Sap Desiminasi Ilmu Pstw.docx

  • Uploaded by: Munira
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sap Desiminasi Ilmu Pstw.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,955
  • Pages: 19
SATUAN ACARA PENYULUHAN HIPERTIROID PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDA BUDI LUHUR JAMBI

DISUSUN OLEH :KELOMPOK I

YULDA YURISTIKA

G1B218003

STASIA ARINOPITA

G1B218005

ABZALURAHMAN

G1B218006

MUNIRA

G1B218007

PUTRINUGRAHA W.A

G1B218009

WIDYA RIVANI

G1B218010

ULBAQ SHEPTIA

G1B218012

SRIWATI

G1B218013

Dosen Pembimbing Ns. Yosi Oktarina S.Kep. M.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI TAHUN 2019

PRE PLANNING HIPERTIROID PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDA BUDI LUHUR JAMBI

Topik/Judul kegiatan

: Hipertiroid Pada Lansia

Hari/Tanggal

: Kamis/ 11 April 2019

Jam

: 08:00 s/d Selesai

Waktu

: 30 Menit

Tempat

: Aula Panti Sosial Tresna Werda Budi Luhur Jambi

Sasaran

: Pegawai Panti Sosial Tresna Werda Budi Luhur Jambi

Target

: ±20 orang

A. LATAR BELAKANG Angka kejadian penderita gangguan tiroid semakin meningkat di dunia, menurut WHO diperkirakan 750 juta penduduk dunia mengalami gangguan tiroid, angka ini dapat melebihi prevalensi diabetes nantinya. Prevalensi gondok nodular meningkat seiring bertambahnya usia dari 2,7% menjadi 8,7% pada wanita dan 2% menjadi 6,7% pada pria dengan rentang usia 26-30 tahun. Sedangkan usia 36-40 tahun dapat meningkat menjadi 14,1% wanita dan 12,4% pria. Untuk usia 45-50 tahun dapat mencapai 18% pada wanita dan 14,5% pada pria (Wolters Health, 2013; Reiners, 2004). Di Indonesia sendiri menduduki peringkat tertinggi di Asia Tenggara dalam gangguan tiroid yaitu 1,7 juta jiwa (survey IMS Health, 2015). Hipertiroid sebesar 12,8% pada pria dan 14,7% pada wanita (RISKERDAS 2007). Didapatkan juga data pada usia 15 tahun ke atas terdapat hipertiroid 0,4% dari 176.689.336 jiwa yaitu 700 ribu jiwa (RISKERDAS 2013). Menurut data dari Unit Koordinasi Kerja Endokrinologi anak Kemenkes RI yaitu sejak tahun 2000 - 2014 dari 213.669 bayi baru lahir yang dilakukan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) didapatkan hasil positif sejumlah 85 bayi atau 1 : 2.736 kelahiran, lebih tinggi dari rasio global (1:3000 kelahiran) artinya dalam 5 juta kelahiran bayi per tahun terdapat 1.600 bayi menderita hipotiroid yang dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang bahkan keterbelakangan mental. Gangguan tersebut karena ketidakseimbangan tiroid yang terjadi pada manusia.

Manusia perlu menjaga keseimbangan hormon tiroid yang pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni; asupan iodium, asupan zat besi, faktor stres, faktor genetik, dan konsumsi obat – obatan yang berkaitan dengan denyut jantung. Asupan iodium merupakan unsur pokok dalam pembentukan hormon tiroid, sehingga harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup dan berkesinambungan (PERKENI,2008). Ketidakseimbangan yang terjadi dapat berupa hormon tiroid yang berlebih maupun hormon tiroid yang kurang. Pendeteksian dini merupakan upaya pertama dalam pencegahan maupun penangulangan gangguan tiroid, seperti yang dilakukan oleh salah satu organisasi Tiroid internasional yakni American Thyroid Association (ATA) merekomendasikan U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) dalam deteksi dini gangguan pada tiroid. USPSTF merupakan tindakan screening yang meliputi pengambilan kadar TSH. UPSTF direkomendasikan bagi mereka yang berusia dari 35 tahun yang di follow up setiap 5 tahun sekali ( ATA,2014). Di Indonesia sendiri pada tahun 2015 pada Pekan Peduli Tiroid Internasional menyatakan bahwa

kebijakan

pemerintah

mengutamakan

upaya

promotif

dan

preventif

dalam

penanggulangan masalah gangguan tiroid yang harus diimplementasikan bersama antara pemerintah dan seluruh komponen masyarakat dengan cara deteksi dini secara awal dan upaya promotif ke seluruh lapisan masyarakat (KEMENKES, 2015). Apabila penyakit hipertiroid ini tidak dicegah maka akan terjadi komplikasi lebih lanjut yaitu karsinoma tiroid menempati urutan ke-9 dari sepuluh keganasan tersering. National Cancer Institute melaporkan dari 100.000 jiwa ditemukan karsinoma tiroid sebesar 12,9% per tahun baik pria maupun wanita dengan angka kematian yaitu 0,5%. Di Panti tresna werda sendiri terdapat .........yang menderita tiroid. Dari .... ......yang mengalami hipertiroid, dan ....... yang mengalami hipotiroid.

B. TUJUAN 1. Tujuan Umum Setelah mengikuti kegiatan desiminasi ilmu selama 1 x 30 menit, diharapkan peserta dapat mengetahui, memahami tentang Hipertiroid. 2. Tujuan Khusus Diharapkan peserta dapat mengerti dan menyebutkan kembali yang dipaparkan seperti: a. Memahami pengertian makanan pendamping asi b. Memahami faktor yang mempengaruhi pemberian MPASI c. Memahami manfaat MPASI d. Memahami apa saja resiko pemberian MPASI terlalu dini

3. METODE Presentasi, diskusi dan tanya jawab.

4. MEDIA DAN ALAT a. Leaflet b. Proyektor c. Laptop

5. PENGORGANISASIAN a. Penanggung jawab : Ulbaq Sheptia, S.kep Tugas : 1) Bertanggung jawab terhadap berlangsungnya acara, sejak perencanaan pertemuan, pelaksanaan sampai evaluasi dan pelaporan. 2) Mengkoordinasikan pertemuan 3) Menjawab pertanyaan b. Moderator

: Abzalurrahman, S.kep

Tugas : 1) Membuka acara 2) Memperkenalkan tim dan perannya 3) Menjelaskan tujuan pertemuan

4) Membuat kontrak waktu 5) Memimpin pelaksanaan penyuluhan 6) Membuka sesi tanya jawab 7) Mengevaluasi hasil kegiatan acara 8) Menutup acara c. Penyaji : Yulda Yuristika, S.Kep Tugas : 1) Menyajikan dan menjelaskan materi kepada audiens. 2) Mengevaluasi pengetahuan audiens mengenai materi penyuluhan 3) Menjawab pertanyaan d. Observer

: Sriwati, S.Kep

Tugas : 1) Bertanggung jawab untuk mendokumentasikan seluruh kegiatan mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan, evaluasi, danpelaporan. 2) Mengamati proses pelaksanaan dari awal sampai akhir. 3) Membuat laporan hasil penyuluhan. 4) Menjawab pertanyaan e. Fasilitator

: Putrinugraha W.A , S.Kep Munira, S.Kep Widya Rivani, S.Kep Stasia Arinopita, S.Kep

Tugas : 1) Memfasilitasi peserta untuk berperan aktif selama jalannya diskusi. 2) Mempertahankan audiens tetap berada di tempat 3) Menenangkan audiens 4) Menjawab pertanyaan

f. Setting tempat

Keterangan: : Pembimbing : Penyaji : Moderator : Peserta

: Pasilitator : Observer : Alat bantu penyuluhan : Penanggung jawab

6. RENCANA KEGIATAN

No

Tahap Kegiatan

1.

Pembukaan

Kegiatan Penyuluhan

Kegiatan Peserta

a. Memberi salam

a. Menjawab salam

5

b. Perkenalan CI dan teman-

b. Memperhatikan

Menit

teman

c. Memperhatikan

c. Menjelaskan

topik

dan

tujuan penyuluhan

Kegiatan inti

1. Mengkaji

dan mendengarkan d. Memperhatikan

d. Menjelaskan kontrak waktu 2

Waktu

dan mendengarkan

pengetahuan

responden tentang ;

a. Memperhatikan

a. manfaat MPASI b. resiko

20 dan Menit

mendengarkan

pemberian

MPASI terlalu dini c. faktor

b. Mengungkapkan pendapat (bertanya)

yang

c. Memperhatikan

mempengaruhi pemberian MPASI 2. Menjelakan tentang : a. manfaat MPASI b. resiko

pemberian

MPASI terlalu dini c. faktor

yang

mempengaruhi pemberian MPASI 3. Tanya jawab 3.

Penutup

a. Mengevaluasi kembali pengetahuan

peserta

a. Menjawab pertanyaan

penyuluhan b. Menyimpulkan materi penyuluhan c. Mengakhiri pertemuan

b. Peserta menjawab salam

5 Menit

dengan

mengucapkan

terimakasih dan salam

7. EVALUASI HASIL 1. Evaluasi struktur a. 80 % peserta mengikuti kegiatan b. Tempat dan alat tersedia sesuai perencanaan c. Peran dan tugas mahasiswa sesuai perencanaan 2. Evaluasi proses a. Pelaksanaan kegiatan sesuai dengan waktu yang direncanakan b. Semua peserta yang hadir mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir c. Peserta berperan aktif dalam mengajukan pertanyaan dan mengemukakan pendapat selama jalannya diskusi. d. Tidak ada peserta yang keluar masuk selama jalannya kegiatan 3. Evaluasi hasil a. 75 % peserta dapat menyebutkan manfaat MPASI b. 75 % peserta dapat menyebutkan faktor yang mempengaruhi pemberian MPASI terlalu dini c. 75 % peserta dapat menyebutkan faktor yang mempengaruhi pemberian MPASI.

MATERI PENYULUHAN HIPERTIROID PADA LANSIA 2.1 Hipertiroid 2.1.1 Definisi Hipertiroid Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical Endocrinologists, hipertiroid didefinisikan sebagai kondisi berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi normal (Bahn et al, 2011) Hipertiroid merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah. Peningkatan kadar hormon tiroid menyebabkan paparan berlebihan pada 5 jaringan-jaringan tubuh yang menyebabkan munculnya berbagai manifestasi klinik yang terkait dengan fungsi hormon tiroid dalam berbagai proses metabolisme tubuh (Bartalena, 2011). 2.1.2 Etiologi Berdasarkan etiologinya hipertiroid dapat dibagi menjadi beberapa kategori, secara umum hipertiroid yang paling banyak ditemukan adalah Graves’ Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter. a. Graves Disease Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroid karena sekitar 80% kasus hipertiroid di dunia disebabkan oleh Graves’ disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al, 2010). Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb 7 memicu perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan kadar hormon

tiroid melebihi normal. TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan antigen. Namun pada Graves’ Disease sel-sel APC (antigen presenting cell) menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb. Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’ Disease adalah HLA. Pada pasien Graves’ Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves’ Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine, sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine (Jacobson et al, 2008). Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Menurut Baskin et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis Graves’ disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin receptor antibodies (TRAb). Pada pasien Graves’ disease, kadar TSH ditemukan rendah disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada pemeriksaan dengan iodine radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi normal. Sedangkan pada teknik scanning iodine terlihat menyebar di semua bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran iodine pada Graves’ disease 8 berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan hanya pada penderita Graves’ disease dan tidak ditemukan pada penyakit hipertiroidisme lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves’ Disease. Selain itu TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya kondisi remisi pasien (Okamoto et al, 2006). Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves’ disease dapat berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di Amerika Serikat, iodine radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi pada pasien Graves’ disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan dibandingkan iodine radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien misalnya ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan. Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves’ disease perlu mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk

mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan. Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak (Bahn et al, 2011). b. Toxic Adenoma Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008). Sekitar 2 – 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 3–7% pasien dengan nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 – 76% pasien memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound. Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi. Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves’ disease. Pada sebagian besar kasus nodul ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan kesehatan umum atau oleh pasien sendiri. Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang ditemukan. Namun apabila terjadi pembesaran nodul secara progresif disertai rasa sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan kanker. Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi pasien untuk memberikan tatalaksana terapi yang tepat. Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada daerah dengan asupan iodine yang rendah. Menurut Paschke (2011), iodine yang rendah menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid yang akan menyebabkan mutasi. Hal ini sesuai dengan Tonacchera dan Pinchera (2010), yang menyatakan pada penderita hipertiroidisme dengan adanya nodul ditemukan adanya mutasi pada reseptor TSH. 10 Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar hormon tiroid bebas, ultrasonography dan fine-needle aspiration (FNA). Pemeriksaan TSH merupakan pemeriksaan awal yang harus dilakukan untuk mengevaluasi fungsi kelenjar tiroid, serta perlu dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid (T4 dan T3).

Ultrasonography merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dan bentuk kelenjar tiroid. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran kelenjar tiroid pasien. Sedangkan pemeriksaan dengan fine-needle aspiration digunakan untuk mengambil sampel sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari hasil biopsi dengan FNA dapat diketahui apakah nodul pada pasien bersifat benign (non kanker) atau malignant (kanker) (Gharib et al, 2010). Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan tindakan dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan mendapat terapi dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga mencapai kondisi euthyroid (Bahn et al, 2011). Setelah terapi dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi evaluasi kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta dilakukan tes ultrasonography untuk melihat ukuran nodul (Gharib et al, 2010) c. Toxic Multinodular Goiter Selain Grave’s Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia. Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine. Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic multinodular goiter adalah dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan kondisi euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari pasca pembedahan, dibandingkan pada pengobatan iodine radioaktif yang membutuhkan waktu 6 bulan. d. Hipertiroidisme Subklinis Graves’ Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter merupakan penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan termasuk dalam jenis overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini, kadar TSH ditemukan rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan kadar T4 dan T3 bebas (Bahn et al, 2011). Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme disebabkan

hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar TSH ditemukan rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total yang normal. Menurut Ghandour (2011), 60% kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan multinodular goiter. Pada pasien yang menderita hipertiroidisme subklinis dapat ditemukan gejala klinis yang tampak pada pasien overt hyperthyroidism. 12 Menurut Bahn et al, 2011 prinsip pengobatan hipertiroidisme sub klinis sama dengan pengobatan overt hyperthyroid.

2.1.3 Tanda dan Gejala Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah memacu peningkatan kecepatan metabolisme di seluruh tubuh. Salah satu gejala yang umum ditemui pada penderita hipertiroid adalah intoleransi panas dan berkeringat berlebihan karena peningkatan kadar tiroid memacu peningkatan basal metabolic rate. Selain itu hipertiroidisme juga mempengaruhi sistem kardiorespiratori menyebabkan kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea umum ditemukan pada pasien hipertiroidisme (Nayak dan Burman, 2006). Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul gejalagejala psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan insomnia. Peningkatan kecepatan metabolisme menyebabkan pasien hipertiroidisme cepat merasa lapar dan nafsu makan bertambah, namun demikian terjadi penurunan berat badan secara signifikan dan peningkatan frekuensi defekasi.Pada pasien wanita dapat terjadi gangguan menstruasi berupa oligomenorrhea, amenorrhea bahkan penurunan libido (Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002). Pada pasien Graves’ disease, gejala klinis juga dapat berupa inflamasi dan edema di otot mata (Graves’ ophtalmopathy) dan gangguan kulit lokal (myxedema). Mekanisme terjadinya Graves’ ophtalmopathy dan myxedema belum diketahui secara pasti namun diperkirakan pada keduanya terjadi akumulasi limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin pada fibroblast (Weetman, 2000)

2.1.4 Penatalaksanaan Tujuan terapi baik dengan penggunaan obat anti tiroid, iodine radioaktif maupun tiroidektomi adalah menurunkan kadar hormon tiroid pasien ke level normal serta mencapai

kondisi remisi. Kondisi remisi pada pasien hipertiroid dapat tercapai apabila kadar hormon tiroid pasien dapat dijaga pada rentang euthyroid (Laurberg, 2006). Tata laksana terapi yang dapat digunakan untuk mengobati pasien hipertiroidisme adalah sebagai berikut: a. Obat anti tiroid Obat anti tiroid merupakan golongan obat yang digunakan untuk menekan kelebihan hormon tiroid pada pasien hipertiroidisme hingga level 20 normal (euthyroid). Tujuan utama penggunaan obat anti tiroid adalah untuk mencapai kondisi euthyroid secepat mungkin dengan aman dan untuk mencapai remisi. Lama penggunaan obat anti tiroid hingga mencapai remisi bervariasi antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung pada kepatuhan pasien dalam menggunakan obat (Baskin et al, 2002). Di negara-negara maju, pengobatan hipertiroidisme cenderung bergeser ke terapi iodine radioaktif dan penggunaan obat anti tiroid semakin jarang diberikan karena tingginya kemungkinan relaps (kambuh) setelah remisi dan jangka waktu pengobatan yang memakan waktu selama satu hingga dua tahun. Namun demikian obat anti tiroid juga masih umum digunakan pada pasien yang kontraindikasi terhadap iodine radioaktif, pasien hamil dan pasien yang akan menjalani terapi radioiodine. Pada pasien hipertiroidisme dengan toksik nodul atau toxic multinodular goiter obat anti tiroid tidak direkomendasikan untuk digunakan karena tidak menyebabkan remisi pada golongan pasien ini. Sedangkan pada pasien Graves’ Disease obat anti tiroid terbukti dapat menghasilkan remisi karena efek antitiroid dan imunosupresan (Ajjan dan Weetman, 2007). 1) Jenis Obat Anti Tiroid Obat anti tiroid yang secara luas digunakan, propylthiouracil dan methimazole, termasuk dalam golongan yang sama yaitu thionamide. Keduanya memiliki mekanisme aksi yang sama namun memiliki profil farmakokinetika yang berbeda dalam hal durasi, ikatan dengan albumin dan lipofilisitas. Propylthiouracil dan methimazole dapat digunakan 21 sebagai terapi tunggal pada hipertiroidismeyang diakibatkan oleh Graves’ Disease maupun pada pasien yang akan menerimaterapi radioiodine dan tiroidektomi (Bahn et al, 2011; Fumarola et al, 2010). Dalam mengobati hipertiroidisme karena autoimun atau Graves’ Disease, obat anti tiroid dapat mengembalikan fungsi tiroid karena adanya sifat imunosupresan. Obat anti tiroid dapat memacu apoptosis limfosit intratiroid, menekan ekspresi HLA kelas 2, sel T dan natural killer cells (Bartalena, 2011; Fumarola et al, 2010).

a) Propylthiouracil Propylthiouracil atau biasa disingkat PTU merupakan obat antitiroid golongan thionamide yang tersedia dalam sediaan generik di Indonesia. Obat ini bekerja dengan cara menghambat kerja enzim thyroid peroxidase dan mencegah pengikatan iodine ke thyroglobulin sehingga mencegah produksi hormon tiroid. Selain itu obat anti tiroid memiliki efek imunosupresan yang dapat menekan produksi limfosit, HLA, sel T dan natural killer sel (Fumarola et al, 2010).

b) Methimazole Methimazole atau biasa disingkat MMI merupakan obat anti tiroid golongan thionamide yang menjadi lini pertama pengobatan hipertiroidisme dan merupakan metabolit aktif dari carbimazole. 23 Carbimazole merupakan bentuk pro-drug dari methimazole yang beredar di beberapa negara seperti Inggris. Di dalam tubuh carbimazole akan diubah menjadi bentuk aktifnya methimazole dengan pemotongan gugus samping karboksil pada saat metabolisme lintas pertama (Bahn et al, 2011). Mekanisme kerja methimazole dalam mengobati hipertiroidisme sama seperti propylthiouracil yaitu menghambat kerja enzim thyroid peroxidase dan mencegah pembentukan hormon tiroid. Namun methimazole tidak memiliki efek mencegah konversi T4 ke T3 (Nayak dan Burman, 2006). Obat ini digunakan secara per oral dan hampir terabsorpsi sempurna di saluran cerna. Karena durasi aksinya yang panjang, sekitar 40 jam, maka MMI cukup digunakan satu kali sehari (single dose). Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Edisi III, dosis awal methimazole dimulai dengan 40 mg setiap pagi selama 1 – 2 bulan dan selanjutnya dosis diturunkan menjadi 5 – 20 mg setiap pagi (Anonim, 2008). Methimazole merupakan lini pertama pengobatan hipertiroidisme karena efek samping yang relatif lebih rendah dari propylthiouracil, faktor kepatuhan

pasien,

serta

efektivitas

yang

lebih

baik

dibandingkan

propylthiouracil. Sejak tahun 1998 methimazole merupakan obat anti tiroid yang paling banyak diresepkan di Amerika Serikat untuk mengobati Graves’

Disease (Bahn et al, 2011; Emiliano et al, 2010; Nakamura et al, 2007). 24 Penggunaan methimazole pada kehamilan terutama trimester pertama tidak direkomendasikan karena efek teratogenik methimazole menyebabkan malformasi kongenital seperti aplasia cutis dan choanal atresia. Sehingga pada pasien hipertiroidisme yang sedang hamil trimester pertama yang sedang mengonsumsi

methimazole

perlu

dilakukan

penggantian

terapi

ke

propylthiouracil. Sedangkan pada ibu menyusui methimazole terbukti aman diberikan hingga dosis 20 – 30 mg/ hari (Hackmon et al, 2012; StagnaroGreen et al, 2011).

2.1.5 Diagnosis Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan radiodiagnostik.

a. TSH Thyroid stimulating hormone (TSH) merupakan hormon yang diproduksi oleh hipofisis untuk menstimulasi pembentukan dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Pada kondisi normal terdapat negative feedback pada pengaturan sekresi TSH dan hormon tiroid di sistem pituitarythyroid axis. Apabila kadar hormon tiroid di aliran darah melebihi normal, maka hipofisis akan mengurangi sekresi TSH yang pada akhirnya akan mengembalikan kadar hormon tiroid kembali normal. Sebaliknya apabila kadar hormon tiroid rendah maka hipofisis akan mensekresi TSH untuk memacu produksi hormon tiroid. Bahn et al (2011), menyarankan pemeriksaan serum TSH sebagai pemeriksaan lini pertama pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil pada hormon tiroid akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kadar serum TSH. Sehingga pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas paling baik dari pemeriksaan darah lainnya untuk menegakkan diagnosis gangguan tiroid. b. T4 dan T3 Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis hipertiroidisme. Pemeriksaan utamanya dilakukan

pada bentuk bebas dari hormon tiroid karena yang menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh adalah bentuk tak terikatnya. Pada awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan tiroidektomi pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan terhadap free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas terapi yang diberikan dan pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan hingga pasien euthyroid (Bahn et al, 2011). Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat digunakan untuk mengetahui etiologi hipertiroidisme yang diderita pasien. Pada pasien hipertiroidisme akibat Graves’ Disease dan toxic nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20 karena lebih banyak T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4 sehingga rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan post-partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20 (Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002).

c. Radioactive Iodine Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui transporter Na+ /Idi kelenjar tiroid. Pada metode ini pasien diminta menelan 16 kapsul atau cairan yang berisi iodine radioaktif dan hasilnya diukur setelah periode tertentu, biasanya 6 atau 24 jam kemudian. Pada kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves’ disease, toxic adenoma dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan uptake iodine radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita yang hamil atau menyusui (Beastall et al, 2006).

d. Scintiscanning Scintiscanning

merupakan

metode

pemeriksaan

fungsi

tiroid

dengan

menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam tiroid scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium (99mTcO4 - ). Kelebihan penggunaan technetium radioaktif daripada iodine diantaranya harganya yang lebih murah dan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat. Namun kekurangannya risiko terjadinya false-positive lebih tinggi, dan kualitas gambar kurang baik dibandingkan dengan penggunaan radioiodine (Gharib et al, 2011). Karena pemeriksaan dengan ultrasonography dan FNAC lebih efektif dan akurat, scintiscanning tidak lagi menjadi

pemeriksaan utama dalam hipertiroidisme. Menurut Gharib et al (2010), indikasi perlunya dilakukan scintiscanning di antaranya pada pasien dengan nodul tiroid tunggal dengan kadar TSH rendah dan pasien dengan multinodular goiter. Selain itu dengan scintiscanning dapat diketahui etiologi nodul tiroid pada pasien, apakah tergolong hot (hiperfungsi) atau cold (fungsinya rendah).

e. Ultrasound Scanning Ultrasonography (US) merupakan metode yang menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran bentuk dan ukuran kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah untuk dilakukan, noninvasive serta akurat dalam menentukan karakteristik nodul toxic adenoma dan toxic multinodular goiter serta dapat menentukan ukuran nodul secara akurat (Beastall et al, 2006). Pemeriksaan US bukan merupakan pemeriksaan utama pada kasus hipertiroidisme. Indikasi perlunya dilakukan pemeriksaan US diantaranya pada pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien dengan multinodular goiter, dan pasien dengan faktor risiko kanker tiroid (Gharib et al, 2010). f. Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC) FNAC merupakan prosedur pengambilan sampel sel kelenjar tiroid (biopsi) dengan menggunakan jarum yang sangat tipis. Keuntungan dari metode ini adalah praktis, tidak diperlukan persiapan khusus, dan tidak mengganggu aktivitas pasien setelahnya. Pada kondisi hipertiroidisme dengan nodul akibat toxic adenoma atau multinodular goiter FNAC merupakan salah satu pemeriksaan utama yang harus dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis Hasil dari biopsi dengan FNAC ini selanjutkan akan dianalisis di laboratorium. Hasil dari biopsi pasien dapat berupa tidak terdiagnosis (jumlah sel tidak mencukupi untuk dilakukan analisis), benign (non kanker), suspicious (nodul dicurigai kanker), dan malignant (kanker) (Bahn et al, 2011; Beastall et al, 2006). Menurut Ghorib et al (2011) pada pasien dengan nodul berukuran kecil yang tidak tampak atau tidak teraba, maka FNAC perlu dilakukan dengan bantuan ultrasonography. Selain itu penggunaan bantuan ultrasonography juga disarankan pada kondisi pasien dengan multinodular goiter dan obesitas.

DAFTAR PUSTAKA

Related Documents

Sap Peng Ilmu Jur
October 2019 11
Sap Ilmu Falak.docx
July 2020 3
Ilmu-ilmu
August 2019 66
Desiminasi Akhir Fix.pptx
December 2019 19

More Documents from "Hafiz Rizqi"

Sap Slb.docx
November 2019 8
Data Kerjka.docx
December 2019 31