Sap Peran Keluarga Pada Pasien Pk.docx

  • Uploaded by: sofiakamala
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sap Peran Keluarga Pada Pasien Pk.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,779
  • Pages: 21
SATUAN ACARA PENYULUHAN PERAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN

Disusun oleh: 1. Nayla Intias

( 1120018120 )

2. Moh. Rohman Firmansyah ( 1120018116 ) 3. Hendik Eko Saputro

( 1120018100 )

4. Ravica Oktavia

( 1120018027 )

5. Latiful Laili

( 1120018033 )

6. Johanna Kharismadani

( 1120018059 )

Dosen Pembimbing: Nur Hidaayah, S.Kep.Ns.,M.Kep PRODI PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS NADLATUL ULAMA SURABAYA 2018

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

Topik

: Peran Keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan

Hari/tanggal

: Senin, 2 Oktober 2018

Tempat

: Poli Jiwa

Waktu

:

Sasaran

: Seluruh Keluarga Pasien

A. Latar Belakang Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2011). Menurut Stuart dan Laraia (1998), perilaku kekerasan dapat dimanifestasikan secara fisik (mencederai diri sendiri, peningkatan mobilitas tubuh), psikologis (emosional, marah, mudah tersinggung, dan menentang), spiritual (merasa dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral). Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu persen (Purba dkk, 2011). Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. WHO (2001) menyatakan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum terdapat 0,2 – 0,8 % penderita skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira-kira 2.400.000 orang anak yang mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2004 dalam Carolina, 2012). Data WHO tahun 2006 mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 persen mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2006).

B. Tujuan 1. Tujuan umum Setelah dilakukan penyuluhan tentang cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan di harapkan keluarga pasien mengerti tentang apa perilaku kekerasan dan bagaimana peran keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan

2. Tujuan Khusus Setelah dilakukan penyuluhan tentang peran keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan di harapkan mampu untuk : a. Mengetahui tentang apa itu perilaku kekerasan b. Mengetahui tentang penyebab dari perilaku kekerasan c. Mengetahui tanda dan gejala perilaku kekerasan d. Mengetahui dampak perilaku kekerasan e. Mengetahui penatalaksanaan perilaku kekerasan f. Mengetahui bagaimana peran keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan

C. Sub Pokok Bahasan 1.

Pengertian perilaku kekerasan

2.

Penyebab perilaku kekerasan

3.

Tanda dan gejala perilaku kekerasan

4.

Dampak perilaku kekerasan

5.

Penatalaksanaan Peerilaku Kekerasan

6.

Peran keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekersan

D. Tempat Tempat

: Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya Poli Jiwa

Alamat

:

E. Strategi Pelaksanaan 1. Metode

: Ceramah, Demonstrasi, dan Diskusi

2. Media

: Lefleat dan Lembar Balik

F. Setting Tempat Duduk

Keterangan : : Moderator

: Penyaji

: Peserta

: Observer G. Kepanitiaan 1. Moderator

: Ravica Oktavia

( 1120018027 )

2. Penyaji

: Moh. Rohman Firmansyah

( 1120018116 )

3. Observer

: Hendik Eko Saputro

( 1120018100 )

Nayla Intias

( 1120018120 )

4. Time Keeper

: Latiful Laili

( 1120018033 )

5. Dokumentasi

: Johanna Kharismadani

( 1120018059 )

H. Kegiatan No 1.

Kegiatan

Waktu

Respon Keluarga

Pendahuluan a. Salam Pembuka b. Perkenalan

a. Menjawab salam 15 menit

c. Menyampaikan Pokok

b. Mendengarkan c. Memperhatikan

bahasan

d. Memperhatikan

d. Menyampaikan Tujuan 2.

Kegiatan inti Penyampaian materi menjelaskan tentang: a. Pengertian Manajemen Stress b. Penyebab Stress

20 menit

Memperhatikan

c. Tanda dan Gejala Stress d. Tehnik Manajemen Stress

3.

Tahap Terminasi

10 menit

Memberikan kesempatan keluarga untuk mendemonstrasikan ulang dan bertanya

4.

Penutup

5 menit

a. Memberikan kesimpulan

a. Mengucapkan terimakasih.

b. memberikan salam

b. Mengucapkansalampenutup

penutup

I.

Kriteria Evaluasi 1. Evaluasi Struktur a. Tenaga pelaksana kegiatan ini adalah mahasiswa. b. Diharapkan anggota keluarga mengikuti kegiatan. c. Kesiapan pemateri dari mahasiswa S1 Keperawatan Universitas NU Surabaya. d. Tersedianya alat dan bahan serta media untuk pelaksanaan kegiatan 2. Evaluasi Proses a. Peserta 1) Diharapkan selama proses berlangsung, keluarga pasien mengikuti hingga akhir 2) Diharapkan selama kegiatan berlangsung keluarga pasien aktif bertanya. 3) Kegiatan terlaksana secara sistematis dan sesuai dengan rencana kegiatan. 4) Media yang digunakan membuat keluarga lebih mudah paham mengenai peran keluarga dalam merawat pasien dengan gangguan jiwa b. Pemateri 1) Mahasiswa dapat melaksanakan kegiatan sesuai perannya 2) Mahasiswa bisa memfasilitasi jalannya kegiatan 3. Evaluasi Hasil a. Di awal : keluarga pasien dapat mengerti pengertian, penyebab, dan t Keluarga pasien mengerti bagaimana cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan. b. Di Akhir : Pemateri menanyakan apa yang sudah di sampaikan kepada audience dan Audience menjawab lalu pemateri akan menyimpulkan. c. Ada peningkatan pengetahuan tentang peran keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan

BAB 2 TINJAUAN TEORI

A. Perilaku kekerasan 1. Definisi Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol (Yosep, 2009). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan dimana hal tersebut untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart & Sundeen, 2005). Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Fitria, 2010). Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI, 2000)

2. Faktor Predisposisi Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan yaitu : a. Faktor psikologis Psychoanalytical theory: teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama insting hidup yang di ekspresikan dengan seksualitas dan kedua insting kematian yang di ekspresikan dengan agresivitas. Frustation-aggresion theory: teori yang dikembangkan oleh pengikut freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang

menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan tindakan agrresif mempunyai riwayat perilaku agresif. Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut: 1)

Kerusakan otak organik, retardasi mental sehingga tidak mampu untuk menyelesaikan secara efektif.

2)

Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanakkanak,atau seduction parental, yang mungkin telah merusak hubungan saling percaya dan harga diri.

3)

Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.

b. Faktor soosial budaya Social-Learning Theory: teory yang dikembangkan oleh Bandura (1977) dalam Yosep (2009) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan responrespon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap kebangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pelajaran ini bisa internal atau eksternal. Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.

c. Faktor biologis Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agrsif mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus bidatang ternyata menimbulkan perilaku agresif. Rangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis dll. Jika kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional) dan lobus temporal. Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin, norepineprine, acetilkolin dan asam amino GABA. Faktor-faktor yang mendukung: 1) Masa kanak-kanak yang mendukung 2) Sering mengalami kegagalan 3) Kehidupan yang penuh tindakan agresif 4) Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)

3. Faktor Presipitasi Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan (Yosep, 2009): a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya. b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi. c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa. e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.

f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap

4. Tanda dan Gejala Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut : a.

Fisik 1) Muka merah dan tegang 2) Mata melotot/ pandangan tajam 3) Tangan mengepal 4) Rahang mengatup 5) Postur tubuh kaku 6) Jalan mondar-mandir

b.

Verbal 1) Bicara kasar 2) Suara tinggi, membentak atau berteriak 3) Mengancam secara verbal atau fisik 4) Mengumpat dengan kata-kata kotor 5) Suara keras 6) Ketus

c.

Perilaku 1) Melempar atau memukul benda/orang lain 2) Menyerang orang lain 3) Melukai diri sendiri/orang lain 4) Merusak lingkungan 5) Amuk/agresif

d.

Emosi Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.

e.

Intelektual Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.

f.

Spiritual Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.

g.

Sosial Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.

h.

Perhatian Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

5. Rentang Respon Menurut Yosep (2007) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan (panik).

Respon Adaptif

Asertif

Respon Maladaptif

Frustasi

Pasif

Agresif

Kekerasan

Gambar 1. Rentang Respon Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif sampai kekerasan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa : a. Asertif

: individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan.

b. Frustasi

: individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif.

c. Pasif

: individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.

d. Agresif

: perilaku yang menyertai marah terdapat dorongan untuk menuntut tetapi masih terkontrol.

e. Kekerasan

: perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol. Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang dimanivestasikan dalam

bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa ia ”tidak setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituruti atau diremehkan.” Rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon normal (asertif) sampai pada respon yang tidak normal (maladaptif).

6. Mekanisme Koping Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah: a. Sublimasi, yaitu melampiaskan masalah pada objek lain. b. Proyeksi, yaitu menyatakan orang lain mengenal kesukaan/ keinginan tidak baik. c. Represif, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan dengan melebihkan sikap/ perilaku yang berlawanan. d. Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan dengan melebihkan sikap perilaku yang berlawanan. e. Displecement, yaitu melepaskan perasaan tertekan dengan bermusuhan pada objek yang berbahaya. f. Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari seseorang karna ditinggal oleh orang yang dianggap berpangaruh

dalam

hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang harga diri rendah (HDR), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain tidak dapat diatasi maka akan muncul halusinasi berupa suara-suara atau bayang-bayangan

yang meminta klien untuk

melakukan kekerasan. Hal ini data berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan). Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik dalam mengahadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini yang menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen terapeutik inefektif).

7. Dampak Perilaku Kekerasan Keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. misalnya menyerang orang lain, memecahkan perabot, membakar rumah dan lain – lain. Sehingga pasien dengan perilaku kekerasan beresiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

8. Penatalaksanaan a) Farmakoterapi Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014) b) Terapi Okupasi Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program kegiatannya (Eko Prabowo, 2014) c) Peran Serta Keluarga Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan

menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo, 2014) d) Terapi Somatic Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi adalah perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014) e) Electronic Convulsive Therapy (ECT) Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2014)

B. Konsep Keluarga 1. Definisi Keluarga Keluarga adalah sekumpulan orang yang di hubungkan oleh perkawinan, adopsi dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan social dari individu-individu yang ada di dalamnya terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama. Kelurga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan, atau pegangkatan dan mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinterksi

sama

lain

dan

didalam

perannya

mempertahankan kebudayaan (Friedman, 2010)

masing-masing

menciptakan

serta

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan lainnya, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya, 1978) , dikutip dari Setyowati, 2008) Dari pengertian keluarga diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa keluarga adalah seperangkat bagian yang saling tergantung satu sama lain serta memiliki perasaan beridentitas dan berbeda dari anggota dan tugas utama keluarga adalah memelihara kebutuhan psikososial anggota-anggotanya dan kesejahteraan hidupnya secara umum.

2. Tipe Keluarga Menurut Harnilawati, (2013) pembagian tipe ini bergantung kepada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan. a. Secara tradisional Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi 2, yaitu: 1) Keluarga Inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi atau keduanya. 2) Keluarga Besar (Exended Family) adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi). b. Secara modern berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa individualisme maka pengelompokan tipe keluarga selain di atas adalah: 1) Tradisional Nuclear : Ayah + Ibu + Anak – Serumah – Ikatan pernikahan (saksi legal). 2) Extended Family : Keluarga inti + Sanak saudara (nenek, kakek, keponakan, saudara, sepupu, paman, bibi, dsb).

3) Reconstituted Nuclear : Pembentukan baru dari keluarga inti, ada perkawinan kembali, tinggal serumah dengan anak dari perkawinan lama maupun baru, satu / keduanya dapat bekerja di luar rumah. 4) Middle Age / Aging Couple : Suami sebagai pencari uang, istri di rumah / keduaduanya bekerja di rumah, anak – anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah / perkawinan / meniti karir. 5) Dyadic Nuclear : Suami + istri sudah berumur, tidak mempunyai anak, keduanya / salah satu bekerja di luar rumah. 6) Single Parent : Satu orang tua, akibat perceraian / kematian pasangan, anak – anak dapat tinggal di rumah / diluar rumah. 7) Dual Carier : Suami istri atau keduanya berkarier dan tanpa anak 8) Commuter Carier : Suami istri / keduanya orang karier & tinggal terpisah pada jarak tertentu, keduanya selagi mencari pada waktu tertentu. 9) Single Adult : Wanita / pria dewasa tinggal sendiri dengan tidak ada keinginan menikah. 10) Three Generation : Tiga generasi / lebih tinggal dalam satu rumah. 11) Institutional : Anak- anak atau orang-orang dewasa tinggal dalam suatu panti. 12) Communal : Satu rumah tidur dari 2 / lebih pasangan yang monogami dengan anak – anaknya & bersama – sama dalam penyediaan fasilitas. 13) Group Marriage : Satu Perumahan : Oorang tua & keturunannya, satu kesatuan keluarga, tiap individu menikah dengan yang lain & semuanya adalah orang tua dari anak – anak.

14) Unmarried Parend and Child : Ibu & anak dimana perkawinan tidak dikehendaki, anaknya diadopsi. 15) Cohibing Couple : Dua orang / pasangan yang tinggal bersama tanpa pernikahan. 3. Jenis Dukungan Keluarga Keluarga mempunyai fungsi pendukung yang bisa dilakukan dalam keluarga tersebut (Friedman, 2010). Meliputi : a. Dukungan sosial : dalam beberapa literature biasa disebut dukungan informasional, dimana keluarga berfungsi memberikan, mencari dan menyebarkan informasi kepada seluruh anggota keluarga. Contohnya; ketika seorang anggota keluarganya mengalami hipertensi, anggota keluarga lain mencari informasi seputar penyakit hipertensi, cara pencegahannya ataupun cara mengobatinya baik itu melalui petugas kesehatan, brosur, majalah, atau media sosial lainnya. Jika informasi dirasa sudah cukup, maka beberapa dari anggota keluarga tersebut menyampaikan pada pederita dan anggota keluarga yang ikut merawatnya. b. Dukungan penilaian : keluarga bertindak sebagai sistem pembimbing umpan balik, membimbing dan menjadi perantara dalam memecahkan suatu permasalahan, dan merupakan sumber serta validator identitas anggota keluarga menjadi tempat untuk berbagi. Tempat untuk menceritakan semua permasalahan dan menjadi tempat memecahkan permasalahan itu bersama-sama. Contohnya, tempat yang tepat untuk mendapatkan

pengobatan,

masalah

yang ditemui

saat

melakukan

program

pengendalian hipertensi. c. Dukungan instrumental : keluarga adalah sumber bantuan praktis dan konkrit. Contohnya; disaat salah satu anggota keluarga hipertensi, maka anggota keluarga lain

akan menyediakan semua kebutuhannya, membuat jadwal kegiatan dan aktivitas yang akan dilakukan jadwal pengobatan dan kontrol kesehatan, termasuk menghindari penderita tersebut dari kelelahan. d. Dukungan emosional : keluarga berfungsi sebagai pelabuhan istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan emosional serta meningkatkan moral keluarga. Keluarga besar dan teman dekat menjadi tujuan utama dukungan ini. Walaupun begitu, tidak ada yang bisa mengenal keluarga selain anggota keluarga itu sendiri. Tenaga profesional kesehatanpun belum tentu bisa mempunyai kepekaan yang sama dengan dengan keluarga inti. Apalagi untuk perawatan penderita penyakit kronik yang sangat membutuhkan keterlibatan keluarga. 4. Fungsi Keluarga Menurut Friedman, Marilyn M,Vicky R Bowden, Elaine G Jones. (2010) fungsi keluarga secara umum didefinisikan sebagai hasil akhir atau akibat dari setruktur keluarga. Walaupun beberapa penulis menggunakan “fungsi” untuk mengartikan. a.

Fungsi Afektif Merupakan dasar utama baik untuk pembentukan maupun keberlanjutan unit keluarga itu sendiri, sehingga fungsi afektif merupakan salah satu fungsi keluarga yang paling penting. Saat ini,ketika banyak tugas sosial yang dilaksanakan di luar unit keluarga, sebagian besar upaya keluarga difokuskan pada pemenuhan kebutuhan anggota keluarga akan masih sayang dan pengertian.

b.

Fungsi Sosial dan Status Sosial Sosialisasi anggota keluarga adalah fungsi yang universa ldan lintas budaya yang dibutuhkan untuk melangsungkan hidup masyarakat. Sosialisasi merujuk kepada banyaknya pengalaman belajar yang diberikan kepada keluarga yang ditujuan untuk mendidik anak-anak tentang cara menjalankan fungsi dan memikul peran sosial orang dewasa seperti yang dipikul suami istri dan ibu-ayah.

c.

Fungsi Kesehatan Keluarga Fungsi fisik keluarga dipenuhi orang tua yang menyediakan makanan, pakaina, dan tempat tinggal, perawatan kesehatan, dan perlindungan terhadap bahaya. Pelayanan dan praktik kesehatan (yang memengaruhi status kesehatan anggota keluarga secara individual) adalah fungsi keluarga yang relafan bagi perawat keluarga.

d.

Fungsi Reproduksi Salah satu fungsi dasar keluarga dalam menjamin kontinuitas antar-generasi keluarga dan masyarakat yaitu, menyediakan anggota baru untuk masyarakat. Dahulu, pernikahan dan keluarga dirancang untuk mengatur dan mengendalikan perilaku seksual serta reproduksi.

e.

Fungsi Ekonomi Fungsi ekonomi melibatkan penyediaan keluarga akan sumber daya cukup finansial, ruang, dan materi serta alokasinya yang sesuai melalui proses pengambilan keputusan. Suatu pengkajian mengenai sumber ekonomi keluarga memberikan perawat, data yang relevan dengan kemampuan keluarga untuk mengalokasikan sumber yang sesuai guna memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, papan dan perawatan kesehatan yang adekuat.

f.

Fungsi Perawatan Kesehatan 1)

Kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan, termasuk bagaimana presepsi keluarga terhadap tingkat keparahan penyakit, pegertian, danda dan gejala, aktor penyebab presepsi keluarga terhadap masalah yang dialami keluarga.

2)

Kemampuan keluaga dalam memgambil keputusan, termasuk sejauh mana keluarga mengerti mengenai sifat dan luasnya masalah, bagaimana masalah yang dirasakan oleh keluarga, keluarga menyerah atau tidak terhadap masalah yang dihadapi, adakah rasa takut terhadap akibat atau adakah sikap negatif dari keluarga terhadap masalah kesehatan, bagaimana sistem pengambilan keputusan yang dilakukan keluarga terhadap angota keluarga yang sakit.

3)

Kemampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit, seperti keluarga mengerti keadaan sakitnya, sikap dan perkembangan perawatan yang diperlukan, sumber-sumber yang ada dalam keluarga serta sikap keluarga terhadap yang sakit.

4)

Kemampuan keluarga memodifikasi lingkungan, seperti pentingnya hygiene sanitasi bagi keluarga, upaya pencegahan penyakit yang dilakukan keluarga, upaya pemelihraan lingkungan yang dilakukan keluarga, kekompakan anggota keluaraga dalam menata lingkungan dalam dan luar rumah yang berdampat terhadap kesehatan keluarga.

5)

Kemampuan keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti kepercayaan keluarga terhadap petugas kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, keberadaan fasilitas kesehatan yang ada, keuntungan keluarga terhadap penggunaan fasilitas kesehatan, apakah pelayanan kesehatan terjangkau oleh keluarga, adakah pengalaman yang kurang baik yang di persepsikan keluarga.

C. Peran keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan Adapun peran keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan diantaranya adalah sebagai berikut: (Wuryaningsih, 2013 ) 1) Keluarga perlu memperlakukan penderita dengan sikap yang bisa mendukung tumbuhnya harapan dan optimis Harapan dan optimism akan mejadi motor penggerak pemulihan dari gangguan jiwa, dilain pihak kata menghina memandang rendah dan membutuhkan pesimisme akan bersifat melemahkan proses pemulihan. Harapan merupakan pendorong proses pemulihan, salah satunya factor penting dala pemulihan adalah adanya keluarga. 2) Keluarga mengerti tentang kondisi – kondisi pasien yang perlu di konsultasikan segera ke dokter ( seperti melempar/ memukul orang lain ) 3) Mengontrol ekspresi emosi keluarga (seperti mengkritik, bermusuhan ) 4) Melatih dan memotivasi melakukan tindakan untuk mengontrol marah, seperti tarik nafas, memukul kasur / bantal, minum dan beribadah. 5) Bantu pasien untuk lebih medekatkan diri pada tuhan 6) Membantu pasien untuk minum obat secara teratur, 7) Jika sudah tidak ditangani bawa ke pelayanan kesehatan terdekat. 8) Peran keluarga sebagai upaya pencegah kekambuhan Kepedulian ini diwujudkan cara meningkatkan fungsi afektif yang dilakukan dengan memotivasi, mejadi pendengar yang baik, memberi tanggug jawab dan kewajiban peran dari keluarga sebagai pemberi asuhan.

Related Documents


More Documents from "Deyan"