebagaian besar kelompok masyarakat member penekanan bahwa pinjaman seperti ini memang bersifat hibah dan pengembaliannya bisa dikompromikan. Tentu ini sejalan dengan belum maksimalnya tanggung-jawab masyarakat kepada sesame mereka. Tapi, berbicara tanggungjawab, biasanya orang selalu saling menuding, siapa yang menjadi penaggungjawab terhadap merosotnya tanggungjawab masyarakat terhadap masalah yang mereka hadapi? Faktor historis merupakan factor x, belum maksimalnya sumberdaya dari BKM dan UPK pun menjadi satu alas an tentang menurunnya tingkat pengembalian warga. Kesolidan tanpa egoism dari pengelola pun masih perlu dipertanyakan lagi. Sudah sejauh man aide-ide cerdas bersifat utuh, bisa menjadi obat dari masalah ini? Saya piker tidak perlu jauh membicarakan factor-faktor determinan penyebab munculnya masalah tersebut ketika dalam sosialisasi tersebut ternyata masyarakat sendiri masih mengakui belum maksimalnya peran KSM di wilayah. Tentu saja, dikecualikan KSM-KSM yang mengikuti acara tersebut karena telah ada dalam KSM-KSM tersebut minimal sebuah tanggungjawab besar untuk mengembalikan pinjaman bergulir tersebut. Harus diakui, kesuksesan sebuah lembaga ditentukan oleh Sumberdaya manusia yang ada di dalam lembaga tersebut. Kualitas dari pikiran dan ide pengelola akan menjadi penentu maju dan mundurnya sebuah lembaga. Disamping hal tersebut, ada penunjang-penunjang lain, karena kualitas tanpa penunjang terutama sarana akan termentahkan dengan ranah waktu, efektivitas kinerja
1
akan terhambat, efisiensi waktu pun akan membesar. Manajemen UPK harus dibuat serapi mungkin, pengarsipan dibutuhkan bukan semata untuk member isyarat bahwa UPK bisa mandiri dan berdiri di atas BKM kecuali untuk menunjukkan bahwa kerja kita tidak main-main. Tercetus sebuah ide, UPK akan membeli satu unit computer dari uang jasa pinjaman bergulir. Sudah tentu, pagi-pagi saya sudah menghubungi BKM untuk membicarakannya. Etika komunikasi berupa koordinasi tetap kami jaga, sebab bagaimana pun baik UPK maupun BKM sama sekali bukan lembaga persaingan. Alur komunikasi via sms tersebut ; keinginan UPK untuk member sebuah unit Komputer masih dipertanyakan oleh nada tendensius bersifat egoistic dari seorang anggota BKM. Menurut dia, computer sampai saat ini bukan kebutuhan mendesak bagi UPK! Nah, ini merupakan satu tanda Tanya besar, seberapa jauh BKM melakukan evaluasi terhadap kinerja yang telah dilakukan? Seberapa jauh BKM telah mengevaluasi kinerja UPK terutama dalam hal pembukuan? Jelas pernyataan belum mendesaknya kebutuhan computer untuk UPK adalah tendensi individu karena secara historis dan kinerja BKM pun masih perlu dipertanyakan. Alasan lain dari BKM adalah, kita harus mengedepankan nilai-nilai tanggungjawab dan kedekatan kita dengan masyarakat. Ini pun menjadi bahan tertawaan saya secara pribadi. Mari kita buka kedok kita masing-masing, siapa yang meminta dibagikan uang jasa beberapa bulan ke belakang? BUkankah itu keluar dari BKM? Waktu itu UPK malah bersikap sebaliknya, uang jasa akan digulirkan kepada masyarakat. Karakter tanpa bentuk dari seorang anggota BKM ini patut dipertanyakan dan inilah yang menjadi penghambat kemajuan masyarakat. Jika kita berbicara sudah seberapa dekat kita dengan masyarakat, tidak perlu lah hal tersebut diukur dengan kesibukkan kita mengurus proposalproposal pengajuan. Kedekatan dan keberpihakan kita terhadap masyarakat sebanding dengan perguliran waktu dan prestasi-prestasi seseorang di masyarakat itu. Dan ini sama sekali tidak perlu diungkapkan. Menjadi actor pemberdayaan di masyarakat bukan sekedar dilandasi oleh sikap kenaka-kanakan, lebih dari itu ada satu etika dimana pengakuan dan mau mengakui kelebihan sesama actor pemberdayaan. Kebanggan semu, ketika kita baru satu atau dua tahun terjun di dunia masyarakat lantas kita berani mengaku bahwa dirikita telah dekat dengan masyarakat. Ya, saya anggap debat kusir tadi pagi hanya bagian dari sebuah proses panjang. Bahwa, sikap yang dibutuhkan oleh actor pemberdayaan bukan sekedar menampilkan egoism pribadi, tanpa bentuk, karakter yang memble, etika komunikasi tanpa nilai, juga masih dibutuhkan hal lain. Mau mengakui kelemahan diri sendiri dan berkaca pada keberhasilan orang lain. Mudahmudahan, walaupun tulisan ini bernada tendensiun namun bisa menjadi cermin bagi semua actor pemberdayaan masyarakat! Dan Hanya Allah Yang Maha Tahu…
2