SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) ASPEK PSIKOLOGIS PADA CKD DI RUANG HEMODIALISA RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Oleh: Universitas Brawijaya Malang Stikes Mataram Universitas Muhammadiyah Malang Poltekkes RS dr. Soepraoen Malang Poltekkes Kemenkes Malang Universitas Bondowoso
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR MALANG 2019
SATUAN ACARA PENYULUHAN Pokok Bahasan
: Aspek Psikologis Pada CKD
Sasaran
: Keluarga pasien dan pasien di ruang Hemodialisa
Hari, tanggal
: Jumat, 22 Maret 2019
Waktu
: ±20 menit
Tempat
: Ruang tunggu Hemodialisa RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
I.
LATAR BELAKANG Secara global terdapat 200 kasus gangguan ginjal per sejuta penduduk. 8 juta di antara
jumlah populasi yang mengalami gangguan ginjal berada dalam tahap gagal ginjal kronis. Penelitian sebelumnya mengatakan terdapat hubungan antara mengalami gagal ginjal dengan timbulnya gangguan psikiatri pada pasien (Cohen et al., 2004). Kondisi ini bisa terjadi pada kasus gagal ginjal akut maupun yang kronis. Penyakit apapun yang berlangsung dalam kehidupan manusia dipersepsikan sebagai suatu penderitaan dan mempengaruhi kondisi psikologis dan sosial orang yang mengalaminya. Akan tetapi petugas kesehatan sering kali cenderung memisahkan aspek biologis dari aspek psikososial yang dialami pasien (Leung, 2002). Aspek psikososial menjadi penting diperhatikan karena perjalanan penyakit yang kronis dan sering membuat pasien tidak ada harapan. Pasien sering mengalami ketakutan, frustasi dan timbul perasaan marah dalam dirinya. (Harvey S, 2007). Penelitian oleh para profesional di bidang penyakit ginjal menemukan bahwa lingkungan psikososial tempat pasien gagal ginjal tinggal mempengaruhi perjalanan penyakit dan kondisi fisik pasien (Leung, 2002). Pada enam bulan sampai satu tahun pertama terapi, pasien gagal ginjal akan merasakan ketidaknyamanan dan
ketidakbebasan. Penolakannya
terhadap kondisi
yang
dialami tersebut biasanya menghasilkan konflik dalam diri pasien. Konflik batiniah ini lamalama akan menghasilkan rasa frustasi, rasa bersalah, depresi, dan ada beberapa gangguan psikologis yang dapat muncul dari pasien gagal ginjal.
II. TUJUAN 1. Tujuan Umum Setelah dilakukan penyuluhan tentang “Aspek Psikologi Pada CKD” diharapkan keluarga dan pasien dapat mengerti tentang aspek psikologi dari CKD. 2. Tujuan Khusus Setelah dilakukan penyuluhan tentang “Aspek Psikologi Pada CKD” diharapakan keluarga pasien dan pasien mampu untuk:
III. MATERI PENYULUHAN (Terlampir).
IV. MEDIA 1.
LCD (Power Point)
2.
Leaflet
V. METODE 1.
Ceramah
2.
Diskusi
3.
Tanya Jawab
VI. PETUGAS Moderator: Penyaji
:
VII. SETTING TEMPAT
Keterangan: : Proyektor
: Pemateri dan moderator
: Audient
Lampiran MATERI JENIS GANGGUAN JIWA YANG DAPAT TERJADI PADA CKD 1. Depresi Depresi adalah kondisi gangguan kejiwaan yang paling banyak ditemukan pada pasien gagal ginjal. Prevalensi depresi berat pada populasi umum adalah sekitar 1,1%-15% pada laki-laki dan 1,8%-23% pada wanita, namun pada pasien hemodialisis prevalensinya sekitar 20%-30% bahkan bisa mencapai 47%. Hubungan depresi dan mortalitas yang tinggi juga terdapat pasien-pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang (Chen et al. 2010). Kondisi afeksi yang negatif pada pasien gagal ginjal juga seringkali bertumpang tindih gejalanya dengan gejala-gejala pasien gagal ginjal yang mengalami uremia seperti iritabilitas, gangguan kognitif, encefalopati, akibat pengobatan atau akibat hemodialisis yang kurang maksimal (Cukor et al.2007) Pendekatan psikodinamik pada gangguan depresi adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan hilangnya sesuatu di dalam diri manusia tersebut. Hal ini disebut sebagai faktor eksogen sebagai penyebab depresinya. Kondisi gagal ginjal yang biasanya dibarengi dengan hemodialisis adalah kondisi yang sangat tidak nyaman. Kenyataan bahwa pasien gagal ginjal terutama gagal ginjal kronis yang tidak bisa lepas dari hemodialisis sepanjang hidupnya menimbulkan dampak psikologis yang tidak sedikit. Faktor kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada seperti kebebasan, pekerjaan dan kemandirian adalah hal-hal yang sangat dirasakan oleh para pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Hal ini bisa menimbulkan gejala-gejala depresi yang nyata pada pasien gagal ginjal sampai dengan tindakan bunuh diri. Kepustakaan mencatat bahwa tindakan bunuh diri pada pasien gagal ginjal kronis yang mengalami hemodialisis di Amerika Serikat bisa mencapai 500 kali lebih banyak daripada populasi umum. Selain tindakan nyata dalam melakukan tindakan bunuh diri, sebenarnya penolakan terhadap kegiatan hemodialisis yang terjadwal dan ketidakpatuhan terhadap diet rendah potasium adalah salah satu hal yang bisa dianggap sebagai upaya “halus” untuk bunuh diri. 2. Sindrom Disequilibrium
Kondisi sindrom disequilibrium cukup sering terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis. Hal ini biasanya terjadi selama atau segera setelah proses hemodialisis. Kondisi ini
disebabkan
oleh
koreksi
berlebihan
dari
keadaan
azotemia
yang membuat
ketidakseimbangan osmotik dan perubahan pH darah yang cepat. Kondisi ketidakseimbangan ini yang membuat adanya edema serebral yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala klinik seperti sakit kepala, mual, keram otot, iritabilitas, agitasi, perasaan mengantuk dan kadang kejang. Gejala psikosis juga bisa terjadi. Sindrom disequilibrium biasa terjadi setelah 3 s.d. 4 jam setelah hemodialisis namun bisa juga terjadi 8-48 jam setelah prosedur itu dilakukan. 3. Demensia Dialisis Demensia Dialisis juga dikenal dengan sebutan ensefalopati dialisis adalah sindroma yang fatal dan progresif. Pada prakteknya hal ini jarang terjadi dan biasanya terjadi pada pasien yang sudah menjalani dialisis paling sedikit satu tahun. Kondisi ini diawali dengan gangguan bicara, seperti gagap yang kemudian berlanjut menjadi disartria, disfasia dan akhirnya tidak bisa bicara sama sekali. Semakin lama kondisi ini semakin berat sampai berkembang menjadi mioklonus fokal maupun menyeluruh, kejang fokal atau umum, perubahan kepribadian, waham dan halusinasi. Demensia dialisis disebabkan karena keracunan alumunium yang berasal dari cairan dialisis dan garam alumunium yang digunakan untuk mengatur level fosfat serum. Pencegahannya dengan menggunakan bahan dialisis yang tidak mengandung alumunium. Pada awalnya kondisi ini dapat kembali baik namun jika dibiarkan dapat menjadi progresif sampai dengan periode 1-15 bulan ke depan setelah gejala awal. Kematian biasanya terjadi dalam rentang 6-12 bulan setelah permulaan gejala. FAKTOR PSIKOSOSIAL PADA CKD 1. Emosi Perasaan takut adalah ungkapan emosi pasien gagal ginjal yang paling sering diungkapkan. Pasien sering merasa takut akan masa depan yang akan dihadapi dan perasaan marah yang berhubungan dengan pertanyaan mengapa hal tersebut terjadi pada dirinya. Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang karena harus tergantung seumur hidup dengan alat cuci ginjal. Perasaan ini tidak bisa dielakan dan seringkali afeksi emosional ini ditujukan kepada sekeliling seperti pasangan, karyawan dan staf di rumah sakit. Kondisi ini perlu dikenali oleh semua orang yang terlibat dengan pasien.
2. Harga Diri Pasien dengan gagal ginjal sering kali merasa kehilangan kontrol akan dirinya. Mereka memerlukan waktu yang panjang untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan apa yang dialaminya. Perubahan peran adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagai contoh seorang pencari nafkah di keluarga harus berhenti bekerja karena sakitnya. Perasaan menjadi beban keluarga akan menjadi masalah buat individu ini. Selain itu juga pasien sering kali merasa dirinya “berubah”. Adanya kateter yang menempel misalnya pada pasien dengan dialisis peritoneal, lesi di kulit, nafas berbau ureum dan perut yang membuncit membuat percaya diri dan citra diri pasien terpengaruuh. 3. Gaya Hidup Gaya hidup pasien akan berubah. Perubahan diet dan pembatasan air akan membuat pasien berupaya untuk melakukan perubahan pola makannya. Keharusan untuk kontrol atau melakukan dialisis di rumah sakit juga akan membuat keseharian pasien berubah. Terkadang karena adanya komplikasi pasien harus berhenti bekerja dan diam di rumah. Hal-hal ini yang perlu mendapatkan dorongan untuk pasien agar lebih mudah beradaptasi. 4. Fungsi Seksual Fungsi seksual pada pasien yang mengalami gagal ginjal akan sering terpengaruh. Hal ini bisa disebabkan karena faktor organik ( perubahan hormonal atau karena insufisiensi vaskuler pada kasus gagal ginjal dengan diabetes), psikososial (perubahan harga diri,citra diri dan perasaan tidak menarik lagi) atau masalah fisik (distensi perut, perasaan tidak nyaman dan keluhan-keluhan fisik akibat uremmia). Masalah pengobatan yang mengganggu fungsi seksual juga bisa menjadi masalah. PENGARUH PERAN KELUARGA Beratnya kondisi psikologis pasien jelas menambah beban yang diderita setelah penyakit. Kondisi yang tentu saja membutuhkan dukungan psikososial terutama dari keluarga agar pasien mampu
bangkit.
Dukungan dan
perasaan
positif
yang diberikan
keluarga,
secara fundamental akan mengubah cara pandang pasien. Pasien yang memiliki pandangan positif dari keluarganya, cenderung berfikiran positif terhadap hidup dan masa depannya. Pandangan ini memicu timbulnya kebahagiaan pasien
dari sisi
afektif
dan
kognitifnya. Menggunakan
istilah
psikologi, pasien
mampu
mencapai kondisi subjektif well being. Sebuah kondisi kebahagiaan secara utuh. Subjektive well being akan sangat memengaruhi motivasi pasien untuk sembuh. Penelitian Bailey dan Snyder (2007) menunjukkan bahwa individu yang memiliki kepuasan terhadap kehidupannya juga memiliki tingkat harapan yang tinggi. Harapan dalam hal
ini
adalah
kondisi
yang berkaitan
dengan
tujuan dan
subjektifitas
individu. Individu yang penuh harapan cenderung memiliki pandangan positif tentang masa depan. Harapan tinggi untuk sembuh dan dukungan keluarga bersama-sama membentuk chemistry yang kuat, dan menjadi dorongan bagi pasien untuk disiplin menerapkan pola hidup sehat dan menjalani terapi hemodialisa. Meskipun dia mengetahui bahwa terapi tersebut tidak akan menyembuhkan kecuali melakukan trasnplantasi. Tetapi subjektive well being membuat pasien merasa bahwa hidupnya berguna dan siap menerima apapun kondisinya di masa depan.